Anda di halaman 1dari 16

Tugas

MAKALAH

Mata Kuliah

PENDIDIKAN KEWARGA NEGARAAN

DISUSUN

OLEH :

KELOMPOK 2

1. Rianty .marlissa
2. Bili Waisapi

Kelas: A

YAYASAN FILADELFIA
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yesus yang mana atas berkat rahmat dan
karunianNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “makalah Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini saya susun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarga Negaraan

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saya
meminta maaf kepada para pembaca dan mengharapkan kritik dan saran ataupun masukan
dari para pembaca. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1          Latar  Belakang

Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah


menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan
bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan
akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan
komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan
pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan
perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-
prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi
daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-
luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya.
Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat
ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

1.2          Rumusan  Masalah

   1.         Bagaimana otonomi daerah pada saat ini?

   2.         Apa dampak dari adanya otonomi daerah?

   3.         Bagaimana dengan perkembangan otonomi yang akan datang?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1          Pengertian Otonomi Daerah

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundangundangan.

Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah


otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur


sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Landasan Penyelenggaraan Otonomi Daerah

   Terdapat beberapa alasan terhadap dilaksanakannya desentralisasi di Indonesia yang dirasa


sangat mendesak, diantaranya :
1.        Kehidupan ekonomi yang terpusat di Jakarta, sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain
dilalaikan,

2.        Pembagian kekayaan yang tidak adil dan merata. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang
melimpah tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah.

3.        Kesenjangan social antara suatu daerah dengan daerah yang lain sangat terasa.
Pembangunan fisik disuatu daerah sangat pesat sekali, namun disisi lain pembangunan di
daerah lain masih lamban bahkan terbengkalai.

Tujuan Otonomi Daerah

   Desentralisasi merupakan symbol adanya kepercayaan dari pemerintah pusat kepada


pemerintah daerah. Dalam konsep desentralisasi, peran pemerintah pusat adalah mengawasi,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.

   Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada pertentangan, sehingga
pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.

   Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri menentukan setiap
kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan mampu
membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi sumber-sumber pendapatan
dan mampu menetapkan belanja daerah secara efisien, efektif, dan wajar.

   Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :

·      Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestic kepada
pemerintah daerah. Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta bidang
keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah terbagi atas dua lingkup, yaitu daerah
kabupaten, kota, dan propinsi.

·      Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat.

·      Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki,
serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah.

·      Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta penguatan yang lebih jelas atas sumber-
sumber pendapatan daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi.
·      Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan kepada
pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan
manusia.

·      Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang merupakan suatu sistem pembiayaan
penyelenggaraan pemerintah yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dengan
daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional.

Faktor Pendukung Otonomi Daerah

   Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah merupakan desentralisasi sebagian kewenangan dari


pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan menjadi urusan rumah tangganya
sendiri. Pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan kepada factor-faktor yang dapat
menjamin daerah yang bersangkutan mampu mengurus rumah tangganya.

   Diantara factor-faktor tersebut yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah


diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta ketersediaan sumber daya alam
dan peluang ekonomi daerah tersebut.

1.    Kemampuan sumber daya manusia. Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah
sangatlah bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping

2.    perlunya aparatur yang kompeten, pembangunan daerah juga tidak mungkin dapat berjalan lancer
tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas aparatur
yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat. Dalam mensukseskan
pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauan
tinggi. Sehingga benar-benar mampu menjadi innovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang
berkualitas.

3.    Kemampuam keuangan/ekonomi. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan daerah jelas
tidak mungkin dapat ditingkatkan. Sementara itu dengan pendapatan yang memadai, kemampuan
daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan meningkat. Dengan sumber daya manusia yang
berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat
pada daerah tersebut.

2.2          Berbagai Dampak yang muncul dalam Otonomi Daerah


Di beberapa tempat memang terlihat berbagai keuntungan yang diperoleh dengan
diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai contoh, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah,
masyarakat lokal dan LSM yang mendukung mereka telah berkerja sama dengan dewan setempat
untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang
berkelanjutan. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM
setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan
kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.

Sedangkan di wilayah lainnya, otonomi daerah malahan semakin memperburuk keadaan.


Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah
mereka –suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa
terhadap tanah. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.

Di Kalimantan Timur, bupati dikabarkan telah mengeluarkan ratusan Hak/Izin/HPH konsensi


penebangan kayu bagi 100 perusahaan skala kecil senilai Rp. 50 juta dan Rp. 100 juta. Para raja kayu
dengan HPH yang lebih besar dan sudah habis sekarang mulai memanipulasi dan memanfaatkan
penduduk lokal untuk membentuk koperasi guna mendapatkan HPH penebangan kayu. Koperasi-
koperasi ini berperan melanjutkan operasi penebangan kayu para raja kayu dan memungkinkan
mereka untuk

tetap menjalankan pengolahan kayu. Barangkali masyarakat lokal mendapatkan keuntungan


jangka pendek dari pembayaran yang mereka terima. Tetapi dalam jangka panjang mereka dirugikan
dengan rusaknya sumber daya keamanan sosial mereka. Laporan serupa tentang masalah ini muncul
juga dari berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Suatu lokakarya di Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengidentifikasikan sedikitnya 250


konflik/sengketa di kabupaten itu yang muncul akibat kegagalan untuk mendapatkan pengakuan hak
tanah ulayat, klaim tanah yang tumpang tindih, klaim yang saling bertentangan antara pemilik ijin
pengolahan hutan yang lama dan baru serta konflik-konflik antara pemilik konsesi dan masyarakat-
masyarakat lokal. Para pembicara di lokakarya tersebut mengatakan bahwa situasi yang memburuk di
hutan memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi lokal karena penduduk lokal didorong ke dalam
gaya hidup konsumtif. Bupati setempat, Rama Asia, mendapat serangan gencar sehubungan dengan
dikeluarkannya lisensi-lisensi/hak usaha skala kecil –di distrik itu saja sudah terdapat 622 lisensi—
dan menyalahkan kerusakan hutan terhadap para pemegang konsesi penebangan kayu yang lebih
besar yang berasal dari Jakarta.

Kementrian kehutanan sekarang ini dilaporkan tengah dalam proses membatalkan kembali
suatu ketetapan yang dikeluarkan pada tahun lalu, yang memberikan pengalihan tanggungjawab
dalam menangani konsesi-konsesi hutan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah. Larangan
sebelumnya terhadap kepala daerah untuk mengeluarkan HPH/HGU/lisensi-lisensi skala kecil
diabaikan begitu saja oleh para pejabat distrik.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah dikembalikan pada


jalur semula –yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk memperkuat demokrasi lokal. Selain itu,
mereka juga menyerukan agar desakan untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan
dalam arus cari untung dari sumber daya alam. Salah satu aspek yang bisa jadi menjadi masalah di
kemudian hari adalah keuangan. Prinsip money follow function tampaknya belum sepenuhnya
tercermin pada sistem perundang-undanganyang.ada.
   

            UU No 25/1999 memang menetapkan sumber-sumber keuangan daerah. Namun, secara


umum, daerah belum memiliki keleluasaan untuk menggali sendiri sumber-sumber keuangannya.
Sejumlah ketentuan masih sangat mengikat  mereka, yang kalau tidak segera dilonggarkan,
berpotensi menjadi ganjalan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
   
            Masalah lain, UU No 25/1999 juga memperkenalkan sistem bagi hasil atas SDA. Bila
pemerintah tidak segera menetapkan secara jelas dasar pembagian hasil tersebut, sangat mungkin
terjadi kecurigaan besar dari daerah atas kejujuran pusat dalam membagi.
   
                                                                      

Dan, di luar semua masalah itu, kemampuan keuangan daerah yang sangat beragam akan
memungkinkan terjadinya ketimpangan horizontal  antardaerah. Persoalan ini bias menimbulkan
macam-macam masalah ikutan, baik di daerah kaya maupun miskin.Beberapa gagasan dalam
mewujudkan masa depan ekonomi politik yang lebih baik dan dinamis di daerah antara lain:

Pertama, sistem rekrutmen kepala daerah melalui Pilkadal hendaknya dipandang sebagai
“pintu” dalam memajukan ekonomi daerah. Sehingga berbagai kendala dalam sistem rekrutasi yang
menghalangi figur berkualitas dan berwawasan ekonomi daerah, nasional dan global tidak terhambat
oleh adanya aturan-aturan yang bernuansa kepentingan politis dan jangka pendek.

