Anda di halaman 1dari 7

Otonomi daerah dalam definisi sejarah

Oleh:
Samodra Wibawa
mahasiswa S-3 bidang administrasi negara di Speyer, Jerman, penulis buku "Negara-negara di
Nusantara" (akan diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta) 16 Juni 2001
swibawa@gmx.de

Membaca berita keinginan sebagian anggota MPR agar dibentuk Fraksi Utusan Daerah
mengundang penulis untuk berkerut dahi. Betapa tidak, setelah empat tahun meninggalkan
tanah air dan mengikuti perkembangan negara hanya lewat internet, saya memperoleh kesan
bahwa otonomi daerah di Indonesia telah maju sangat pesat sejak disahkannya UU No.
22/1999 pada masa pemerintahan Habibie. Kesan ini berasal dari kenyataan berikut: bupati
atau gubernur mulai dipilih sepenuhnya oleh rakyat (DPRD), rakyat leluasa memilih partai
dan banyak urusan telah menjadi wewenang kabupaten/kota atau propinsi. Bahwa 135 orang
anggota MPR yang terhimpun dalam apa yang dinamakan Forum Utusan Daerah menyatakan
bahwa otonomi daerah belum berjalan, ini membuat penulis bertanya-tanya: Apa yang
sebenarnya dipersepsikan oleh elit politik kita tenang "otonomi daerah"? Apa yang
sebenarnya mereka kehendaki? Tulisan ini tidak berusaha untuk menebak-nebak pikiran para
anggota MPR yang terhormat itu, melainkan mencoba merunut apa yang pernah berlangsung
di Indonesia tentang otonomi daerah. Diharapkan dengan melihat masa lalu kita bisa manatap
ke masa depan dengan lebih realistis.

Otonomi daerah pada jaman kerajaan

Di atas wilayah geografi yang saat ini disebut Indonesia pada kurun waktu bahkan hingga
1900-an eksis sangat banyak "negara" kerajaan. Negara-negara ini memiliki wilayah yang
beraneka ragam luasnya, dari hanya sekitar ibukota hingga mencakup "seluruh" Nusantara.
Kerajaan besar yang memenuhi kriteria yang terakhir itu adalah Sriwijaya (pada abad 9-10?)
dan Majapahit (pada paruh ke-dua abad 14). Tapi kata "seluruh" itu harus dipahami secara
1
hati-hati, karena pada kenyataannya kedua kerajaan tersebut betapapun tidak dapat disebut
sebagai membentuk "negara Nusantara" ("negara" dalam makna yang kita mengerti
sekarang). Karena teknologi transportasi, komunikasi dan militer yang terbatas pada waktu
itu, baik Sriwijaya (Palembang) maupun Majapahit (Trowulan, Jatim) hanya dapat berkuasa
penuh di ibukota kerajaan dan wilayah di sekitarnya. Selebihnya, di tempat-tempat yang jauh
dari ibukota, para raja setempat berkuasa mutlak terhadap penduduknya.

Maka "negara" pada masa itu sama saja artinya dengan "ibukota kerajaan", dan karena yang
yang disebut "kota" (yang ramai dan sibuk dengan aktivitas dagang dan kultural) kiranya
hanyalah ibukota kerajaan itu, maka "negara" atau "negari" juga berarti "kota". (Bahkan
hingga saat inipun sebagian penduduk desa di Jawa mengatakan "pergi ke kota" dengan
"tindak dateng negari".) Jadi, kerajaan-kerajaan di Nusantara pada waktu itu dapatlah disebut
sebagai "negara kota", dan tidak satupun yang berhasil membuat sebuah "negara bangsa"
dalam pengertian modern saat ini.

