Anda di halaman 1dari 16

Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi

penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000 yang
sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan dengan
bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari masyarakat tentang
perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut disebabkan bahwa pemerintahan
yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan. Tuntutan tersebut kemudian
ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.

Soal 1  (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi keberhasilan
otonomi daerah di Indonesia!

(Petunjuk: silahkan baca dan pahami terlebih dahulu tentang otonomi daerah yang ada dalam
BMP MKDU4111

Jawab :

Otonomi daerah adalah sebuah mekanisme yang memberikan kewenangan kepada masyarakat di
daerah untuk berpartisipasi secara luas dan mengekspresikan diri dalam bentuk kebijakan-
kebijakan lokal tanpa tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat. Sedangkan daerah otonom
adalah daerah yang diberi wewenang atau kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan
mengurus urusan-urusan tertentu

Beberapa tujuan dari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

 Bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada para masyarakat.

 Bertujuan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang didasari oleh demokrasi.

 Bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial kepada seluruh lapisan masyarakat.

 Bertujuan untuk mewujudkan pemerataan daerah.

 Bertujuan untuk memelihara hubungan yang serasi dan baik. Hubungan yang dimaksud
adalah antara pusat dan daerah. Selain itu, menjalin hubungan baik antar daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
 Bertujuan untuk mendorong upaya pemberdayaan masyarakat.

 Bertujuan untuk menumbuhkan prakarsa sekaligus kreativitas. Serta meningkatkan peran


masyarakat dan mengembangkan peran juga fungsi dari pihak DPRD.

Faktor Pendukung Otonomi Daerah 

Pelaksanaan otonomi daerah membutuhkan faktor yang mendukung terselenggaranya otonomi


daerah, yaitu kemampuan sumber daya manusia yang ada dan ketersediaan sumber daya alam
dan peluang ekonomi daerah tersebut. Adapun penjelasan dari faktor pendukung otonomi daerah
adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan sumber daya manusia 

Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung pada sumber
daya manusianya. Di samping perlunya aparatur yang kompeten, pembangunan daerah juga tidak
mungkin dapat berjalan lancar tanpa adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
Untuk itu tidak hanya kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi
masyarakat. Dalam menyukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan
tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauan tinggi. Sehingga benar benar mampu menjadi inovator
yang mampu menciptakan tenaga kerja yang berkualitas.

b. Kemampuan keuangan/ekonomi 

Tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak mungkin dapat
ditingkatkan. Sementara itu dengan pendapatan yang memadai, kemampuan daerah untuk
menyelenggarakan otonomi akan meningkat. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas,
daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat pada
daerah tersebut. Pengembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila dikelola
dengan secara optimal dapat menunjang pembangunan daerah dan mewujudkan otonomi.
Kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri akan terus meningkat.
c. kepemimpinan kepala daerah

Efektivitas kepemimpinan kepala daerah merupakan ukuran keberhasilan pencapaian suatu


tujuan atau apa yang dicapai dibandingkan dengan apa yang ingin dicapai kesenjangannya tidak
terlalu jauh. Dengan demikian kepemimpinan yang efektif adalah sistem kepemimpinan yang
dilakukan oleh seorang pemimpin dapat menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan. Oleh karena itu pemimpin yang efektif harus memiliki kemampuan
yang antara lain menyangkut kompotensi teknis dan profesional, efektivitas kepemimpinan
dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang merupakan pola perilaku yang relatif tetap yang
memberi karakteristik pada seorang pemimpin serta sifat-sifat dan karakteristik personal.

Salah satu kewajiban Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adalah
pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian di atas agar Kepala Daerah dalam pengambilan
keputusan berkualitas maka kompetensi teknis dan profesionalisme harus dimiliki oleh setiap
kepala daerah.

Solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi daerah yaitu:

• Adanya sosialiasai bagi masyarakat daerah mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang
dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah  

• Peningkatakan kualitas SDM daerah  

• Mengurangi sistem desentaralisasi pemerintah pusat  

• Pemerataan kebijakan dan pengelolan potensi SDA maupunSDM keseluruh dasrah di Indonesia

• Mengulangi pemfokusan ekonomi pada pusat pemerintahan  

• Meningkatkan pelayanan masyarakat baik dilakukan oleh pemerintah daerah maupun


pemerintah pusat  

• Pemerataan ekonomi dan pelayanan bagi seluruh daerah di Indonesia

• Memberikan kebijakan sebebasnya oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
mengelola dan melaksanakan otonomi daerah.  

• Mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat


Soal 2  (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan otonomi
daerah di Indonesia!

(Petunjuk: silahkan baca dan pahami terlebih dahulu tentang pelaksanaan otonomi yang ada di
BMP MKDU4111)

Jawab :

Adapun beberapa faktor hambatan dalam melaksanakan otonomi daerah di Indonesia adalah


sebagai berikut:

1. Adanya Ketimpangan Sumber Daya Alam

Salah satu faktor keberhasilan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah
dalam memenuhi kebutuhan keuangan secara mandiri. 

Adapun, salah satu contoh ‘penghasilan’ yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber keuangan
utama suatu daerah adalah hasil pemanfaatan dari sumber daya alam. 

Sebagaimana telah masyarakat ketahui bersama bahwa setiap daerah memiliki kekayaan alam
yang berbeda sehingga jumlah pendapatan tiap-tiap daerah pun juga ikut berbeda-beda.  

Bahkan beberapa daerah otonom juga masih mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah
pusat untuk memenuhi hajat hidup masyarakat setempat.

Dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum tentu bisa
mengatasi masalah ketimpangan ekonomi yang diderita oleh penduduk Indonesia. 

2. Adanya Ketimpangan Kualitas Sumber Daya Manusia

Tidak semua daerah di Indonesia memiliki kualitas SDM yang sama. Di satu sisi, ada daerah
yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang berkualitas, sedangkan di sisi lain, ada pula
daerah di Indonesia yang mengalami keterbelakangan pola pikir dan memiliki kualitas SDM
yang terbilang minim.
Selama persebaran kualitas SDM nya belum merata, maka kualitas pembangunan daerah juga
akan tetap mengalami ketimpangan dan dapat menghambat kelancaran penyelenggaraan otonomi
daerah.

Tak jarang, beberapa daerah otonom juga kerap membutuhkan kontribusi SDM dari pemerintah
pusat maupun dari daerah otonom tetangga yang lebih maju dari daerah otonom mereka sendiri.

3. Masih Adanya Kebiasaan Sentralisasi 

Semenjak adanya sistem otonomi daerah, Indonesia telah menjadi sebuah negara kesatuan yang
menganut nilai desentralisasi. Oleh karena itu, kelancaran penyelenggaraan otonomi daerah akan
menjadi urusan mutlak daerah otonom tanpa perlu campur tangan dari pemerintah pusat.

Namun sayangnya, pemerintah pusat masih usil mencampuri urusan rumah tangga suatu daerah
sehingga penduduk di daerah tersebut akan cenderung kurang mandiri, kreatif, dan inovatif. 

Adapun contoh kebiasaan sentralisasi yang lain adalah, adanya sebuah ‘konflik’ antara
pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi suatu masalah atau kewenangan tertentu.

Selama pemerintah pusat masih mencampuri urusan pribadi pemerintah daerah, maka standar
keberhasilan otonomi daerah juga akan bermasalah. 

4. Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendekiawan,
dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai
prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-
sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di
mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi
kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan
persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai
akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi
sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.
Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi
daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi
diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai
otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik
luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian
pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga;
perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan
sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.

Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu


mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus
lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan
otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh
Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).

5. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.

Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya
“otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas
birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini
akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain,
paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat
tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi”
juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara).
Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons
terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar
otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem
politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks
otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu
sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan


“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi
(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia
dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan
semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah
masih sangat lemah.

Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari
pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah
picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah
ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah
sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.
 

6. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

 Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang dibutuhkan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.

Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi,
prosedur, dan aturan yang ketat).

Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi,
prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah
daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh
pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan
pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta
kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya
masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma
birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan
reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama,
dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat
Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).

7. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif
sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung
melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal.
Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan
fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan,
semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era
reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat.
Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol
terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak
leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru
dipercaya mewakili kepentingannya.

