Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PHI

OLEH

EDWIN FERNADO LADO DJO

NIM 2020110173

PROGRM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS FLORES

ENDE

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang selalu melimpahkan karunia-
Nya, kepada seluruh umat manusia, yang atas izin-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “Perkembagan politik hukum mulai dari zaman penjajahan belanda ,jepang dan
kemerdekannya” dapat selesai tepat pada waktunya.

Sejalan dengan dinamika bangsa ini masih terus mencari cara yang lebih efektif untuk
menghasilkan generasi baru yang cerdas, maka dari itu kami mendukung semua itu dengan cara
mencari sesuatu yang jarang ditampilkan dan banyak dipertanyakan salah satunya dengan membuat
makalah ini, yang dapat bermanfaat dengan berbagai pokok masalah.

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini, masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan isi penelitian ini, kami sambut dengan
senang hati.
BAB I

PENDAHULUAN

A. latar belakang

Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun
dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara
antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para
aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola kerajaan Mataram. Namun, karena
dikuasai penjajah, para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.

Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika
pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran
Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara
tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia
menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian
sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran
Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya

Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis
yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa
bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah
satu motif penting bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan
keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah
ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan rakyat
pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun
1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang.

Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa
dan pulau-pulau lain di Nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah tercapai (sebagian besar)
pada awal abad ke-20.

Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak,
menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda. Walau pada awalnya disambut
sebagai pembebas oleh penduduk pribumi Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di
bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah
kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh administrasi yang tidak
kompeten, dan ini mengubahkan Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang
Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-
proyek konstruksi yang padat karya di Jawa.

Waktu Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-
kamp tawanan dan digantikan dengan orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas
kepemerintahan. Tentara Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda
Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para
pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada
bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia
II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya
kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial pemerintah kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, delapan
hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki dan dua hari setelah Jepang kalah perangnya

B Rumusan masalah

 bagaimana perkembagan politik hukum di belanda?


 bagaimana perkembagan politik hukum di jepang?

C Tujuan

 untuk menjelaskan tentang perkembagan politik hukum di belanda


 untuk menjelaskan bagaimana perkembagan politik hukum di jepang

D Tinjaunan pustaka

Hal ini dimulai pada tahun 1848. Di mana di sini Belanda telah menjiplak undang-undang Burgeljik
Wetboekdan Weboek van Koophandeli (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang) yang dibuat untuk orang-orang Eropa, yang pertama bertujuan untuk
menundukkan Indonesia seperti halnya yang dilakukan kepada orang Tionghoa, dan yang kedua
untuk mengadakan sebuah Undang-Undang Hukum Perdata dengan mencontoh Wetboek Belanda.

Susunan badan Pengadilan yaitu suatu alat negara untuk melaksanakan hukum tersebut dan
menunjukkan dualisme. Pada waktu itu pengadilan tingkat pertama yang mengadili orang-orang
Eropa disebut Raad Van Jutitie,sedangkan pengadilan tingkat pertama yang mengadili orang-orang
Indonesia disebut Landraad.

Hukum awal Jepang diyakini sangat dipengaruhi oleh hukum Tiongkok . Sedikit yang diketahui
tentang hukum Jepang sebelum abad ketujuh, ketika Ritsuryō dikembangkan dan dikodifikasi.
Sebelum aksara Tionghoa diadopsi dan diadaptasi oleh orang Jepang, orang Jepang tidak memiliki
sistem penulisan yang dikenal untuk mencatat sejarah mereka.

