Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA
OTONOMI DAERAH DAN INFRASTRUKTUR
Dosen Pengampu : Siti Ahdina Saadatirrohmi, S.E, M.E.

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 8 :
1. Ismi Maulida Irdoni (210501071)
2. Khofifah Fairuzia (210501079)
3. Akbar Tri Pamungkas (210501080)
4. Ahmad Zulkifli (210501092)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2022/2023

1
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 4


A. Pengertian Otonomi Daerah ................................................................................. 4

B. Sejarah Otonomi Daerah ....................................................................................... 6

C. Otonomi Daerah dan Pemerataan Pembangunan ............................................... 13

D. Infrastruktur Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah ............................................... 18

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 22


KESIMPULAN .............................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah


Indonesia membuat suatu mekanisme dalam mengatur daerahnya sendiri.
Mekanisme pemberian kekuasaan kepada daerah untuk mengatur dan
menjalankan pemerintahannya ini disebut Otonomi Daerah. Otonomi daerah
sebagai salah satu Pemerintah Pusat untuk melaksanakan pemerataan
pembangunan dalam rangka menjadikan masyarakat Indonesia menjadi
sejahtera. Otonomi Daerah memberikan keleluasaan kepada masyarakat di
daerah yang diberi hak Otonom untuk mengatur dan mengembangkan
masyarakatnya menuju ke arah kesejahteraan sesuai dengan corak masyarakat
daerah tersebut. Dengan begitu diharapkan seluruh daerah di Indonesia dapat
berkembang dan maju dengan merata.
Dalam pelaksanaanya Otonomi daerah mengalami berbagai realitas yang
cukup beragam. Adanya Otonomi Daerah menjadikan banyak wilayah di
Indonesia yang mampu berkembang melebihi saat otonomi daerah belum
diterapkan.Di sisi lain ada daerah yang belum siap mengatur daerahnya atau
dalam mengatur berbagai aspek pemerintahan. Sehingga dalam mencapai
tujuan mensejahterakan masyarakat daerahnya masih terhambat.
Oleh karena itu Topik ini dibahas agar kita dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan otonomi daerah, sejarah perkembangan otonomi daerah di
Indonesia, Otonomi Daerah dan Infrastruktur, dan juga Infrastruktur dan
Pertumbuhan Ekonomi Daerah.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi atau Autonomy berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu :
“Autos” yang berarti sendiri/self. Dan “Nomous” yang berarti hukum atau
peraturan yang berarti : memberi aturan sendiri pemerintahan sendiri; atau
hak untuk memerintah sendiri.
Secara etimologi, otonomi adalah kemampuan untuk membuat keputusan
sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang lain,
atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat.
Secara terminology, otonomi berarti : perasaan bebas;1 sering pula
digunakan untuk menyebut; hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan
moral dan pemikiran religious; atau hak memerintah sendiri (Self
Government) bagian dari suatu kota, Negara atau bangsa.2
Dalam konteks pendidikan, otonomi dapat diartikan : hak untuk mengatur
dan mengelola sendiri secara bebas dan bertanggung jawab akan manajemen
pendidikan yang dilaksanakan.
Sementara itu dalam konteks otonomi daerah, otonomi yaitu memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan Sumber Daya Nasional serta Pertimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
dilaksanakan dalam kerangka NKRI.3 Dalam kaitannya dengan politik dan

1
Baca Paylo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet.2, Terj. Tim Redaksi, (Jakarta: LP3ES,
1985), h. 16
2
Reece, Pendidikan Kaum Tertindas,h. 16
3
Baca UU Otonomi 1999, Cet. 4 (Jakarta : Restu Agung, 2001”, h. 11

4
pemerintahan, Otonomi Daerah berarti self government atau condition of
living under one’s own lows. Otonomi Daerah adalah daerah yang memiliki
legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh
own laws.4
Selain pengertian otonomi daerah sebagaimana disebutkan diatas, kita
juga dapat menelisik pengertian otonomi daerah secara harafiah. Otonomi
daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai
kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat
aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain:
 Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng Istianto, adalah:
“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah”
 Pengertian Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:
“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan”
 Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:
“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut
merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
1. UUD 1945
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

4
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 33

5
3. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
4. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Pemerintahan
Daerah.
Perangkat Pelaksana Otonomi Daerah
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 19 bahwa penyelenggara
pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. DPRD adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah
gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

