Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA PADA

MASA PERALIHAN PASCAKOLONIAL (1940-1950)

Pertama-tama perkembangan sepanjang masa transisi yang penuh


pergolakan (1940-1950), berikutnya perkembangan pascarevolusi fisik yang
ditengarai oleh eskperimen pemerintahan parlementer (1950-1960), berikutnya
lagi masa pemerintahan Presiden Soekarno yang diawali dengan dekritnya untuk
“kembali ke UUD 1945” dengan upaya sesudah itu untuk menegakkan apa yang
disebut Demokrasi Terpimpin (1950-1966), dan akhirnya adalah masa
pemerintahan Presiden Soeharto yang menamakan masa kekuasaan
pemerintahannya dengan sebutan Era Orde Baru (1966-1990).
Perkembangan pada masa akhir kekuasaan Hindia-Belanda
Sekalipun boleh dibilang agak lamban, dan sering terhambat oleh kontroversi-
kontroversi antara puak universalis dan puak partikularis, perkembangan itu
sedikit atau banyak telah menampakkan wujud sosok yang berkontur jelas.
Kodifikasi dan unifikasi yang dicita-citakan sejak lama, ialah sejak
dikemukakannya bewuste rechtpolitiek pada pertengahan abad ke-19 baru
terwujud dalam bidang hukum pidana materiil saja, itupun dengan tata peradilan
dan karena itu juga dengan hukum acara pidana yang masih berbeda dan terpisah
menurut kebijakan dualism.
Keberatan-keberatan awal bersebab dari pertimbangan-pertimbangan
ekonomi pemerintahan tentang mahalnya biaya untuk mendukung
penyelenggaraan badan-badan pengadilan yang akan mengoperasionalkan
hukum yang akan diunifikasikan secara menyeluruh untuk semua golongan
penduduk tanpa perkecualian itu, dan kemudian bersebab pada keberatan-
keberatan yang berpangkal pada keyakinan adanya relativisme budaya yang
didukung oleh paham liberalisme kaum partikularis dan yang dipengaruhi oleh
tesis-tesis puak pendukung historisme.
Dualism hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat
yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada suatu waktu akan dikodifikasikan
tetap berjalan dan berlaku. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan yang
bermula pada tahun 1854 menurut Pasal 109 Regeringsreglement 1854 tetap saja
berlaku dan diteruskan sebagai Pasal 163 Indische Staatsregeling 1925 yang
berlaku sejak tahun 1925 itu sebagai pengganti Regeringsreglement 1854.
Penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan
kolonial ini mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualism dan pluralisme
hukum kolonial di Indonesia.
Demikianlah kenyataannya, anno 1942, penduduk Hindia-Belanda tetap
dibedakan menjadi tiga golongan: Eropa, Pribumi, dan Timur Asing (Cina dan
Timur Asing lain yang bukan Cina). Yang ipso jure terbilang golongan Eropa
ternyata bukan saya orang-orang Belanda dan orang-orang yang berasal dari

1
Eropa berikut anak keturunannya (yang sah maupun yang diakui) saja, akan tetapi
orang-orang Jepang dan orang-orang Min yang di negeri asalnya juga dikenal
hukum keluarga yang serupa atau asas dengan hukum keluarga menurut hukum
Belanda (seperti orang-orang Jepang, Thailand, dan Turki).
Adapun yang dinyatakan terbilang golongan pribumi adalah semua penduduk
asli di tanah jajahan, kecuali mereka yang telah menundukkan diri secara penuh
dan sukarela ke dalam hukum golongan lain atau telah meleburkan diri ke dalam
golongan itu dan tidak hendak masuk kembali ke dalam golongan asalnya.
Sementara itu, mereka yang terbilang ke dalam golongan Timur Asing adalah
semua saja di tanah jajahan yang tidak masuk ke dalam dua golongan yang telah
disebutkan terdahulu; mereka itu masih dibedakan lagi antara sub-golongan Cina
dan sub-golongan Timur Asing lainnya (ialah misalnya Arab dan India).
Demikianlah keadaan tata hukum dan kebijaksanaan hukum kolonial di
Indonesia menjelang pecahnya Perang Dunia II. Berulangkali telah dicoba
dilakukan upaya untuk mengunifikasikan hukum oleh para pemuncak pengendali
kekuasaan pemerintahan, namun apapun hasilnya orang-orang dari golongan
penduduk pribumi masih tetap saja (pada dasarnya) berada di bawah yurisdiksi
hukum adanya sendiri. Pluralisme hukum rupanya tak hanya merupakan
kenyataan obyektif, akan tetapi juga termaknakan dan menjadi refleksi pengakuan
subyektif pemerintah kolonial pada masa-masa akhir kekuasaannya bahwa ada
kebutuhan hukum yang beragam dan berbeda-beda di kalangan penduduk (Bali,
1986:27).
Pluralisme hukum seperti ini di mata para yuris nasionalis Indonesia, yang
aktivitasnya mulai menggebu pada dasawarsa 1930-an, pub terlihat sebagai
kenyataan, dan boleh dipakai sebagai dalih untuk “menolak” diberlakukannya
hukum Barat untuk orang-orang pribumi. Pluralisme atau dualism bukanlah suatu
kebijaksanaan diskriminatif, melainkan diterima sebagai suatu kebijakan untuk
mengakui keadaan golongan-golongan rakyat yang berbeda-beda (namun yang
harus diakui sebagai berkedudukan sama).
Pada masa-masa akhir kekuasaan kolonial, sekalipun kebijakan dasar
sebagaimana dinyatakan dan/atau dapat ditafsir dari bunyi Pasal 131 ayat 2 huruf
b Indische Staatsregeling mengesankan bahwa berlakunya hukum adat untuk
orang-orang pribumi pada asasnya akan dipertahankan, namun, dalam kenyataan
yang dapat disimak, banyak ihwal yang tidak lagi dikaidahi hukum adat, melainkan
mulai banyak diatur oleh hukum perundang-undangan kolonial. Hukum mengenai
pelayaran, pendaftaran kapal, perjudian, catatan sipil, badan-badan usaha dan
badan-badan koperasi telah diatur dengan ordonansi-ordonansi yang diberlakukan
juga untuk golongan rakyat lain yang bukan pribumi. Delik adat seperti diketahui
sudah lama digantikan oleh hukum perundang-undangan yang juga diberlakukan
untuk semua golongan rakyat.