Reformasi besar dalam hukum Jepang terjadi dengan jatuhnya Keshogunan Tokugawa dan
Restorasi Meiji di akhir tahun 1800-an. Pada awal Era Meiji (1868-1912), penduduk dan politisi
Jepang dengan cepat menerima kebutuhan untuk mengimpor sistem hukum barat sebagai bagian
dari upaya modernisasi, yang mengarah pada transisi hukum yang agak mulus. Di bawah pengaruh
ide-ide Barat, Kaisar menyatakan pada tahun 1881 bahwa Diet Bangsa (parlemen) akan didirikan,
dan Konstitusi Jepang pertama ( Konstitusi Meiji ) 'diberikan' kepada rakyat oleh Kaisar pada tahun
1889. [18 ] [19] Konstitusi Meiji Jepang meniru konstitusi Jerman dengan kekuasaan kekaisaran yang
luas; Sistem Inggris dan Prancis dianggap tetapi ditinggalkan karena dianggap terlalu liberal dan
demokratis. [18] Pemilihan berlangsung untuk majelis rendah, dengan pemilih yang terdiri dari laki-
laki membayar sejumlah pajak, sekitar 1% dari populasi. Pengesahan Konstitusi Meiji oleh Toyohara
Chikanobu

Undang-undang tentang penyensoran dan undang-undang yang bertujuan untuk mengontrol


gerakan politik dan buruh diberlakukan di era Meiji, membatasi kebebasan berserikat. Pada 1920-
an, undang-undang diubah sehingga para pemimpin organisasi yang mendukung Marxisme atau
mengubah struktur kekaisaran dapat dihukum mati.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 POLITIK HUKUM BELANDA

Hal ini dimulai pada tahun 1848. Di mana di sini Belanda telah menjiplak undang-undang Burgeljik
Wetboekdan Weboek van Koophandeli (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang) yang dibuat untuk orang-orang Eropa. Karena pada saat itu perdagangan
dikuasai oleh orang-orang Tionghoa maka Belanda menggunakan hukum ini untuk menundukkan
Tionghoa.

Sebenarnya waktu itu Belanda masih membiarkan orang-orang Indonesia untuk menggunakan
hukumnya sendiri, yakni hukum Adat. Namun, ketika melihat adanya pabrik-pabrik untuk mengolah
hasil bumi yang ada untuk diperdagangkan ke rancah dunia, Belanda merasa khawatir dan akhirnya
membuat hukum untuk pribumi. Sebenarnya di sini ada dua aliran untuk menciptakan hukum
tertulis yang ada di Indonesia.

Yang pertama bertujuan untuk menundukkan Indonesia seperti halnya yang dilakukan kepada
orang Tionghoa, dan yang kedua untuk mengadakan sebuah Undang-Undang Hukum Perdata
dengan mencontoh Wetboek Belanda. Konsepsi yang terakhir ini hampir dapat terwujud pada tahun
1920, tapi untungnya ada Prof. Mr. C. Van Vollenhoven (bapak hukum adat) yang dengan
memperjuangkan untuk menggagalkan konsep tersebut yang pada akhirnya bisa digagalkan. Karena
hal itu, terjadilah perputaran haluan dari politik hukum yang dibawa Belanda terhadap Indonesia.

Sebenarnya hukum dalam dunia Eropa dengan Indonesia itu sudah diatur. Dan bukannya
Indonesia saja, tapi untuk orang-orang asing seperti orang timur, Tionghoa, dan lain-lain itu juga
sudah diatur. Daripada itu, dengan munculnya macam-macam hukum yang ada untuk berbagai
golongan yang ada di Indonesia, pada akhirnya muncul persoalan mengenai hukum manakah yang
berlaku bagi dalam hubungan-hubungan campuran. Hubungan di sini maksudnya adalah mengenai
hubungan yang bersangkutan dengan berbagai kelompok hukum yang sama-sama dipakai di
Indonesia.

Dan karena hal itu, maka lahirlah "Intergentielrecht" yakni hukum antar golongan atau juga
dinamakan hukum perselisihan. Hukum ini ada juga yang terdapat dalam hukum tertulis. Seperti
hukum Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74) yang di dalam
pasalnya menegenai ketentuan pembedaan dan peralihan agama untuk menikah, pasal 1603 X dari
Bugerlijk Wetboek mengenai perjanjian perburuhan yang telah diberi peraturan. Sebagian besar
peraturan intergentiel diciptakan dan dikembangkan oleh jurisprudensi, yaitu para Hakim dan
Pengadilan yang telah ditugaskan untuk memutuskan perkara-perkara yang ada.