Dalam pengertian itu, maka dalam kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majaphit hubungan
antara "daerah" (pinggiran, sabrang) dengan "pusat" (negara, negari, Zentrum) adalah
hubungan yang hanya bersifat politis-simbolis. Sedangkan kehidupan riil sehari-hari di
"daerah" diatur sepenuhnya oleh raja setempat. Hubungan simbolis itu terwujud dalam bentuk
pengakuan raja lokal terhadap "kekuasaan" raja pusat. Pengakuan ini paling banter hanya
berdampak pada keharusan raja lokal untuk megirim upeti tahunan kepada raja pusat. Jadi,
dalam konteks otonomi, "daerah" memiliki otonomi sangat besar, baik di bidang politik
(pemerintahan dan administrasi) maupun ekonomi dan budaya. Tentu saja kata otonomi atau
padanannya belum muncul pada waktu itu, karena yang terjadi bukanlah "daerah diberi
otonomi" melainkan "daerah menundukkan diri (atau menyerahkan sebagian kedaulatannya)
kepada pusat". Dan saya yakin bahwa hubungan antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain tidak dikerangkai oleh bingkai "negara Sriwijaya atau Mahapahit" melainkan murni
hubungan antar sesama kerajaan yang berdaulat. Bahkan pun hubungan mereka dengan
"negara lain" pastilah tidak perlu melewati birokrasi pusat di Palembang atau Trowulan.

Otonomi daerah pada jaman Hindia Belanda

Kehadiran orang Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara tidak saja didorong oleh dan membawa
teknologi perkapalan, militer dan industri (ekonomi), melainkan juga teknologi administrasi
dan belakangan (akhir abad 18) ide negara bangsa. Teknologi yang mereka miliki
memungkinkan di satu pihak eksploitasi perkebunan dalam jumlah yang besar dan di pihak

2
lain memungkinkan terbentuknya sebuah "negara" dalam pengertian "yang sesungguhnya".
VOC sebagai salah satu persereon terbatas pertama di dunia merupakan wujud dari yang
pertama (eksploitasi) dan penerusnya, Hindia Belanda (HB), merupakan bentuk dari yang ke-
dua (penciptaan negara). HB sendiri sebenarnya pada mulanya bukanlah sebuah "negara"
melainkan hanyalah "pemerintah" kerajaan Belanda di atas wilayah Nusantara. Bahkan
kurang dari itu, mereka hanyalah "duta" kerajaan Belanda, dan berhubungan dengan "negara-
negara" di Nusantara dalam posisi yang sama sederajat. (Bahkan hingga 1945 hubungan HB
dengan banyak kerajaan masih berupa kesederajatan itu, yang diwujudkan dalam kontrak atau
penyewaan tanah perkebunan, seperti dengan Yogyakarta, Deli dan Goa.)

HB barulah menjadi sebuah "negara" dengan ibukota (politik) Batavia dan basis eksploitasi
serta perdagangan (ekonomi) di Maluku setelah Daendels pada 1800-an menjadi Gubernur
Jenderal. Pejabat ini adalah pengagum Napoleon dan --sebagai imbas dari Revolusi Perancis--
ikut mendirikan "Republik Batavia" (perhatikan kesamaan namanya) untuk mendobrak
monarkhie Belanda di daratan Eropa sana. Berbeda dengan pejabat Hindia Belanda
sebelumnya yang merupakan wakil atau duta kerajaan Belanda di Nusantara, Daendels ingin
menjadikan dirinya sebagai penguasa "negara" Nusantara. Keinginannya ini kemudian
memperoleh perwujudan yang nyata ketika HB diambil-alih oleh kerajaan Inggris di bawah
Raffles (hingga 1816).

Jika HB (meneruskan model VOC) menerapkan sistem administrasi tidak langsung, Raffles
menerapkan administrasi langsung sebagaimana layaknya sebuah negara (sentralistis). Pada
yang pertama, sistem administrasi hanya berhenti di level "karesidenan" (afdeeling) dan pada
level di bawahnya "dibiarkan" diurus sendiri oleh pejabat-pejabat (kerajaan) pribumi. Kata
"dibiarkan" harus diberi tanda petik, karena kata ini mengesankan bahwa pejabat pribumi itu
adalah miliknya, padahal pejabat dan sistem administrasi lokal itu sudah eksis mendahului
HB. Jadi, HB ibarat pot bunga yang tergantung berayun-ayun di atas kebun Nusantara yang
berwarna-warni. Fenomena inilah yang dirombak oleh Raffles. Dia menyerap sistem dan
personel administrasi lokal ke dalam dan menjadi bagian dari sistem administrasi negara HB.
Dengan memiliki perangkat administrasi hingga ke tingkat desa, Raffles mencoba untuk
menerapkan sistem perpajakan (terutama tanah) sebagai ganti dari sistem tanam paksa. Ini
paralel dengan gagasan ekonomi liberalnya, yakni membiarkan ekonomi dikelola sendiri oleh
penduduk dan negara hanya mengatur proses ekonomi itu serta memungut pajak. (Ini
merupakan koreksinya atas model ekonomi HB sebelumnya yang bersifat merkantilis, yang
menghasilkan monopoli produksi dan distribusi hasil pertanian oleh pemerintah.)

