Anda di halaman 1dari 15

Sejarah Terbentuknya Pemerintahan

Daerah di Indonesia
Mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah
Dosen: Lia Riesta Dewi, S.H

Disusun oleh:
Adinda 070050
Agus Prihatna 071139
Farrah Giatri S 080014
Yuliawati Sastradisurya 080032
Muhammad Ahlul Fikri 081188
Amriansyah Maulana 081166
Arina Prinsiska 081169
Kelas V/C
Kelompok 1

Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Titayasa
2010
Sejarah Terbentuknya Pemerintah Daerah
Pendahuluan
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-undang
Dasar 1945 berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi
dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih
kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsmeenchappen)
atau bersifat daerah administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan
undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
perwakilan daerah, oleh karena itu di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas
dasar pemusyawaratan.
Pemerintahan Daereh diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu bab
VI dengan judul ‘Pemerintahan Daerah’. Dalam UUD RIS 1949, ketentuan mengenai
hal itu termaksud dalam pasal 42-67 dan dalam UUDS 1950 pada pasal 131 dan 132.
Bahkan semenjak sebelum kemerdekaan, sudah banyak pula peraruran yang di buat
untuk mengatur mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang
berkaitan dengan soal desentralisasi.
Dalam pasal 18A UUD 1945, diamanatkan tentang hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau
antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan daerah dan keragaman daerah.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

1. Sejarah Terbentuknya Pemerintahan Daerah Pada Zaman Hindia


Belanda
Prototipe pemerintahan daerah pada zaman Hindia Belanda telah
berkembang pada zaman Verenigde Oost Ondische Compagnie (VOC). Sejak
kedatangannya dan masuk ke bumi Indonesia pada tahun 1602, pada hakikatnya
VOC merupakan misi perdagangan dari Belanda, namun VOC diberi hak-hak
kenegaraan dan politik oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan hanya
berkedudukan di Batavia. Namun, dalam perkembangannya, daerah yang
diduduki VOC meluas sampai ke luar Batavia, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, bahkan sampai daerah-daerah luar
Jawa dan Madura.
Di daerah-daerah tersebut, VOC telah menempatkan atau mendudukkan
pegawai-pegawainya atau wakil-wakilnya. Dengan demikian tidak lagi
dipusatkan di Batavia dengan melaksanakan asas konsentrasi, melainkan telah
dilaksanakan asas dekonsentrasi. Namun, hingga sekarang tidak diketahui sejak
kapan VOC mulai melaksanakan asas dekonsentrasi tersebut, sehingga
pelaksanaan asas dekonsentrasi tersebut tanpa pengaturan dalam suatu
perundang-undangan. Namun, di daerah-daerah yang dapat dikuasai langsung
oleh VOC sistem pemerintahannya masih bersifat sentralistis dengan
pemerintahan pangreh praja, sekarang pemerintahan pamong praja, yang
kemudian disebut pemerintahan administrasi; sebagai pelaksana asas
dekonsentrasi tersebut.
Baru kemudian pada tahun 1903 dikeluarkan Decentralisatiewet 1903 dan
dilaksanakan asas desentralisasi, namun masih sangat terbatas atau dapat
dikatakan hanya formalitas atau sekadar memenuhi tuntutan rakyat belaka yang
menuntut untuk diikut sertakan dalam pemerintahan negara. Lalu mengapa atau
dilatarbelakangi politik apa sehingga pemerintahan Kerajaan Belanda
melaksanakan asas desentralisasi di Hindia Belanda? Yaitu karena dianutnya
ethisce politic atau politik pemurnian. Pemerintah Kerajaan Belanda merasa
berutang budi kepada rakyat Hindia Belanda karena telah dilaksanakannya
tanam paksa dan kerja paksa yang memberikan keuntungan yang sangat besar
sehingga dapat mencukupi seluruh anggaran pendapatan dan anggaran belanja
Kerajaan Belanda, baik di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda. Awalnya
desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR yang
ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet up de
Staatsinrichting van Netherlands-indie yang biasa disebut Indische
Staatsregeling (IS) tahun 1925.
Decentralisatiewet 1903 merupakan peraturan pertama yang mengatur
mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Karena
perkembangan politik, terutama sebagai reaksi atas ekses-ekses yang timbul
karena dilaksanakannya cultuurstelsel, timbul gerakan di negeri Belanda
diantara orang-orang Belanda yang progresif untuk mengembalikan utang moral
dan budi dari negeri Belanda atas pelaksanaan cultuurstelsel yang
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya, ternyata Decentralisatiewet 1903 tidak
memenuhi kebutuhan. Dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut,
maka dikeluarkanlah Bestuurshervormingswet 1922; Ind, Stb. Nomor 216
Tahun 1922. Wet ini memuat ketentuan-ketentuan mengenai desentralisasi dan
dekonsentrasi.
Dengan demikian, secara umum pengaturan mengenai pelaksanaan
pemerintahan daerah yang diaplikasikan dalam bentuk menyerupai
desentralisasi dan otonomi daerah pada zaman Hindia Belanda dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Regeeringsreglement 1854, yang kemudian disebut Wet op de Indische
Staatsregeling sejak tanggal 1 Januari 1926.
2. Decentralisatiewet 1903.
3. Bestuurshervormingswet 1922.
4. Province Ordonnantie, Ind. Stb. 1924 Nomor 78, perubahan terakhir
dengan Ind. Stb 1940 Nomor 226,251.
5. Regentschap Ordonnantie Ind. Stb. Nomor 79, perubahan terakhir dengan
Ind. Stb 1940 Nomor 226.
6. Staatgemeente Ordonnantie Ind. Stb. 1940 No. 226 dan Ind. Stb 1948 No.
195.
7. Groepsgemeenschappen Ordonnantie, Ind. Stb. 1937 Nomor 464 jo. Ind.
Stb. 1938 Nomor 130 dan 264.
8. Staatgemeente Ordonnantie Buiten Gewesten Ind, Stb. 1938 Nomor 131
dan 271.
9. Inlandsche Gemeente Ordonnantie Jawa en Madura (IGO) Ind. Stb. 1906
No.83.
10. Inlandgemeent Gemeente Ordonnantie Buiten Gewesten (IGOB) Ind, Stb.
1938 Nomor 490 jo. Ind. Stb. 1938 Nomor 681.

