Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH EKONOMI POLITIK INDONESIA

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH PADA MASA ORDE LAMA – ORDE BARU

Disusun oleh :

Desi Kartika (1610412011)

Septi Annisa (1610412029)

Nafa Diantika (1610412036)

Guna memenuhi tugas mata kuliah “Ekonomi Politik Indonesia”

Diampu oleh:

Wiwiek Rukmi Dwi Astuti, S.IP., M.Si

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................................................................................... 2

I. Pengantar........................................................................................................................ 3

a. Landasan Hukum ........................................................................................................ 4

b. Aktor-Aktor ................................................................................................................ 7

II. Praktik Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah pada Orde Lama dan Orde Baru ...... 7

a. Orde Lama .................................................................................................................. 7

a. Otonomi Daerah Pasca Kemerdekaan menurut UU No. 1 Tahun 1945 & UU


No. 22 Tahun 1948 ......................................................................................... 9

b. Otonomi Daerah saat masa Transisi dari UUDS 1950 ................................. 12

c. Otonomi Daerah saat Demokrasi Terpimpin................................................ 12

b. Orde Baru ................................................................................................................. 13

III. Kelemahan dan Kelebihan dalam Kebijakan Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama
dan Orde Baru .............................................................................................................. 15
IV. Solusi............................................................................................................................ 17
V. Kesimpulan .................................................................................................................. 18

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 19

2
I. Pengantar

Sejak awal, Indonesia telah menginginkan terbentuknya sistem yang memenuhi


kebutuhan dan kepentingan daerah. Dasar dari terbentuknya otonomi daerah atau lebih
dikenal sebagai desentralisasi sebenarnya telah lama dicetuskan sejak era kolonial. Pada era
kolonial, Belanda menerapkan sistem Desentralisasi yang bersifat sentralistik, birokratis dan
feodalistis bagi kepentingan mereka. Motif kepentingan dari penerapan sistem ini ialah untuk
memantau dan mengatur daerah agar tidak mengganggu politik di pusat. Dapat dibuktikan
dari tidak diterapkan seutuhnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dalam
rangka mendukung sistem mereka, Pemerintah Belanda kemudian menyusun sebuah hierarki
yaitu Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang mana harus tunduk terhadap
Gubernur Jendral. Kemudian, dikeluarkan nya Decentralisatie Wet pada tahun 1903 yang
ditindaklanjuti dengan Bestuuurshervorming Wet pada tahun 1922 dimana ditetapkan nya
daerah untuk mengantur rumah tangga nya sendiri yaitu dengan melalui pembentukan dan
pembagian daerah-daerah hingga menjadi daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi
Gewest (saat ini disebut dengan provinsi) regentschap (kabupaten untuk saat ini) dan
staatsgemeente (sekarang kotamadya) (BPP Kemendagri, 2017). Sedangkan, pada saat masa
pemerintahan Jepang ini juga melanjutkan pemerintahan daerah seperti pada zaman Belanda
lakukan namun perubahan tersebut lebih terperinci. Jika Belanda hanya mengenalkan
Indonesia kepada pembagian daerah yang besar, Jepang membagi urusan administratif hingga
RT/RW. Namun, pembagian wilayah ini terjadi hanya di Jawa dan sekitarnya di mana hanya
dijadikan sebagai alat kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak masyarakat
Indonesia dalam melakukan pemberontakan.

Dapat diketahui jika pada saat itu kondisi pemerintah Indonesia sangatlah buruk dan
goyah. Mereka harus mempertahankan status kemerdekaan dan juga harus mengurus keadaan
dalam negeri yang ditinggal oleh penjajah. Oleh karena itu, kondisi ini mengharuskan
Indonesia untuk segera menentukan bagaimana mereka akan menjalankan administratif
negara dan perlu adanya suatu pengaturan dan penataan pemerintah yang dapat berjalan
secara efisien dan mandiri namun tetap terawasi dan terpusat serta bernilai demokratis.
Bentuk pengaturan dan penataan ini kemudian disebut sebagai Otonomi Daerah. Istilah
otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” yang berarti “sendiri”, dan
“nomos” yang berarti “aturan”. Sehingga, otonomi diartikan pengaturan sendiri, mengatur
atau memerintah sendiri. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5,
pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

3
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika berbicara demokratisasi, tentu tidak akan
terlepas dari desentralisasi. Sistem otonomi daerah pun relevan dengan negara yang
wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak
yang berdaulat bukan saja harus dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup
di dalam proses pengambilan keputusan. (Yayasan Obor Indonesia, 2005).