8. KESALAHAN STRATEGI

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak
sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-
kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini,
yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.

Soal 3  (skor 25)

Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan UU No.
22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih banyak hal
yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi kebijakan
otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya kewenangan
dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku eksekutif dan
semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal pengambilan
keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah. Namun,
keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-raja kecil di
daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga menyebabkan
anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan pembangunan menjadi
terhambat.

Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk
menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

(Petunjuk: silahkan baca dan pahami terlebih dahulu tentang hambatan otonomi daerah yang
ada di dalam BMP MKDU4111)

Jawab:

Peran masyarakat dan landasan hukum nya dalam otonomi daerah sangat berperan penting
karena sangat menentukan keberhasilan dalam upaya untuk mencapai tujuan bersamadi suatu
sistem pemerintahan khususnya suatu daerah, sebab masyarakat adalah pemegangkedaulatan
tertinggi di Indonesia karena indonesia merupakan negara yang
demokrasi.Dalam pelaksanaan otonomi daerah partisipasi masyarakat merupakan sebuahtuntutan
yang harus diwujudkan demi kepentingan masyarakat, dengan adanya kebijakanmengenai
otonomi daerah akan menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur jalannyasuatu daerah
tetapi tetap berpedoman pada pemerintah pusat. Tentu saja kemandirian tersebuttidak akan
terwujud, tanpa peran serta masyarakat. Oleh karena suara masyarakatlah yangmenentukan arah
berjalannya negara ini.Peran masyarakat dapat dilihat dari aspek apa saja melihat ruang lingkup
suatu daerah
yang berbagai macam seperti Peran Masyarakat dalam Pembentukan Perda, PeranMasyarakat
dalam Peningkatan Mutu Sekolah/Pendidikan, Peran Masyarakat dalam PenataanRuangan, Peran
Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Melihat pentingnya peran masyarakat dalam keberhasilan otonomi daerah maka perlunya Oleh k
arena itu, diperlukan kerja sama yang baik antara warga negara dan pemerintah. Kerja sama itu d
apat diwujudkan dalam tahapan-tahapan pembangunan diwilayah daerah masing-
masing. Tahapan- tahapan itu, meliputi perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan menikmati
hasil- hasil pembangunan.

Kita sebagai masyarakat sudah seharusnya untuk turut mengawal suksesnya pelaksanaan
otonomi daerah dengan menjadi kontrol sosial atas kebijakan dan program pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah.

Lantas apa saja peran serta masyarakat dalam otonomi daerah? Untuk mengetahui lebih jelasnya,
simak ulasan berikut.

1. Peran Sebagai Kebijaksanaan

Peran serta sebagai kebijaksanaan dilakukan bertolak dari pemikiran bahwa publik yang terkena
dampak memiliki hak untuk memberi masukan dan pendapat. Informasi yang berupa pendapat,
aspirasi, dan concern dari publik akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

2. Peran Sebagai Komunikasi

Peran partisipasi masyarakat sebagai komunikasi dilakukan berdasarkan anggapan bahwa


pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menampung pendapat, aspirasi, pandangan, dan
concern masyarakat.

3. Peran Serta Sebagai Terapi Sosial

Peran serta sebagai terapi sosial dilakukan untuk menyembuhkan penyakit sosial yang terjadi di
masyarakat, seperti rasa keterasingan (alienation) powerlessness, rasa kurang percaya diri
(minder), dan lain sebagainya.

4. Peran Serta Pembangunan

Peran serta masyarakat dalam pembangunan menjadi hal penting ketika diletakkan atas dasar
keyakinan bahwa masyarakat yang paling tahu apa yang dibutuhkan dan masyarakat juga yang
paling tahu tentang permasalahan yang dihadapi.

5. Partisipasi Masyarakat

Untuk menerapkan otonomi daerah seperti yang diamanatkan UU Pemda harus dimulai dengan
memilih kepala daerah yang kapabel dan yang berkualitas, hal itu harus dimulai dari partisipasi
rakyat sebagai aspek penting demokrasi yang mempunyai kekuasan tertinggi.
Dengan asumsi rakyat dianggap paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah diri
sendiri. Makanya, rakyat dalam mengunakan haknya harus berhati-hati, karena semua keputusan
politik dan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi
dirinya.