3
Sampai titik waktu 1800-an, kata "daerah" atau padanannya (kalau itu dikenal pada waktu itu)
menunjuk pada "karesidenan" di satu pihak dan "kabupaten" di pihak lain. Tapi harus diingat
bahwa pengertian seperti itu hanya berlaku untuk "wilayah" di Nusantara yang berada dalam
pengaruh atau kontrak dengan HB. Selebihnya, "daerah" adalah negara-kota merdeka yang
tak dapat dijangkau oleh pemerintah HB. Pemerintah karesidenan (pejabatnya orang Belanda)
sama sekali tidak memiliki otonomi, dia sepenuhnya merupakan mesin birokrasi pusat.
Sementara itu "kabupaten" memiliki otonomi di bidang apa saja (keuangan, personel dan
kebijakan tentang apapun), dengan syarat dia memenuhi target produksi yang ditetapkan oleh
pusat. Namun harus dipahami betul, bahwa konsekuensinya dalah jelas: karesidenan
menerima suplai dana dari pusat, sedangkan kabupaten tidak menerima apa-apa (kecuali
mungkin penjagaan keamanan dan peradilan atas sengketa antar penduduk). Sementara itu
kurun waktu pemerintah Raffles, karena hanya sebentar (resmi hanya empat tahun) belum
menghasilkan perubahan riil yang berarti. Tetapi seandainya gagasan "negara"nya terwujud,
pastilah negara itu akan bersifat sentralistis, dimana semua level pemerintahan hingga ke
tingkat desa adalah bagian dari mesin birokrasi pusat yang menjalankan kebijakan pusat
dengan sedikit otonomi.

Pemandangan pemerintahan di Nusantara berubah setelah HB kembali berada di bawah


Belanda (yang kembali menjadi negara monarkhie). Setelah menyadari penderitaan yang
ditimbulkan oleh para penguasa HB sebelumnya (lewat kerjapaksa dan tanampaksa), yang
menyulut pemberontakan di banyak tempat, pemerintah kerajaan Belanda (di Eropa)
menetapkan semacam UUD bagi HB pada 1854. (Perhatikan bahwa selama ini pemerintah
HB bersifat absolut. Kekuasaan yang absolut akan cenderung korupsi secara absolut --yang
terwujud antara lain dalam kerjapaksa dan tanampaksa itu. Sebelumnya, VOC yang
memegang wewenang absolut bangkrut karena dilanda korupsi besar-besaran dan mewariskan
hutang yang juga selangit.)

UUD ini sepertinya ingin meneruskan model pemerintahan langsung Raffles, namun mungkin
karena keterbatasan personil Eropa, Belanda memilih untuk mempunyai sistem
administrasinya sendiri hingga tingkat kabupaten saja. Hierarkhie pemerintahan HB dan nama
pejabatnya jadinya sebagai berikut: pemerintah pusat (Gubernur Jenderal), Gewest (Residen),
Afdeeling (Asisten Residen), Onderafdeeling (Controleur), Regenschap (Bupati), District
(Wedono), Onderdistrict (Camat) dan desa (Lurah). Hingga level Onderafdeeling itulah yang
disebut sebagai administrasi kolonial (pejabatnya orang Belanda atau peranakan), sedangkan
dari tingkat Regenschap hingga desa merupakan "organisasi administrasi asli" pribumi.
Controleur lebih tepat disebut sebagai wakil Residen yang bertugas mengawasi Bupati atau

4
lebih tepatnya memberikan informasi tentang perilaku Bupati kepada Asisten Residen atau
Residen. Kedudukannya adalah setara dengan Bupati.