B. Sejarah Otonomi Daerah


Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1
tahun 1945. Ditetapkannnya undang-undang ini merupakan hasil (resultante)
dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-
kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini
menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan
pembentukan badan perwakilan tiap daerah. Dalam undang-undang ini
ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam
kurun waktu tiga tahun belum da peraturan pemerintahan yang mengatur
mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang

6
ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang
Nomor 22 tahun 1948.(Muhammad.Arthut 2012 :10).
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini
ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah
otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah yaitu provinsi, kabupaten/kota
besar dan desa/kota kecil.
Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948,
penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat
perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan
Undangundang tentang pembentukan, telah dirinci lebih lanjut
pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan
sebagaian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi
dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU
Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pngaturan tunggal pertama yang berlaku
seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut
sistem otonomi yang seluasluasnya) dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggara
pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang
dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang
riil dan luas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”.
Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat
menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan
maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-
prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan
dalam arti luas.

7
Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru
diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang
nomor 25 tahun 1999 setelah tuntunan reformasi dikomandangkan. Satu hal
yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974
dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan
mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut
(UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi.
Sedangkan desentralisasi dalam Undangundang Nomor 22 tahun 1999
lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan
dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5
tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan
kepangjangan tangan dari pemerintah.
Dengan demikian yang melatar belakangi dilaksanankannnya otonomi
daerah secara nyata di Indonesia adalah ketidakpuasan masyarakat yang
berada di daerah yang kaya sumber daya alam namun kehidupan
masyarakatnya tetap berada dibawah garis kemiskinan. Walaupun secara
Undang-Undang sudah sering diterbitkan namun dalam kenyataannya
pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya alam daerah masih diatur oleh
pusat.Sehingga masyarakat daerah yang kaya sumber daya alamnya merasa
sangat dirugikan.Akhirnya,pada masa reformasi mereka menuntut
dilaksanakannya otonomi daerah. Sehingga lahirlah UU no 22 tahun 1999 dan
pelaksanaan otonomi daerah mulai terealisasi sejak tahun 2000 secara
bertahap.
Setelah dilaksanakannya otonomi daerah maka perimbangan keuangan
sesuai UU no 25 tahun 1999 memberikan peluang kepada daerah untuk

8
mendapatkan 70% dari hasil pengelolaan kekayaan alamnya sendiri untuk
dimanfaatkan bagi kemajuan daerahnya sendiri.
Pelaksanaan otonomi daerah ini diperbarui menurut UU no.32 tahun 2004
dan perimbangan keuangan diperbarui juga menurut UU no.33 tahun 2004.
Sehingga dengan adanya otonomi daerah ini , daerah yang memiliki potensi
sumber daya alam mengalami kemajuan. 5
Sejarah perkembangan Otonomi daerah di Indonesia
a. Era Kolonial (Masa Penjajahan Belanda)
Pada tahun 1903, pemerintah colonial mengeluarkan Staatsblaad No. 329
yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai
keuangan sendiri. Lalu aturan ini diperkuat dengan mengeluarkan subuah
undang – undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
proviencie, regentschap, stadsgemeente dan groepmeneenschapyang
semuanya menggantikan locale resort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan
yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende
landschappen).
Dengan aturan ini semua kerajaan yang ada di wilayah jajahan colonial
Belanda satu per satu diikat dengan sejumlah kontrak kuliah (berupa kontrak
panjang atau kontrak pendek). Dengan adanya keadaan ini, masyarakat pada
masa pemerintahan colonial dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
b. Masa Pendudukan Jepang
Ketika Perang Dunia II pecah, Jepang melakukan berbagai invasi untuk
mendapatkan kekuasaan besar dunia, kawasan - kawasan yang dijadikan
invasi adalah seluruh wilayah Asia Timur mulai dari Korea Utara ke Daratan
Cina sampai Pulau Jawa dan Sumatera. Jepang berhasil menakhlukkan
pemerintahan colonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina serta
Belanda di daerah Hindia Belanda. Meskipun pemerintah Jepang hanya sekitar

5
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia, Sani Safitri.

