Anda di halaman 1dari 16

Nama : Naqiya Rahma Azizah Kelas : SPI/3D

NIM : 1225010136 Matkul : Ilmu Politik

1. Perkembangan dan Eksistensi lembaga Eksekutif di Indonesia pada masa:


a. Kolonial Belanda
Sistem pemerintahan kolonial Kolonial Belanda adalah suatu tata pemerintahan yang super
sentralistis dengan gubernur jendral yang berkedudukan sebagai penguasa tertinggi
pemerintah tersebut, yang sebelum terbentuknya Propinsi yang diperintah oleh seorang
residen yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat di Batavia. Di dalam
suatu karesidenan asisten residen mengepalai suatu wilayah (afdeling) dan seorang
controleur (kontrolir) mengepalai suatu subwilayah (onderafdeling) sehingga di dalam
piramida birokrasi pemerin- tahan kolonial Hindia Belanda gubernur jendral berdiri di
puncak piramida birokrasi itu sedangkan kontrolir merupakan ujung terbawah piramida
tersebut. Seorang residen, misalnya, adalah penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda dan mewakili gubernur jendral di dalam daerah kekuasaannya. Dia hanya
bertanggung jawab kepada gubernur jendral dan tidak ada badan atau lembaga seperti badan
penasehat atau perwakilan rakyat yang mengontrol tindakannya dalam menjalankan tugas
atau kewajibannya. Residen itu dapat diibaratkan sebagai "proconsul" di zaman Romawi
karena dia dapat dikatakan sebagai lambang dan wakil tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda di salah satu karesidenan. Wewenang legislatif, eksekutif dan peradilan (justisi)
berada dalam tangan-nya. Karena itu kekuasaan seorang residen di suatu daerah karesidenan
adalah tak terbatas dan mutlak.1
b. Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949-1950
Upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia yang telah merdeka dilakukan melalui
agresi militer I dan II selama tahun 1947-1948 telah gagal untuk menguasai Indonesia karena
mendapatkan perlawanan dari seluruh bangsa Indonesia yang ingin mempertahankan
kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan bangsa
Indonesia tersebut menarik kemudian perhatian dari dunia internasional yaitu melalui PBB
mengeluarkan resolusi berisi kecaman atas upaya Belanda terhadap negara Indonesia
sehingga diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus s.d 2
November 1949 di Den Haag Belanda untuk menyelesaikan perselisihan antara Belanda dan
pemerintah Indonesia, di mana salah satu hasilnya adalah bahwa Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 7 negara bagian dan 8 negara
otonom yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Setelah berdirinya Negara Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan hasil Konferensi Meja
Bundar Tahun 1949, maka berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata
hukum yang berlaku pada masa itu adalah tata hukum yang terdiri atas peraturan-peraturan

1
Ide Anak Agung Gde Agung. Kenangan masa lampau zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang
di Bali hlm: 73
yang dinyatakan berlaku pada masa tahun 1945-1949 dan produk peraturan baru yang
dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat dalam kurun waktu tanggal
27 Desember 1949 s.d 16 Agustus 1960 sebagaimana diatur dalam Pasal 192 KRIS yang
berbunyi: “Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku tidak berubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau kuasa konstitusi ini.”
Dengan demikian tata hukum pada masa tahun 1949 - 1950 yang berlaku di Indonesia adalah
ketentuan yang berlaku pada masa Tahun 1945 - 1949 yaitu ketentuan hukum yang berlaku
pada masa penjajahan Belanda dan masa pemerintahan bala tentara Jepang, dan peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada masa 1945 1949 serta peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada masa tahun 1949-1950 yakni pada masa
pemerintahan Republik Indonesia Serikat.2
c. Demokrasi Liberal tahun 1950-1959
Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang
Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya
maklumat pemerintah tanggal 161 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945,
tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem
Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan
masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi)
silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan
ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi
liberal adalah sebagai berikut: Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat,
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah, Presiden bisa dan berhak berhak
membubarkan DPR, dan Perdana Menteri diangkat oleh Presiden. Praktik demokrasi pada
masa ini dinilai gagal disebabkan oleh dominannya partai politik, landasan sosial ekonomi
yang masih lemah, tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950.
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1) Bubarkan konstituante.
2) Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUDS 1950.3
d. Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965
Demokrasi Terpimpin dalam praktiknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tetapi
minus demokrasi Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno memiliki kendali penuh atas
pemerintahan dan mengabaikan proses demokrasi yang sehat. Ia menggunakan slogan
“Demokrasi Terpimpin” sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, yang
mengakibatkan terbatasnya kebebasan politik dan oposisi. Dari sudut kenyataan ini, kita