2. Sejarah Terbentuknya Pemerintahan Daerah Pada Masa Berlakunya


UUD RI 1945
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengatur mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, yang
ketentuannya terdapat dalam pasal 18, yang menentukan “Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan menimbang
dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara,
dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Hal pokok yang dikehendaki atau ditentukan atau tegasnya diperintahkan
oleh ketentuan pasal 18 UUD RI tersebut adalah: “Bahwa dalam rangka
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan asas
desentralisasi dan asas dekonsentrasi secara bersama-sama, dan yang diatur
dengan Undang-undang.” Dengan demikian harus segera dibentuk undang-
undang organik untuk melaksanakan hal-hal yang dikehendaki menurut pasal
18 UUD RI 1945 tersebut.

2.1 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


Dalam rapatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia menetapkan mengenai hal daerah Republik Indonesia
yang tercantum di bawah ini:
1. Untuk sementara waktu, Daerah Negara Republik Indonesia dibagi ke
dalam 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur.
Provinsi-provinsi tersebut adalah:
a. Jawa Barat,
b. Jawa Tengah,
c. Jawa Timur,
d. Sumatera,
e. Borneo,
f. Sulawesi,
g. Maluku,
h. Sunda Kecil.
2. Daerah provinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang
Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah;
3. Untuk sementara waktu, kedudukan kota dan sebagainya diteruskan
seperti sekarang;
4. Untuk sementara waktu, kedudukan kota (gemeente) diteruskan seperti
sekarang.

2.2 Maklumat Pemerintah 17 November 1945


Dalam hal pengaturan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah,
Maklumat Pemerintah 17 November 1945 mengeluarkan isi yang salah
satunya menyatakan untuk menyempurnakan susunan pemerintahan di daerah
berdasarkan kedaulatan rakyat.

2.3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945


Undang-undang ini diumumkan oleh A. G. Pringgodigdo yang menjabat
sebagai Sekretaris Negara pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang
ini mengatur mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah yang kemudian
menjadi cikal bakal dari terbentuknya sistem pemerintahan daerah yang
efektif. Terdapat enam (6) pasal di Undang-undang ini yang mengatur tentang
sistem dan mekanisme kerja Komite Nasional Daerah.