9
tiga setengah tahun menduduki wilayah – wilayah bekas Hindia Belanda,
namun Jepang berhasil melakukan perubahan – perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan. Di Jawa, pihak
militer Jepang mengeluarkan undang – undang (Osamu Seire) No. 27/1942
yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah. Pada masa Jepang
pemerintah daerah hamper tidak memiliki kewenangan. Sehingga semua hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah diatur dan diawasi
secara ketat oleh pihak militer Jepang. Penyebutan daerah otonom bagi
pemerintahan di daerah pada masa ini bersifat misleading.
c. Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang – undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah – daerah yang dianggap perlu oleh mendagri.
Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing – masing dibagi dalam
tiga tingkatan yakni :
a. Provinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
UU No. 1 Tahun 1945 hanya mengatur hal – hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan
tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang – undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia
adalah UU Nomor 22 Tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada
tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI
tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/Kota besar

10
c. Desa/Kota kecil
d. Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tanggannya sendiri
3. Periode Undang – undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah
daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat yaitu :
a. Daerah swantantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
b. Daerah swatantra tingkat II
c. Daerah swatantra tingkat III
UU No 1 Tahun 1957 menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas
– luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959
Penpres No. 6 tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, denga
memasukkan elemen – elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dengan daerah tingkat I, tingkat II,
dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada
masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari
kalangan pamong praja.
5. Periode Undang – undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah Negara dibagi – bagi dalam tiga tingkatan yakni :
a. Provinsi (tingkat I)
b. Kabupaten (tingkat II)
c. Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang
pimpinan kebijaksanaan politik nasional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antar jawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasan
dan menjalankan tugas – tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh

11
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah
mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah
daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD,
dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang – undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur rumah tangganya
berdasar atas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah Negara dibagi – bagi menurut
tingkatannya mejadi :
a. Provinsi/ibu kota Negara
b. Kabupaten / kota madya
c. Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah
tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti
dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah
otonomi yang nyata dan bertanggug jawab.
7. Periode Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggarakan pemerintahan daerah
yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan
UU No 22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten atau daerah
kota.
c. Daerah di luar povinsi dibagi dalam daerah otonomi
d. Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten

12
Secara umum, UU No 22 Tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai
perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober 2004 disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintahan pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi,
dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kaupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar
antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

C. Otonomi Daerah dan Pemerataan Pembangunan


Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pemerataan pembangunan
daerah merupakan usaha bersama yang harus dilaksanakan secara merata di
semua lapisan masyarakat, dimana setiap warga berhak memperoleh
kesempatan berperan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Undang
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
masalah Otonomi Daerah merupakan peraturan pelaksanaan yang
menjalankan mandat konstitusi, khususnya pasal 18 UUD 45. Pemerintahan
daerah merupakan bagian dari proses desentralisasi yang ditujukan untuk
mencapai pemerataan pembangunan daerah. Dengan adanya hubungan yang
jelas antara pemerintah daerah dengan perangkatnya di berbagai daerah,
daerah seharusnya mampu ataau dapat mengembangkan dirinya secara lebih
terarah sesuai dengan identitas dan kekhasan masing-masing. Desentralisasi

13
dalam otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan,
pembangunan politik yang efektif.
Otonomi daerah menjamin penanganan variasi tuntutan masyarakat
secara cepat dan tepat guna mewujudkan pemerataan pembangunan.Artinya,
di dalam negara yang sedang berkembang perencanaan yang terpusat bukan
saja rumit dan sulit untuk dilaksanakan, melainkan juga sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan. Menurut
Keith Griffin (1981) dalam Rondinelli dan Cheema (1988:13) menyatakan
bahwa:
Development cannot easily be centrally planned.
Consequently . . . mobilization of local human and material resources has
been accompanied by a reduced emphases on national planning and a
growing awareness of the need to devise an administrative structure that
would permit regional decentralization, local autonomy in making decision of
primary concern to the locality and greater local responsibility for designing
and implementing development programs. Such changes, evidently, are not
just technical and administrative; they are political. They involve a transfer of
power from the groups who dominate the centre to those who have control at
the local level.
Artinya, pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat.
Pendayagunaan sumber daya alam dan manusia yang berada di daerah
hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan yang
menitikberatkan pada perencanaan secara nasional serta meningkatkan
kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan
otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang
lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya
menyangkut soal teknis dan adminsitratif semata-mata melainkan juga soal