2
Rahman Amin. Pengantar Hukum Indonesia hlm:31-32
3
Suarlin Suarlin, Fatmawati Fatmawati. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia hlm: 2
melihat Masyumi sebagai partai yang kurang sabar, sehingga keputusan-keputusan penting
yang diambilnya sering didorong oleh idealisme demokrasinya yang begitu dalam, sementara
realitas politik sedang menempuh jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah
yang akhirnya menghadapkan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu
ditembusnya. Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua itu
sebelumnya. Saat itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari "empat besar" setelah pemilu
1955 baru "belajar" berpolitik mandiri, tetapi kiprahnya dalam menghadapi situasi politik
yang sedang berubah tampak lebih lentur, meskipun sementara orang mempertanyakan
apakah kelenturan ini disebabkan prinsip yang dianut atau karena prinsip itu sedang dicari
dalam pengalaman bernegara. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa NU berada dalam
situasi yang terakhir: ia sedang bergumul dalam mencari pengalaman politik yang penuh
dengan kemungkinan Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi Ter-pimpin, dapat
pula dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi jadi tukang stempel, dalam arti
seorang presiden simbol sebagaimana ditentukan oleh UUDS1950 yang menjadi dasar
konstitusional bagi pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia. Pendeknya, ia ingin
langsung memimpin pemerintahan. Tampaknya, ia cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada
pertengahan November 1945 berhasil "menyisihkan" Soekarno-Hatta dari pimpinan
eksekutif dengan membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih di bawah UUD
1945, yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh Kabinet
Hatta sebagai kabinet presidensial 1948/1949, perpolitikan Indonesia sampai dengan Kabinet
Ali-Roem-Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet parlementer yang tidak pernah berumur
panjang.4 Pada periode ini, Indonesia juga terlibat dalam konflik politik dan militer, termasuk
konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1965, Demokrasi Terpimpin berakhir setelah
peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia), yang
mengakibatkan digantikannya Soekarno oleh Soeharto, dan peralihan Indonesia ke rezim
Orde Baru yang berlangsung hingga tahun 1998.
e. Orde Baru tahun 1965-1998
Pada era orde baru sistem pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto tetap
menerapkan sistem presidensial. Bagi Suharto, demokrasi yang sesuai dengan bangsa
Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Dalam mensikapi banyaknya partai politik yang
diklaim sebagai biang kekacauan yang menimbulkan ketidakstabilan politik seperti orde
lama, lagi-lagi Suharto mengurangi jumlah partai dari 10 menjadi 3 yaitu Golkar, PPP, dan
PDI. Namun berbeda dengan Sukarno, di mana setiap kebijakan tanpa konsultasi atau
persetujuan dengan lembaga perwakilan rakyat, bahkan lembaga ini dibubarkan (Strong
Executive Model), Suharto dalam mengeluarkan kebijakan selalu melalui persetujuan
lembaga perwakilan (DPR/MPR). Sehingga Sukarno dianggap inkonstitusional, sedangkan