Susunan badan Pengadilan yaitu suatu alat negara untuk melaksanakan hukum tersebut dan
menunjukkan dualisme. Pada waktu itu pengadilan tingkat pertama yang mengadili orang-orang
Eropa disebut Raad Van Jutitie,sedangkan pengadilan tingkat pertama yang mengadili orang-orang
Indonesia disebut Landraad.

Hukum intergentiel ini dianggap sangat penting, sehingga pada tahun 1924 didirikan Sekolah
Hukum Tinggi di Jakarta yang mana mata pelajaran ini dijadikan mata pelajaran sendiri dibawah
asuhan guru besar Prof. Kollewijn.

Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama,
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis, dan,
kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris.
Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa
dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil
Eropa - yang disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus
melapor kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai
hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian.

Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi pengadilan,


polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa
petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada
pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia
menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau
Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya
intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah
pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun
1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.

Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun
dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara
antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para
aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola kerajaan Mataram. Namun, karena
dikuasai penjajah, para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.

Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika
pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran
Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara
tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia
menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian
sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran
Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

 Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa

Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa, dan Perang Jawa
mengakibatkan beban keuangan yang berat bagi pemerintah Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus
menjadi sebuah sumber pendapatan utama untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van
den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode
ini sebagai era Tanam Paksa namun pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang
artinya Sistem Kultivasi) di tahun 1830.

Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Terlebih
lagi, pihak Belanda-lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh
para petani Jawa. Secara umum, ini berarti bahwa para petani Jawa harus menyerahkan seperlima
dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi
dalam bentuk uang dengan harga yang ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi
di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka
mengirimkan lebih banyak hasil panen dibanding waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi
top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga
masih berlaku! Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara tahun 1832 dan
1852, sekitar 19 persen dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara
tahun 1860 dan 1866, angka ini bertambah menjadi 33 persen.

Pada awalnya, sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para
pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa ikut berperan.
Namun, setelah 1850 - waktu sistem Tanam Paksa direorganisasi - pemerintah kolonial Belanda
menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta Eropa
untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena pemerintah kolonial secara
bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha swasta Eropa.

 Zaman Liberal Hindia Belanda

Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa dan mendorong
sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam
Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan alasan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di
Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses menghilangkan
beberapa ciri khas sistem Tanam Paksa seperti persentase penanaman beserta keharusan
menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk hasil panen dengan tujuan ekspor.

Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah
Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai dengan
pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah
kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara
pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau kaum liberal
mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat
lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan, dan penyakit
tidak lebih baik di Zaman Liberal dibandingkan dengan masa sistem Tanam Paksa.

Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis
yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa
bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah
satu motif penting bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan
keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah
ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan rakyat
pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun
1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang.

Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa
dan pulau-pulau lain di Nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah tercapai (sebagian besar)
pada awal abad ke-20.

Waktu perbatasan Hindia Belanda mulai mirip perbatasan yang ada di Indonesia saat ini, Ratu
Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan
baru, Politik Etis, akan diterapkan di Hindia Belanda. Politik Etis ini (yang merupakan pengakuan
bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang pribumi Nusantara) bertujuan untuk
meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui
intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan 'irigasi,
pendidikan, dan emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang
signifikan dalam hal meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.

Namun, Politik Etis itu ada efek samping yang sangat penting. Komponen pendidikan dalam politik
ini berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat
intelektual bagi para elite masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-
keberatan mereka terhadap pemerintah kolonial. Politik Etis ini memberikan kesempatan lewat
sistem edukasi, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat
mengenai kemerdekaan dan demokrasi. Maka, untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai
mengembangkan kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.

Pada 1908, para mahasiswa di Batavia mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi
yang pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai
tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang
diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan yang terbatas.

Bab selanjutnya dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik
pertama berbasis masa, Sarekat Islam, pada tahun 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk
mendukung para pengusaha pribumi terhadap pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi
lokal namum Sarekat Islam ini kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran
politik populer dengan tendensi subversif.