2
Perkembangan tata hukum di Indonesia pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945)
Begitu menduduki kepulauan Nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial
yang telah menanamkan pengaruhnya berdawarsa-dasawarsa lamanya,
pemerintah militer Jepang membagi daerah yang diduduki itu menjadi tiga wilayah
komando. Yang pertama adalah Jawa dan Madura, yang kedua adalah Sumatera
yang dikontrol dan Singapura sebagai pusatnya, dan yang ketiga adalah
Indonesia bagian timur. Berdasarkan undang-undang bala tentara Jepang (Osamu
Sirei) tahun 1942 No.1, yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan
bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum dan
peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila
bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang. Peraturan perundang-
undangan serupa juga dimaklumatkan untuk dua wilayah lain di bekas daerah
jajahan Hindia-Belanda ini.
Kontribusi paling penting yang diberikan oleh Jepang kepada sistem hukum
Indonesia adalah dihapuskannya dualism dalam tata peradilan. Kini hanya ada
satu sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang-
orang Jepang). Badan pengadilan tertinggi adalah Hooggerechtshof yang kini
disebut Saiko Hein, dan kemudian berturut-turut adalah Raad van Justitie (Koto
Hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin) Regentschapsgerecht
(Ken Hoin), dan Districtsgerecht (Gun Hoin). Residentiegerecht yang pada masa
kekuasaan Hindia-Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara
orang-orang Eropa saja, kini dihapus.
Demi kelancaran administrasi pemerintahan dan penyelenggaraan tertib
hukum, tidak ada sesuatupun yang akan diubah-ubah dan dirombak-rombak
secara mendasar tanpa perlu. Reorganisasi badan-badan pengadilan dan
kejaksanaan pun sebenarnya dimaksudkan untuk meniadakan kesan perlunya
orang-orang Eropa diperlakukan secara khusus di hadapan orang-orang Asia.
Di satu pihak kehadiran Jepang menggelorakan nasionalisme pribumi dan
menggerakkan aktivitas politiknya, sedangkan di lain pihak Jepang memerlukan
isyarat baik dari para pemuka dan rakyat Indonesia untuk mendukung usaha-
usaha memenangkan perangnya.
Reorganisasi badan-badan pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian
(dihapuskan-nya pembedaan antara polisi kota dan polisi lapangan/ pedesaan)
tentu saja harus disusun dengan pengangkatan awak-awak pelaksananya. Badan-
badan pengadilan dengan segera diawaki oleh hakim-hakim berkebangsaan
pribumi, yang tentu saja hal itu disebabkan oleh ditahannya pejabat-pejabat
berkebangsaan Belanda di kamp-kamp tawanan perang.
Mempertimbangkan bahwa banyak tugas-tugas kehakiman dan kejaksaan
yang dipercayakan kepada tenaga-tenaga yang sebenarnya kurang berkeahlian
benar, maka pada pertengahan tahun 1943 pemerintah Jepang membuka dan

