Dibuat Oleh :
ILHAM YULIAN ANHAR
Guru Pembimbing :
AGUNG SEPTIONUGROHO
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas ijin dan karunia-
NYA saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah. “HUBUNGAN
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH”, mengenai pemahaman tentang bagaimana
otonomi daerah di masa yang akan datang. Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas sekolah Tahun Pelajaran 2015/2016
Pada kesempatan ini, Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan penyempurna
pada makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, amien.
Wassalamualaikum wr.wb
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah.............................................................. 3
B. Berbagai Dampak yang muncul dalam Otonomi Daerah.................. 5
C. Otonomi Daerah Saat Ini................................................................... 8
D. Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang..................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 13
B. Saran ................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,
otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan.
Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik
pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi
bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar
tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing.
Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi
daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang
digunakan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana otonomi daerah pada saat ini?
2. Apa dampak dari adanya otonomi daerah?
3. Bagaimana dengan perkembangan otonomi yang akan datang?
1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah memberikan masukan dan
informasi yang jelas kepada Siswa-siswi SMA N 1 Belitang, tentang bagaimana
kewenangan pemerintah daerah dalam bidang lingkungan hidup,
menganalisis dampak dari kewenangan tersebut, tata cara pelaksanaannya,
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Kesenjangan social antara suatu daerah dengan daerah yang lain sangat terasa.
Pembangunan fisik disuatu daerah sangat pesat sekali, namun disisi lain
pembangunan di daerah lain masih lamban bahkan terbengkalai.
4
keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar
daerah secara proposional.
5
memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola
hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan. Di Gorontalo, Sulawesi,
masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para
pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan
kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Sedangkan di wilayah lainnya, otonomi daerah malahan semakin
memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi
besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang semakin
mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.
Di Kalimantan Timur, bupati dikabarkan telah mengeluarkan ratusan
Hak/Izin/HPH konsensi penebangan kayu bagi 100 perusahaan skala kecil senilai
Rp. 50 juta dan Rp. 100 juta. Para raja kayu dengan HPH yang lebih besar dan
sudah habis sekarang mulai memanipulasi dan memanfaatkan penduduk lokal
untuk membentuk koperasi guna mendapatkan HPH penebangan kayu. Koperasi-
koperasi ini berperan melanjutkan operasi penebangan kayu para raja kayu dan
memungkinkan mereka untuk tetap menjalankan pengolahan kayu. Barangkali
masyarakat lokal mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pembayaran yang
mereka terima. Tetapi dalam jangka panjang mereka dirugikan dengan rusaknya
sumber daya keamanan sosial mereka. Laporan serupa tentang masalah ini
muncul juga dari berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Suatu lokakarya di Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengidentifikasikan
sedikitnya 250 konflik/sengketa di kabupaten itu yang muncul akibat kegagalan
untuk mendapatkan pengakuan hak tanah ulayat, klaim tanah yang tumpang
tindih, klaim yang saling bertentangan antara pemilik ijin pengolahan hutan yang
lama dan baru serta konflik-konflik antara pemilik konsesi dan masyarakat-
masyarakat lokal. Para pembicara di lokakarya tersebut mengatakan bahwa situasi
yang memburuk di hutan memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi lokal
karena penduduk lokal didorong ke dalam gaya hidup konsumtif. Bupati
setempat, Rama Asia, mendapat serangan gencar sehubungan dengan
dikeluarkannya lisensi-lisensi/hak usaha skala kecil –di distrik itu saja sudah
terdapat 622 lisensi—dan menyalahkan kerusakan hutan terhadap para pemegang
konsesi penebangan kayu yang lebih besar yang berasal dari Jakarta.
Kementrian kehutanan sekarang ini dilaporkan tengah dalam proses
membatalkan kembali suatu ketetapan yang dikeluarkan pada tahun lalu, yang
6
memberikan pengalihan tanggungjawab dalam menangani konsesi-konsesi hutan
yang lebih besar kepada pemerintahan daerah. Larangan sebelumnya terhadap
kepala daerah untuk mengeluarkan HPH/HGU/lisensi-lisensi skala kecil
diabaikan begitu saja oleh para pejabat distrik.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah
dikembalikan pada jalur semula –yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk
memperkuat demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga menyerukan agar desakan
untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan dalam arus cari
untung dari sumber daya alam.
Salah satu aspek yang bisa jadi menjadi masalah di kemudian hari adalah
keuangan. Prinsip money follow function tampaknya belum sepenuhnya
tercermin pada sistem perundang-undangan yang ada.
UU No 25/1999 memang menetapkan sumber-sumber keuangan daerah.
