Anda di halaman 1dari 13

Zahara Syifa Mansiz

044864465

Tugas 3 PKN

Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi
penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari
17.000 yang sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang
otonomi daerah. Bersamaan dengan bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang
memunculkan tuntutan dari masyarakat tentang perlunya managemen pemerintahan
yang baru. Hal tersebut disebabkan bahwa pemerintahan yang sentralistik pada
kenyataannya masih banyak kekurangan. untutan tersebut kemudian ditindak lanjuti
dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.

Soal 1 (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi


keberhasilan otonomi daerah di Indonesia!

Otonomi daerah adalah sebuah sistem atau kewenangan yang dimiliki daerah. Otonomi
daerah ini bertujuan untuk mengembangkan daerah serta isi di dalam daerah tersebut. Di
negara Indonesia ini, otonomi daerah sudah diterapkan. Tujuan dari penerapannya adalah
untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah ini
membuat pemerintah daerah dapat melakukan pengembangan pada daerah-daerahnya
tersebut. Secara etimologi, istilah otonomi berasal dari bahasa Latin. Kata otonomi berasal
dari kata “autos” yang memiliki arti “sendiri”, kata kedua berasal dari kata “nomos” yang
memiliki arti “Aturan”. Berdasarkan etimologi otonomi memiliki arti pengaturan sendiri,
memerintah sendiri atau mengatur. Otonomi daerah dan daerah otonom adalah dua hal yang
berbeda. Dalam makna sempit, otonomi memiliki arti mandiri. Dalam makna luas memiliki
arti berdaya. Maka dari itu, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah. Kemandirian
tersebut berkaitan dengan pembuatan dan keputusan mengenai hal-hal penting yang ada di
daerahnya sendiri.
Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa otonomi daerah adalah sebuah kewenangan otonomi
daerah. Kewenangan tersebut untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat
setempatnya. Hal ini didasari oleh pelaksanaannya sendiri, dan berdasarkan aspirasi dari
masyarakat. Otonomi daerah berjalan sesuai dengan peraturan undang-undang. Sedangkan
arti dari daerah otonomi adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan tersebut
memiliki batas daerah tertentu. Daerah tersebut memiliki wewenang untuk mengatur
daerahnya. Selain itu, terdapat pula wewenang untuk mengurus kepentingan masyarakatnya.
Hal ini juga didasari oleh aspirasi masyarakat di dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ada salah satu hal yang menjadi aspek penting dari otonomi daerah. Hal tersebut
adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini akan membuat mereka memiliki hak untuk
berpartisipasi Seperti dalam proses perencanaan, proses pelaksanaan, proses penggerakan dan
proses pengawasan. Proses-proses tersebut akan terjadi dalam pengelolaan pemerintah
daerah. Hal tersebut digunakan dalam penggunaan sumber daya pengelola serta memberi
pelayanan yang prima kepada public atau masyarakat. Menurut Undang-Undang No 32
Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Pemahaman Konseptual: Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung pada