Gerakan-gerakan penting lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah
Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan pada tahun 1912 dan Asosiasi
Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan pada tahun 1914 yang menyebarluaskan
ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian mendorong
pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.

1.2 POLITIK HUKUM JEPANG

Hukum awal Jepang diyakini sangat dipengaruhi oleh hukum Tiongkok . Sedikit yang diketahui
tentang hukum Jepang sebelum abad ketujuh, ketika Ritsuryō dikembangkan dan dikodifikasi.
Sebelum aksara Tionghoa diadopsi dan diadaptasi oleh orang Jepang, orang Jepang tidak memiliki
sistem penulisan yang dikenal untuk mencatat sejarah mereka. Karakter Cina dikenal orang Jepang
pada abad-abad sebelumnya, tetapi proses asimilasi karakter-karakter ini ke dalam sistem bahasa
asli mereka terjadi pada abad ketiga. Hal ini disebabkan kesediaan Jepang untuk meminjam aspek
budaya peradaban kontinental, yang dicapai terutama melalui negara-negara yang berdekatan
seperti kerajaan Korea daripada langsung dari kerajaan daratan Cina.

Dalam periode ini, diperlukan pemerintahan yang lebih kuat dan sistem hukum yang lebih
berkembang daripada hukum marga tidak resmi dari kepala marga yang berjuang secara efektif
untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan. Yamatai pasti adalah pemerintah pusat pertama
yang berhasil mengamankan kekuasaan yang dibutuhkan melalui kepemimpinan Ratu Himiko, yang
terkenal sebagai dukun. Hal ini mengarah pada pernyataan bahwa Yamatai memiliki sistem hukum
primitifnya sendiri, mungkin hukum pengadilan, yang memungkinkannya mempertahankan
pemerintahan atas undang-undang klan yang bersaing. Akibatnya, seluruh sistem hukum
membentuk pluralisme hukum primitif hukum peradilan dan hukum marga. Dapat pula dikatakan
bahwa keseluruhan sistem hukum ini secara ideologis didasarkan pada postulat pribumi yang
menganut kepercayaan politik-agama perdukunan pada dewa-dewa politeistik dan yang disebut
kami dan kemudian berkembang menjadi Shintoisme.

Dua kualifikasi dapat ditambahkan ke pernyataan ini. Pertama, beberapa hukum Korea pasti telah
dicangkokkan, meskipun tidak sistematis; Hal ini dapat dilihat dari sistem kepangkatan dalam hukum
pengadilan dan adat istiadat setempat di antara para pendatang yang menetap. Kedua, hukum resmi
tidak secara jelas dibedakan dari hukum tidak resmi; Hal ini disebabkan oleh kurangnya formalitas
tertulis, meskipun undang-undang pengadilan secara bertahap berkembang menjadi undang-undang
negara bagian yang formal sejauh menyangkut pemerintah pusat. Karena alasan ini, tidak dapat
disangkal bahwa pluralisme hukum primitif telah berkembang berdasarkan hukum pengadilan dan
suku, sebagian dengan hukum Korea dan sebagian besar dengan hukum adat. Ciri-ciri pluralisme
hukum ini, betapapun primitifnya, adalah prototipe dari sistem hukum Jepang yang berkembang di
masa-masa kemudian menjadi pluralisme hukum yang lebih terorganisir.

 Sistem Ritsuryo

Daigokuden , bangunan utama Istana Heijo , yang merupakan istana kekaisaran yang meniru
istana Tnag China pada periode Nara .

Informasi lebih lanjut: Ritsuryō


Pada tahun 604, Pangeran Shotoku menetapkan Konstitusi Pasal Ketujuh Belas , yang berbeda dari
konstitusi modern karena ia juga merupakan kode moral bagi birokrasi dan aristokrasi. Meskipun
dipengaruhi oleh agama Buddha , hal itu juga menunjukkan keinginan untuk mendirikan sistem
politik yang berpusat pada kaisar, dengan bantuan koalisi keluarga bangsawan. Meski demikian, ada
keraguan bahwa dokumen itu dibuat belakangan.