3
menyelenggarakan pendidikan singkat dalam bidang hukum untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan itu.
Bahwa pada saat itu pemerintah pendudukan Jepang memperoleh bantuan
cukup banyak dari para mantan pejabat kolonial yang berkebangsaan pribumi /
Indonesia sebenarnya tidak terlalu mengherankan benar. Dan ketika
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan beberapa saat kemudian pada suatu
hari di tahun 1945, pengalaman yang diperoleh semasa pendudukan Jepang
sangatlah berarti. Akan tetapi nyata juga bahwa permasalahan yang harus
dihadapi bukanlah perkara yang ringan dan mudah. Masalah pembangunan
hukum, meliputi aspek-aspek substansi, struktur dan kultur – seperti yang
dihadapi dengan penuh dilema oleh pemerintah kolonial ketika harus mengelola
suatu negeri yang penuh dengan heterogenitas dan pluralitas – kini terambil-alih
sebagai bagian dari masalah nasional yang pada dasarnya tidaklah banyak
berbeda.
Perkembangan tata hukum Indonesia pada masa revolusi fisik (1945-1950).
Bagaimanapun juga seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia
telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-
asas yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang.
Dasar-dasar konstitusionalnya dapatlah ditemukan kembali dalam
Regeringsreglement 1854, dan terus bertahan sampai masa-masa akhir
kekuasaan kolonial, dan yang ternyata dinyatakan terus secara eksplisit di dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Asas-asas itu ialah asas
supremasi hukum (yang terkandung dalam doktrin rechtsstaat) yang selayaknya
dan sedapat mungkin diunifikasikan menurut apa yang di zaman kolonial disebut
eenheidsbeginsel. Peradilan akan diselenggarakan berdasarkan asas
ketidakberpihakan atas dasar dalih bahwa negara diselenggarakan tidak
berdasarkan kekuasaan.
Mengenai persoalan ini Lev pun mengatakan bahwa perhatian para pemimpin
Republik pada waktu itu banyak tersita untuk upaya-upaya politik guna merealisasi
kesatuan dan persatuan nasional saja, dan acapkali terpaksa mengabaikan
inovasi-inovasi pranata dan kelembagaan masyarakat dan negara. Usul-usul
inovatif untuk membuat terobosan – seperti misalnya usul Muhammad Yamin
untuk memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung guna melakukan
peninjauan-peninjauan dan penilaian terhadap seluruh produk perundang-
undangan yang ada, ialah apa yang disebut judicial review sebagaimana yang
dikenal dalam sistem common law – selalu saja terbentur pada keberatan-
keberatan Soepomo yang lebih menyukai model-model kelembagaan
ketatanegaraan yang selama ini sudah dikenal dengan baik oleh pakar-pakar
hukum Indonesia (Lev, 1977:1-37).
Demikianlah, apapun juga motivasinya, yang harus dikerjakan pertama-tama
oleh para pendiri Republik ialah merancang dan menegaskan hukum dasar yang
akan menjadi landasan dan kerangka konstitusional seluruh tata hukum dan tata

4
pemerintahan di Indonesia. Dipersiapkan beberapa saat sebelum Jepang
menyerah kalah pada akhir Perang Dunia II, sebuah Panitia yang disebut Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah bersidang dan bekerja beberapa
waktu lamanya untuk menyiapkan rancangan undang-undang dasar untuk
landasan tegaknya sebuah organisasi negara baru yang akan segera
diproklamasikan, berikut tertib hukumnya. Dalam rancangan yang kemudian
benar-benar menjadi sebuah Undang-Undang Dasar itu disebutkan lima asas
dasar yang (kemudian) dikenal dan terkenal dengan nama Pancasila.
Satu-satunya pernyataan normatif yang mengesankan kebijakan untuk
menolak dengan segera berlakunya hukum kolonial hanyalah Maklumat Presiden
Tahun 1945 No. 2, bertanggal 10 Oktober 1945. Kecuali mengulang apa yang
telah dinyatakan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945,
Maklumat ini juga mengatakan bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan
dengan Undang Undang Dasar 1945 sajalah yang tetap boleh dianggap berlaku.
Maklumat yang satu ini sekalipun sebenarnya bermakna besar dalam
perkembangan hukum nasional tidaklah banyak dikenal, diketahui dan dirujuk
orang. Dimaklumatkannya Maklumat Presiden ini, menurut Bali, di dalam praktik
malah cuma menerbitkan keraguan saja. Orang, apalagi yang awam, didalam
praktik tak selalu dapat mengetahui dengan segera mana saja hukum kolonial
yang “masih langsung berlaku”, dan mana pula yang - karena dianggap
bertentangan dengan Undang Undang - Dasar 1945 harus dianggap sudah tidak
berlaku lagi (Bali, 1985:186; Bali, 1986:32).
Unifikasi badan-badan pengadilan yang telah diperkenalkan pada masa
pemerintahan balatentara Jepang ternyata diteruskan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, bahkan dengan melanjutkan proses penyederhanaannya. Badan-
badan pengadilan tingkat pertama yang masih jamak dan beragam pada zaman
pendudukan Jepang, kini disatukan. Gun Hoin (Districtsgerecht), Ken Hoin
(Regent-sehapsgerecht), dan Keizai Hoin (Landsgerecht) kini ditiadakan dan
fungsi-fungsinya dialihkan ke Tiho Hoin (Landraad) yang sejak saat itu dinamakan
Pengadilan Negeri. Koto Hoin (Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat
banding, disebut dengan nama Pengadilan Tinggi. Sedangkan Saiko Hoin
(Hooggerechtshof) dijadikan pengadilan pemeriksa perkara-perkara kasasi,
disebut dengan nama Mahkamah Agung.
Dekolonisasi dan nasionalisasi badan-badan pengadilan ini diteruskan
dengan langkah untuk membatasi dan/atau mengurangi badan-badan pengadilan
adat dan swapraja. Usaha-usaha dipikirkan agar didalam jangka waktu tertentu
badan-badan pengadilan yang bertumpu pada kekuasaan lokal itu dapat
digantikan oleh badan-badan pengadilan negara yang disebut Pengadilan Negeri.
Hanya badan-badan pengadilan agama - yang didirikan sebagai bagian dari
lembaga peradilan negara - saja yang tetap diteruskan, bahkan ada sebuah
Mahkamah Islam Tinggi yang didirikan waktu itu, walaupun yurisdiksi pengadilan-
pengadilan ini tetap saja terbatas; dan usaha-usaha untuk memperluas