Namun, implementasi regulasi ini pun perlu diperhatikan mengingat warisan penjajah
menyebabkan adanya ambiguitas mengenai sistem otonomi daerah tersendiri untuk Indonesia
dan perubahan regulasi-regulasi pun juga kerap dilakukan untuk mencari peraturan yang tepat
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan daerah. Sebab itu, di kepemimpinan Soekarno
atau Orde Lama dan kepemimpinan Soeharto atau Orde Baru akan banyak terjadi perubahan
regulasi yang tentu saja berbeda di setiap eranya.

a) Landasan Hukum

1. UUD 1945

Otonomi Daerah sesungguhnya telah tertuang dan menjadi dasar sistem negara ini.
Otonomi Daerah adalah tujuan utama dari Pemerintah Indonesia untuk mencapai kesatuan
akibat bentuk wilayah Indonesia yang luas dan terpisahkan oleh kepulauan dan lautan.
Sehingga, pada Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sejalan dengan Pasal 18 ayat (2) dan
seterusnya) setelah amandemen konstitusi, Indonesia dinyatakan sebagai Negara Kesatuan
yang dibagi atas daerah-daerah provinsi dan dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota yang setiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.

2. Pasca Kemerdekaan – Orde Lama

Saat Indonesia merdeka, pemerintahan Indonesia masih sulit untuk mengatur dan
menjalankan sistem pemerintahannya. Ibaratnya, Indonesia masih mencari jati diri dan berada
pada tahap transisi pencarian sistem pemerintahan yang tepat. Dan keseluruhan landasan
hukum mengenai otonomi daerah pada era Orde Lama akan seperti roller coaster di mana
nuansa desentralistik dan sentralistik naik turun.

4
i. Undang-Undang

Sejatinya pada Orde Lama, ada lima Undang-Undang yang


ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. UU No. 22 Tahun 1948.


Pada tahun 1948, Pemerintahan Indonesia kemudian mengatur
pemerintahan daerah secara khusus dengan dikeluarkannya UU
No. 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang
Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
yang mendorong penuh semangat desentralisasi dan
kedaerahan.
2. UU No. 1 Tahun 1957. Setelah RIS bubar, UU No. 22 Tahun
1948 kemudian berlaku kembali. Walau demikian, akibat
transisi perubahan sistem negara tersebut menyebabkan
terbentuknya UUDS 1950 yang melahirkan Pasal 131 UUDS
1950. Dan dalam pelaksanaan Pasal 131 UUDS 1950 ini,
kemudian pemerintah pun membentuk UU No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
3. UU No. 18 Tahun 1965. Undang-undang ini kemudian
menggantikan keseluruhan UU dan Penetapan Presiden yang
sebelumnya diberlakukan. Pergantian UU ini didasarkan akibat
telah kembalinya UUD 1945 sebagai dasar negara dan
penerapan Manifesto Politik sebagai GBHN. Perbedaan
mendasar dari UU ini adalah hanya ada satu jenis daerah
otonomi yang terbagi menjadi tiga tingkatan dan tidak
dirangkapnya jabatan Ketua DPRD GR oleh Kepala Daerah
(BPP Kemendagri, 2017). Dalam UU ini pun, Kepala daerah
tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah
dan wakil pemerintah pusat di daerah. Meskipun prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut,
namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap
(supplement) walaupun diberi embel-embel vital (Prayudi,
2014).

5
4. UU No. 19 Tahun 1965 yang dikeluarkan untuk persiapan
terbentuknya Daerah Tingkat III.
ii. Penetapan Presiden

Bagi Soekarno, UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 22 Tahun 1948


tidaklah ada perbedaan dan keduanya merupakan pabrik dari liberal dan
bernuansa parlementer. Untuk itu dalam menyusun kembali Pemerintahan
Daerah, Pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang melahirkan
empat Penetapan Presiden yang seluruhnya mengatur tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu:

1. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959;


2. Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1960;
3. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960; dan
4. Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1965.
3. Pasca Kemerdekaan – Orde Baru

Setelah Soekarno turun dari jabatan Presiden, Jenderal Soeharto kemudian diangkat
oleh MPR menjadi Pejabat Presiden. Namun, dengan adanya masa transisi dari era
sebelumnya yang ditutup dengan berbagai gejolak peristiwa pemberontakan demi stabilitas
negara pun MPRS pada akhirnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI hingga
dipilihnya Presiden oleh MPR melalui hasil Pemilu. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut
pengaturan akan pemerintahan di daerah, era Orde Baru kemudian menetapkan dan
mengeluarkan peraturan baru yang disinyalir sebagai upaya untuk melepaskan diri dari
peraturan sebelumnya yang dianggap tidak sejalan.

i. Undang-Undang
Setelah 4 tahun pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian
mengeluarkan UU No. 6 Tahun 1969 sebagai UU yang mengatur
bahwa peraturan di Orde Lama menjadi tidak berlaku. Setelah itu, pada
tanggal 23 Juli 1974 pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang secara
resmi mengganti UU No. 18 Tahun 1965 (BPP Kemendagri, 2017).
Selama 25 Tahun ini pula, tonggak dasar otonomi daerah hanya
didasarkan pada UU ini saja.