Jepang mulai mengirimkan utusan ke Dinasti Sui Cina pada tahun 607. Kemudian, pada tahun
630, utusan Jepang pertama untuk Dinasti Tang dikirim. Para utusan mempelajari hukum Dinasti
Tang, sebagai mekanisme untuk mendukung negara China yang tersentralisasi. Berdasarkan kode
Tang, berbagai sistem hukum, yang dikenal sebagai Ritsuryō (律令), diberlakukan di Jepang,
terutama selama Reformasi Taika . [10] Ritsu (律) setara dengan hukum pidana saat ini, sementara
ryō (令) mengatur pengaturan administrasi, perpajakan, dan corvée (kewajiban tenaga kerja rakyat),
mirip dengan hukum administrasi saat ini. Ketentuan lain sesuai dengan hukum keluarga modern
dan hukum acara . Ritsuryō sangat dipengaruhi oleh etika Konfusianisme . Tidak seperti hukum
Romawi , tidak ada konsep hukum privat dan tidak ada penyebutan kontrak dan konsep hukum
privat lainnya secara langsung.

Salah satu reformasi besar pada hukum adalah Kode Taihō (Hukum Agung) , yang diundangkan
pada tahun 702. [10] Di dalam pemerintah pusat, kode hukum mendirikan kantor Daijō daijin
(kanselir), yang memimpin Dajōkan (Dewan Agung Negara ), yang mencakup Menteri Kiri , Menteri
Kanan , delapan kementerian pemerintah pusat, dan Kementerian Ketuhanan yang bergengsi. Posisi
ritsuryo ini sebagian besar akan dipertahankan sampai Restorasi Meiji, meskipun kekuatan substantif
akan untuk waktu yang lama jatuh ke bakufu (shogun) yang didirikan oleh samurai. Secara lokal,
Jepang direorganisasi menjadi 66 provinsi kekaisaran dan 592 kabupaten, dengan gubernur yang
ditunjuk.

 Hukum di bawah shogunate

Dimulai pada abad ke-9, sistem Ritsuryo mulai rusak. Saat kekuatan tuan tanah ( 荘 園 領主)
semakin kuat, hukum tanah tuan tanah ( honjohō 本 所 法) mulai berkembang. Selanjutnya, saat
kekuatan samurai meningkat, hukum samurai ( 武 家法 bukehō ) mulai ditetapkan. Pada awal
periode Kamakura , kekuatan istana kekaisaran di Kyoto tetap kuat, dan tatanan hukum ganda ada
dengan hukum samurai dan hukum Kuge (公家 法 kugehō ), yang terakhir dikembangkan
berdasarkan hukum Ritsuryo lama.

Pada tahun 1232, Hojo Yasutoki dari Keshogunan Kamakura mendirikan Goseibai Shikimoku ,
sebuah badan hukum samurai yang terdiri dari preseden, alasan dan adat istiadat dalam masyarakat
samurai sejak zaman Minamoto no Yoritomo , dan yang mengklarifikasi standar untuk menilai
penyelesaian perselisihan antara gokenin dan antara gokenin dan bangsawan. Itu adalah kode
sistematis pertama untuk kelas samurai. Belakangan, Keshogunan Ashikaga kurang lebih mengadopsi
Goseibai Shikimoku juga.

Kastil Edo dengan istana dan parit tempat tinggal di sekitarnya, dari lukisan layar abad ke-17.Pada
periode Sengoku (1467-1615), para daimyo mengembangkan hukum feodal ( bunkokuhō 分 国法)
untuk membangun ketertiban di wilayah mereka masing-masing. Kebanyakan undang-undang
semacam itu berusaha untuk meningkatkan kekuatan militer dan ekonomi dari para penguasa yang
bertikai, termasuk melembagakan kebijakan rakuichi rakuza ( 楽 市 ・ 楽 座), yang membubarkan
serikat dan mengizinkan beberapa pasar bebas, dan prinsip kenka ryōseibai ( 喧嘩 両 両) , yang
menghukum kedua belah pihak yang terlibat tawuran.