14
politik, yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok
pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan
pemerintahan di tingkat daerah.
Dampak Positif Otonomi Daerah Terhadap Pemerataan Pembangunan :
1. Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengelola sumber daya
yang ada atau dimiliki daerah
2. Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengembangkan budaya
yang dimiliki oleh daerah tersebut
3. Daerah lebih tahu apa yang lebih dibutuhkan oleh daerah tersebut
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan
4. Seluruh komponen yang ada di daerah tersebut mulai dari pemerintah
ataupun masyarakat pada umumnya, dapat mengembangkan
kreativitas maupun inovasi-inovasi di berbagai bidang guna
meningkatkan pemerataan pembangunan daerah tersebut atau
dengan kata lain seluruh komponen ikut berpartisipasi dalam upaya
pemerataan pembangunan
Dampak Negatif dari Otonomi Daerah terhadap Pemerataan Pembangunan :
Dalam setiap kebijakan yang diambil, selain ada sisi positifnya juga ada sisi
negatifnya. Begitu juga dalam penerapan dan pelaksanaan otonomi daerah,
memberikan dampak negative terhadap pemerataan pembangunan nasional.
Sebelum membahas tentang dampak negative dari adanya otonomi daerah,
kita harus mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
otonomi daerah, partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan otonomi
daerah, dan daya tarik otonomi daerah bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah akan banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor – faktor yang memengaruhi pelaksanaan otonomi
daerah adalah sebagai berikut:

15
 Kemampuan Manusia
Manusia di sini adalah aparat pemerintah daerah, lembaga
swadaya masyarakat, dan warga daerah. Kemampuan yang diharapkan
adalah kemampuan secara mental, yaitu semangat kerja sama, etos
kerja, saling mendukung, dan kemampuan pengetahuan.
 Kemampuan Keuangan
Setiap pembangunan di daerah memerlukan biaya maka
kemampuan keuangan di daerah akan menentukan otonomi daerah
tersebut. Dana untuk pembangunan di daerah dapat di peroleh dari
dana pendapatan asli daerah, dana alokasi dari pusat dan pinjaman
daerah.
 Kemampuan Peralatan dan Organisasi
Kemampuan peralatan yang dimaksud adalah sarana dan
prasarana pendukung termasuk teknologi, sedangkan organisasi
adalah kemampuan perencanaan, pelaksanaan, pengoordinasian, dan
evaluasi.
 Kemampuan Kepemimpinan
Kemampuan kepemimpinan adalah kemampuan kepala daerah dalam
memimpin daerah serta menciptakan manajemen pemerintahahan
yang baik.
Pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah, telah banyak mengundang
suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan
sumber daya, daerah – daerah tersebut tidak sabar ingin agar otonomi daerah
tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah – daerah yang tidak
kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah
tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala
bidang termasuk peraturan perundang – undangan dan sumber keuangan
daerah. Oleh karena itu, bagi daerah – daerah yang tidak kaya akan sumber

16
daya pada umumnya belum siap ketika otonomi daerah pertama kali
diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah – daerah yang tidak kaya akan
sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari
otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan
dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut.
Beberapa penyelewengan dalam pelaksanaan otonomi daerah:
 Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi
rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah.
 Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
 Rusaknya Sumber Daya Alam
 Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
 Pemerintah kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan
yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunan
bagi budget mereka.
Dari penyelewengan – penyelewengan dan faktor – faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah diatas, dapat memberikan
dampak negatif otonomi daerah terhadap pemerataan pembangunan
nasional. Beberapa dampak negatif otonomi terhadap pemerataan
pembangunan:
 Adanya kesenjangan pemerataan pembangunan di desa dan di
perkotaan.
Pemerintah daerah di desa sering terlambat dalam melaksanakan
pembangunan – pembagunan di pedesaan. Hal itu di karenakan,
banyaknya oknum – oknum pemerintah daerah yang melakukan KKN.
Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat desa terhadap
pelaksanaan otonomi daerah. Pola pikir masyarakat pedesaan dan
perkotaan yang sangat jauh berbeda dalam pelaksanaan otonomi
daerah guna pemerataan pembangunan demi kesejahteraan

17
masyarakat, juga merupakan penyebab dari kesenjangan pelaksanaan
pembangunan di desa dan di kota.
 Menimbulkan rasa cemburu antar daerah
Setiap daerah memiliki kekayaan sumber daya yang berbeda – beda.
Bagi daerah yang kaya akan sumber daya akan lebih mudah dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga pelaksanaan pembangunan di
daerah tersebut lancar dan berjalan sesuai rencana. Sedangkan,
daerah yang miskin sumber daya akan kesulitan dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Sehingga pelaksanaan pembangunan didaerah
tersebut terhambat. Hal itu menimbulkan rasa cemburu antara daerah
yang miskin sumber daya terhadap daerah yang kaya sumber daya.
 Penyelewengan dana proyek pembangunan
Beberapa oknum KKN sering memanipulasi data dana proyek
pembangunan daerah. Mereka sering mengambil dana proyek tanpa
sepengetahuan orang lain. Selain itu, mereka mengambil dana proyek
pembangunan dari pemerintah di luar ketentuan resmi sehingga
banyak proyek dana pemerintah yang keluar tetapi tidak ada hasilnya.
Hal ini yang menyebabkan pemerataan pembangunan di daerah
terhambat.