6
b) Aktor-Aktor

Kebijakan Otonomi daerah merupakan cita-cita yang terus digaungkan semenjak


Indonesia merdeka. Untuk itu, beberapa aktor – aktor yang mempengaruhi dan terlibat dalam
kebijakan otonomi daerah pada Orde Lama dan Orde Baru jika diurutkan, sebagai berikut:

1. Pemerintah Belanda dan Jepang


2. Panitia PPKI
3. Soekarno sebagai Pencetus Otonomi Daerah Orde Lama
4. Soeharto sebagai Pencetus Otonomi Daerah Orde Baru

Keseluruhan aktor memiliki perbedaan pengaruh dan pelaksanaan dalam kebijakan


otonomi daerah dan akan dijelaskan pada bagian Praktik Pelaksanaan Kebijakan Otonomi
Daerah pada Orde Lama dan Orde Baru

II. Praktik Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah pada Orde Lama dan Orde
Baru

A. Orde Lama

Orde Lama dimulai sejak tahun 1945-1965 dan keseluruhan periode tersebut diisi
dengan kegoyahan sistem Indonesia yang turut berganti beberapa tahun. Hal ini wajar karena
Indonesia sedang pada tahap transisi peralihan kekuasaan dari penjajahan ke negara baru
yang masih mencari jati diri dan sistem yang sesuai. Pencarian jati diri ini pun diharuskan
secepat mungkin karena Indonesia masih menjadi sasaran empuk para penjajah untuk
kembali. Untuk itu, Pemerintah harus secepatnya memiliki sistem untuk menjalankan negara
ini. Tantangan utama yang harus dihadapi pertama kali adalah bentuk wilayah yang terpisah
begitu luas. Indonesia harus mampu menerapkan sistem yang memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa.

Dalam progressnya, kebijakan otonomi daerah dipengaruhi oleh sistem yang dibawa
oleh pemerintahan penjajahan. Oleh karena itu, peraturan yang dibuat pun masih belum
terperinci dan sulit mengikuti kebutuhan daerah. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan
penjajahan pada saat itu sangatlah sentralistik walau sudah ada pembagian daerah-daerah.
Sistem otonomi di era kolonial menata daerah-daerah dengan sistem modern, membuat
peraturan tentang pemerintahan daerah, membentuk kabupaten, residen dan sebagainya agar
dapat mempermudah atau mengatur daerah jajahannya. (BPP Kemendagri, 2017). Pertama

7
kalinya, sistem otonomi daerah diterapkan oleh Belanda pada undang-undang ketatanegaraan
yang bernama Reglement Het Beleid Der Regeling Van Nederlandsch Indie yang sering
disingkat “RR”. Aturan ini mematikan peran Pemerintahan Daerah jajahan dalam melakukan
improvisasi pelaksanaan pemerintahan karena semua kebijakan harus sepengetahuan (melalui
pengesahan dari pemerintah pusat yang berada di Nederland (pusat pemerintahan Negara
Belanda) (Sagala, 2016). Aturan kenegaraan ini memang tidak menjelaskan secara gamblang
otonomi daerah berbentuk seperti apa, namun dalam aturan ini dikenalkan salah satu jenis
sistem dari desentralisasi yaitu dekonsentrasi. Dekonsentrasi merupakan secara administratif
diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan administratif departemen pemerintah pusat
ke daerah. (Bakhtiar, 2009) Kemudian, aturan ini kembali diperkuat dengan dikeluarkannya
sebuah undang-undang yaitu S. 216/1922. Dalam ketentuan ini, dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale
resort dan kelompok masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen). Dengan
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, masyarakat dihadapkan dengan dua
administrasi pemerintahan, yakni pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh seorang
Gubernur Jenderal yang merupakan wakil dari pemerintahan Kerajaan Belanda, yang di
bawahnya memimpin gubernur, resident, controiler, dan assistant controlier. Sementara
administrasi yang asli ada di bawah pemerintahan kerajaan Indonesia dipimpin oleh Raja
yang di bawahnya memimpin Kasultanan, Bupati, Wedono, dan Asisten Wedono (BPP
Kemendagri, 2017).

Kemudian, ketika Pemerintahan Jepang menjajah selama 3,5 tahun banyak beberapa
perubahan yang cukup fundamental. Untuk urusan administrasi atau pembagian urusan
pemerintahan Jepang memberlakukan UU (Osamu Sirei) No 27 Tahun 1942 yang mengatur
penyelenggaraan pemerintah daerah dalam beberapa bagian, dari Syuu (tiga wilayah
kekuasaan Jepang) dibagi dalam Ken (Kabupaten), dan Si (Kota). Walaupun demikian,
pengaruhnya tidak begitu besar seperti Belanda karena faktor dari singkatnya waktu mereka
berada di Indonesia. Namun, struktur administrasinya lebih lengkap bila dibandingkan
dengan Belanda.

Ketika Indonesia merdeka, sistem penjajahan tidak hilang dibawa oleh penjajah,
melainkan digunakan dan dijadikan acuan untuk sistem pemerintahan otonomi daerah
selanjutnya. Pada saat itu, sistem kenegaraan masih sangat sederhana, yang terbentuk
hanyalah Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, untuk membantu terselenggaranya
tugas-tugas lembaga kenegaraan akhirnya diisi oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

8
di mana mereka lah yang mengatur dan menjalankan semua tugas lembaga kenegaraan. KNIP
sendiri dibentuk dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. Dalam rapat
tersebut, PPKI juga menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan daerah.
Pertama, PPKI menetapkan untuk sementara waktu, Indonesia akan terbagi menjadi 8
provinsi yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur. Kemudian, 8 Provinsi tersebut terbagi
lagi menjadi beberapa Karesidenan yang dikepalai Residen. Dan keseluruhan tugas
pemerintah daerah akan dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND). Dari penetapan ini
kita dapat melihat warisan dari penjajah yang masih digunakan untuk sistem pemerintah
daerah.