Pada periode Edo (1603–1868), Keshogunan Tokugawa mendirikan bakuhan taisei ( 幕 藩 体制),
sebuah sistem politik feodal. Keshogunan juga mengumumkan undang-undang dan kumpulan
preseden, seperti Hukum Rumah Militer (武 家 諸法 度 Buke shohatto ) dan Kujikata Osadamegaki
(公事 方 御 定 書). [14] Ia juga mengeluarkan Hukum untuk Kekaisaran dan Pejabat Pengadilan ( 禁
中 並 公家 諸法 度 kinchū narabini kuge shohatto ), yang mengatur hubungan antara
shogun,keluarga kekaisaran dan kuge , dan Hukum tentang Tempat Keagamaan ( 寺院 諸法 度 jiin
shohatto).

Kode Seratus Artikel (御 定 書 百 箇 条 osadamegaki hyakkajyō ) adalah bagian dari Kujikata


Osadamegaki . Ini sebagian besar terdiri dari hukum pidana dan preseden, dan disusun dan
dikeluarkan pada tahun 1742, di bawah shogun Tokugawa kedelapan, Yoshimune. Kejahatan yang
dihukum termasuk pemalsuan, menyembunyikan pelayan yang melarikan diri, meninggalkan bayi,
perzinahan, perjudian, pencurian, menerima barang curian, penculikan, pemerasan, pembakaran,
pembunuhan dan melukai.Hukuman berkisar dari pengusiran hingga berbagai bentuk eksekusi, yang
paling ringan adalah pemenggalan kepala; yang lainnya termasuk membakar tiang dan menggergaji
di depan umum sebelum dieksekusi.Sistem peradilan sering menggunakan penyiksaan sebagai cara
untuk mendapatkan pengakuan, yang diperlukan untuk eksekusi. Hukuman sering kali diberikan
kepada keluarga pelakunya serta pelakunya.

Keadilan di zaman Edo sangat didasarkan pada status seseorang. Mengikuti ide - ide neo-
Konfusianisme , penduduk dibagi menjadi beberapa kelas, dengan samurai di atas. Kekuasaan pusat
dilaksanakan dalam berbagai tingkat oleh shogun dan pejabat shogun , yang diangkat dari daimyo,
mirip dengan Curia Regis di Inggris abad pertengahan. Perilaku tertentu daimyo dan samurai tunduk
pada hukum shogun, dan pejabat administratif shogun akan menjalankan fungsi yudisial. Daimyos
memiliki otonomi yang cukup besar dalam domain mereka ( han ) dan mengeluarkan dekrit mereka
sendiri. Daimyo dan samurai juga menjalankan kekuasaan sewenang-wenang yang cukup besar atas
kelas-kelas lain, seperti petani atau chōnin (penduduk kota). Misalnya, seorang samurai diizinkan
untuk mengeksekusi penduduk kota atau petani kecil jika mereka berperilaku kasar terhadapnya,
meskipun eksekusi semacam itu jarang dilakukan. Karena perlakuan resmi sering kali kasar, desa-
desa ( mura ) dan chōnin sering menyelesaikan perselisihan secara internal, berdasarkan kode dan
adat istiadat tertulis atau tidak.