D. Infrastruktur Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah


Pembangunan suatu daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu
pembangunan membutuhkan pendekatan yang tepat, guna menghasilkan
pertumbuhan yang disertai pemerataan. Infrastruktur berperan penting
dalam peningkatan investasi dan memperluas jangkauan partisipasi
masyarakat, serta pemerataan hasil pembangunan. Kajian teori ekonomi
pembangunan menjelaskan bahwa untuk menciptakan dan meningkatkan
kegiatan ekonomi diperlukan sarana infrastruktur yang memadai.

18
Infrastruktur juga merupakan segala sesuatu penunjang utama
terselenggaranya suatu proses pembangunan suatu daerah.
Dengan meningkatnya kebutuhan dalam pembangunan infrastruktur
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi telah mengantar pemerintah
Indonesia untuk menyediakan kerangka kerja yang lebih baik untuk menarik
investasi dan partisipasi swasta di skala yang terukur dalam proyek
infrastruktur. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan
ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang
sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Infrastruktur juga
berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta
peningkatan kemakmuran yang nyata. Infrastruktur juga memiliki pengaruh
penting dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga
kerja dan akses kepada lapangan kerja.
Sifat dan jenis infrastruktur yang diperlukan suatu daerah dipengaruhi
oleh karakteristik alam dan pola persebaran penduduk yang khas pada daerah
tersebut. Infrastruktur bukan hanya diperlukan untuk meningkatkan daya
saing demi mendorong lebih banyak kegiatan investasi, produksi dan
perdagangan, tetapi juga untuk mempercepat pemerataan pembangunan
sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran dapat diturunkan. Selain itu,
keberadaan infrastruktur juga sangat diperlukan agar proses pembangunan
sumber daya manusia di suatu daerah dapat berjalan dengan baik. Proses
pembangunan yang disertai dengan perkembangan teknologi yang cepat
mengharuskan adanya pendekatan yang benar-benar tepat dalam program
pengembangan SDM.
Menurut Grigg dalam Kodoatie (2005), infrastruktur merupakan sistem
fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung
dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

19
dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Pengertian
ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem. Di mana infrastruktur
dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana
(jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam
mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur
sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur adalah merupakan sesuatu yang seharusnya
menjadi kewajiban pemerintah. Keberadaan infrastruktur sangat penting bagi
pembangunan, sehingga pada tahap awal pembangunan disuatu negara hal
tersebut akan dipikul sepenuhnya oleh Pemerintah, yaitu dari APBN murni
(Amrullah, 2006).
Menurut Todaro (2005), Ada beberapa alasan pokok yang dapat
dikemukakan tentang pentingnya pembangunan infrastruktur, diantaranya :
1. Pembangunan infrastruktur mampu menyediakan lapangan pekerja.
Hal ini merupakan salah satu nilai penting dan langkah ke arah
terciptanya rakyat dan negara adil dan makmur.
2. Pembangunan infrastruktur dasar, infrastruktur teknologi, dan
infrastruktur sains secara langsung akan mempengaruhi iklim investasi.
3. Infrastruktur akan sangat mempengaruhi bahkan menentukan
integrasi sosial-ekonomi rakyat satu daerah dengan daerah lainnya.
4. Pembangunan infrastruktur akan membuka isolasi fisik dan nonfisik di
sejumlah wilayah.
Banyaknya pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di
suatu negara. Hal ini membuat World Bank dalam Prasetyo dan Firdaus
(2009) membagi infrastruktur menjadi beberapa komponen yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan
untuk menunjang aktivitas ekonomi yang meliputi public utilities
(tenaga listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), pekerjaan umum