5
yurisdiksinya (melampaui apa yang telah ditetapkan dan dikerjakan pada masa-
masa yang lalu) tidak pernah berhasil (Schiller, 1956:90-104).
Bersejajar dengan apa yang berkembang di daerah Republik Indonesia, di
kawasan Hindia-Belanda pascaperang, landgerechten diteruskan untuk mengadili
perkara-perkara semua golongan penduduk. Pengadilan untuk memeriksa perkara
dalam tingkat banding dan tingkat kasasi juga diselenggarakan. Namun, berbeda
dengan apa yang berkembang di daerah Republik, badan-badan pengadilan adat
dan swapraja yang umumnya memang banyak terdapat di daerah-daerah luar
Jawa yang banyak terlepas dari kekuasaan Republik tetap diteruskan, kecuali di
daerah Sumatra Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai akibat revolusi sosial
terhadap sultan-sultan Melayu yang berkuasa di sana.
Di beberapa daerah di Jawa dan Madura yang diduduki Belanda,
penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama tetap diselenggarakan
menurut ketentuan-ketentuan ordonansi tahun 1931. Sementara itu peradilan
desa sebagai upaya perdamaian atas dasar kewibawaan para kepala desa tetap
berlangsung terus tanpa perubahan apapun yang berarti, baik pada masa
pendudukan Jepang maupun sesudahnya, baik di daerah-daerah yang kemudian
dikuasai Republik Indonesia maupun yang kemudian jatuh ke tangan kekuasaan
Hindia-Belanda pascaperang.
Sepanjang sejarahnya yang singkat itu, sumber pembuatan hukum
perundang-undangan yang utama di Indonesia tak lain adalah RIS. Akan tetapi, di
antara negara-negara dan daerah-daerah bagian yang ada di lingkungan RIS,
Republik Indonesia “Proklamasi” adalah anggota yang paling berperan dalam
ihwal pengembangan hukum perundang-undangan ini. Apa yang telah pernah
dihasilkan oleh Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap
berlaku sebagai hukum Indonesia (berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949).
Perkembangan hukum di Indonesia pascarevolusi fisik pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno (1950-1966)

Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS dari tahun
1950 inipun menganut asas untuk tetap memberlakukan semua peraturan
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada
sebelumnya. Pasal 142 Undang Undang Dasar Sementara ini menyebutkan hal
itu, bahwa “peraturan-Peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan
tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan
tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik
Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar (yang baru)
ini. Dengan demikian, kevakuman hukum yang mungkin akan mengundang
suasana ketidakpastian dapat dicegah, dan persaingan politik (antara kelompok
nasionalis pendukung hukum adat dan kelompok muslim pendukung hukum fikih),

6
untuk memperebutkan ruang vakum guna diisi dengan sistem hukum yang baru,
akan dapat dicegah atau setidak-tidaknya ditunda.
Sekalipun sudah bertekad untuk mendirikan negara kesatuan, soal pluralisme
golongan rakyat dan sehubungan dengan hal itu juga soal pluralisme hukumnya,
ternyata masih dinyatakan perlu untuk disebut-sebut dan dikaidahi dalam Undang
Undang Dasar itu, ialah dalam Pasal 24 UUD RIS. Pasal ini menyatakan dalam
ayatnya yang kedua, bahwa “perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan”, seolah-olah hendak
menegaskan kembali kebijakan lama yang dianut semasa pemerintahan kolonial.
Mengenai kebijakan untuk meniadakan ‘pluralisme dalam jangka panjang’
tersebut di muka ini, orang merujuk ke Pasal 102 UUDS yang menegaskan bahwa
“hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana
militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan
pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum kecuali jika
perundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam
undang-undang tersendiri. Maka sekalipun banyak pula orang yang mencoba
meragukannya maksud Pasal 25 dan 102 UUDS itu boleh diagak akan menjurus
ke pembebanan kewajiban kepada badan pembuat undang-undang untuk
mengkodifikasikan hukum dan mengunifikasikan sistem hukum Indonesia,
sekalipun pada saat itu hukum kolonial yang plural itu dan hukum adat yang
tertulis masih leluasa berlaku dalam dan untuk praktik (Ball, 1985:1999; Ball,
1986:35).
Tugas-tugas yang dibebankan oleh ketentuan-ketentuan konstitusional guna
membangun hukum nasional itu sungguh bukan tugas yang ringan. Dilema pilihan
antara realitas pluralisme (yang sebagai kebijakan sebenarnya sudah dominan
sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi (yang merefleksikan semangat
kesatuan dan persatuan dalam perjuangan revolusi Indonesia) tidaklah mudah
diatasi demikian saja. Pilihan yang harus dibuatpun tidaklah bisa didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang terbatas pada penimbangan yang bersifat
sosial-yuridis semata, akan tetapi bisa diduga juga akan melebar dan ke
pertimbangan-pertimbangan serius yang sifatnya politik-ideologik.