Selain menentukan hierarkhie, UUD juga membuat pembagian kekuasaan: di samping


Gubernur Jenderal ada "parlemen" bernama Dewan Hindia (Raad van Indie). Namun lembaga
ini hanyalah untuk bermanis-manis, lebih merupakan lembaga konsultatif daripada
pengontrol, letak gedungnya pun di Bogor yang sejuk, bukan di Batavia yang hiruk-pikuk.
Lembaga seperti ini tidak dibentuk di "daerah". Jadinya hierarkhie pemerintahan HB pada
masa ini sangat sentralistik dan bahkan absolut: semua keputusan pemerintah berada di bawah
tanggungjawab Gubernur Jenderal. (Perhatikan bahwa "daerah" telah menjadi hierarkhis, dari
Gewest hingga Desa --enam tingkat!) Namun, karena kepentingan HB hanyalah sebatas
eksploitasi ekonomi, dalam hierarkhie yang absolut itu, "organisasi administrasi asli pribumi"
(yakni Regenschap ke bawah, lihat atas) tidak diurusi oleh pusat, alias dia dibiarkan
melakukan apa saja, sepanjang dia dapat memenuhi target produksi HB. Dengan kata lain,
sama seperti sebelumnya, Kabupaten adalah otonom (yang bersyarat)! Hubungan selanjutnya
ke bawah, yakni Bupati-Wedono-Camat-Lurah tampaknya meneruskan pola "otonomi
bersyarat" ini, dalam arti bahwa Bupati mempersilakan Wedono berbuat apa saja, sepanjang
memenuhi target ekonomi (dan politik serta administrasi?) yang ditentukan Bupati, Wedono
mempersilakan Camat, Camat mempersilakan Lurah berbuat apa saja. (Harap dibayangkan
bahwa aktivitas pemerintah tidak sebanyak sekarang. Mungkin waktu itu belum ada sekolah
dan rumahsakit. Aktivitas terpenting mungkin hanyalah perkebunan, pengolahan hasilnya dan
perdagangan.)

Dalam kerangka sistem yang sentralistis itulah kata "desentralisasi" menjadi relevan. Ketika
dalam perspektif Gubernur Jenderal wilayah Nusantara (tidak seluruhnya, sebatas Jawa,
sebagaian Sumatera terutama Barat dan Maluku) adalah miliknya, dan karena dia tidak
mungkin mengurusi kegiatan di wilayah seluas itu, maka dia perlu "melimpahkan"
tanggungjawab pengurusan suatu wilayah kepada pejabat setempat. Ini dimulai tahun 1903
dengan dikeluarkannya UU Desentralisasi (Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in
Nederlandsh Indie). Ini memberikan wewenang kepada Gewest (Karesidenan) yang mampu
secara finansial untuk mengelola kegiatannya sendiri. Jadi Gewest (yang mau dan mampu)
tidak lagi sepenuhnya hanya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat (Gubernur Jenderal),
melainkan diperbolehkan untuk membuat kebijakan sendiri dan melaksanakannya. Dan ini
harus dilakukan melalui suatu Dewan Rakyat (Raad). Dua tahun kemudian ketentuan ini
diperluas hingga ke level di bawahnya, yakni Gemeente (tampaknya yang dimaksud adalah
Kota, secara hierarkhie setingkat Regenschap atau Kabupaten).