20
(jalan, bendungan, kanal, irigasi, drainase) dan sektor transportasi
(jalan, rel,pelabuhan, bandara, dan sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan
rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol
administrasi dan koordinasi.
Infrastruktur memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai konteks
dalam pembangunan, baik dalam konteks fisik-lingkungan, ekonomi, sosial,
budaya, politik, dan konteks lainnya. Salah satu infrastruktur yang besar
perannya dalam pengembangan dan pembangunan ruang, baik dalam lingkup
negara ataupun lingkup wilayah adalah infrastruktur transportasi.
Transportasi adalah infrastruktur yang mampu menciptakan mobilitas sosial
dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan
menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar (perdagangan/trade).
Transportasi ini pun berdampak pada kesejahteraan masayarakat seperti,
perdagangan antar wilayah, perluasan pasar, terciptanya kompetisi, dan
penyebaran pengetahuan, dan meningkatnya aksesibilitas penduduk terhadap
sarana pendidikan dan kesehatan dimana pada akhirnya akan meningkatkan
pula kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat.
Setiap jenis infrastruktur mempunyai pola masing-masing dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini berimplikasi pada kebijakan
dalam menentukan jenis dan investasi yang disalurkan karena pasar
cenderung menyediakan modal untuk merespon sinyal dan harga yang
menggambarkan keuntungan privat (private benefit) dengan mengabaikan
eksternalitas. Oleh karena itu, jika terjadi eksternalitas yang besar,
dibutuhkan intervensi pemerintah agar alokasi dana menjadi efisien.

21
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2. Sejarah perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia dimulai sejak
pemerintahan colonial Belanda dengan dikeluarkannya Staatsblaad No.
329, selanjutnya mengalami perkembangan sampai dikeluarkannya
Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku sampai sekarang.
3. Dampak Positif Otonomi Daerah Terhadap Pemerataan Pembangunan :
 Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengelola sumber daya
yang ada atau dimiliki daerah.
 Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengembangkan budaya
yang dimiliki oleh daerah tersebut.
 Daerah lebih tahu apa yang lebih dibutuhkan oleh daerah tersebut
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan.
 Seluruh komponen yang ada di daerah tersebut mulai dari pemerintah
ataupun masyarakat pada umumnya, dapat mengembangkan
kreativitas maupun inovasi-inovasi di berbagai bidang guna
meningkatkan pemerataan pembangunan daerah tersebut atau dengan
kata lain seluruh komponen ikut berpartisipasi dalam upaya
pemerataan pembangunan.
Dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerataan
pembangunan antara lain :

22
 Adanya kesenjangan pemerataan pembangunan di desa dan di kota,
timbulnya rasa cemburu antar daerah, adanya penyelewengan dana
proyek pembangunan oleh pejabat – pejabat di tingkat daerah.
4. Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam
mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan
infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan
ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah merupakan sesuatu yang
seharusnya menjadi kewajiban pemerintah. Keberadaan infrastruktur
sangat penting bagi pembangunan, sehingga pada tahap awal
pembangunan disuatu negara hal tersebut akan dipikul sepenuhnya
olehPemerintah, yaitu dari APBN murni.

23
DAFTAR PUSTAKA

Baca Paylo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet.2, Terj. Tim Redaksi, (Jakarta:
LP3ES, 1985), h. 16
Reece, Pendidikan Kaum Tertindas,h. 16
Baca UU Otonomi 1999, Cet. 4 (Jakarta : Restu Agung, 2001”, h. 11
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 33
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia, Sani Safitri.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah- Masalah, Pemberdayaan dan Konflik.
Jakarta. Kemitraan.
Nuryadin, M. Rusmini. 2010. Bagaimana Menakar pembangunan Ekonomi Lokal
di Era Otonomi Daerah. Makalah Simposium Nasional Ekonomi Pentas Pers
Mahasiswa Nasional 2010.
Kustiawan.2004.Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Dalam Bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Amrullah, Taufik. 2006. Analisis Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pembangunan
Ekonomi Regional Di Indonesia. Jakarta: FE UI.
Atmaja, Harry Kurniadi Dan KasyfulMahalli, S.E., M.Si. Pengaruh Peningkatan
Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kota Sibolga.
JurnalEkonomi ,Vol. 3 No. 4
Chaerunnisa, Desty Nurhidayanti. 2014. Pengaruh Infrastruktur Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Kota Sukabumi:PeriodeTahun 1990-2012.
Sukabumi.
Diwan. 2014. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Di Kabupaten Aceh Barat. Srkipsi. Aceh Barat :UniversitasTeuku
Umar Meulaboh.
Hapsari, Tanjung. 2011. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia. Skripsi.Jakarta : Universitas Syarif Hidayatullah.
Keusuma Cut Nanda dan Suriani. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Banda Aceh :Universitas
Syiah Kuala. JurnalEkonomi, Volume 4 Nomor 1, Mei 2015.

24

Anda mungkin juga menyukai