OLEH :
DR. SUKARMI, S.H.,M.H.
A. PENDAHULUAN
Proses globalisasi tidak hanya melanda kehidupan ekonomi, tetapi
telah melanda kehidupan yang lain seperti politik, sosial budaya, hankam,
iptek, pendidikan dan hukum. Globalisasi politik antara lain berupa
gerakan tentang HAM, demokratisasi, transparansi dan sebagainya.
Globalisasi semakin
memperkuat pemikiran-pemikiran untuk mengoperasionalkan nilai-
nilai dasar HAM yang bersifat universal, indivisible and interdependent
and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat internasional
memperlakukan HAM secara global in a fair and equal manner, on the
same footing, and with the same emphasis.1
Persoalan HAM adalah salah satu isu yang senantiasa aktual dan
sulit untuk diselesaikan. Pelanggaran HAM mulai dari tingkat elit sampai
masyarakat bawah dan mulai dari yang berskala besar hingga yang
berskala kecil, terus terjadi. Padahal, secara hukum perlindungan
terhadap HAM secara jelas sudah diatur baik dalam perubahan UUD
maupun UU dan pembentukan institusi penegakan HAM. Jika ditinjau dari
segi aturan hukum positif perlindungan dan aturan sudah mencukupi
untuk memberikan perlindungan sekaligus penegakan terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi.
Setidaknya untuk melihat penegakan HAM ada dual hal penting
dalam hukum positif Indonesia. Pertama, sejauh mana hukum positif
Indonesia melindungi hak asasi manusia, sejalan dengan prinsip-prinsip
hak asasi manusia sesuai dengan apa yang tertulis di dalam instrument
HAM internasional. Kedua, sejauh mana ketentuan-ketentuan HAM
tersebut dihormati dan dijalankan.
Soal pertama di atas penting karena dalam belantara hukum positif
Indonesia masih banyak produk hukum kolonial yang tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip HAM seperti hatzaai artikelen, wetboek van straftrecht dan
1
٭Makalah disampaikan pada acara Workshop Pendidikan Kewargaan (Civic Education) oleh ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin, 24 Juli 2006, Hotel Purnama, batu, Malang.
Muladi ,Makalah, Penegakan Hak Asasi manusia Dalam Hukum Positif Di Indonesia, dalam Komisi
Nasional Hak Asasi manusia, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta , 1997, hlm. 81.
sebagainya. Selain itu di alam kemerdekaan ini juga banyak hukum positif
yang dibuat dengan sengaja atau tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM
seperti UU Parpol, Golkar, dsb. Hal ini harus disesuaikan dengan
kebijaksanaan setempat yang dalam beberapa hal lebih bersifat represif
ketimbang ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
Soal kedua tidak kalah pentingnya, karena tidak bias dibantah
bahwa bukan tidak ada hukum positif kita yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip HAM. Dalam berbagai produk perundangan hal ini
bias kita temui, tetapi sering kita menemukan bahwa hukum positif ini
seperti huruf-huruf mati, tidak berbunyi. Ada keengganan untuk
melakukan “enforcement” karena berbagai alasan politik, ekonomi dan
budaya. Artinya memiliki hukum positif yang sejalan dengan HAM
bukanlah merupakan jaminan dari terlaksananya HAM. Seperti halnya
ratifikasi instrument HAM bukanlah berarti pasti dihormatinya HAM. Lihat
apa yang terjadi di Irak, Iran, dan Uni Soviet (sebelum rontok). Bukankah
pelanggaran brutal HAM terjadi di ketiga negara tersebut tanpa sedikitpun
rasa hormat terhadap ratifikasi dari instrumen HAM ? Jadi ratifikasi
instrumen HAM, sebagaimana juga memiliki hukum positif yang sejalan
dengan prinsip-prinsip HAM, hanyalah sebuah ”yardstick”, bukan satu-
satunya ”yardstick” yang bisa dijadikan indikator mutlak tegaknya HAM di
masyarakat. 2
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia melihat, memperhatikan
dan mengikuti perkembangan perjalanan kasus pelanggaran HAM,
misalnya, kasus Tanjung Priok,kasus Semanggi, kasus TIM TIM, Trisakti,
Munir, dsb. Berjalan sangat alot dan tidak mendapatkan penyelesaian
yang memuaskan.
Persoalan pelanggaran HAM sangat terkait dengan situasi sosial dan
politik yang berkembang. Di Indonesia hal ini juga terjadi, pada era
pemerintahan SBY, tatkala desakan dan kritik tentang mahalnya harga
BBM, tariff listrik naik, telepon naik, muncul pula wacana desakan agar
Freeport di Papua dibubarkan. Wacana pembubaran Freeport ini tak lepas
dari terjadinya persoalan di sekitar tambang cash cow (sumber uang) itu
serta pada fragmen lain adanya fakta perlindungan keamanan pada
pertambangan Freeport yang bukan hanya dilakukan oleh Polri tetapi juga
oleh TNI.