Setelahnya, kedudukan tiap pemerintahan daerah harus dituangkan dalam hukum


yang jelas. Dalam UUD 1945 Pasal 18 kemudian menegaskan yang dimaksud dengan
pemerintah daerah sebagai berikut:

“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuksusunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, denganmemandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahannegara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”

1. Otonomi Daerah Pasca Kemerdekaan menurut UU No. 1 Tahun 1945 & UU


No. 22 Tahun 1948

Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan


daerah pasca proklamasi kemerdekaan dibentuk yaitu UU Nomor 1 tahun 1945.
Ditetapkannnya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan
tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan
kolonialisme (Safitri, 2016). Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan
rakyat melalui pengaturan pembentukan badan perwakilan tiap daerah. Dalam undang-
undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
Tujuan dibentuknya aturan ini adalah untuk menarik kekuasaan pemerintah dari tangan KND
sehingga tidak adanya dualisme dalam praktik negara akibat adanya posisi Pangrehpraja dan
Polisi. Pusat harus dibantu oleh pemerintah daerah dan KND menjadi badan legislatif yaitu
Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjalankan dan membuat/menetapkan peraturan-
peraturan oleh pemerintah itu dengan ketentuan harus disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Hampir mirip dengan pelaksanaan DPRD saat ini.

9
Namun, UU No. 1 Tahun 1945 tidaklah begitu jelas menjelaskan masalah pemerintah
daerah. Faktor lainnya yaitu daerah Surakarta dan Yogyakarta saat itu tidak dijelaskan
posisinya. Sehingga, peraturan ini sulit diterima oleh masyarakat. Ditambah pula adanya
dualism kekuasaan eksekutif yang menimbulkan persoalan dalam lapangan pemerintahan.
Oleh karena itu, periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Terjadi banyak
kesimpang siuran dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam aturan ini.
Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintahan yang mengatur
mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Kemudian, untuk memperjelas
dan memperbaharui UU No. 1 Tahun 1945 maka ditetapkannya Undang-undang Nomor 22
tahun 1948.

Dalam UU No. 1 Tahun 1945 & UU No. 22 Tahun 1948, kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri diberikan oleh pemerintah pusat dan
berbeda aplikasinya saat masa penjajahan dulu. Sehingga daerah memiliki hak-hak meereka
sendiri dan kebebasan berinisiatif dalam menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangga
daerah asalkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan daerah yang lebih
tinggi tingkatannya.

Pembagian daerah dalam UU terbaru ini berbeda dengan UU sebelumnya. Jika UU


No. 1 Tahun 1945 masih terkesan sederhana, sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1948 kita
dapat mengenal istilah Daerah Otonomi dan Daerah Istimewa.

Pada dasarnya definisi untuk daerah otonomi merupakan daerah yang diberikan
kebebasan untuk mengadakan peraturan dan penyelenggaraannya sehingga untuk itulah
dinamakan daerah yang berotonomi atau daerah yang berhak mengatur sendiri
pemerintahannya. (R.G. Kartasapoetra, 1993), dan untuk daerah istimewa merupakan daerah
yang kepala daerah/wakilnya diangkat langsung oleh Presiden RI dari keturunan keluarga
yang berkuasa di daerah tersebut sebelum RI dan masih menguasai daerah tersebut. (Kansil,
1986) Dan untuk daerah otonom terbagi atas empat yaitu 1) Pemerintahan Kabupaten; 2)
Pemerintah Kota; 3) Pemerintah Karesidenan; dan 4) Pemerintahan Desa (Prof. Dr. Drs. H.
Abdul Manan, 2018). Dan untuk tingkatannya RI terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu 1)
Provinsi, 2) Kabupaten/Kota Besar, dan 3) Desa/Nagari/Marga/Kota Kecil.

Proses terbentuknya UU ini bukan hanya karena UU sebelumnya tidak mampu


menjelaskan secara spesifik mengenai pemerintah daerah melainkan juga karena
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah yang mengubah

10
sistem pemerintahan Indonesia yang semula merupakan presidensial menjadi parlementen.
Hingga, penyelenggaraan sistem tatanegaranya pun ikut mempengaruhi bagaimana hubungan
pusat ke daerah. Dalam UU No. 22 Tahun 1948, dijelaskan pekerjaan apa saja yang akan
ditangani oleh Pemerintahan daerah. Pemerintah Daerah dibagi menjadi dua macam yakni

a). Pemerintah Daerah berdasarkan hak otonomi; dan

b). Pemerintah Daerah berdasarkan hak medebewind,

Pekerjaan yang ditangani Pemerintah daerah dapat berupa keseluruhan hak otonomi
dan hak medebewind maupun hanya sebagian dari masing-masing hak. Melalui hak-hak ini,
daerah mendapatkan penyerahan penuh dan penyerahan tidak penuh. Jika penyerahan penuh,
pemerintah daerah akan memiliki hak otonomi di mana seluruhnya diserahkan semua ke
daerah. Sedangkan, hak medebewind maka penyerahannya hanya mengenai cara
menjalankannya, dalam arti kata lain pemerintah daerah berhak menjalankan menurut
caranya walaupun hanya menjalankan saja dan pemerintah pusat lah yang menetapkan
prinsipnya.