Pembangunan hukum pada subperiode 1950-1959


Semasa kekuasaan kolonial masih kuat bertahan menjelang pecahnya
Perang Dunia II, sistem hukum Indonesia yang kompleks itu sebenarnya
merupakan hasil kompromi-kompromi antara para pendukung kebijakan kolonial
yang tak pernah bersifat tunggal. Di sini orang masih belum juga selesai
menegaskan apakah untuk Indonesia harus segera diputuskan (dengan segala
konsekuensinya!) pluralisme ataukah unifikasi hukum ? Hukum adat yang plural
atau hukum Islam yang telah dibakukan dan dibakukan serta diunifikasikan ?
Mengikuti model common law dengan judge-made-law-nya, sebagaimana telah
dicoba dirintiskan oleh ter Haar dalam peradilan yang menerapkan hukum adat,
ataukah tetap model civil law system dengan kodifikasi-kodifikasi sebagaimana
secara tradisi dikenal dalam sistem hukum Perancis dan Belanda? Dan akhirnya,

7
hukum rakyat yang berakar pada bumi budaya dan kepribadian bangsa Indonesia
ataukah hukum yang sama sekali baru untuk menyongsong dan mengantisipasi
kebutuhan masa depan, yang penuh dengan tantangan perkembangan sosial-
ekonomi modern di tengah pergaulan antar-bangsa yang serba terbuka ?
Perkembangan dan pembangunan hukum Indonesia sejak awal mula
memang amat dipengaruhi oleh sikap ambivalensi para ahli hukum nasionalis
yang sejak masa sebelum perang sangat terikat komitmen untuk mengukuhi dan
mendahulukan hukum adat.
Berulangkali dipertanyakan, adakah hukum adat itu sesungguhnya hukum
yang terlalu sederhana untuk memenuhi maksud memodernisasi kehidupan
sesuatu bangsa ataukah hukum ini harus lebih diapresiasi dalam hakikatnya
sebagai milik asli bangsa Indonesia (nota bene suatu bangsa yang tengah
mencoba melepaskan diri dari dominasi politik dan dominasi budaya bangsa
asing), dan bukan pertama-tama harus diapresiasi secara pragmatic dalam hal
kemampuannya dan kegunaannya semata. Manakala yang akan dipentingkan
dalam revolusi bangsa adalah pemuasan kebutuhan Indonesia untuk memperoleh
kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial yang cepat, besarlah
kecenderungan para pemuka untuk melihat hukum adat sebagai kekuatan yang
menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat. Dalam
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada waktu itu, sejumlah pikiran dan
pendapat mulai menyeruak bahwa hukum adat memang relevan untuk
pembangunan bangsa, akan tetapi hukum ini sebenarnya juga hanya relevan
untuk menata kehidupan penduduk pribumi di desa-desa dan kampung-kampung.
Mengatasi keberatan para pendukung hukum adat yang umumnya “tersisa”
dari barisan yuris nasionalis tua yang berperan besar dalam perjuangan membela
dan menegakkan hukum adat pada tahun-tahun 1920 dan 1930-an, argumentasi
lain sering diajukan oleh mereka yang menginginkan dilaksanakannya usaha
modernisasi hukum nasional Indonesia. Argumentasi untuk memodernisasi hukum
Indonesia dengan berkiblat ke hukum Barat adalah argumentasi tentang perlunya
hukum Indonesia modern itu segera memenuhi standar hukum yang diperlukan
dalam pergaulan internasional dan transaksi-transaksi lintas-bangsa. Sekalipun di
sini hukum perundang-undangan Indonesia harus tetap dibuat dan ditegakkan
dengan berorientasi kepada kepentingan bangsa Indonesia sendiri, namun
tidaklah sekali-kali boleh ditolak bahwa hukum itu harus pula setara dengan
sistem hukum bangsa-bangsa lain dan fungsional untuk memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat bangsa yang kian terbuka.
Meneruskan desakan-desakannya yang pada masa kolonial dahulu
melahirkan permasalahan yang dikenali sebagai de Chinese questie, dapat diduga
bahwasanya golongan Cina dan para pakar hukumnya akan cenderung untuk
dengan kuatnya menyokong maksud agar hukum Barat – yang selama ini berlaku
untuk golongan Eropa tanpa perlu mempersoalkannya sebagai peninggalan