4
Ahmad Syafii Maarif Percaturan Islam dan politik hlm:77-79
Suharto dianggap konstitusional. Namun meskipun bersifat konstitusional, tetapi watak
kekuasaan Suharto tetap sama dengan Sukarno, otoritarianisme (Demokrasi Terpimpin
Konstitusional). (Romli, 2002). Jadi meskipun model kekuasaan lembaga eksekutif di bawah
kepemimpinan Suharto ini termasuk salah satu ciri dari Weak Executive Model, namun
secara umumnya era orde baru sistem pemerintahan Indonesia merupakan kejayaan eksekutif
(Strong Executive Model). Terciptanya stabilitas politik lebih disebabkan oleh faktor strong
man, yaitu sang pemimpin pemerintahan (Suharto). Dengan didukung oleh militer, golkar,
dan birokrasi, Suharto melakukan politik kooptasi terhadap semua kekuatan politik,
mengontrol rekreutmen politik (Anggota MPR, DPR, DPA, MA, BPK, lembaga eksekutif,
dan organisasi politik). Era orde baru kekuasaan lembaga legislative benar-benar mandul.
Oleh karena itu Lembaga ini seringkali dikatakan hanya sebagai tukang stempel. Tiga fungsi
Lembaga ini yang semestinya, yaitu legislasi, budgeting, dan controlling tidak berjalan
sebagaimana mestinya.5
f. Reformasi tahun 1998-sekarang
Ketika era reformasi, di mana ada kebebasan sehingga tumbuh begitu banyak partai politik,
ternyata sistem presidensial tidak dapat menciptakan stabilitas. Mestinya, sesuai dengan
penjelasan UUD 1945 bahwa “Concentration of power in the hand of the president”,
seharusnya DPR (melalui MPR) tidak dapat menjatuhkan presiden. Artinya, berdasarkan
UUD ini merupakan sistem pemerintahan adalah presidensial sehingga dalam tinjauan model
integrasi adalah Strong Executive Model. Namun yang terjadi sebaliknya, DPR melalui MPR
dapat menjatuhkan presiden. Oleh karena itu yang dipraktikkan adalah sistem parlementer.
Bila sistem parlementer, seharusnya presiden dapat membubarkan DPR. Jadi ada
ketidakjelasan pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legisltaive disini, sehingga
menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Contoh aktualnya dari korban ketidakjelasan
pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid yang diturnkan di tengah jalan oleh MPR. Meskipun presiden diberi
kekuasaan yang besar (sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, fungsi legislative, dan
fungsi yudikatif), tetapi kekuasaannya itu suatu saat bisa dicabut oleh MPR. Inilah beberapa
kasus struktur kekuasaan eksekutif dalam dua varian sistem pemerintahan yang pernah
diberlakukan di Indonesia.6

5
Winengan Stuktur Kekuasaan Eksekutif Pada Periodesasi Sistem Pemerintahan Indonesia hlm: 11
6
Winengan Stuktur Kekuasaan Eksekutif Pada Periodesasi Sistem Pemerintahan Indonesia hlm: 12-13
2. Perkembangan dan Eksistensi lembaga Legislatif di Indonesia pada masa:

a. Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Hindia Belanda membentuk badan yang disebut
dengan Volksraad sebagai badan legislatif yang dapat disamakan dengan Staten General atau
parlemen di Negara Belanda. Lembaga ini dibentuk pada tahun 1918 di bawah pemerintahan
Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. Namun dari penelusuran dokumentasi sejarah,
pada masa ini, di Kabupaten Jember belum ditemukan adanya lembaga/badan legislatif
semacam ini, karena Volksraad dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda hanya di tingkat
“pusat”. Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga Belanda meninggalkan Indonesia
menyusul pendudukan Jepang pada bulan Maret 1942. Lembaga legislatif yang bernama
Volksraad ini bubar dengan sendirinya. Sementara itu, tentara pendudukan Jepang tidak
menghendaki adanya badan – badan perwakilan rakyat. Kemudian mereka membentuk
lembaga semacam ini pada September 1943, yaitu “Tyuuoo Sangi in” di tingkat pusat dan
“Sangi in” di tingkat daerah, namun dalam prakteknya mereka tidak lebih sebagai dewan
penasehat di mana keanggotaannya melalui pengang katan atau tidak melalui pemilihan
(B.N. Marbun, 1992). Pada masa revolusi fisik pasca ke merdekaan, dengan dikeluarkannya
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Indonesia
Daerah pada tanggal 23 Nopember 1945, maka KNID (kecuali untuk daerah – daerah
Surakarta dan Yogyakarta) dibentuk di tingkat karesidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan
daerah – daerah lain yang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri. Menurut Badan
Pekerja Komite Nasional Pu sat (BP KNIP), jumlah anggota KNID di tingkat karesidenan
ditentukan sebanyak – banyaknya 100 orang, sedangkan untuk tiap kabupaten atau kota yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, sebanyak – banyaknya 50 orang (R.
Joeniarto, 1979 : 77). Menurut penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional
Daerah memilih sebanyak – banyaknya 5 orang sebagai anggota badan eksekutif yang
bersama – sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari
– hari di daerah masing – masing. Dalam perkembangan berikutnya, Komite Nasional
Daerah tingkat kawedanan dan kecamatan dibubarkan, sehingga yang ada hanya di tingkat
karesidenan dan kabupaten. Sebagai badan perwakilan rakyat daerah, lembaga ini kemudian
berganti nama menjadiDewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Meskipun demikian para
anggota DPRD ini belum dipilih melalui pemilihan umum, melainkan melalui penunjukan
atau pengangkatan. Kenyataannya, sebagian besar anggota DPRD ini berasal dari para
anggota Komite Nasional Daerah yang lama (baik di tingkat karesidenan maupun
kabupaten). Setelah Agresi Militer pertama tahun 1947, penjajah Belanda membentuk
“Dewan – Dewan Perwakilan Rakyat” di tiap kabupaten dengan jalan dilaksanakan
Pemilihan Umum secara demokratis. Ordonansi tanggal 13 Agustus 1948 (Staatsblad No
170) Recomba (Regeerings Commisaris Bestuur Aangelegenheden) memberi kesempatan
pada rakyat untuk melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih calon wakil – wakil rakyat
yang sudah steril duduk dalam DPRS Kabupaten dan Kota, dan pada bulan September 1948
dilaksanakanlah Pemilhan Umum yang melahirkan terbentuknya Dewan Dewan Perwakilan
Rakyat, Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Dengan demikian, untuk pertama kalinya secara resmi
istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipakai sebagai badan legislatif daerah.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menentukan bahwa jumlah dan
komposisi keanggotaan serta pemilihan anggota DPRD akan ditentukan berdasarkan undang-
undang tersendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah kemudian memberlakukan
Undang – undang Nomor 7 tahun 1950 tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.7
b. Republik Indonesia Serikat tahun 1949-1950
RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai
negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya dua konstitusi secara bersamaan di
wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949,
Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada
Asaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan
yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih
(Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat
tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah di hadapan Dewan Pemilih.
Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan
kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu
dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang Lembaga Kepresidenan
tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Lembaga
Kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai
kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus
1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi
RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya
dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga,
Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan
RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Soekarno, adalah tokoh Presiden
Pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Sukarno terpilih
secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil
presiden Drs. Mohammad Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden
sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan
Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945.