Namun, secara umum, daerah belum memiliki keleluasaan untuk menggali sendiri
sumber-sumber keuangannya. Sejumlah ketentuan masih sangat mengikat
mereka, yang kalau tidak segera dilonggarkan, berpotensi menjadi ganjalan bagi
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Masalah lain, UU No 25/1999 juga memperkenalkan sistem bagi hasil atas
SDA. Bila pemerintah tidak segera menetapkan secara jelas dasar pembagian
hasil tersebut, sangat mungkin terjadi kecurigaan besar dari daerah atas kejujuran
pusat dalam membagi.
Dan, di luar semua masalah itu, kemampuan keuangan daerah yang sangat
beragam akan memungkinkan terjadinya ketimpangan horizontal antardaerah.
Persoalan ini bisa menimbulkan macam-macam masalah ikutan, baik di daerah
kaya maupun miskin.
Beberapa gagasan dalam mewujudkan masa depan ekonomi politik yang
lebih baik dan dinamis di daerah antara lain:
Pertama, sistem rekrutmen kepala daerah melalui Pilkadal hendaknya
dipandang sebagai “pintu” dalam memajukan ekonomi daerah. Sehingga berbagai
kendala dalam sistem rekrutasi yang menghalangi figur berkualitas dan
berwawasan ekonomi daerah, nasional dan global tidak terhambat oleh adanya
aturan-aturan yang bernuansa kepentingan politis dan jangka pendek.
Kedua, diperlukan kesamaan visi, misi, persepsi dan paradigma dalam
pembangunan daerah ke depan, antara pemerintah pusat dan daerah serta seluruh
elemen masyarakat. Momentum dilahirkannya DPD RI, Pilkadal, dan berbagai
produk konstitusi era reformasi lainnya, merupakan “energi sosial” yang besar
7
dalam membangun masa depan ekonomi politik di daerah secara lebih cerah,
prospektif dan memberi harapan.
Ketiga, diperlukan “blue-print” perencanaan pembangunan yang terencana,
matang dan komprehensif antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Sinkronisasi tidak hanya terletak pada berbagai produk legislasi, tetapi juga pada
tataran manajemen operasionalisasi pembangunan; menyangkut: prioritas
pemilihan sektor ekonomi dan pembangunan yang berbasis keunggulan daerah,
dan prospektif terhadap peningkatan daya saing nasional.
Keempat, masa depan ekonomi politik di daerah amat ditentukan oleh
desain awal dan komitmen awal bersama kita terhadap pembangunan daerah.
Diperlukan konsistensi dan kontinyuitas pola pembangunan ekonomi di daerah.
Seluruh instrumen dan infrastruktur politik di daerah harus diarahkan dan
dikerahkan ke dalam upaya revitalisasi ekonomi di daerah.
8
serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara
Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada
lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999
yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang
perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan
timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan
kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan
dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan
Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan
kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya
dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai
9
permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan
pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi
kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung
mengkambinghitamkanbahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.
10
Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan
membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk
pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk
mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan
pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan
berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan
dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat
memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik
lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan
pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-
nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah.
Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting
bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan
sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-
nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan
budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi
Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk
memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional.
Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah
terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat
akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek
ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan
Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah
mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala
tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan
bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana
jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan
11
baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang
tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah
dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan
implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi
kebijakan Otonomi Daerah.
Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam
pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil
Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita
berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan
Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah.
Ada beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut
undang-undang ini.Pertama, wilayah negara dibagi ke dalam daerah yang bersifat
otonom dan ke dalam wilayah administratif. Pada prakteknya, tidak ada daerah
yang benar-benar otonom. Semua daerah pada era ini hanyalah wilayah
administratif yang pemerintahan daerahnya hanyalah melaksanakan kebijakan
pusat. Pemerintahan di daerah bersikap menunggu petunjuk, hampir tidak ada
tindakan yang merupakan inisiatif dan hasil kreativitas daerah. Kedua, dipakai
sistem hirarki pada setiap tingkatan pemerintahan. Sistem hirarki ini riskan karena
dengan kekuasaan yang lebih besar di tingkat pemerintahan lebih tinggi, itu
seringkali disalahgunakan untuk memaksakan kehendak terhadap pemerintahan di
bawahnya. Pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki kekuasaan lebih besar,
cenderung akan memperlakukan daerah dibawahnya sebagai sarana untuk
pencapaian tujuan sendiri. Sedangkan daerah di bawahnya, yang tentu saja lebih
lemah tersebut, harus mengabdi kepada daerah di atasnya. Ketiga, DPRD
merupakan bagian dari pemerintah daerah. Dengan hubungan seperti ini, DPRD
berada dibawah kepala daerah sehingga DPRD tidak berperan sebagai wakil
rakyat daerah, melainkan hanya pembantu kepala daerah. Keempat, Mendagri
terlalu mencampuri urusan daerah. Kelima, kedudukan kepala wilayah lebih kuat
ketimbang kepala daerah. Hal ini menjadikan cengkraman pusat terhadap daerah
sedemikian kuat sehingga daerah tidak memiliki kebebasan untuk mengatur
rumahtangga sendiri. Terakhir, ketergantungan daerah di sektor keuangan.