8
kolonial atau bukan – ditelaah dan dikembangkan saja dengan segera sebagai
hukum nasional yang dikodifikasikan dan diunifikasikan.
“Menambah ramainya busa”, kelompok politik Islam ikut serta mempersoalkan
pilihan. Bagi mereka ini tentu saja bukan hukum barat atau hukum adat yang
harus dikembangkan sebagai hukum nasional melainkan hukum fikih Islam itulah!
Namun, sekalipun mayoritas penduduk Indonesia itu beragama Islam, namun
reformasi hukum nasional atas dasar hukum Islam boleh dibilang kurang
memperoleh dukungan kuat (Ball, 1985:204), setidak-tidaknya pada masa awal
itu. Hukum Islam boleh diprakirakan belum akan diperjuangkan secara gigih
selama lembaga peradilannya belum sempat mempunyai kitab-kitab fikih yang
standar. Pendidikan hukum modem yang lebih menyiapkan para yuris untuk lebih
memahami hukum Barat dan hukum adat dalam porsi yang berlebih, telah
menyebabkan perhatian para pakar lebih tertuju ke peran nasional yang akan
dimainkan kedua hukum dan sistem hukum itu.
Dalam perkembangan setakat itu, susunan dan kekuasaan badan-badan
pengadilan yang telah ditetapkan dan direalisasikan di daerah-daerah Republik
Indonesia Proklamasi - atas dasar ide unifikasi lembaga pengadilan negara yang
sama untuk melayani semua pencari keadilan, apa pun juga golongan rakyatnya -
tetap diteruskan berlakunya, juga untuk daerah-daerah lain yang pada masa
revolusi fisik dahulu terlepas dan tangan kekuasaan Republik dan jatuh serta
dikuasai kembali oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Dengan demikian pada
dasarnya untuk seluruh wilayah Republik akan dianut kebijakan bahwa peradilan
yang diselenggarakan oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, masing-masing
dengan kekuasaan untuk mengadili pada peringkat pertama, pada peringkat
banding dan pada peringkat kasasi (Leyser, 1954:399-411).
Dengan Undang-Undang Mahkamah Agung (UU No. 90 Tahun 1950) dan
Undang-Undang Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan (UU
Darurat No.1 Tahun 1951) “diaturlah tindakan-tindakan untuk meneruskan
unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia. Atas kuasa Undang-
Undang Darurat ini, badan-badan pengadilan adat dan pengadilan-pengadilan
swapraja di luar Jawa dan Madura ditiadakan sehingga dengan demikian tidaklah
akan ada peradilan resmi yang boleh diselenggarakan kecuali peradilan yang
diselenggarakan oleh negara. Atas kuasa Undang Undang Darurat itu,
sempurnalah sudah unifikasi badan-badan pengadilan di Indonesia, sekalipun
unifikasi hukum materiil dan hukum acaranya masih harus menunggu
perkembangan lebih lanjut.
Pembangunan hukum pada subperiode 1959-1966
Kebijakan untuk merealisasi unifikasi hukum kolonial secara berangsur
rupanya harus terduplikasi (ataukah lebih tepat dikatakan ‘terteruskan’?) dalam
pembangunan hukum nasional era pascakolonial ini. Di satu pihak para
perancang sistem hukum nasional yang berwawasan nasionalisme menghendaki

9
tetap dikukuhkannya ‘kepribadian bangsa’, juga yang harus tercermin dalam
hukum nasionalnya (sejalan dengan pandangan kaum partikularis); sementara itu,
di lain pihak, karena dituntut untuk bersikap realistik, para perancang hukum
nasional ini mau tak mau mesti juga mempertimbangkan kenyataan betapa
globalisasi ekonomi, politik dan budaya - yang berpola pada peradaban industri
Barat - nyata sekali kalau kian mempersulit upaya-upaya mentransformasikan
hukum rakyat yang lokal itu ke suatu sistem yang lebih komprehensif untuk
kepentingan yang beruang lingkup nasional.
Konflik baru yang meletus dengan Belanda pada awal dasawarsa 1960an,
dalam perkara pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia,
cenderung memperkuat kembali desakan untuk segera membebaskan diri dari
pengaruh-pengaruh kolonialisme, termasuk pula upaya untuk membebaskan diri
dan pengaruh ide-ide yang tersembunyi di dalam sistem hukumnya.
Namun, di tengah-tengah keraguan dan kemandegan seperti itu, suatu
peristiwa politik yang menentukan telah terjadi pada tahun 1959, ialah ketika
demokrasi parlementer di bawah arahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
digantikan oleh apa yang disebut demokrasi terpimpin. Pada tahun 1959 Presiden
Soekarno mendekritkan keputusan untuk kembali ke UUD 1945.
Suatu langkah yang sekalipun simbolik namun pantas diperhatikan adalah
digantikannya simbol hukum Indonesia dari figur Dewi Yustisia (yang di dalam
peradaban Eropa melambangkan keadilan) ke Pohon Beringin (yang di dalam
lingkungan kebudayaan Jawa melambangkan pengayoman). Perubahan simbol ini
rupanya tak hanya hendak mengekspresikan perubahan fungsi hukum dari
pemberian keadilan ke pemberian pengayoman, akan tetapi juga mencanangkan
niat untuk kembali ke tradisi dan dasar-dasar pemahaman falsafatinya sendiri.
Hampir bersamaan dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehakiman Sahardjo
pada tahun 1960 tentang penggantian lambang hukum di Indonesia ini, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang bersidang pada tahun itu juga, dalam
Ketetapannya Nomor II menegaskan bahwa setiap usaha untuk memperoleh
kesatuan hukum harus memperhatikan benar-benar realitas yang ada di Indonesia
dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk membentuk hukum nasional harus
selalu bersesuaian dengan garis-garis besar haluan negara dan harus pula
didasarkan pada hukum adat.
Barangkali Undang-Undang Pokok Agraria dari tahun 1960 dapat dikaji
sebagai contoh produk hukum perundang-undangan nasional dari masa itu yang
mencerminkan upaya pencarian oleh para pemuka hukum di Indonesia untuk
menemukan hukum yang benar-benar dapat disebut “nasional”. Pencarian ini
sekaligus menunjukkan betapa sulitnya menemukan hukum yang benar-benar
nasional seperti tolok yang disyaratkan oleh dan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara tahun 1960 Nomor II itu. Undang-Undang
Pokok ini bermaksud membuat peraturan hukum yang berlaku untuk semua
golongan penduduk tanpa kecualinya. Dengan undang-undang ini dicabutlah