7
Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1 (Edisi Revisi). Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan
eksekutif pada Kabinet Syarir I. Namun pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni
1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat.
Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil. Wakil Presiden
Mohammad Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa
Presiden dan Wakil Presiden melakukan pembagian kekuasaan, sehingga Wakil Presiden
tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer menyerang Ibu Kota Yogyakarta.
Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh
walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, Presiden dan Wakil Presiden
sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara
yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri
Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan
pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin
berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun,
Belanda lebih memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang
menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah
melalui proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Mohammad
Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai Presiden Negara Federasi Rebublik
Indonesia Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan Mohammad Hatta terpilih sebagai
perdana menteri negara federasi. UUDS RIS yang melarang rangkap jabatan bagi kepala
neara federal dan perdana mentri dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan
Mohammad Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan
keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila Presiden dan Wakil Presiden
berhalangan secara bersama-sama maka Ketua Parlemen diangkat menjadi Pemangku
Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan
menyerahkan jabatan Lembaga Kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr.
Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang
pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam
jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah
federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah
negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian Negara Indonesia Timur dan
pemerintah negara bagian Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara bagian Republik
Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara
kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta)gyakarta).
Jabatan Presiden Federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1945. Jabatan ini
dapat dihitung sebagai maSukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan
berdirinya negara kesatuaan di hadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore
harinya Sukarno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta)
dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke
Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari Perdana Mentri
RIS. Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi Presiden Negara Kesatuan
yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI. Jabatan ini
dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus,
Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS),
Senat (RIS), Badan Pekerja KNI (RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai UUDS
1950, Sukarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR
Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai UUDS
1950 pula, lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 Lembaga
Kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian
mandat pemerintahan sebanyak lima kali.8
c. Demokrasi Liberal tahun 1950-1959
Demokrasi Liberal di Indoensiam berlangsung 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 yang
disebut dengan system Parlementer. Perancang landasan dasar demokrasi liberal atau system
parlementer di Indonesia oleh Panitia Gabungan RIS dan RI atau disebut dengan Panitia
Persiapan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan. Landasan demokrasi liberal adalah
UUDS 1950. Alat-alat kelengkapan negara dalam UUDS 1950 ketentuan Umum, pasal 44
disebutkan yaitu Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri negara, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Pengawas Keuangan dan Mahkamah Agung. Demokrasi Liberal berjalan 9
tahun antara 17 Agustus 1950-5 Juli 1959. Sistem parlementer pada masa demokrasi liberal
ini Presiden dan Wakil Presiden hanyalah sebagai simbol yang tidak memiliki fungsi
pemerintahan sehari-hari. Namun, Presiden tetap dapat menyetujui perdana menteri baru atau
tetap dapat mengeluarkan dekrit. Menurut UUDS 1950, kekuasaan legislatif Perdana Menteri
yang menjabat sebagai kepala pemerintahan dan menjalankan roda pemerintahan seharihari
serta memimpin kabinet disetujui oleh Presiden. Kabinet keseluruhan maupun secara
perorangan bertanggungjawab kepada DPR yang mempunyai hak untuk menjatuhkan
kabinet secara seluruhnya ataupun memberhentikan menteri-menteri secara individual.
Artinya yang mengangkat Perdana Menteri dan kabinet adalah DPR atas persetujuan
Presiden. Sistem politik pemerintahan pada masa ini pula mendorong untuk lahirnya partai-
partai politik, karena system kepartaian menganut sistem multipartai. Akibat yang didapat
dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal ini yang mengikuti sistem pemerintahan
gaya Eropa, maka partai-partailah yang menjalankan pemerintahan melalui kekuasaannya di