pemahaman yang baik tentang konsep otonomi daerah oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemahaman yang jelas tentang batasan dan
tanggung jawab masing-masing pihak dalam sistem otonomi daerah penting untuk
memastikan pelaksanaannya yang efektif.
 Ketersediaan Sumber Daya: Keberhasilan otonomi daerah juga dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber daya manusia, keuangan, dan infrastruktur yang memadai di
tingkat daerah. Pemerintah daerah harus memiliki kapasitas administrasi yang cukup
untuk mengelola otonomi daerah secara efektif. Selain itu, ketersediaan anggaran
yang memadai dan infrastruktur yang memadai akan mendukung pelaksanaan
kebijakan dan program di tingkat daerah.
 Peran Pemerintah Pusat: Pemerintah pusat memainkan peran penting dalam
keberhasilan otonomi daerah. Pemerintah pusat harus memberikan kebijakan yang
mendukung dan mengakomodasi kepentingan daerah, serta memberikan dukungan
teknis dan keuangan yang diperlukan. Selain itu, koordinasi yang efektif antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diperlukan untuk mencapai tujuan otonomi
daerah.
 Partisipasi Masyarakat: Partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan di
tingkat daerah merupakan faktor penting dalam keberhasilan otonomi daerah.
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
kebijakan daerah dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintahan
daerah.
 Hambatan Administratif: Keberhasilan otonomi daerah dapat terhambat oleh berbagai
kendala administratif, seperti birokrasi yang kompleks, regulasi yang tidak jelas, dan
rendahnya kapasitas institusi di tingkat daerah. Reformasi administratif yang lebih
lanjut diperlukan untuk mengatasi hambatan-hambatan ini.
 Komunikasi dan Koordinasi: Komunikasi dan koordinasi yang efektif antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pemerintah daerah dengan
stakeholder lainnya, penting untuk keberhasilan otonomi daerah. Komunikasi yang
baik akan memfasilitasi pertukaran informasi, pemahaman yang saling mendukung,
dan sinergi antara berbagai pihak yang terlibat.

 Kesetaraan Pembangunan: Keberhasilan otonomi daerah juga dipengaruhi oleh upaya


pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Ketimpangan pembangunan
antara daerah yang satu dengan yang lain dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan
otonomi daerah.Diperlukan komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah
untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan secara adil dan merata di semua
wilayah.

 Pengawasan dan Akuntabilitas: Pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan


otonomi daerah merupakan faktor penting dalam keberhasilannya. Diperlukan
mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan penyelewengan di tingkat daerah. Selain itu,
pemerintah daerah juga perlu memastikan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran
dan pelaksanaan program-program pemerintah di daerah.
 Perubahan Kebijakan: Keberhasilan otonomi daerah juga dipengaruhi oleh
fleksibilitas dan keterbukaan dalam melakukan perubahan kebijakan. Perubahan
kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang muncul
harus dapat dilakukan secara responsif dan adaptif. Evaluasi kebijakan yang terus-
menerus juga diperlukan untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas otonomi
daerah.

 Konflik dan Identitas Daerah: Konflik antar-daerah dan masalah identitas daerah juga
dapat mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah. Konflik yang terjadi dapat
menghambat kerjasama antar-pihak yang terlibat dalam otonomi daerah. Oleh karena
itu, pemahaman dan pengelolaan konflik yang baik, serta pengakuan terhadap
identitas dan keberagaman daerah, penting untuk mencapai keberhasilan otonomi
daerah.

Soal 2 (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!

Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa
pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk
menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar
suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat
memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk
dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi
“otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi
pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat
berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52)
yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu
mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat
daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya
menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi
Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan
terbaik bagi masyarakat.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan


“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah
otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam
kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya
persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan
infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah. Paradigma ekonomi harus dilihat dari
perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh
karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan
pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal
pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk
mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng
dari hakikat otonomi itu sendiri.

Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi
(standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat). Dalam praktik di Indonesia, penentuan
hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah
sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan
tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai
pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah.
Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang
diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat
di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian”
beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi
administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan
mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat
Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat
tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah
dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan
otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol
terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi
yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan
kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu
melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini
memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif
bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili
kepentingannya.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah
merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah
baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat
berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan
otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan,
kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam
sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu
dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural
Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya
lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan pemberian kewenangan yang
luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan
perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup
mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu
menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.

Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi
sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri. Dalam
hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa “memberikan
otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi,
yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja
menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.

Soal 3 (skor 25)

Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak
disahkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai,
namun amsih banyak hal yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam
mengatasi implementasi kebijakan otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi
daerah dalah semakin luasnya kewenangan dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta
kewenangan kepala daerah selaku eksekutif dan semakin terbukanya informasi serta
partisipasi dari masyarakan dalam hal pengambilan keputusan dan penagwasan
terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah. Namun, keberhasilan tersebut juga
diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-raja kecil di daerah dan
banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga menyebabkan anggaran
yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan pembangunan menjadi
terhambat.

Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai
masyarakat untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

Pada intinya, masalah-masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas
dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui
intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan
akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain
karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Untuk menyiasati
beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif,
selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi
perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah.
Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan
tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya
alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak
mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya
ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku
boros menjadi hemat. Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi
yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya
bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan
tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang
bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk
mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan
perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi. Pemeritah juga seharusnya merevisi
UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru. Jika pemerintah dan masyarakat
bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.

 Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di


daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan
pembangunan antar daerah.

 Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan


mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan
bendera merah putih.

 Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang


dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala
daerah melakukan korupsi.

 Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan
diatasnya yang lebih tinggi.

 Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk
mencegah pembentukan dinasti politik.

 Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri


yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.

 Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi),


mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.

 Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari
sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan
kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang
merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya
Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Soal 4 (skor 25)

Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang
penting yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance.
Masyarakat diberikan kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian
keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat
dapat dengan mudah menetukan apakah akan memerikan dukungan kepada
pemerintah atau malah sebaliknya.

Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya
mewujudkan praktek good governance!

Good governance, pada dasarnya merupakan suatu konsep pemerintahan yang membangun
serta menerapkan prinsip profesionalitas, demokrasi, transparansi, efisiensi, akuntabilitas,
efektivitas, pelayanan prima, serta bisa diterima oleh seluruh masyarakat (Anggara, 2012).
Sementara itu, World Bank mengartikan good governance sebagai manajemen pemerintah
yang solid, akuntabel, berdasarkan pada prinsip pasar yang efisien, mampu mencegah korupsi
baik secara politis maupun administratif. Good governance juga dapat diartikan sebagai nilai
yang menjunjung keinginan rakyat dan mampu meningkatkan kemampuan rakyat untuk
mencapai keadilan sosial, tujuan kemandirian, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan kata
lain, good governance dapat dianggap sebagai pemerintahan yang profesional, efektif,
efisien, mendahulukan kepentingan masyarakat, dan berkomitmen untuk memberikan
pelayanan terbaik serta bersih dari praktik korupsi. Dikutip dari jurnal Konsep Gerakan
Moral Mahasiswa Untuk Mewujudkan Good Governance di Indonesia oleh Jamilah
(2018:7), good governance mengandung makna bahwa pengelolaan kekuasaan didasarkan
pada aturan-aturan hukum yang berlaku, pengambilan kebijakan secara transparan serta
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Kekuasaan didasarkan pada kelembagaan bukan
perseorangan atau kelompok tertentu. Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua
warga negara memiliki hak dan kewajiban sama di mata hukum. Gerakan mewujudkan
praktek good governance muncul diakibatkan karena pemerintah tidak mampu mengelola
pemerintahan secara baik. Oleh karena itu tantangan ke depan pemerintah, termasuk
pemerintah daerah adalah bagaimana menciptakan pengelolaan pemerintahan yang melayani
masyarakat Salah satu sosok yang mampu mengubah pemerintah untuk bisa mengelola
negara secara baik adalah mahasiswa. Hal ini dibuktikan di negara Indonesia dengan
lengsernya pemerintahan era Soeharto berkat mahasiswa.