Undang-undang organik sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan dalam


pasal 18 UUD 1945 baru dapat dibentuk pada tahun1948, yaitu Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 atau yang disebut Undang-Undang Pokok Tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 10 Juli
1948. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Undang-undang
ini karena hal-hal tersebut pada hakikatnya merupakan penyimpangan atau bahkan
bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 18 UUD 1945, yaitu:
1. Pasal 18 UUD 1945 menghendaki dilaksanakannya asas dekonsentrasi dan
asas desentralisasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Namun, ternyata konsideran bagian menimbang UU Nomor 22
Tahun 1948 tersebut menyebutkan bahwa perlu ditetapkan berdasarkan
pasal 18 UUD 1945, yang menetapkan pokok-pokok tentang pemerintahan
sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Dengan demikian, UU Nomor 22 Tahun 1948 hanya
mengatur pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah
otonom saja.
2. Sejak zaman Hindia Beland telah dilaksanakan asas desentralisasi dan asas
dekosentrasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
sehingga di daerah ada dua jenis pemerintahan, yaitu pemerintahan
otonom dan pemerintahan pangreh praja, yang kemudian disebut
pemerintahan administrasi yang dalam zaman Hindia Belanda
mendapatkan pelaksanaan yang luas dan efektif. Namun, pasal 46 ayat (2)
UU Nomor 22 Tahun 1948 yang menentukan: Daerah-daerah
administrasi yang ada pada waktu berlakunya Undang-undang ini, terus
berdiri sampai dihapus. Alasan akan dihapusnya daerah-daerah
administrasi tersebut agar di daerah hanya ada satu jenis pemerintahan,
sehingga tidak adanya dualisme pemerintahan.

Oleh karena UU Nomor 22 Tahun 1948 dikeluarkan pada saat berlakunya


Maklumat Pemerintah November 1948, maka sistem pemerintahan di daerah
menurut Undang-undang ini lebih mengarah dan lebih menyesuaikan diri
dengan sistem pemerintahan pusat yang merupakan sistem pemerintahan
kabinet parlementer.

3. Sejarah Terbentuknya Pemerintahan Daerah Pada Masa Berlakunya


UUD Sementara 1950
Dalam UUD Sementara Tahun 1950 ketentuan dan atau pengaturan
mengenai pelaksanaan pemerintahan daerah yang mengusung asas
desentralisasi dan otonomi daerah terdapat di dalam pasal 131, yang
menentukan:
1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar
perwakilan dalam sistem pemeintahan Negara.
2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
3. Dengan Undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-
tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah
tangganya.
Ayat (1) pasal 131 UUDS 1950 tersebut di atas menghendaki
dibentuknya Undang-undang organik untuk mengatur pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Undang-undang
organik sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan di dalam ayat (1) pasal 131
UUDS 1950 baru dapat dibentuk pada tahun 1957, yaitu Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU
Nomor 1 Tahun 1957 ini ternyata meneruskan maksud sebagaimana yang
terkandung dalam ketentuan ayat (2) pasal 146 Undang-undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu menghapus daerah-daerah
administrasi, termasuk pemerintahan administrasinya atau pemerintahan
pamong praja atau pemerintahan pangreh praja.
Untuk melaksanakan maksud menghapus daerah-daerah administrasi
tersebut, maka dibentuklah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang
Penyerahan Tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam Bidang Pemerintahan
Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada
Pemerintah Daerah. Undang-undang ini disebut jua Undang-undang
Penyerahan Pemerintahan Umum.
Secara garis besar UU.No.1 tahun 1957 telah memberikan peluang
kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber keuangan yang
ada di daerah. DPRD sebagai lembaga legislatif daerah berdasarkan pasal 55
ayat (1) berhak mengadakan pajak dan retribusi daerah. Hal ini berarti ada
keinginan dari pemeirntah pusat untuk menyerahkan kewenangan
pemungutran pajak dan retribusi kepada daerah agar tujuan pemberian
otonomi dapat terlaksana.
Berdasarkan ketentuan pasal 58 ayat (1) kepada pemerintah daerah
dalam rangka penyelanggaraan pemerintahannya,dapat diberikan:
(1).penerimaan-peneriamaan pajak Negara untuk sebagian atau
seluruhnya.
(2).Ganjaran,subsidi dan sumbangan.
Memperlihatkan ketentuan tersebut makan dapat disimpulkan bahwa
UU.No.1 tahun 1957 tidak memberikan kejelasan mengenai pola hubungan
atau perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat (Negara) dengan daerah-
daerah yang berhak untuk mengurus rumah tangganya.
Hanya saja berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah, UU No.1
tahun 1957 memberikan arahan agar dalam menetapkan besarnya tariff pajak
dan retribusi daerah harus memperhatikan beberapa factor, natara ;aom tariff
yang berlaku di daerah-daerah lain, kemampuan keuangan dan penduduk,
tarif-tarid progresif dan sebagainya sehingga pajak daerah dan retribusi daerah
yang ditetapkan atau diadakan akan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat
dan dapat merupakan sumber pendapatan yag berarti bagi daerah.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahawa sumber-sumber
penerimaan daerah disamping penyerahan pajak Negara kepada daerah dan
retribusi daerah,agar dapat menjamin penyelenggaraan otonominya,
pemerintahan daerah masih dimungkinkan untuk mendapatklan pemasukan
dari pemerintah pusat berupa ganjaran,subsidi dan sumbangan.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari dasar pemikiran yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1957, yaitu pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada
daerah-daerah otonom. Rencananya, melalui Peraturan Pemerintah akan
diserahkan tugas-tugas pemerintahan umum tersebut kepada daerah otonom
yang telah siap menerimanya. Namun, sampai memasuki tahun 1959, tahun
ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun
1959 Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, ternyata
belum ada satu Peraturan Pemerintah pun yang ditetapkan, sehingga telah
mengalami perubahan mengenai sistem pemerintahan negara sebagai akibat
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut.
Peraturan Pemerintah baru dapat ditetapkan pada tahun 1963, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai
Berlakunya dan Pelaksanaan Undang-Undang Penyerahan Pemerintahan
Umum. Maka sejak tahun 1963, 1964 dan 1965 telah dilaksanakan penyerahan
tugas-tugas pemerintahan umum kepada daerah-daerah otonom, sehingga
memasuki pertengahan bagian ke-dua tahun 1965, di daerah hanya ada satu
jenis pemerintahan saja, yaitu pemerintahan daerah otonom. Pemerintahan
inilah yang kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengenai pelaksanaan penyerahan pemerintahan pemerintahan umum
pusat kepada daerah-daerah otonom tersebut, secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut:

