Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

“ IMPLIKASI OTONOMI DAERAH PADA PEMBANGUNAN DAERAH “

Dosen Pengampu ; Dr. Imran, S.H., M.H

DISUSUN OLEH :

ELYEZER HAMONANGAN SILALAHI


D10121184

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa berkat
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“IMPLIKASI OTONOMI DAERAH PADA PEMBANGUNAN DAERAH”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
Bapak Dr. Imran, S.H., M.H selaku dosen pengampu di mata kuliah Hukum
Pemerintahan Daerah. Serta kepada pihak lainnya yang telah ikut berpatisipasi
memberikan pemikiran serta saran – saran dalam proses pembuatan Makalah ini

Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah serta memperluas


wawasan pembaca khususnya dalam memahami hal – hal mengenai penerapan
otonomi daerah,agar kita semua bisa lebih dalam jelas mengetahui pengertian
serta fungsi otonomi daerah,karena ini penting utnuk diketahui mengingat dalam
proses pembangunan daerah otonomi sangat berperan besar agar pemerintah bisa
mengurus daerahnya sendiri tanpa pemerintah pusat turun tangan langsung.

Terlepas dari itu semua, saya sebagai penulis sangat menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan
dalam penyusunannya dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami secara pribadi. Oleh karena itu kami memohon maaf dan kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk membantu menyempurnakan
makalah ini, sekali saya mengucapkan terima kasih dan selamat membaca.

Palu, 23 Mei 2023

Elyezer Hamonangan Silalahi

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1. Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia...............................................................3
2.2. Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Menurut UU No. 23
Tahun 2014....................................................................................................................7
BAB III............................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
3.1. Kesimpulan.......................................................................................................14
3.2. Saran................................................................................................................14
Daftar Pustaka..................................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Praktik penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara kesatuan pada
umumnya menggunakan asas sentralisasi dan desentralisasi. Di negara-negara
yang menggunakan asas sentralisasi ekstrem, semua urusan pemerintahan
dijalankan oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya berperan
sebagai pelaksana saja. Sekarang, pelaksanaan asas seperti itu sudah sangat jarang
digunakan, kecuali di negara-negara yang sangat kecil dengan jumlah penduduk
yang sedikit.
Pada masa sekarang penggunaan asas sentralisasi telah diperlunak dengan
asas dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
aparatnya yang ada di daerah. Selain dengan asas itu, digunakan pula asas
desentralisasi (teritorial), yakni penyerahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah sehingga menghadirkan otonomi daerah.
Otonomi daerah di Indonesia telah ada sejak dikeluarkan
Decentralisatiewet S 1903/329 oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1903.
Namun, banyak orang yang tidak mengetahui hal ini. Era otonomi daerah
seakanakan baru dimulai tahun 1999 sejak pemerintah RI mengeluarkan UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, tidak sedikit pula orang
menduga bahwa dengan otonomi daerah segala urusan pemerintahan dapat
dikelola oleh daerah.

1.1. Rumusan Masalah


A. Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia?
B. Bagaimana Kedudukan Otonomi Daerah Pada Praktik
Penerapannya Di Daerah?

4
1.1. Tujuan
Luasnya daerah-daerah di Indonesia menjadi terbagi-bagi atas beberapa
provinsi, kabupaten serta kota. Daerah-daerah tersebut memiliki pemerintahan
daerah untuk mempermudah kinerja pemerintah pusat, dalam hal pembagian
kekuasaan terhadap daerahnya digunakanlah suatu asas yang dinamakan asas
otonomi sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena banyaknya daerah tersebut maka
diperlukan adanya focus dari pemerintah daerah agar bisa mengurus daerahnya
sendiri,untuk bisa mewujudkan hal tersebut maka muncul system pemerintahan
dengan Otonomi daerah.
Oleh karena itu tujuan dari dibuatnya makalah ini,untuk menjelaskan apa
yang dimaksud dengan Otonomi daerah,serta bagaimana kedudukan otonomi
daerah pada praktiknya dalam membangun daerah agar daerah bisa maju dan
berkembang sehingga masyarakat yang ada di daerah dapat merasakan
kesejahteraan akibat daerahnya berkembang dengan baik.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia


A. Pengertian Otonomi Daerah
Kata “otonomi” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1996:709) berarti pemerintahan sendiri.
Sedangkan menurut Cambridge Dictionary of English
(1995:82), autonomy is the right of a group people to
govern itself or to organize its own activities (otonomi
adalah hak sekelompok orang untuk mengurus dirinya
sendiri atau hak untuk mengorganisasikan
aktivitasaktivitasnya). Jika arti kata otonomi secara
leksikografis (perkamusan) tadi dihubungkan dengan
kenegaraan/pemerintahan, maka kedaulatan (sovereignty)
menurut sebagian ahli dapat dikatakan otonomi negara.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
B. Konsep Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah suatu keadaan yang
memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala
potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia Otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yangt berlaku. Dalam UU No. 32
tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

6
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, menurut Suparmoko
(2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Sesuai dengan penjelasan UU No. 32
tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah
dan kabupaten/kota didasarkan kepada desentralisasi dalam
wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

C. Sejarah Otonomi Daerah


Peraturan perundang-undangan pertama kali yang
mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi
kemerdekaan adalah UU Noomor 1 tahun 1945.
Ditetapkannnya undang-undang ini merupakan hasil
(resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah
pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada masa
pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini
menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui
pengaturan pembentukan badan perwakilan tiap daerah.
Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis daerah
otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode
berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga
dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan
pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan urusan
(desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur
lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-
undang Nomor 22 tahun 1948.
(Muhammad.Arthut 2012 :10) Undang-undang Nomor 22
tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan

7
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-
undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu
daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta
tiga tingkatan daerah yaitu provinsi, kabupaten/kota besar
dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-
undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian
pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan
Undangundang tentang pembentukan, telah dirinci lebih
lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan
tentang penyerahan sebagaian urusan pemerintahan tertentu
kepada daerah. Perjalanan sejarah otonomi daerah di
Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk
perundang-undangan yang menggantikan produk
sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai
dinamika orientasi pembangunan daerah di Indoneia dari
masa kemasa.
Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi
kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan luas-
luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab”. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu
25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor
22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999
setelah tuntunan reformasi dikomandangkan. Kehadiran
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari
perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, dimana
rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak
berkehendak untuk melakukan reformasi disemua aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak
reformasi itu, sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu
menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang

8
penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal
yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang
Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format
otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan
tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang
dalam rumusan pasal demi pasal pada undangundang
tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua
undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25
tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak
dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi dalam Undang-
undang Nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak
devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan
kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala
wilayah yang merupakan kepangjangan tangan dari
pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan
di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala
wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi
lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini
dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan
kepada DPRD sebagai representasi dari rakyatdi daerah
yang memilihnya. Dengan demikian yang melatarbelakangi
dilaksanankannya otonomi daerah secara nyata di Indonesia
adalah ketidakpuasan masyarakat yang berada di daerah

9
yang kaya sumber daya alam namun kehidupan
masyarakatnya tetap berada dibawah garis
kemiskinan.Walaupun secara Undang-Undang sudah sering
diterbitkan namun dalam kenyataannya pengelolaan
kekayaan alam dan sumber daya alam daerah masih diatur
oleh pusat.Sehingga masyarakat daerah yang kaya sumber
daya alamnya merasa sangat dirugikan. Akhirnya,pada
masa reformasi mereka menuntut dilaksanakannya otonomi
daerah. Sehingga lahirlah UU no 22 tahun 1999 dan
pelaksanaan otonomi daerah mulai terealisasi sejak tahun
2000 secara bertahap. Setelah dilaksanakannya otonomi
daerah maka perimbangan keuangan sesuai UU no 25 tahun
1999 memberikan peluang kepada daerah untuk
mendapatkan 70% dari hasil pengelolaan kekayaan
alamnya sendiri untuk dimanfaatkan bagi kemajuan
daerahnya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah ini
diperbarui menurut UU no.32 tahun 2004 dan perimbangan
keuangan diperbarui juga menurut UU no.33 tahun 2004.
Sehingga dengan adanya otonomi daerah ini , daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam mengalami kemajuan
Dalam pembangunan sedangkan daerah yang tidak
memiliki kekayaan alam mengalami kesulitan untuk
memajukan wilayahnya.