Sejujurnya. Otonomi daerah yang digadang-gadang oleh Soekarno dan jajarannya saat
itu dinyatakan bukan hanya sekedar perpindahan tanggung jawab dari pusat ke daerah atau
hanya memindahkan urusan birokrasi dari pusat ke daerah dan otonomi tidak boleh
memecah-belah keutuhan bangsa dan negara. (Hartono, 2018). Namun, impian Soekarno dan
bangsa Indonesia harus hilang sementara akibat Belanda yang datang kembali menjajah
Indonesia pada tahun 1949 sehingga pada saat itu melalui hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) pada 27 Desember 1949, Republik Indonesia harus mengubah bentuk negaranya
menjadi Republik Indonesia Serikat yang memiliki sistem pemerintah federalisme.
Akibatnya, wilayah Indonesia harus menyusut dan hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera,
dan Kalimantan. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 1948 tidak dapat diimplementasikan
dengan baik. Saat itu, kondisi Indonesia benar-benar terpecah belah akibat terbentuknya
negara-negara bagian baru. Sehingga, fokus pada saat itu adalah meminimalisir kemungkinan
terjadinya memerdekakan diri atau melepaskan diri dari Indonesia. Beruntungnya, pada
tanggal 15 Agustus 1950, Indonesia dapat mengembalikan jati dirinya menjadi negara
republic sehingga UU No. 22 Tahun 1948 dapat berlaku kembali. Walau demikian, ada UU
khusus daerah NIT yang mendampingi UU No. 22 Tahun 1948 yaitu UU No. 44 Tahun 1950
yang menetapkan daerah bekas wilayah Negara Indonesia bagian Timur.

11
2. Otonomi Daerah saat masa Transisi dari UUDS 1950

Pada masa transisi menuju kembalinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
UUDS 1950 lahir menggantikan sementara UUD 1945. Dan dalam UUDS 1950, Pemerintah
daerah sangat begitu digambarkan dalam Pasal 131 yang menyatakan bahwa NKRI adalah
Negara kesatuan yang didesentralisasikan. (BPP Kemendagri, 2017). Dan untuk mendukung
pelaksanaan pasal tersebut dibentuklah UU No. 1 Tahun 1957. Dalam UU terbaru ini, Daerah
otonom dibagi menjadi dua yaitu Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa. Swatantra sendiri
merupakan kosa kata asli Indonesia. Menurut KBBI, Swatantra diartikan sebagai otonomi
atau pemerintahan sendiri. Undang-undnag ini telah mencerminkan kehidupan pemerintahan
yang demokratis karena rakyat berpartisipasi penuh dalam menentukan kepala Daerah,
DPRD, dan DPD yang dipengaruhi oleh Pemilu tahun 1955. Dalam UU No. 1 Tahun 1957
pula daerah memiliki hak otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Namun, bagi Soekarno, UU ini merupakan produk yang beralirkan parlementer. Hal ini dapat
terlihat adanya Daerah Swapraja yang disinyalir merupakan kelanjutan dari sistem
Pemerintah Daerah Hindia Belanda dan RIS. Daerah ini dapat dialihkan statusnya menjadi
daerah Swatantra. Akibatnya banyak pemberontakan di daerah yang muncul sehingga
Indonesia harus menyesuaikan kembali kondisi perpolitikan mereka. Sedangkan pada saat itu,
Indonesia mulai mengadopsi sistem Demokrasi terpimpin. Oleh karena itu, UU No. 1 Tahun
1957 dicabut dan dibubarkan dengan adanya Dekrit Presiden 1959.

3. Otonomi Daerah saat Demokrasi Terpimpin

Pada masa ini, Soekarno memiliki power kuat dalam menentukan arah kebijakan
Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibubarkannya MPRS dan DPRS melalui Dekrit Presiden
1959 dan kembalinya UUD 1945 sebagai dasar negara. Fokus utama ialah melepaskan diri
dari jeratan federalisme dan parlementer, oleh karena itu sistem disesuaikan dengan
demokrasi terpimpin yang mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi. Dalam
rangka menyusun kembali sistem pemerintahan daerah yang sempurna, maka Soekarno
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan membentuk Badan Pemeriksa
Harian (BPH). BPH merupakan badan eksekutif yang akan membantu Kepala Daerah untuk
mengurus daerah otonomi. Dalam PenPres ini, Kepala Daerah memiliki tingkatan yang
sejajar dengan DPRD. Kepala Daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala
Daerah dianggap sebagai alat pusat dan daerah, oleh karena itu DPRD dengan tersirat berada
di bawah Kepala Daerah. (Yayasan Obor Indonesia, 2005). Kemudian, Pemerintah

12
mengeluarkan Penetapan Presiden Np. 5 Tahun 1960 yang mengatur tugas dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebagai pengganti DPRS dan MPRS.