Selama ini yang terjadi partisipasi rakyat hanya dimaknai sebagai formalitas, partisipasi rakyat
hanya dimaknai memilih calon tertentu tanpa banyak yang tahu rekam jejaknya, misi-visi. Pada
sisi lain, banyak calon-calon kepala daerah menggunakan politik uang, primodialisme yang
sangat mempengaruhi pilihannya.

Dengan begitu, secara sadar kita juga menentukan atau memilih kepala daerah yang tidak layak
untuk menjadi kepala daerah. Partisipasi di sini yang penulis maksud adalah keterlibatan yang
punya hak suara dalam memberikan pilihan harus cermat.

Partisipasi rakyat harus dimaksudkan menjadi pemilih cerdas, pemilih rasional, dan memilih
calon-calon yang berintegritas dan yang berkualitas, punya misi-visi yang lebih penting memiliki
rekam jejak bagus.

Selain itu, pengawalan terhadap kepala daerah terpilih menjadi penting, agar setiap kebijakan
yang di keluarkan pro terhadap pada rakyat. Proses pengawasan ini menjadi urgen agar kepala
daerah yang terpilih melaksanakan kegiatan pemerintahan yang perencanaan dan lebih lagi
sesuai dengan regulasi yang ada.

Secara teori, mungkin dikatakan cukup para wakil rakyat yang mengevaluasi kinerja kepala
daerah. Akan tetapi dalam praktek DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota masih kurang
maksimal, dengan kata lain wakil rakyat kita menjadi mandul.

Pada posisi ini kita tak bisa hanya berharap pada wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Rakyat
harus turut aktif melakukan pengawalan misalnya melakukan demonstrasi, melakukan
pengaduan publik lewat media massa.

Dengan begitu, secara tidak langsung kita sebagai masyarakat akan ikut andil dan menuntut
kepala daerah untuk mampu membangun daerah otonomi yang sesuai dengan keinginan
tujuannya, yaitu kesejahteraan sosial.
Soal 4  (skor 25)

Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang penting
yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat diberikan
kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah terhadap
kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan apakah akan
memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.

Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!

(Petunjuk: silahkan baca dan pahami terlbih dahulu tentang good governance yang ada di dalam
BMP MKDU4111!)

Jawab:

 Praktek Good Governance merupakan penggunaan kewenangan ekonomi, administrasi, dan


politik demi mengelola kepentingan negara di semua tingkat pemerintahan. Semua mekanisme,
lembaga-lembaga dan proses dimana warga masyarakat mengutarakan kepentingan dengan
menggunakan hak hukum, menjembatani perbedaan, dan memenuhi kewajiban.

Salah satu yang menjadi persoalan yang merebak adalah good governance agenda reformasi di
Indonesia. Dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik perlu adanya penataan diri dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah.

Praktek Good Governance Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik tersebut maka perlu
melaksanakan prinsip-prinsip good governance yang dianut Indonesia yakni :

Partisipasi

Konsep partisipasi adalah konsep yang berhubungan langsung dengan kedudukan rakyat sebagai
pemilik kedaulatan tertinggi. Institusi negara dipahami sebagai institusi yang dimiliki oleh semua
masyarakat atau warga negara. Karena mereka memiliki hak berpartisipasi dalam pemerintahan.
Konsep partisipasi tidak berhenti pada sejauh mana partisipasi dalam pemerintahan saja. Namun
sejauh mana pemerintah membuka jalur partisipasi tersebut. Konepnya, semakin terbuka lebar
kesempatan berpartisipasi maka semakin baik tata kelola pemerintahan yang dijalankan setiap
daerah.

Transparansi Kelola

Pada dasarnya Praktek Good Governance yang baik harus mampu menjamin transparansi semua
bidang tentang pengelolaan informasi. Terutama transparansi penyusunan rencana anggaran,
pemilihan pejabat, penggunaan anggaran, serta proses pemilihan umum. Prinsip transparansi ini
adalah prinsip demokrasi. Tata kelola pemerintah harus dapat diketahui semua warga negara.
Prinsip demokrasi didasarkan pada asumsi bahwa negara merupakan milik rakyat.