8
Kemendikbud SEJARAH LEMBAGA KEPRESIDENAN INDONESIA PERIODE 1949 – 1950
parlemen dan telah 7 kali pergantian kabinet antara lain: Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman,
Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Satromidjojo I, Kabinet Burharuddin Harahap, Kabinet Ali
Satromidjojo II dan terakhir Kabinet Djuanda. Untuk wilayah kekuasaan negara Kesatuan
Indonesia pada masa demokrasi parlementer dibagi menjadi 10 daerah provinsi yang
otonom.9
d. Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965
Lembaga legislatif pada masa Demokrasi Terpimpin berperan dalam menyusun undang-
undang dan berdiskusi tentang kebijakan, seperti contoh adanya Kejaksaan Agung
merupakan lembaga legislatif dan penegakan hukum. Pada masa itu, kejaksaan juga
beroperasi, tetapi seperti Mahkamah Agung, dapat dipengaruhi oleh otoritas politik, terutama
dalam jiwa mereka terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan politik, lalu Kepolisian
yang menjadi lembaga penegakan hukum utama akan tetapi ada masa itu, polisi sering
digunakan untuk tujuan politik dan keamanan dalam menindak oposisi politik dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memiliki peran dalam penyusunan dan pengesahan
undang-undang serta konstitusi. Pada masa Demokrasi Terpimpin, MPR juga berperan dalam
menjalankan fungsi sebagai badan yudikatif, meskipun kekuasaannya lebih bersifat politik.
namun Sukarno memegang kendali yang kuat atas pemerintahan dan seringkali mengabaikan
proses demokratis tersebut. Periode ini ditandai dengan dominasi pribadi Sukarno dalam
kebijakan politik dan pengambilan keputusan, yang mengakibatkan terbatasnya kebebasan
politik dan ketidaksesuaian oposisi politik dan dominan mengakibatkan terbatasnya
kemandirian dan kemandirian lembaga-lembaga yang ada.10
e. Orde Baru tahun 1965-1998
Selama masa orde baru, DPR masih cenderung menjadi tangan kekuasan, tidak maksimal
dalam menjalankan fungsi pengawasannya, mengontrol kekuasaan. Baru setelah memasuki
reformasi 1998, telah membawa perubahan bagi parlemen di Indonesia. Berbagai aturan
telah membuat dan memosisikan DPR menjadi Lembaga Parlemen yang modern. MPR yang
Jadi cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara
dalam penyelenggaraan negara dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, menggunakan istilah
"pemisahan kekuasaan" (separation of power) itu sendiri seperti dan konsep pembagian
kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara
mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-
sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut
doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan. Di sisi lain menurut Jimly Asshiddiqie,
berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan
sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang
mendukung hal itu antara lain adalah:

9
Johan Setiawan, dkk. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal tahun 1950 hlm:365-368
1959
10
Ahmad Syafii Maarif Percaturan Islam dan politik hlm:77-79
1. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR
2. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk
legislatif oleh
3. Diadopunya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagas produk
legislatif okir Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat
diganggu gugat, haim hanya dapat menerapkan undang-undang
4. Diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan
semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan
penjelmaan kedaulatan rakyat
5. MPR tidak lagi berkeuukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai
lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Hubungan-hubungan
antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan
prinsip checks dand balances Jas
Berdasarkan kelima alasan singkatbut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut
prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yuikatif.11
f. Reformasi tahun 1998-sekarang
Era Reformasi di Indonesia, yang dimulai setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun
1998, menyaksikan perubahan yang signifikan dalam peran dan fungsi lembaga legislatif.
Reformasi politik ini mencakup pembentukan undang-undang dasar yang baru, perluasan
demokrasi, dan kembalinya pemilihan umum yang lebih bebas yang dimana salah satu tugas
utama DPR adalah merumuskan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru.
UUD 1945 direvisi untuk mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan
otonomi daerah, lalu mengawasi pemerintah dan badan eksekutif. Hal ini mencakup
pemeriksaan kebijakan pemerintah, pengawasan pengeluaran negara, dan penyelidikan
terhadap tindakan korupsi oleh pejabat pemerintah, bertanggung jawab merumuskan,
membahas, dan mengesahkan undang-undang yang melibatkan pembahasan dan negosiasi
antara anggota DPR dari berbagai partai politik, memiliki kewenangan untuk membentuk
panitia khusus untuk menyelidiki isu-isu tertentu, termasuk skandal korupsi dan pelanggaran
hukum. Mereka juga dapat memberikan dukungan hukum untuk menghubungi pejabat
pemerintah yang terlibat dalam tindakan illegal dan emastikan bahwa proses demokrasi
berjalan dengan baik di Indonesia. Mereka juga terlibat dalam pemilihan presiden dan
pengesahan kabinet.12