Lantas apa yang sebenarnya harus diselesaikan dalam penegakan
HAM ? Apakah pelanggaran HAM semata persoalan struktural atau bahkan
2
Yamane, dalam Todung Mulya Lubis, Penegakan HAM Dalam Hukum Positif Di Indonesia, 1997.
sudah menjadi persoalan kultural bangsa Indonesia ? Apakah karena
lemahnya penegakan hukum di Indonesia ataukah karena faktor lain ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban dan solusi yang
tepat guna memberikan pencerahan dan rasa kepercayaan diri kepada
para pencari keadilan HAM.
3
Berita Kontras No. 01/I-II/2006, 2005, Tahun Hukum HAM disia-siakan : Penegakan Ham Tahun
2006 : Indonesia Mengayuh Biduk Retak, hlm. 29.
Pelaksanaan tugas Komnas HAM sendiri, baik dalam rangka
penyelidikan dan pemeriksaan menurut UU No. 39/1999 maupun
penyelidikan proyustisia tidak selalu berlangsung tanpa gangguan,
khususnya di daerah konflik. Gangguan demikian terjadi, misalnya, dalam
bentuk kehadiran sejumlah aparat keamanan di ruang pelatihan, atau
kedatangan tanpa pemberitahuan sebelumnya para petugas keamanan ke
tempat yang dipergunakan sebagai tempat guna memperoleh keterangan
atau kesaksian korban atau saksi.
Kasus pertanahan juga menghiasi potret penegakan HAM di
Indonesia. Banyak masalah pertanahan terjadinya benturan antara
tuntutan masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat yang
menyangkut hak atas tanah dengan pihak lain yang merasa mempunyai
legalitas penggunaannya karena memiliki dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk maksud itu. Kemudian terjadinya praktik diskriminasi,
khususnya yang didasarkan pada alasan asal etnis, ternyata masih
berlangsung .
Tahun 2006 dalam proyeksi Kontras, watak negara tidak berubah
dan tidak ada keinginan kuat untuk merubah lembaga-lembaga negara
yang semakin sarat dengan KKN. Bila ini benar-benar terjadi, daftar
penyelewengan bertambah dan kepercayaan masyarakat kian berkurang.
Tetap tingginya kesadaran masyarakat, membawa penegakan HAM di
tahun 2006 seperti mengayuh biduk retak karena tugas gerakan HAM
semakin pelik dan berat. Harapan penegakan HAM justru lebih terlihat di
tubuh masyarakat, bukan negara. Semakin banyak warga masyarakat
berani melaporkan penyimpangan. Muncul perlawanan di mana-mana
adalah bukti nyata masyarakat tidk lagi diam teraahdap penyimpangan
hukum dan HAM oleh negara.
Gerakan HAM terus berkembang subur, meskipun sebagian
diantaranya masih terlihat terburu-buru, tidak sabar, dan terkadang
emosional dalam memperjuangkan HAM. Sebagai kritik untuk para
pejuang/gerakan HAM, masih kurang mampu mencengkeram hukum,
meski negara kerap tersudut. Canggih, halus dan tetap kuatnya negara
menghadapi tiap tuntutan masyarakat juga diperlihatkan lewat
penggunaan hukjum sebagai alat pemukul balik (bukan melindungi)
siapapun (whistle blower) yang melibatkan diri dalam pemberantasan
kejahatan.
Di tahun 2006 ini, tantangan penegakkan semakin bertambah berat.
Kerawanan ekonomi akan menyumbang besar terjadinya kekerasan,
terutama terhadap kelompok marginal seperti petani, nelayan, buruh, dan
kaum miskin kota. Negara bisa kembali gagal melindungi warganya.
Kesadaran masyarakat bertambah, sehingga prospek penegakan HAM
tahun 2006 bukan tanpa harapan. Gerakan HAM perlu lebih berkonsolidasi
dengan seluruh lapisan masyarakat. Sebab penegakan hukum dan HAM
mustahil bila hanya berharap dari kebaikan hati para elit kuasa.
D. PENUTUP
Prospek penegakan HAM di Indonesia masih berada pada wilayah
”abu-abu (grey area). Masih membutuhkan tangan-tangan yang kuat
untuk melakukan penegakan HAM di masa mendatang. Untuk itu
penegakan HAM diperlukan kebersamaan, kesungguhan, keberanian dan
komitmen serta politicall will yang didukung dengan tingkat kesadaran
masyarakat yang tinggi. Penegakan HAM tidak hanya tergantung dari
substansi hukumnya, tetapi juga bergantung pada bagaimana struktur dan
kultur (budaya) yang ada.
Di era sekarang sudah saatnya hukum dan kebenaran ditegakkan.
Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara hukum, harus sudah
mampu mewujudkan cita-citanya. Jangan dijadikan hukum hanya sebuah
isapan jempol belaka, keadilan dan kebenaran, bak matahari yang tak
mungkin diraih.
DAFTAR BACAAN
Casssesse, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, 1994.
CESDA LP3ES, Diseminasi Hak Asasi Manusia, Perspektif Dan Aksi, LKIS Yogyakarta, 2000.
Berita Kontras No. 01/I-II/2006, Ketika Keyakinan Dipersoalkan : 2005 Tahun Hukum HAM disia-
siakan : Penegakan Ham Tahun 2006 : Indonesia Mengayuh Biduk Retak.
Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Esei-esei pilihan buku
2, diterbitkan oleh ELSAM, Jakarta, 2001.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 1997.