Kedua, diperlukan kesamaan visi, misi, persepsi dan paradigma dalam pembangunan daerah ke
depan, antara pemerintah pusat dan daerah serta seluruh elemen masyarakat. Momentum
dilahirkannya DPD RI, Pilkadal, dan berbagai produk konstitusi era reformasi lainnya, merupakan
“energi sosial” yang besar dalam membangun masa depan ekonomi politik di daerah secara lebih
cerah, prospektif dan memberi harapan.

Ketiga, diperlukan “blue-print” perencanaan pembangunan yang terencana, matang dan


komprehensif antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sinkronisasi tidak hanya terletak pada
berbagai produk legislasi, tetapi juga pada tataran manajemen operasionalisasi pembangunan;
menyangkut: prioritas pemilihan sektor ekonomi dan pembangunan yang berbasis keunggulan daerah,
dan prospektif terhadap peningkatan daya saing nasional.

Keempat, masa depan ekonomi politik di daerah amat ditentukan oleh desain awal dan
komitmen awal bersama kita terhadap pembangunan daerah. Diperlukan konsistensi dan kontinyuitas
pola pembangunan ekonomi di daerah. Seluruh instrumen dan infrastruktur politik di daerah harus
diarahkan dan dikerahkan ke dalam upaya revitalisasi ekonomi di daerah.

2.3          Otonomi Daerah Saat Ini

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi
daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan
otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di
bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah.
sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam
wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat
dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :

 Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,


keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
 Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
 Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
 Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
 Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
 Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
 Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
 Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah,
tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan
mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya.
Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat
dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan
dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.

Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah
berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai
permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi.
Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan
pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi
Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan
memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.
2.4          Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang

Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999


merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini.
Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah
upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi
aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat
dan Daerah.

Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah


dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita
gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah
hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan
Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak asasi manusia, demokrasi, dan
keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-
nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur
Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa
Indonesia .

Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu
wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi
Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan
menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong
tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa.

Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak
terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.

Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan
perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk
meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah
melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku
ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.

Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap


keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi
lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu
nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar
dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa
dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana
pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.

Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan


kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam
kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan
kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat
akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia .

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal


budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang
sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi
Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.

Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala
dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek
Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya
yaitu :

·         Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga
perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi

·         kebijakan Otonomi Daerah.

·         Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi


Daerah.

·         Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan
cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah
mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan
kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Ada beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut undang-undang


ini. Pertama, wilayah negara dibagi ke dalam daerah yang bersifat otonom dan ke dalam wilayah
administratif. Pada prakteknya, tidak ada daerah yang benar-benar otonom. Semua daerah pada era ini
hanyalah wilayah administratif yang pemerintahan daerahnya hanyalah melaksanakan kebijakan
pusat. Pemerintahan di daerah bersikap menunggu petunjuk, hampir tidak ada tindakan yang
merupakan inisiatif dan hasil kreativitas daerah. Kedua, dipakai sistem hirarki pada setiap tingkatan
pemerintahan. Sistem hirarki ini riskan karena dengan kekuasaan yang lebih besar di tingkat
pemerintahan lebih tinggi, itu seringkali disalahgunakan untuk memaksakan kehendak terhadap
pemerintahan di bawahnya. Pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki kekuasaan lebih besar,
cenderung akan memperlakukan daerah dibawahnya sebagai sarana untuk pencapaian tujuan sendiri.
Sedangkan daerah di bawahnya, yang tentu saja lebih lemah tersebut, harus mengabdi kepada daerah
di atasnya. Ketiga, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah. Dengan hubungan seperti ini,
DPRD berada dibawah kepala daerah sehingga DPRD tidak berperan sebagai wakil rakyat daerah,
melainkan hanya pembantu kepala daerah. Keempat, Mendagri terlalu mencampuri urusan daerah.
Kelima, kedudukan kepala wilayah lebih kuat ketimbang kepala daerah. Hal ini menjadikan
cengkraman pusat terhadap daerah sedemikian kuat sehingga daerah tidak memiliki kebebasan untuk
mengatur rumahtangga sendiri. Terakhir, ketergantungan daerah di sektor keuangan. Akibatnya,
hampir semua proyek pembangunan di daerah ditentukan oleh pusat, sedangkan daerah hanya
pelaksana.