Otoritarianisme dalam periode ini tidak berhenti begitu saja. Diberlakukannya UU No. 18
Tahun 1965 mengenai Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah menggantikan UU dan PenPres
sebelumnya semakin memperkecil kewenangan daerah. Perbedaan mencolok UU terbaru ini
dengan sebelumnya ialah Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi yang terbagi
menjadi tiga tingkatan yaitu:

1. Tingkat 1 (Provinsi / Kotaraya);


2. Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya); dan
3. Tingkat III (Kecamatan/Kotapraja).

Berkat UU ini, daerah – daerah yang ditetapkan pada UU No. 1 Tahun 1957 dihapus
secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Namun, otonomi daerah
hanyalah tinggal nama. Karena sistem politik terpimpin membuat nuansa sentralistik menguat
dan mengaburkan definisi pembagian kekuasaan terhadap daerah. Karena pada dasarnya, di
era akhir Presiden Soekarno yang memimpin itu hanyalah pemerintah pusat. UU No. 18
Tahun 1965 kemudian bernasib sama dengan UU No. 1 Tahun 1957 yang harus dihapuskan.

B. Orde Baru

Masa Orde Baru dimulai sejak 1966-1998 yang merupakan proses pergantian dari era
Orde Lama. Pada masa ini, aturan mengenai otonomi daerah belum terbentuk sampai 8 tahun.
Beberapa kejadian penting yang dapat ditemukan dari perubahan kepemimpinan ini hanyalah
upaya pelepasan kekuasaan Soekarno oleh Soeharto melalui UU No. 6 Tahun 1969 yang
digunakan sebagai penetralisir dan aturan yang menetapkan UU yang dibentuk pada era
Soekarno tidak berlaku kembali. Baru pada tanggal 23 Juli 1974, Orde Baru mengeluarkan
UU No. 5 Tahun 1974 yang menggantikan secara resmi UU No. 18 Tahun 1965 dalam
rangka mengatur kembali pemerintahan daerah. Rakyat pada saat itu percaya bahwa
kehadiran Soeharto dan aturannya mampu mengembalikan stabilitas politik dari pergolakan
daerah sehingga pemerintah pusat pun diberikan kewenangan besar di daerah. Sehingga, pada
UU tersebut, hubungan pusat – daerah menggunakan tiga prinsip yang saling berhubungan
yaitu:

a. Desentralisasi;
b. Dekonsentrasi; dan

13
c. Tugas Pembantuan (Medebewind).

Dalam UU ini, daerah otonom dibagi menjadi dua tingkatan yaitu Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II. Bedanya, asas dekonsentrasi yang digunakan begitu kuat sehingga
pelaksanaannya lebih ditegaskan. Wilayah Administratif kemudian terbentuk dan terdiri dari
tiga tingkat, yaitu Provinsi dan Ibukota Negara, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan.
Ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat pun begitu terlihat dari sisi pertanggung jawaban
tupoksi untuk Kepala Daerah dan Kepala DPRD. Kepala Daerah secara tegas bertanggung
jawab hanya kepada Pemerintah Pusat, dan Kepala Dewan hanya memberikan
pertanggungjawaban dalam bidang tugas pemeirntahan daerah saja. (BPP Kemendagri, 2017)

Jika dilihat secara seksama, UU No. 5 Tahun 1974 dapat dikatakan sangatlah sesuai dan
akan berimbas baik apabila diimplementasikan dengan baik. Namun, dalam prakteknya UU
ini tidak memberikan dasar hukum yang seperti dicita-citakan. Sentralistik begitu kuat dan
menjadi-jadi pada era ini. Daerah tidak lagi memiliki kewenangan bebas dalam
mengembangkan potensi daerahnya, karena keseluruhan proses pembangunan harus
bergantung dengan pusat. Sistem pemerintahan yang represif dan tidak demokratis juga
ditunjukan dari ketatnya pengawasan pemerintah pusat atas daerah. Bahkan, UU No 5 Tahun
1974 ini pun menetapkan tiga jenis pengawasan, yaitu pengawasan preventif, pengawasan
represif dan pengawasan umum yang dianggap sebagai upaya tepreliharanya kesatuan bangsa
dan keutuhan wilayah NKRI. Strategi ini cenderung diterapkan oleh Orde Baru dengan alasan
untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik yang saling berkoordinasi
antara daerah – pusat. Tak ayal, otonomi daerah pada era ini hanyalah penghias bibir dan
pemanis janji. Sesungguhnya, Orde Baru tidak mempunyai keinginan untuk memberikan
otonomi daerah yang sebenarnya. Daerah yang memiliki kewenangan dianggap mampu
menjadi ancaman bagi kesatuan RI karena dapat membentuk peluang untuk menjadi negara
baru. Daerah yang memiliki Sumber Daya melimpah akan menimbulkan kesenjangan dan
membuat pemerintah pusat kekurangan dana untuk menjalankan roda pemerintahan di tingkat
nasional. (Yayasan Obor Indonesia, 2005). Pejabat Daerah yang dipilih pun hanya lah
pajangan dan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, Orde Baru
bukanlah angin segar untuk melepaskan diri dari Demokrasi Terpimpin, melainkan hanyalah
keberlanjutan otoritarianisme yang menghapus desentralistik.