 Reformasi hukum setelah Restorasi Meiji

Reformasi besar dalam hukum Jepang terjadi dengan jatuhnya Keshogunan Tokugawa dan
Restorasi Meiji di akhir tahun 1800-an. Pada awal Era Meiji (1868-1912), penduduk dan politisi
Jepang dengan cepat menerima kebutuhan untuk mengimpor sistem hukum barat sebagai bagian
dari upaya modernisasi, yang mengarah pada transisi hukum yang agak mulus. Di bawah pengaruh
ide-ide Barat, Kaisar menyatakan pada tahun 1881 bahwa Diet Bangsa (parlemen) akan didirikan,
dan Konstitusi Jepang pertama ( Konstitusi Meiji ) 'diberikan' kepada rakyat oleh Kaisar pada tahun
1889. [18 ] [19] Konstitusi Meiji Jepang meniru konstitusi Jerman dengan kekuasaan kekaisaran yang
luas; Sistem Inggris dan Prancis dianggap tetapi ditinggalkan karena dianggap terlalu liberal dan
demokratis. [18] Pemilihan berlangsung untuk majelis rendah, dengan pemilih yang terdiri dari laki-
laki membayar sejumlah pajak, sekitar 1% dari populasi. Pengesahan Konstitusi Meiji oleh Toyohara
Chikanobu

Dengan pemerintahan baru dan konstitusi baru, Jepang mulai mereformasi sistem hukumnya
secara sistematis. Para reformis memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengkonsolidasikan kekuasaan
di bawah pemerintahan kekaisaran yang baru; kedua, untuk "memodernisasi" sistem hukum dan
membangun kredibilitas yang cukup untuk menghapus perjanjian tidak setara yang ditandatangani
dengan pemerintah barat.

Modernisasi awal hukum Jepang terutama didasarkan pada sistem hukum sipil Eropa dan, pada
tingkat yang lebih rendah, elemen hukum umum Inggris dan Amerika. Kode kriminal gaya Cina (kode
Ming dan Qing ) dan kode Jepang masa lalu ( Ritsuryo ) awalnya dianggap sebagai model tetapi
ditinggalkan. Sistem hukum Eropa - terutama hukum perdata Jerman dan Prancis - adalah model
utama untuk sistem hukum Jepang, meskipun sering dimodifikasi secara substansial sebelum
diadopsi. Kasus pengadilan dan revisi kode etik juga mengurangi gesekan antara undang-undang
baru dan praktik sosial yang sudah mapan. Draf Bürgerliches Gesetzbuch (kode sipil Jerman)
berfungsi sebagai model untuk Kode Sipil Jepang. Karena alasan ini, para ahli berpendapat bahwa
sistem hukum Jepang adalah turunan dari sistem hukum perdata Romano-Jermanik.

 Pembentukan Asosiasi Bantuan Aturan Kekaisaran pada tahun 1940

Undang-undang tentang penyensoran dan undang-undang yang bertujuan untuk mengontrol


gerakan politik dan buruh diberlakukan di era Meiji, membatasi kebebasan berserikat. Pada 1920-
an, undang-undang diubah sehingga para pemimpin organisasi yang mendukung Marxisme atau
mengubah struktur kekaisaran dapat dihukum mati.

Pada tahun 1910-an, gerakan untuk demokrasi lebih berkembang dan ada beberapa kabinet yang
didukung oleh partai politik terpilih. Sebelum ini, genrō (pemimpin Restorasi Meiji) secara pribadi
akan memberikan dan merekomendasikan calon Perdana Menteri dan anggota kabinet kepada
Kaisar. Reformasi pada periode ini termasuk Undang-Undang Pemilihan Umum , yang
menghapuskan kualifikasi properti dan memungkinkan hampir semua pria di atas usia 25 tahun
untuk memilih anggota DPR (majelis rendah), meskipun DPR masih dikendalikan oleh aristokrasi. Hak
memilih tidak pernah diperluas ke koloni, seperti Korea, meskipun warga kolonial yang pindah ke
Jepang dapat memberikan suara setelah reformasi 1925.

Namun, kabinet yang didasarkan pada politik partai tidak berdaya melawan campur tangan militer
Jepang yang semakin meningkat. Angkatan Darat dan Angkatan Laut memiliki kursi di kabinet, dan
penolakan mereka untuk menjadi anggota kabinet akan memaksa pembubarannya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta melemahkan Diet, yang menyebabkan kekuasaan militer pada tahun
1936. Selama invasi Jepang ke Cina dan Perang Pasifik , Jepang berubah menjadi negara totaliter,
yang berlanjut hingga kekalahan Jepang pada 1945.