Akibatnya, hampir semua proyek pembangunan di daerah ditentukan oleh pusat,
sedangkan daerah hanya pelaksana.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi
menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walapun
demikian berbagai aspek dinamik dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut
selalu menimbulkan isu. Tanggap Pemerintah dan DPR mengenai isu tersebut
tertuang dalam perubahan berbagai UU tentang Pemerintahan Daerah.
Sekalipun setiap perubahan UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya
merupakan reformasi pemerintahan daerah, namun terdapat perbedaan mengenai
gradasi, skala dan besaran substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU
Pemerintahan Daerah yang dicanangkan. Perubahan yang dikehendaki oleh UU
No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tergolong perubahan yang radikal
(radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan perubahan yang gradual
(gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai
reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pemah terjadi
sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di berbagai
negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di Indonesia
masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia
tergolong big bang approach.
Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar
pada strategi. Desentralisasi bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Dalam TAP MPR No. IV/WR/2000 ditegaskan bahwa kebijakan
otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan publik dan
pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara
Pemerintah dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan,
untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah.
Tujuan desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi
pemerintahan daerah yang digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut.
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada
dalam teritoir tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi
diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada
daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik
masyarakat dan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek otonomi perlu
dicanangkan di masa depan untuk meluruskan penyelenggaraan otonomi daerah.
13
Telah lama Hatta (1957) menegaskan bahwa otonomisasi suatu masyarakat oleh
Pemerintah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong
berkembangnya prakarsa sendiri dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan
untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri
tercapailah apa yang dimaksud dengandemokrasi yaitu pemerintahan dari, oleh
dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga
dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Dengan visi yang sama,
Kartohadikusumo (1955) mengatakan bahwa pada hakekatnya otonomi
merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban kembali semangat dan kekuatan
rakyat guna membangun masa depan mereka sendiri yang luhur.
Guna tercapainya kesejahteraan masyarakat diperlukan kestabilan
penyelenggaraan pemerintah daerah. Visi mensejahterakan masyarakat harus
dibangun dan dijadikan acuan oleh kedua lembaga tersebut. Menurut Hatta (1957)
demokrasi tidak saja mendidik orang bertanggungjawab mengenai keselamatan
dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menanam perhatian terhadap usaha-
usaha publik. Setiap orang harus bersedia mencurahkan perhatian dan tenaganya
untuk membela kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan jasa. Kewajiban
membela kepentingan bersama, keselamatan dan kesejahteraan umum di dalam
lingkungan hidup yang besar dan kecil. Pemberian layanan dan barang public
perlu melibatkan sektor swasta dan komunitas dengan tetap menjunjung tinggi
berbagai prinsip: transparansi, akuntabilitas, efisensi, keadilan dan penegakan
hukum.
Untuk mengetahui prospek ke depan dari Otonomi Daerah dilakukan
dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan yang digunakan disini
adalah :
Aspek ideologi,
Politik,
Sosial budaya, dan
Pertahanan keamanan.
B. Saran
Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik bagi masa mendatang,
diperlukan langkah-langkah, tahapan-tahapan dengan merevieuw terhadap
pemerintahan yang lalu, sebagai tolak ukur dalam keberhasilan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat dari hasil-hasil
yang telah diciptakan/diterima oleh masyarakat. Seperti bagaimana pelayanan
14
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan berupa aspek ideologi,
politik, social budaya, dan pertahanan keamanan, diharapkan dapat terjalin dan
tercipta suatu hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat sehingga
kesejahteraan masyarakat di masa yang akan dating dapat lebih terjamin
kehidupannya.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://tugaskuliahterlengkap.blogspot.co.id/2015/02/makalah-hubungan-pemerintah-
pusat-dan.html
http://etika-politik.blogspot.co.id/2011/02/makalah-hubungan-pemerintah-pusat-
dan.html
http://firdausright.blogspot.co.id/2014/01/makalah-hubungan-pemerintah-pusat-
dan.html
16