10
sebagian besar ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek; BW) dan hak-hak tanah
menurut hukum Eropa yang mendasarkan diri kepada ketentuan-ketentuan di
dalam Kitab itu.
Sekalipun mengklaim diri kepada hukum adat, Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dari tahun 1960 inipun ternyata banyak mengabaikan kaidah-kaidah
hukum adat lokal. Yang hendak diperhatikan hanyalah asas-asas umum yang
terdapat dalam hukum Indonesia, itupun sejauh tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
Namun, praktik menunjukkan bahwa apa yang direkayasa dari atas
bersaranakan hukum ini tidaklah seberhasil apa yang semula diharapkan. Pada
akhirnya, Undang Undang Pokok Agraria ini, seperti yang dikatakan Gautama
(1961:353-53), tetap saja:
“adopts modern principles and works with modern western ideas. In the result
therefore, the new statute means that the reception of western law will
Indonesia…. The western Principles are adopted silently’ ..by the legislator”.
Barangkali karena lebih bersesuai dengan prinsip-prinsip dan ide-ide hukum
Barat itu pulalah maka hukum perundang-undangan tanah nasional ini tidak
terlampau sukses dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, apapun juga basil dan keefektifan yang bisa ditaksir dari
implementasi dan pelaksanaan UUPA 1960, yang sebenarnya itupun baru bisa
diketahui beberapa tahun kemudian, yang sesungguhnya sangat dipentingkan
pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang
dibuat tersebut. Hukum perundang-undangan nasional pada era itu memang
bukan yang diharapkan bersifat instrumental belaka, melainkan hukum yang
dikehendaki dari ekspresif sebagai hukum revolusioner yang harus dibangun dari
dalam, dan tidak sebagai hukumnya para anthek yang maunya cuma hendak
meneruskan, mengekor dan bahkan membela cita-cita lama. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor II tahun 1960 menegaskan asas-asas
pembangunan hukum yang harus berkeadaan demikian itu.
Pada tahun pertama bekerjanya, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
(LPHN) ini telah selesai menetapkan sebuah naskah kerja mengenai “Pokok-
pokok dan Asas-Asas Tertib Hukum Nasional”.
Sementara itu, LPHN ini juga mencita-citakan terwujudnya unifikasi dan
kodifikasi dalam sistem hukum Indonesia, namun bukan kodifikasi seperti
pengalaman terdahulu di zaman kolonial yang didasarkan pada konsep-konsep
hukum Barat melainkan atas dasar asas-asas hukum adat. Adapun yang
dimaksudkan dengan hukum adat di sini bukan lagi hukum adat sebagaimana
manifestasinya yang konkret sebagai pola-pola normatif penata kehidupan
pedesaan, melainkan hukum adat yang telah difungsikan untuk kepentingan
kehidupan nasional dan internasional yang modern.

