EKONOMI DAERAH
Disusun Oleh
Ikram Affandi
( P00933221027 )
Penulis
(i)
DAFTAR ISI
(ii)
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Otonomi Daerah ?
2. Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Otonomi di Indonesia ?
3. Bagaimana Otonomi Daerah Mampu Mempengaruhli Pertumbuhan Ekonomi suatu Daerah ?
1
C. Tujuan
1. Mengetahui arti otonomi daerah
2. Mengetahui jalannya pelaksanaan otonomi daerah
3. Mengetahui bagaimana otonomi daerah mampu mempengaruhli pertumbuhan ekonomi suatu
daerah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas
dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.
Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom
yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang. Peraturan perundangan yang pertama
yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.
Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal
yang bersita darurat dan segera saja.
3
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali
tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan
tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam
delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administratif
belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi
berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan
Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan
dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera
sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang
dianut oleh Undang-undang ini.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya A s/d C tyang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus
memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah
tangga daerah. Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri
dari 2 ayat sebagi berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
4
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-
undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau
kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam
daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah
diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil.
Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi
material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja
yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang
diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini
ternyata tidak dianut secara konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan
dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang
diatur didalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah
atau dalam peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri sistem rumah tangga formil. Jadi pada
dasarnya UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja
karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini
menganut sistem Materil.
5
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31
ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan
pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan
perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh
lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena
itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi
formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas
maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi
nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun
1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960. Dikatakan oleh
Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri
6
menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper
bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi
tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu
yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
7
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang
dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara
gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Untuk dapat
mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada
daerah. Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974
dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara
propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah
kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
8
kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itu
kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang
diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya
adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil.
Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan
secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada
system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil
antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah
kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang
tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-
undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga
formil.
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU
ini, otonomi daerah dipahami sebagai Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
9
Kewenangan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-
prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
1.Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2.Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3.Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
4.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
11
Daerah juga di harapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah serta menimbulka efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan
dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :
1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta ( berpartisipasi)
dalam proses pembagunan.
Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antar Negara dalam suatu sistem
ekonomi internasional. Salah satu dengan cara menghadapi dan memamfaatkan perdagangan
internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas,
perlu dilakukan perubahan struktual untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat
dalam perekonomian nasional.
Menurut Mardiasmo( 2002) ” Perubahan struktual adalah perubahan dari ekonomi
tradisional yang subsistem menuju ekonomi yang modern yang berorientasi pada pasar”.
Untuk mendukung perubahan struktual dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju
ekonomi yang modern ini di perlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan,
penguatan teknologi pembagunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu
diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pemberian peluang atau skes yang lebih besar kepada asset prosuksi, yang paling mendasar
adalah askes pada dana.
2. Memperkuat posisi transaksidan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber daya
manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi
4. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang
terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil
dan menengah yang harus kuat menjadi tulang punggung industri nasional.
12
5. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja yang mandiri sebagai
cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan
menengah yang kuat dan saling menunjang.
6. Pemerataan pembagunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh penjuru
tanah air,Oleh karena itu pemerataan pembagunan daerah diharapkam mempengaruhi
peningkatan pembaguna ekonomi rakyat.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas adalah :
1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Pada masa orde baru peran pemerintah terlalu dominan dalam segala kebijakan sehingga
muncul gelombang baru pada era reformasi yang menghendaki adanya kewenangan terhadap
daerah memalui otonomi daerah
3. Otonomi daerah memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi daerah
karena otonomi memberikan kewenangan dagi daerah untuk mengelola segala potensi yang
ada dalam daerahnya masing-masing. Hal ini akan menstimulan masyarakat itu sendiri untuk
berbuat lebih maju agar daerahnya sendiri maju
4. Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global
adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian,
diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat
daerah dapat dibagun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada
akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adi, W(Ed.). 2005.Otonomi Daerah dan Optimalisasi Sumber Daya Ekonomi, Jakarta:Pusat
Penenlitian Ekonomi-LIPI
Kaelan,(Ed.).2007.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta:Paradigma.
Kuncoro (2004).Otonomi dan Pembaguan Daerah;Reformasi,Perencanaan,Strategi dan
peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai UpayaMemperkokoh Basis Perekonomian
Daerah. Ekonomi Rakyat. Jilid 4, No.3, (online).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
15