BAB III

PENUTUP

Ø  Kesimpulan

Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi menciptakan


keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walapun demikian berbagai aspek dinamik
dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut selalu menimbulkan isu. Tanggap Pemerintah dan DPR
mengenai isu tersebut tertuang dalam perubahan berbagai UU tentang Pemerintahan Daerah.

Sekalipun setiap perubahan UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya merupakan reformasi


pemerintahan daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran substansi
perubahan yang dikehendaki oleh UU Pemerintahan Daerah yang dicanangkan. Perubahan yang
dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tergolong perubahan yang
radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan perubahan yang gradual (gradual
change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar
daripada serangkaian reformasi yang pemah terjadi sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi
pemerintahan daerah di berbagai negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di
Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong big
bang approach.

Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi.
Desentralisasi bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam TAP MPR No.
IV/WR/2000 ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan
pelayanan publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara
Pemerintah dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin
peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ruang yang
lebih luas bagi kemandirian Daerah. Tujuan desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi
reformasi pemerintahan daerah yang digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut. Pada
hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu.
Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah kepada
masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan
otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek otonomi perlu
dicanangkan di masa depan untuk meluruskan penyelenggaraan otonomi daerah. Telah lama Hatta
(1957) menegaskan bahwa otonomisasi suatu masyarakat oleh Pemerintah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri dalam pembentukan
dan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa
sendiri tercapailah apa yang dimaksud dengan

demokrasi yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Dengan visi yang sama,
Kartohadikusumo (1955) mengatakan bahwa pada hakekatnya otonomi merupakan usaha untuk
mendapatkan jawaban kembali semangat dan kekuatan rakyat guna membangun masa depan mereka
sendiri yang luhur.

Guna tercapainya kesejahteraan masyarakat diperlukan kestabilan penyelenggaraan pemerintah


daerah. Visi mensejahterakan masyarakat harus dibangun dan dijadikan acuan oleh kedua lembaga
tersebut. Menurut Hatta (1957) demokrasi tidak saja mendidik orang bertanggungjawab mengenai
keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menanam perhatian terhadap usaha-usaha
publik. Setiap orang harus bersedia mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk membela
kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan jasa. Kewajiban membela kepentingan bersama,
keselamatan dan kesejahteraan umum di dalam lingkungan hidup yang besar dan kecil. Pemberian
layanan dan barang public perlu melibatkan sektor swasta dan komunitas dengan tetap menjunjung
tinggi berbagai prinsip: transparansi, akuntabilitas, efisensi, keadilan dan penegakan hukum.

Untuk mengetahui prospek ke depan dari Otonomi Daerah dilakukan dengan menggunakan
berbagai pendekatan. Pendekatan yang digunakan disini adalah :

ü  aspek ideologi,

ü  politik,

ü  sosial budaya, dan

ü  pertahanan keamanan.

Ø  Saran

Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik bagi masa mendatang, diperlukan langkah-
langkah, tahapan-tahapan dengan merevieuw terhadap pemerintahan yang lalu, sebagai tolak ukur
dalam keberhasilan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat
dari hasil-hasil yang telah diciptakan/diterima oleh masyarakat. Seperti bagaimana pelayanan
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan berupa aspek ideologi, politik, social budaya,
dan pertahanan keamanan, diharapkan dapat terjalin dan tercipta suatu hubungan yang baik antara
pemerintah dengan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat di masa yang akan dating dapat
lebih terjamin kehidupannya

DAFTAR PUSTAKA

http://kk-blog-07.blogspot.com/2011/02/makalah-hubungan-pemerintah-pusat-dan.html

Buku Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang . No. 32 Tahun 2004

Anda mungkin juga menyukai