5
Dalam konteks negara sentralistis semacam itu, maka --sekali lagi-- Karesidenan dan Kota
hanyalah diberi limpahan tanggungjawab, bukannya memiliki "tanggungjawab asli". Oleh
karena itu adalah masuk akal, jika di bawah undang-undang tersebut Residen dan Walikota
tetap diangkat oleh pusat (Gubernur Jenderal) dan lebih dari itu dia mengepalai Raad atau
Dewan Rakyat. Sementara itu anggota Raad hanya sebagian kecil saja yang dipilih (itupun
tidak semua rakyat berhak memilih), sedangkan sebagian besar diangkat oleh Residen atau
Walikota atau anggota otomatis (pejabat birokrasi). Raad inilah yang menentukan kebijakan
"daerah", namun pemberlakuan suatu peraturan daerah tetap menunggu pengesahan
Gubernur Jenderal. Pejabat puncak ini, sebaliknya, mempunyai hak untuk menunda atau
membatalkan peraturan daerah. Dalam konteks negara sentralistis, mekanisme ini seratus
persen masuk akal. Bahkan penambahan mekanisme demokrasi (melalu Raad) itu dapat
dipandang sebagai sebuah kemewahan.

Setelah Perang Dunia I, dan setelah di Indonesia mulai muncul organisasi bisnis (Syarekat
Dagang Islam), mahasiswa (Boedi Oetomo) dan sosial (Moehammadijah), pemerintah HB
mengadopsi perkembangan masyarakat (baca: mobilitas sosial vertikal) ini dengan sangat
cermat: Pada 1918 pemerintah memperluas Dewan Hindia menjadi Parlemen (Volksraad),
dan memindah gedungnya dari Bogor ke Batavia. Sekalipun fungsinya masih tetap
konsultatif, namun ini merupakan kemajuan dalam hal "demokrasi". Anggota parlemen ini
dipilih oleh rakyat dengan bobot representativitas yang berbeda-beda, dimana setiap orang
Belanda mewakili 10.000 pemilih Belanda, Cina 300.000 orang dan "pribumi" (termasuk
dalam kategori ini adalah keturunan Arab) 2.250.000 orang.

Rangkuman dan komentar

Karena keterbatasan ruang, kisah sejarah harus diakhiri di sini. Kisah ini telah cukup untuk
merumuskan apa yang dimaksud dengan "otonomi" di satu pihak dan "desentralisasi" di pihak
lain. Otonomi adalah, berdasar peristiwa di masa lalu itu, kedaulatan suatu unit pemerintahan
(Desa, Kecamatan, Kawedanan, Kabupaten, Karesidenan, dst.) untuk menentukan kebijakan
terhadap penduduk di wilayahnya. Sementara itu desentralisasi adalah gaya manajemen suatu
pemerintah (Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen, Bupati, dst.) untuk melimpahkan
tanggungjawabnya kepada pejabat di bawahnya. Otonomi maupun desentralisasi ini tidak
(perlu) terkait dengan demokrasi. Demokrasi, yang ditubuhkan sebagai parlemen dan
keterlibatannya dalam pembuatan kebijakan pemerintah, adalah persoalan intern suatu unit

6
pemerintahan. Dengan kata lain otonomi maupun desentralisasi bisa saja berlangsung tanpa
demokrasi.

Sekarang terpulang kembali kepada 135 orang anggota MPR yang sedang menginginkan
dibentuknya (kembali) Fraksi Utusan Daerah: Apakah yang anda maksud dengan kata
"otonomi"? Bagaimana dia diposisikan pada konteks negara kesatuan Republik Indonesia?
Urusan dan tanggungjawab apa saja yang anda inginkan untuk dikelola oleh "daerah": mana
yang untuk propinsi, apa saja yang untuk kabupaten atau kota, mana yang layak untuk
kecamatan, dan apa yang seyogyanya untuk desa? Mengapa dia harus dikelola oleh "daerah"
(dan "daerah" yang mana)? Bagaimana "daerah" akan dapat mengelola urusan itu? Apa yang
harus dan masih boleh dilakukan oleh pemerintah pusat ("negara") terhadap "daerah"?
Undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri, petunjuk dirjen apa saja yang
harus diubah, ditambahkan dan dihapus? Persoalan-persoalan inilah yang selayaknya dijawab
oleh ke-135 orang anggota MPR tersebut, sebelum pada akhirnya mereka harus bertanya: Apa
peran, andil dan sumbangan yang akan dimaiinkan oleh Fraksi Utusan Daerah di dalam
kompoleks persoalan tersebut?

Anda mungkin juga menyukai