 Agent of Change, Mahasiswa adalah pihak yang bisa bergerak untuk mengajak hingga
mengajak masyarakat menjadi lebih baik lagi apabila ada kesalahan yang perlu
diperbaiki. Oleh karena itu, mahasiswa harus menjadi fasilitator dan pemicu dalam
mengakselerasi perubahan.
 Agent of Control, Mahasiswa adalah sosok yang dapat mengontrol kebijakan
pemerintahan yang merugikan masyarakat, baik dalam bentuk saran, kritik, hingga
solusi permasalahan yang ada. Tujuannya untuk menuju ke arah yang lebih baik dan
akan memberikan manfaat serta menjadi pengontrol masyarakat hingga negara
 Iron Stock, Mahasiswa sebagai iron stock merupakan penerus generasi-generasi
sebelumnya. Artinya, mahasiswa adalah harapan bangsa di masa depan. Mahasiswa
diharapkan berani dan kuat untuk memimpin dengan moral yang baik. Sehingga dapat
menggantikan pemimpin yang sebelumnya dengan pandangan yang lebih luas dan
jiwa yang membara.Sebagai agen yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
bangsa, terutama dalam mewujudkan praktek good governance. Maka dari itu
mahasiswa harus bisa menjadi sosok penggerak masyarakat ketika pemerintah tidak
melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.

Peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good governance sangat penting dan
dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun tata kelola yang baik di
berbagai sektor. Berikut adalah beberapa peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa dalam
upaya tersebut:
 Pengawasan dan advokasi: Mahasiswa dapat melakukan pengawasan terhadap
kebijakan dan praktek pemerintah, serta melakukan advokasi terhadap isu-isu yang
berkaitan dengan good governance. Mereka dapat mengorganisir kampanye, aksi
protes, atau memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan kesadaran dan
mendorong perubahan yang dibutuhkan.
 Riset dan analisis: Mahasiswa memiliki kemampuan untuk melakukan riset dan
analisis yang mendalam terkait isu-isu good governance. Dengan mengumpulkan
data, menganalisis kebijakan, dan menyusun laporan, mereka dapat menyediakan
informasi yang diperlukan bagi pengambil kebijakan dan masyarakat umum untuk
memperbaiki tata kelola yang ada.
 Pendidikan dan kesadaran: Mahasiswa dapat berperan sebagai agen perubahan dengan
menyebarkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip good governance dan pentingnya
menerapkannya dalam berbagai sektor. Mereka dapat mengadakan seminar, diskusi,
atau workshop untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya praktek good governance.
 Kolaborasi dan kemitraan: Mahasiswa dapat bekerja sama dengan pemerintah,
organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menciptakan kemitraan yang
saling menguntungkan dalam mendorong praktek good governance. Dengan
berkolaborasi, mahasiswa dapat menggabungkan pemikiran, sumber daya, dan
keahlian mereka untuk menghasilkan perubahan yang lebih besar.
 Praktek langsung: Mahasiswa dapat aktif terlibat dalam praktek langsung good
governance melalui magang, program sukarelawan, atau partisipasi dalam proyek-
proyek yang berfokus pada tata kelola yang baik. Dengan demikian, mereka dapat
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan dan peluang yang ada
dalam menerapkan good governance. Dalam kesimpulannya, peran mahasiswa dalam
mewujudkan praktek good governance meliputi pengawasan, advokasi, riset, analisis,
pendidikan, kolaborasi, dan praktek langsung. Melalui peran ini, mahasiswa dapat
memberikan kontribusi nyata dalam membangun tata kelola yang baik dan
berkelanjutan di berbagai sektor masyarakat.
referensi

BMP MKDU 4111 Pendidikan Kewarganegaraan

https://www.gramedia.com/literasi/otonomi-daerah/

Kusumawardhani, A. (2014). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Otonomi


Daerah dalam Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Jepara
(Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).

Lubis, N. H., & Muhson, A. (2019). Otonomi Daerah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilannya. Jurnal Mimbar, 35(1), 28-39.

http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/
sylggb.xhtml

Faisal. 2016. otonomi daerah : masalah dan penyelesaiannya di Indonesia. Jurnal Akuntansi,
Vol. 4, No. 2, April 2016 : 206-215

https://kumparan.com/berita-terkini/peran-mahasiswa-dalam-mewujudkan-praktek-good-
governance-1zJg003Rp64/full

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-good-governance/

Anda mungkin juga menyukai