Taat Hukum

Kedudukan yang paling penting adalah hukum. Hukum merupakan manifestasi dari konsensus
dari warga negara. Hukum haruslah berjalan adil dan berjalan tanpa diskriminasi untuk
mewujudkan harkat dan martabat suatu negara. Hukum yang adil maka warga negara merasakan
jaminan hukum yang jelas. Hal ini menjadi hal utama karena penghormatan warga negara pada
penegakan hukum menjadi penentu penghormatan warga itu sendiri.

Responsif

Begitu juga dengan tata kelola pemerintahan yang baik sangat ditentukan dari kecepatan respon
pemerintah di berbagai macam persoalan di masyarakat. Responsif terhadap permasalahan baik
ringan maupun berat sangatlah penting. Hal ini menjadi poin penting pengembangan tata kelola
pemerintahan yang baik. Semakin cepat pemerintah dalam menangani permasalahan maka
semakin baik tata kelola pemerintahan tersebut.

Peran mahasiswa dalam mengawal transparansi dan tata kelola pemerintahan sangatlah penting
dalam memahami jalannya roda pemerintahan. Mahasiswa memiliki peran penting dalam
partisipasi publik dan membangun pemerintahan menjadi lebih baik lagi. Mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, peran perguruan tinggi sangat strategis
mendukung upaya penataan dan kelola pemerintahan. Dengan melakukan perubahan yakni
mengkonstruksi pikiran positif dalam rangka praktek good governance.

Kepribadian kritis dan bertanggung jawab

Mahasiswa sebagai orang yang terpelajar harus peka terhadap setiap kebijakan dan tata kelola
pemerintahan, jika model pemerintahan yang berlawanan dengan hukum maka mahasiswa harus
berani untuk menyuarakan kebenaran secara kritis dan bertanggung jawab.

Selain itu mahasiswa harus menguasai berbagai bidang keilmuan baik tentang politik, ekonomi,
pengelolaan pendidikan dll sehingga dengan bekal keilmuan tersebut jika sudah siap mahasiswa
bisa ikut andil dalam mengisi posisi pemerintahan dengan target menerapkan kepemimpinan
good government terlebih dahulu, kemudian jika mahasiswa sudah menempatkan posisi
kepemimpinan maka ia harus bisa merombak pemerintahan hingga ke unsur yang paling kecil
dalam pemerintahan tersebut atau dikenal dengan good governance.

Melakukan perombakan sistem pemerintahan, baik menginginkan good government maupun


good governance akan lebih mudah jika dimulai dari kepemimpinan yang paling atas dari pada
dilakukan dari bawah yang tetap tidak akan berdaya kembali saat pemimpinnya menggunakan
model kepemimpinan yang tidak sesuai dengan tujuan demokrasi.

Sumber:

BMP MKDU4111

https://www.kompas.com/skola/read/2022/06/06/180000669/faktor-faktor-yang-memengaruhi-
otonomi-daerah

https://konsultasiskripsi.com/2021/07/02/faktor-pendukung-otonomi-daerah-skripsi-dan-tesis/

https://www.coursehero.com/file/122422256/TUGAS-PPKN-NO-4-PERAN-
MAHASISWAdocx/

https://www.antapedia.com/2022/06/lakukanlah-telaah-terkait-peran.html
https://www.kompasiana.com/perengki73638/5e1058c9d541df294e344ad3/peran-masyarakat-
dalam-mewujudkan-good-governance

http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/
sylggb.xhtml

https://brainly.co.id/tugas/46887204

https://www.itdakwah.com/2021/12/peran-mahasiswa-dalam-pelaksanaan-praktek-good-
governace.html#:~:text=Peran%20Mahasiswa%20dalam%20Pelaksanaan%20Praktek%20Good
%20Governance%20By,demi%20mengelola%20kepentingan%20negara%20di%20semua
%20tingkat%20pemerintahan.

https://edukasi.okezone.com/read/2022/03/21/65/2565049/4-peran-masyarakat-dalam-otonomi-
daerah-yuk-diaplikasikan

https://jendelahukum.com/partisipasi-masyarakat-dalam-otonomi-daerah/

Anda mungkin juga menyukai