Asas Dekonsentrasi Asas Desentralisasi


Provinsi = Gubernur Daerah Tingkat I = Kepala Daerah Tingkat
Karesidenan = Residen
I
Kabupaten = Bupati
Kawedanan = Wedana Daerah Tingkat II = Kepala Daerah
Kecamatan = Camat Tingkat II
Desa atau Kecamatan = Camat

Residen menyerahkan kepada Kepala Daerah Tingkat I; dengan


demikian sebutannya adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I; sedangkan
Residen kemudian menjadi Pembantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
untuk daerahnya.
Wedana menyerahkan kepada Kepala Daerah Tingkat II; dengan
demikian sebutannya adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II; sedangkan
Wedana kemudian menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah untuk daerahnya.
Camat menyerahkan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II, tetapi kemudian
dikembalikannya. Dengan demikian status atau kedudukan Camat sebelum
tahun 1963 berbeda dengan status atau kedudukan Camat setelah tahun 1963.

4. Sejarah Terbentuknya Pemerintahan Daerah Pada Masa Berlakunya


UUD 1945 (Kurun Waktu ke II)
4.1 Periode 1974-1999
Dalam UUD 1945 kurun waktu ke-II, pengaturan mengenai
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah terdapat di dalam pasal 18,
yang bunyi dan perumusannya sama dengan bunyi dan perumusan pasal 18
UUD 1945 kurun waktu ke-I. Namun, makna, arah dan pelaksanaannya
berbeda. Pasal 18 UUD 1945 kurun waktu ke-II menghendaki baik
dilaksanakannya asas desentralisasi maupun asas dekonsentrasi, bahkan juga
asas tugas pembantuan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan
di daerah.
Pada kurun waktu ini ditetapkan Tap MPR-RI Nomor IV/MPR/1973
yang sangat penting bagi perkembangan pemerintahan di daerah. Perumusan
dalam Tap MPR-RI tersebut bermakna bahwa dalam rangka pelaksanaan dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, asas dekonsentrasi dan asas
desentralisasi dilaksanakan bersama-sama, tidak ada yang dominan. Dengan
demikian pengarahan dan penggarisan dalam Tap MPR-RI tersebut bermakna
akan dihidupkannya kembali daerah daministrasi beserta pemerintahan
administrasi atau pemerintahan pamong praja atau pemerintahan pangreh
praja.
Pada periode ini berlaku UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan UU No. 18 Tahun 1965 yang
dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia
dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas
desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas
dekonsentrasi. Sejak undang-undang nomor 5 tahun 1974 keinginan untuk
membentuk Daerah tingkat III pernah diwujudkan pada beberapa provinsi
namun kemudian gagal karena berbagai kesulitan dan pertimbangan akhirnya
dihapuskan. Namun dalam periode berlakunya undang-undang nomor 5 tahun
1974, dapat dikatakan bahwa ide untuk menjadikan kecamatan sebagai
wilayah “administrasi”, sebenarnya dengan tanpa disengaja telah menciptakan
kecamatan sebagai kelanjutan ide Daerah Tingkat III.
Susunan hirakis tersebut pada umumnya dimaksudkan oleh pemerintah
pusat sebagai bentuk kewenangan lebih tinggi dan atau luas wilayah yang
lebih tinggi atas wilayah yang lebih rendah, sekaligus sebagai bentuk control
kepala daerah yang lebih tinggi kepada kepala daerah yang lebih rendah.
Dengan kata lain, kepala daerah tingkat I menjadi atasan dan bahkan, menurut
undang-undang 32 tahun 2004, ikut menentukan siapa yang boleh menjadi
kepala daerah tingkat II.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan undang-undang
organik yang dikehendaki oleh ketentuan pasal 18 UUd 1945, yaitu Undang-
undang yang yang mengatur mengenai pelaksanaan politik desentralisasi,
politik dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip otonomi daerah yang nyata
dan bertanggung jawab sebagaimana dianut oleh Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 dalam pelaksanaannya dan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah ternyata mengalami hambatan-hambatan dan kendala, terutama sikap
dan sifat pemerintahan rezim orde baru. Bahkan hingga memasuki tahun 1992
prinsip tersebut belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan,
terutama dalam ketentuan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1974, yang
menentukan:
1. Titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah Tingkat II;
2. Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 11
UU Nomor 5 Tahun 1974 ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada daerah