1.1. Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Menurut


UU No. 23 Tahun 2014
A. Asas Otonomi Dan Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang
berbentuk Republik. Di dalam negara kesatuan, pemerintah
pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Agar tidak

10
sewenang-wenang, aktivitas pemerintah pusat diawasi dan
dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi logis dari
posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka
unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah
pemerintah pusat, harus tunduk kepada pemerintah pusat.
Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara
organisasional berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, akan menjadi tumpang tindih dan tabrakan
dalam pelaksanaan kewenangan (prinsip unity command)
(Wasistiono, 2004:9).
Di dalam negara kesatuan tanggung jawab
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap
berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi, karena
sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut
asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada
tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga
menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan
adanya hubungan kewenangan, keuangan, pengawasan, dan
antar satuan organisasi pemerintahan (Huda, 2014:241).
Substansi pembagian daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam pasal 18 ayat (1)
UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang”. Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih
memperjelas pembagian daerah dalam negara Kesatuan
Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi dan
dalam daerah Provinsi terdapat Kabupaten dan Kota. Hal
ini juga termaktub di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014.

11
Otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Bukan sekedar
pula menampung kenyataan yang luas, penduduk banyak,
dan berpulau-pulau. Lebih dari itu, otonomi daerah
merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan
instrumen mewujudkan kesejahteraan umum.
. Daerah-daerah otonomi yang bebas dan mandiri
mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan
sendiri, merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada alasan untuk
keluar dari RI (Manan, 2001:3). Lebih lanjut disampaikan
Bagir Manan (Manan, 2001:26) otonomilah sebagai ujung
tombak usaha mewujudkan kesejahteraan. Mengingat
fungsi kesejahteraan akan menghadapkan pemerintahan
pada kenyataan konkret yang berbeda-beda antara daerah
satu dengan daerah lain serta berkembang mengikuti
dinamika kebutuhan masyarakat setempat, maka dalam
otonomi harus tersedia ruang gerak yang cukup untuk
melakukan kebebasan menjalankan pemerintahan. Untuk
memungkinkan penyelenggaraan kebebasan tersebut dan
sekaligus mencerminkan otonomi sebagai satuan
demokratis, maka otonomi senantiasa memerlukan
kemandirian atau keleluasaan. Bahkan tidak berlebihan
apabila dikatakan hakekat otonomi adalah kemandirian,
walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan
yang merdeka. Untuk mewujudkan kemandirian atau
keleluasaan, otonomi berkait erat dengan pola hubungan
antara pusat dan daerah yang meliputi berbagai segi yaitu
hubungan kewenangan, hubungan pengawasan, hubungan
keuangan dan lain sebagainya. Otonomi daerah merupakan
wujud kehidupan demokrasi dalam konteks

12
penyelenggaraan negara kesatuan (eenheidstaat). Otonomi
daerah merupakan wadah kehidupan demokrasi. Rakyat
melalui wakil mereka (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),
turut serta dalam penyelenggara pemerintahan, berdasarkan
otonomi daerah yang dibangun dalam sistem pemerintahan
desentralisasi. Rakyat mengatur rumah tangga mereka
sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
(Huda, 2014:411).
B. Asas Otonomi Dan Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola
hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan
lokal. Di dalam mekanisme ini pemerintahan nasional
melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan dan
masyarakat setempat atau lokal untuk diselenggarakan guna
meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat (Syaukani,
dkk, 2009:xvii). Hubungan antara Pemerintah Pusat (Pusat)
dan Daerah mencakup isi yang sangat luas, bisa terkait
dengan isu nasionalisme dan nation building, bisa pula
dengan isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, dan
oleh karena itu terkait pula dengan isu hubungan antara
negara dan masyarakat.
Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan
Steward dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: (Huda,
2009:248) Pertama, The relative Autonomy Model,
memberikan kebebasan yang relatif besar kepada
pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi
pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian
kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam
kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah

13
dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan; kedua
The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak
mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga
keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat
yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan
pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini berbagai
petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai
mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini
pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan sistem
keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan dari
pemerintah pusat; ketiga The Interaction Model.
Merupakan suatu bentuk model dimana keberadaan dan
peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang
terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Upaya menemukan format hubungan antara pusat
dan daerah yang ideal dalam kerangka negara kesatuan
bukanlah persoalan yang mudah ditemukan, karena hal itu
merupakan proses yang berjalan seiring dengan perjalanan
bangsa Indonesia. Kewenangan yang dijalankan oleh
pemerintah pusat dalam negara kesatuan sangatlah luas dan
mencakup seluruh warga negara yang ada di dalam maupun
di luar negeri. Oleh karena itu, mutlak dilakukan delegasi
kewenangan (delegation of authority) baik dalam rangka
desentralisasi maupun dekonsentrasi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 dapat diterjemahkan pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan
eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, dimana
dalam pasal 9 (sudah disebutkan di halaman sebelumnya)
bahwa Urusan pemerintahan Konkuren inilah yang menjadi

14
dasar Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren
yang diserahkan meliputi Urusan Wajib dan Urusan
Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib Pelayanan
dasar dan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar. Berdasarkan
pembagian urusan kewenangan tersebut, merujuk pada teori
Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward
termasuk The Agency Model. Model dimana pemerintah
daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti
sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen
pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan
kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model
ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan
sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol.
2. Pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut
berdasarkan Pasal 13 didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis
nasional. Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa
Penanggungjawabnya berdasarkan kedekatannya dengan
luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan
oleh penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Adapun
yang dimaksud dengan prinsip efisiensi adalah
Perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang
dapat diperoleh. Sedangkan Prinsip eksternalitas
merupakan Luas, besaran, dan jangkauan dampak yang
timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan.
Dan Prinsip kepentingan strategis nasional bahwa dalam
rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, kedaulatan
Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian
program strategis nasional dan pertimbangan lain. 3.
Berdasarkan pasal 13 ayat (2) kriteria Urusan Pemerintahan

15
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a.
Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;b. Urusan Pemerintahan yang
penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; c.
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d.
Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat;
dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis
bagi kepentingan nasional
4. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) meliputi; a.
Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya
lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang
manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi; 5. Selanjutnya dalam Pasal
13 ayat (4) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya
dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan
yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/ atau; d. Urusan Pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota

16
BAB III

PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan
daerah masih mengarah pada desentralisasi, dilihat dari adanya
pembagian urusan meskipun diklasifikasikan secara rinci ke dalam 3
urusan pemerintahan.
Bentuk kontrol pemerintah pusat diwujudkan dengan adanya
penyerahan urusan tersebut melalui penyusunan norma, standar, prosedur
dan kriteria (NPSK) yang disusun oleh pemerintah pusat sebagai landasan
bagi pemerintah daerah melaksanakan urusan yang telah diberikan oleh
pemerintah pusat. Selain itu pemerintah pusat juga dilakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah. uusan pemerintahan antara kementerian
dengan pemerintahan daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk bertindak selaku kordinat.

1.1. Saran
Saya sangat mengetahui makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga
saya sebagai penulis menyadari diperlukannya observasi dan pendalaman
lebih lanjut mengenai Otonomi daerah sehingga pembaca khususnya di
kalangan mahasiswa bisa memahami dan mendalami hal ini lebih
lanjut,sehingga kita sebagai calon sarjana hukum bisa siap menjadi penerus
dan penegak hukum dalam pemerintahan daerah.

17
Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/ Sj tentang Penyelenggaraan
urusan Pemerintahan Setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, PSH FH UII,
2001 ————————, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Kaho, Josef Riwu. 2000. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: PT Raja Drafindo Persada.
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi
Daerah. Jakarta
Koswara, E, 2000, Makna Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 10,
Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan.

18

Anda mungkin juga menyukai