14
III. Kelemahan dan Kelebihan dalam Kebijakan Otonomi Daerah pada Masa Orde
Lama dan Orde Baru

a) Kelemahan Kebijakan Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama


- Rentan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Seperti yang dapat kita pahami bahwa dalam Orde Lama ini banyak sekali UU
yang mengalami perubahan seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun
1948 Dari kedua contoh UU diatas dapat disimpulkan bahwa dalam Orde Lama
ini kebijakan otonomi daerah sudah mulai mengerucut yang mana kekuasaan itu
tidak hanya berada di pusat namun bisa juga di daerah hal tersebut juga dapat
memicu terjadinya KKN dimana dan dari pemerintah tidak sampai ke tangan
langsung (daerah). Oleh karena itu, muncul oknum-oknum yang kurang jujur
sehingga dana daerah tersebut disalah gunakan.

b) Kelebihan Kebijakan Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama


- Mengurangi Tugas Pemerintah Pusat

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa Orde Lama
otonomi daerah ini sudah terbentuk dan mengerucut dengan adanya tingkatan
daerah maka dari itu hal tersebut dapat mengurangi beban atau tugas yang ada
pada pemerintah pusat yang mana pemerintah pusat tidak lagi memikul tugas
daerah dengan sendirinya namun dengan adanya tingakatan daerah ini justru
memudahkan pemerintah pusat untuk melaksanakan tugasnya . hal ini sesuai
dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 Tentang pemerintahan daerah Penpres ini
menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat
pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas
mengurus ketertiban dan keamanan umum di daerah; mengkoordinasikan antara
jawatan pemerintah pusat di daerah dengan pemerintah daerah; melakukan
pengawasan jalannya pemerintahan daerah; dan menjalankan kewenangan umum
lainnya yang terletak dalam bidang urusan pemerintah pusat. (Sagala, 2016)

c) Kelemahan Kebijakan Otonomi Daerah pada masa Orde Baru


- Undang-Undang Sebelumnya Sudah Tidak Sesuai Dengan
Perkembangan Zaman

15
Dengan banyaknya UU yang berlaku dan berubah-ubah seperti yang
ada pada Orde Lama maka dari itu UU ini sudah tidak dapat digunakan lagi
hingga pada akhirnya UU No. 5 Tahun 1974 menjadi titik akhir UU yang
ditentukan bagi Otonomi daerah sampai saat ini . hal ini dirubah karena tidak
mengikuti perubahan perkembangan zaman ditambah dengan dimana sesuai
dengan sifat NKRI maka dari itu kedudukan pemerintah daerah sebisa
mungkin untuk diseragamkan. Di sisi lain ialah agar menjamin
terselenggaranya pemerintahan yang tertib, wilayah NKRI ini perlu dibagi atas
daerah besar dan kecil baik yang bersifat otonom maupun administratif
(KEMENDAGRI, 2012). Lahirnya UU No.5 tahun 1974 ini berada pada
kondisi dimana NKRI sedang anti terhadap slogan bernada komunisme dan
dimana benar-benar menuju pada sistem pemerintahan daerah ke arah
paradigma pembangunan dibandingkan dengan politik. tentunya hal ini sejalan
dengan ideologi pada rezim Orde Baru yang mengutamakan stabilitas politik
demi pembangunan ekonomi . resiko yang didapat akan melahirkan karakter
pusat daerah yang mengarah pada sentralisasi dibandingkan pada otonomi
formal pengelolaan berbagai urusan tingkat lokal. Pada masa kepemimpinan
Orde Baru juga di khawatirkan dengan meningkatnya ketergantungan
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat .
d) Kelebihan Kebijakan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru
- Prioritas Pembangunan Jelas
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 terdapat dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip yaitu :
i. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau
Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya;
ii. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala
Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-
pejabat di daerah; dan
iii. Tugas Pembantuan, tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh
Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya. (KEMENDAGRI, 2012)

16
Hal tersebut memudahkan dalam rangka pembangunan yang lebih jelas
dan tepat sasaran dan dengan adanya otonomi daerah ini pemerintah bebas
mengatur dan menyesuaikan pembangunan sesuai dengan kondisinya jika
suatu daerah membutuhkan banyak infrastruktur maka pemerintah pusat akan
mengalokasikan dana pembangunan untuk infrastruktur.