11
Kecenderungan untuk tetap mendahulukan stabilitas dan ketertiban yang
penuh kemapanan, serta pula untuk terlalu mengukuhi kepastian hukum, dinilai
tidak cocok dengan cara berpikir revolusioner, suatu cara berpikir yang akan
memberikan keberanian kepada seseorang untuk membongkar tatanan lama yang
sudah mapan secara radikal, untuk kemudian membangun sesuatu yang baru.
Presiden mengkritik cara-cara berpikir yuridik-dogmatik yang condong begitu
konservatif, sampai-sampai beliau mengutip pernyataan Wilhelm Liebknecht
bahwa orang memang tak akan bisa mengajak ahli hukum mencetuskan dan
menyelesaikan revolusi. Di hadapan sidang pleno Kongres Persatuan Sarjana
Hukum Indonesia pada tahun 1961 Presiden Soekarno melantangkan lagi sindiran
Liebknecht ini secara terbuka, yang diucapkannya dalam bahasa Belanda bahwa
“met de juristen kan ik de wiel van de revolutie met draaien”.
Kritik Presiden Soekarno ini setidak-tidaknya untuk sesaat” tampak
mendampak secara efektif bagi dunia pemikiran hukum kalangan atas pada masa
itu. Bali menyatakan bahwa kritik Presiden itu bisa berdampak efektif karena pada
saat itu jumlah para yuris tua yang masih mampu melibatkan diri ke dalam kancah
percaturan politik hukum sudah mulai surut, dan banyak ahli yang
mempertimbangkan arah angin mulai mencoba melakukan reposisi yang kira-kira
akan membantunya menemukan tempat yang lebih tepat dalam suasana yang
sudah mulai sarat dengan pertimbangan-pertimbangan ideologik daripada dengan
pertimbangan-pertimbangan yang yuridik (Bali, 1985:279). Soepomo, pemeran
utama pembangunan hukum Indonesia sejak masa pendudukan Jepang sampai
ke akhir riwayat demokrasi parlementer, dan yang selalu terlibat dalam
perancangan semua undang-undang dasar yang pernah dikenal Indonesia, telah
meninggal dunia pada tahun 1958.
Adalah Sahardjo yang dicatat pertama-tama paling tanggap dan cepat
menemukan konstruksi hukum yang dapat dipakai sebagai alasan pembenar guna
melepaskan diri dari keterikatan orang pada hukum lama yang kolonial. Dalam
sebuah ceramah yang diselenggarakan pada bulan Mei 1962 di LPHN, Sahardjo
menyarankan agar maksud Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditafsir ulang.
Dengan lebih konkret lagi, untuk mempercepat dilaksanakannya
pembaharuan hukum perdata di Indonesia, Sahardjo menyarankan agar
berdasarkan interpretasi revolusioner sebagaimana dikemukakan di muka,
Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel peninggalan pemerintah
kolonial tak seharusnya boleh dipandang lagi sebagai hukum positif yang masih
berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat, ^dua kitab ini sudah lebih dari pantas
kalau diperlakukan sebagai hukum positif yang masih berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat.
Disokong oleh kondisi yang menguntungkan, ide Sahardjo ini memperoleh
anggukan dari banyak pihak yang berpengaruh, antara lain dari Ketua Mahkamah
Agang Wirjono Prodjodikoro. Ketua Mahkamah yang dikenal dekat dengan
Presiden Soekarno ini mengemukakan pikirannya bahwa sebagian besar dari

12
ketentuan-ketentuan Burgerlijk Wetboek Buku II toh telah dinyatakan tidak berlaku
oleh hukum nasional tentang pertanahan (Pompe, 2005). Yang masih belum
pernah dicabut atau digantikan dengan hukum perundang-undangan nasional
yang baru hanyalah Buku I mengenai Person dan Buku III mengenai Kontrak.
Sementara itu, pihak-pihak yang tak bersetuju dengan pikiran-pikiran Saharjo
dan Wirjono mereaksi pikiran kedua tokoh ini dengan dalih-dalih yang klasik, ialah
bahwa hukum perundang-undangan demi kepastian hukum barulah dapat dan
boleh disebuttidak berlaku lagi kalau secara eksplisit dinyatakan demikian oleh
sebuah peraturan yang sederajat.
Perkembangan penting berikutnya, yang bermaksud untuk lebih menegaskan
lagi niat dan kebijakan untuk menghentikan berlakunya BW sebagai hukum positif
adalah ditulis dan dikirimkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
bertanggal 5 September 1963 kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di
Indonesia. Surat Edaran yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung (yang
sampai saat itu masih dijabat oleh Wirjono Prodjodikoro) menyatakan dalam
pembukaannya suatu penyesalan bahwa di Indonesia yang telah merdeka ini
masih banyak hukum yang dilatarbelakangi pemikiran kolonialisme masih saja
dipakai di pengadilan-pengadilan.
Beredarnya Surat Edaran Ketua Mahkamah ini tentu saja menimbulkan
polemik hangat di antara pihak yang pro dan pihak yang kontra, masing-masing
dengan dalih mereka sendiri.
Surat Edaran itu pun dianggap sebagai langkah ngawur yang tak
mengindahkan tatakrama, bukan saja karena sudah tidak menghormati asas
kepastian hukum akan tetapi juga karena merusak ajaran Stuffenbau yang
dikemukakan Kelsen tentang tertib hierarki perundang-undangan. Dipertanyakan,
bagaimana mungkin secarik Surat Edaran boleh membatalkan berlakunya sebuah
wet atau ordinansi ?” Jawabannya yang mungkin diberikan hanyalah, bahwa apa
yang tak mungkin dilakukan pada zaman kolonial itu kini, pada era revolusi, akan
menjadi dimungkinkan.

13
TUGAS KELOMPOK SEJARAH HUKUM

TENTANG
“EKSPERIMENTASI DALAM HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
1860-1960”

Pembahasan BAB 10 & 11 dari buku :

Perkembangan dan Pembangunan Hukum di Indonesia pada Masa Peralihan


Pascakolonial (1940-1950)
&
Perkembangan Hukum di Indonesia Pascarevolusi Fisik pada Masa
Pemerintahan Presiden Soekarno (1950-1966)

Penulis :
Soetandyo Wignjosoebroto

Disusun oleh :

KELOMPOK IV

1. Indra Rizki Rukhiyana 5219220016


2. Joko Sulistianto 5219220017
3. Mesak Soleman D. Matital 5219220018
4. M. Ega Nugroho P. 5219220019

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2019

14

Anda mungkin juga menyukai