 Hukum Jepang pasca-Perang Dunia II

Setelah Perang Dunia Kedua , pasukan militer Sekutu (kebanyakan orang Amerika) mengawasi
dan mengendalikan pemerintah Jepang. Hukum Jepang mengalami reformasi besar di bawah
bimbingan dan arahan otoritas Pendudukan . Hukum Amerika adalah pengaruh terkuat, kadang-
kadang menggantikan dan kadang-kadang dilapiskan ke aturan dan struktur yang ada. Konstitusi,
acara pidana, dan hukum ketenagakerjaan, yang semuanya penting untuk perlindungan hak asasi
manusia, dan hukum perusahaan, telah direvisi secara substansial. [28] Reformasi besar tentang
kesetaraan gender, pendidikan, demokratisasi, reformasi ekonomi dan reformasi tanah
diperkenalkan.
Konstitusi Jepang pasca perang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,
merampas kekuasaan politik Kaisar, dan memperkuat kekuasaan Diet, yang akan dipilih dengan hak
pilih universal. Konstitusi juga membatalkan perang, memperkenalkan Bill of Rights, dan menyetujui
peninjauan kembali .Tentang kesetaraan gender, perempuan untuk pertama kalinya mendapatkan
hak pilih pada pemilu 1946 , dan ketentuan KUH Perdata tentang hukum keluarga dan suksesi
direvisi secara sistematis.Undang-undang juga melegalkan serikat pekerja, mereformasi sistem
pendidikan, dan membubarkan konglomerat bisnis ( Zaibatsu ). Namun, Jepang mempertahankan
sistem hukum hukum perdata dan tidak mengadopsi sistem hukum common law Amerika.

Oleh karena itu, sistem hukum Jepang saat ini pada dasarnya merupakan campuran dari struktur
sipil dan hukum umum, dengan "rasa" yang mendasari kuat dari karakteristik asli Jepang dan Cina.
Sementara aspek sejarah tetap aktif hingga saat ini, hukum Jepang juga mewakili sistem dinamis
yang telah mengalami reformasi dan perubahan besar dalam dua dekade terakhir juga.

 Invasi Jepang ke Hindia Belanda

Penjahah Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap
para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi nasionalis. Namun para penjajah tidak bisa
menghapuskan sentimen nasionalisme yang telah tertanam di hati bangsa Indonesia. Orang-orang
Indonesia, di sisi lain, tidak cukup kuat untuk melawan pemimpin kolonialis dan karenanya
membutuhkan bantuan dari luar untuk menghancurkan sistem kolonial.

Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak,
menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda. Walau pada awalnya disambut
sebagai pembebas oleh penduduk pribumi Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di
bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah
kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh administrasi yang tidak
kompeten, dan ini mengubahkan Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang
Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-
proyek konstruksi yang padat karya di Jawa.

Waktu Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-
kamp tawanan dan digantikan dengan orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas
kepemerintahan. Tentara Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda
Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para
pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada
bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia
II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya
kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial pemerintah kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, delapan
hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki dan dua hari setelah Jepang kalah perangnya

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan demikian, makalah ini menunjukan sebuah masa pemerintahan dan perkembagan politik
hukum dari dua negara tersebut yakni belanda dan jepang yang dimana kekuatan politik hukum
sangat menentukan kekutan pertahanan sebuah negara dan perkembagan negara tersebut, maka
politik hukum ini kembali lagi dari pemerintahan sebuah negara yang dimana cara menentukan
politik hukum ini bisa berjalan dengan baik atau tdk.Sehingga ini menentukan sekali dalam
perkembagan/kemerdekaan suatu negara.

B . saran

Dalam perkembagan pilitik hukum di sebuah negara,pemerintah dari negara tersebut


harus memiliki surfei yang panjang dalam membuat sebuah politik hukum,karana jika gagal
dalam penerapannya akan berakibat fatal bagi negara tersebut.

C . Daftar pustaka

 Perkembagan politik hukum Belanda


 Perkembagan politik hukum jepang

Anda mungkin juga menyukai