IV. Solusi

Setelah dikuasai oleh rezim otoriter Orde Baru Suharto selama lebih dari tiga dekade,
Indonesia memulai fase baru yang dikenal sebagai Reformasi. Dengan runtuhnya pada masa
Orde Baru muncul lah masa reformasi tersebut dimana segala kebijakan yang dibuat selama
32 tahun runtuh, gelombang demonstrasi menganggap rezim Orde Baru yang anggap gagal
menjalanka amanat UUD 1945. Era ini dipandang sebagai awal periode demokrasi dengan
perpolitikan yang terbuka dan liberal. Dalam era baru tersebut,, otonomi yang luas kemudian
diberikan kepada daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat
(desentralisasi). Dasar dari transisi ini dirumuskan dalam UU yang disetujui parlemen dan
disahkan Presiden Indonesia di tahun 1999 yang menyerukan transfer kekuasaan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke pemerintah-pemerintah daerah. Tuntunan dari
reformasi itu sendiri adalah dihapuskannya bentuk sentralisasi kemudian di gantikan dengan
desentralisasi. Dalam hal ini reformasi menghendaki adanya perubahan dasar terhadap
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah agar di dalam hubungan tersebut adanya
keadilan dan transparant dalam kebijakan. Kemudian pemerintahan daerah dapat leluasan
untuk mengelola sumber daya alam di daerahnya untuk kepentingan masyarakat lokal tanpa
berkaitan dengan kepentingan nasional. Gerry Van Klinken dan Henk Schulte dalam bukunya
yang berjudul Politik Lokal di Indonesia (cetakan ke-2, 2004) menyatakan, desentralisasi
mengacu kepada pergeseran, pengambilalihan kebijakan dan devolusi. Kebijakan tersebut
menyangkut transfer kekuasaan dari kekuatan penuh pusat kepada pemerintahan yang lebih
rendah, seusai dengan Undang-Undang Tahun 2001. Desentralisasi juga bertujuan untuk
merapikan kembali kekacauan pengelolaan sumber daya alam dan anggaran yang telah terjadi
saat jatuhnya Orde Baru. Dalam perkembangannya, desentralisasi juga diperkuat dengan
diundangkannya Paker UU 1999 tentang pemerintahan daerah (Paket UU 1999) dan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah (UU Perimbangan
Keuangan 1999).

17
V. Kesimpulan

Banyak revisi UU yang dilakukan pada masa orde lama dan orde baru mengenai otonomi
daerah ini dimulai dari sejarah penggunaan otonomi daerah yang digunakan dari peraturan
otonomi daerah Jepang dan Belanda hal tersebut berkembang hingga sekarang Indonesia
benar-benar memiliki UU yang mengatur otonomi daerah itu sendiri revisi demi revisi ini
dilakukan agar UU tersebut dapat mengikuti sesuai pada zaman nya, masing-masing dari
kebijakan presiden di era orde lama dan orde baru memiliki tujuan dan pencapaian dari setiap
kebijakan. Namun yang berbeda adalah di masa orde lama presiden tidak mampu
menjalankan kebijakan otonomi daerah ini berjalan dengan baik sehingga di anggap gagal
dalam kebijakan tersebut, kemudian di ganti dengan masa orde baru. Orde baru ini lah yang
menyelesaikan revisi-revisi UU dari kebijakan orde lama. Dalam masa orde baru kebijakan
otonomi daerah berjalan dengan baik, meskipun masih ada yang harus di perbaiki.
Sesungguhnya orde baru tidak mempunyai keinginan untuk memberikan otonomi daerah
yang sebenarnya daerah yang memiliki kewenangan dianggap mampu menjadi ancaman bagi
kesatuan RI karena dapat membentuk peluang untuk menjadi negara baru daerah yang
memiliki sumber daya melimpah akan menimbulkan kesenjangan dan membuat pemerintah
pusat kekurangan dana untuk menjalankan roda pemerintahan di tingkat nasional

18
Daftar Pustaka
Bakhtiar, B. (2009). Analisis Juridis Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah
dan Daerah Otonom di Indonesia. Depok: FH UI.

BPP Kemendagri. (2017). Menelisik Sejarah Otonomi Daerah. Media BPP: Jendela
Informasi Kelitbangan, Volume 2, No. 3, 20-25.

Hartono, R. (2018, Februari 20). Nasehat Bung Karno Soal Otonomi Daerah. Retrieved from
Berdikiri Online: http://www.berdikarionline.com/nasehat-sukarno-soal-otonomi-
daerah/

Kansil, C. (1986). Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

KEMENDAGRI. (2012). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemerintahan


Daerah. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Prayudi. (2014). DESENTRALISASI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA:


POLITIK NEGARA DI TENGAH HUBUNGAN PUSAT-DAERAH. Kajian Vol. 19
No. 4 Desember 2014, 293-310.

Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S. S. (2018). Dinamika Politik Hukum Di Indonesia: Edisi
Pertama. Jakarta: Kencana.

R.G. Kartasapoetra, S. (1993). Sistematika Hukum Tatanegara. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.

Safitri, S. (2016). SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA.


JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 5, NOMOR 9, 79-83.

Sagala, A. (2016). MODEL OTONOMI DAERAH PADA MASA ORDE LAMA ORDE
BARU DAN REFORMASI DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.
JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, 1-15.

Yayasan Obor Indonesia. (2005). Desentralisasi dan otonomi daerah: desentralisasi,


demokratisasi & akuntabilitas pemerintahan daerah. Jakarta: LIPI Press.

19

Anda mungkin juga menyukai