Tingkat II. Dengan telah ditetapkannya PP Nomor 45 Tahun 1992 tersebut,
maka perlu lebih mendorong dan menggiatkan pembinaan otonomi daerah
pada daerah Tingkat II.
Hal yang menarik dari undang-undang ini adalah bahwa ia
menguraikan secara terinci pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah
yang dipilah ke dalam tiga kategori pokok pelimpahan kekuasaan:
1. Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau
atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya. Pengertian ini hanya terbats pada otonomi dan tidak mengenai
tugas pembantuan. Karena dalam tugas pembantuan tidak terdapat unsur
penyerahan tugas kepada daerah.
2. Dekonsentrasi, penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang
mempunyai hubungan hirarkis dalam suatu badan pemerintahan untuk
mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan
membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban
terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan
3. Tugas Pembantuan, Penugasan yang diberikan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang disertai dengan Sumber Daya Manusia dan atau
dana
Di di tengah pergumulan pemikiran mengenai konstruksi pembagian
wilayah nasional menjadi daerah-daerah otonom tersebut, posisi desa atau
yang disebut dengan nama lain (masyarakat hokum adat yang tersebar luas)
juga terus mengalami kemunduran sebagai institusi pemerintahan terendah.
Otonomi desa sebagai penyelenggara pemerintahan terndah dimulai oleh
Pemerintah Hindia Belanda dengan menerbitkan IGO (Indische Gementen
Ondonantie). Nasib desa paling tragis dialami ketika berlakunya undang-
undang Nomor 5 tahun 1974 yang kemudian dipastikan pemunduranya dengan
undang-undang nomor 5 tahun 1979.
4.2 Periode 1999-2004
Dalam rangka menindak lanjuti pelaksanaan proyek percontohan
otonomi daerah, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kepada 26 Daerah
Tingkat II Percontohan. Sementara itu memasuki tahun 1998, telah
dikeluarkan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Undang-undang, antara lain dibentuk Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menitikberatkan pada
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwujudkan dalam
pemberian wewenang yang luas kepada daerah, akan memberikan jaminan
bagi kabupaten / kota untuk dapat secara optimal mengakomodasikan aspirasi
masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Pada periode ini
berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979. Menurut UU
ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui
kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta
dan satu tingkat wilayah administratif. Pemerintah pusat berusaha
memperbaiki posisi desa dengan otonomi yang ditandai oleh kehadiran
lembaga Departemen Perwakilan Desa (DPD) sebagai lembaga legislative
desa dengan harapan otonomi desa dapat kembali menjadi Badan
Permusyawaratan Desa yang lebih berfungsi sebagai penasehat desa.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten,
dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam
artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga
sebagai wilayah administratif. Undang-Undang menentukan bahwa
pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah".
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah
Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

4.3 Periode 2004-Sekarang


Pada periode ini berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga kini telah
mengalami dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom
dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan
daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan
yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta.
Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan.
Undang-Undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta.: BIP
Sekelompok Gramedia
MacAndrews, Colin dan Ichlasul Amal. 2003. Hubungan Pusat-Daerah Dalam
Pembangunan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Muhammad Fauzan. 2006. Hukum pemerintahan daerah.Yogyakarta:UII Press
Philipus M. Hadjon, et al. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Surabaya:
Gadjah Mada University Press
Siswanto Sunarno. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: sinar
grafika
Soehino. 2010. Hukum Tata Negara: Perkembangan dan Pengaturan Mengenai
Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.

Anda mungkin juga menyukai