11
Della Yasinta dkk. Pendidikan Pancasila Orde Baru hlm: 8-10
12
Johan Setiawan, dkk. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal tahun 1950 hlm:365-368
1959
1. Perkembangan dan Eksistensi lembaga Yudikatif di Indonesia pada masa:
a. Kolonial Belanda
Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain mem-pengaruhi terhadap roda
Penjajahan yang berlaku pun pula sangat besar pengaruhnya terhadap Peradilan di Indonesia,
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tidak dapat dilepaskan daripada masa
penjajahan tersebut atau sejarah penjajahan dibumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan
adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda
dan sebagian lagi oleh Pemerintah lnggris dan terakhir oleh Pemerintah. Jepang. Oleh
karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu
tersebut. ada. Pada masa colonial belanda Mr. Herman Willem Daendels - Tahun 1807
diangkat menjadi Gubernur J enderal) oleh iodewijk Napoleon untuk mempertahan-kan
jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap · serangan-serangan pihak Inggris. Tahun
1798. Raad v. Justitie telah diubah nienjadi Hooge Raad. Daendels . banyak sekali
mengadakan perubah-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa. yang telah diciptakan
oleh kompeni. T'ahun 1804. "Bataafse Republiek" telah menetapkan suatu. "Charter" atau
"Regeringsreglement" buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam pasal 86 dari "Charter"
tersebut - yang merupakan peiu-bahan-peru bahan nyata dari jaman Pemerintahan Daendels.
terha-dap peradilan di bumi Indonesia. Hampir semua daerah-daerah·jajahan Belanda yang
diduduki oleh lnggris setelah peperangan di Eropa · berakhir dengan jatuhnya Kaisar
Napoleon, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan kembali Pemerintahan Belanda
tersebut diatur dalam St. 1816 No. 5. Dengan St. 1819 No. 20 berisi ketetapan ·bahwa akan
dibuat Reglement yang mengatur acara pidana clan acara perdata yang berlaku bagi seluruh J
awa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitamya. Bagi
Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitamya untuk perkara pidana dan sipil
tetap menjadi kekuasaan Raad v. Justitie.
Pemerintah kolonial memiliki kendali penuh atas sistem peradilan dan memutuskan sebagian
besar kasus politik yang melibatkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Selama masa
penjajahan Belanda, pengadilan sering kali tidak memberikan perlindungan yang adil bagi
masyarakat pribumi, dan sistem pemerintahan tersebut didominasi oleh otoritas kolonial dan
kepentingan Belanda. Selama masa kolonial Belanda di Indonesia, yudikatif (lembaga
kehakiman) diperintah dan diatur oleh pemerintah kolonial Belanda. Seperti adanya
• Rechtbank van Justitie yaitu pengadilan tingkat rendah yang ada di berbagai kota
besar di Indonesia pada masa kolonial. Rechtbank van Justitie adalah pengadilan
yang mengurus kasus-kasus hukum biasa, seperti perkara perdata dan pidana yang
melibatkan warga sipil.
• Raad van Justitie yaitu pengadilan tingkat lebih tinggi yang memiliki yurisdiksi yang
lebih luas. Raad van Justitie mendengarkan kasus-kasus yang lebih kompleks dan
sering kali melibatkan warga Belanda atau pejabat kolonial tingkat tinggi.
• Dewan Kehakiman Tinggi (Hoogere Justitie Raad) yaitu pengadilan tertinggi di
Hindia Belanda, dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Dewan ini terlibat dalam
kasus-kasus besar, termasuk kasus-kasus politik yang melibatkan perlawanan
terhadap pemerintah kolonial.
• Pemerintah Pribumi yang isinya terdapat pengadilan-pengadilan tradisional yang
diakui oleh pemerintah kolonial untuk mengurus kasus-kasus yang melibatkan
masyarakat pribumi. Namun, otoritas kolonial tetap kuat dan sering kali campur
tangan dalam proses hukum ini.
• Hukuman Mati yang padaS masa itu diberlakukan dalam banyak kasus, terutama
dalam hal pemberontakan atau tindakan politik yang dianggap melawan pemerintah
kolonial.13

b. Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949-1950


Konstitusi RIS 1949 adalah konstmas Republik tl yung secara substantif menganut leas
assaman sebagaimana lazimnya terdapat dalam hukum dasar Asas-asas umum meliputi
negara berdasarkan hukum, jaminan hak asasi mamusia dan persamaan di muka hukum,
kebebasan berkumpul maupun berpendapat, di samping kekosaari yulikatif yang mandin
Kewenangan Mahkamah Agung dalam konstins RIS 1949 tidak diatur melalui sub judul
sebagian dalan UUD 1945 yang disebut Kekuasaan kehakiman. Hal ini disebabkan karena
pembentuk kitu RIS 1949 sangat menyadari bahwa pengaturan negara secara Federalistik
tidak menghendaki adanya sentilini dalam menerapkan fungsi memeriksa, mengadili dan
memnus perk, kecuali pengadilan-pengadilan dimaksud dengan jelas telah keliru dalam
monmaplan halom Artinya pemerintah negant bagian secam konstitusional memiliki
kerastirian untuk membentuk dan menjalankan fungsi mengadili dan memutus, yang tentu
saja secara ministratif tetap berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung Federal, oleh
sebab itu. dalam Babke-IV Pal 113 Konstinod RIS 1949 ditentukan, bahwa Mahkamah
Agung yang tersusun dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal Dalam Pasal
147 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 ditentukan, bahwa Mahkamah Agung Indonesia adalah
pengadilan federal tertinggi Sedangkan pengadilan federal-federal yang lain dapat diadakan
dengan undang-undang federal. Dalam distrik federal Jakarta akan dibentuk sekurang-
kurangnya satu peradilars federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurang-
kurangnya satu pengadilan tingkat hardding Mahkamah Agung di bawah Konstiti RIS 1949
dapat juga dijadikan forum untuk mengadili pejabat pejabat negara yang pada masa
jabatannya diduga melakukan pelanggaran hukum (Form presitigantum) jadi ada mekanisme
pertanggungjawaban hukum dari pejabat negara yang kerap kali dikategorikan sebagai
pertanggungjawaban finansial, politis, dan pidana Dengan demikian, nogara hukum dalam

13
Mahkamah Agung RI Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia hlm:1-4
bingkai Konstitusi RIS 1949 memiliki afeguard yang adegan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh eksekutif, legislative dan yudikatif.
Pada Konstitusi RIS 1949, pengadilan-pengadilan selain Mahkamah Agung berwenang
menemukan dan menyatakan suatu undang-undang negara bagian yang mendasari suatu
perkara tidak sesuai dengan konstitusi. Tetapi pengadilan-pengadilan ini tidak diberi
wewenang untuk memutus perkara tersebut. Artinya putusan final dan mengikat tetap berada
di puncak kewenangan Mahkamah Agung Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 158
Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan "Jika dalam perkara perdata atau dalam perkara
pidana pengadilan lain daripada Mahkamah Agung menyatakan suatu ketentuan dalam
peraturan ketatanegaraan atau undang-undang daerah bagian tak menurut konstitusi, dan
Mahkamah Agung karena suatu sebab memeriksa perkara itu, maka karena jabatannya ia
mempertimbangkan dalam keputusannya apakah pernyataan tidak menurut konstitusi itu
dilakukan pada tempatnya. Hal ini sebatas pada undang-undang negara bagian saja, dengan
kata lain undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat. Dari ketentuan ini jelas, bahwa
yang dapat diuji secara materiil atau dengan menggunakan kata-kata dalam Pasal 130 ayat
(2) Konstitusi RIS 1949, bahwa yang dapat diganggu gugat adalah undang-undang daerah
bagian.14
c. Demokrasi Liberal tahun 1950-1959
Periode Demokrasi Liberal ditandai oleh adanya pemilihan umum, pluralisme politik, dan
pengakuan terhadap beragam pandangan politik. Sistem kehakiman tetap berperan dalam
memutuskan kasus-kasus hukum, termasuk yang terkait dengan proses politik. Meskipun
Demokrasi Liberal berlangsung singkat dan diikuti oleh berbagai perubahan politik
selanjutnya, periode tersebut memiliki dampak penting dalam perkembangan demokrasi di
Indonesia seperti Mahkamah Agung yang tetap menjadi lembaga kehakiman tertinggi di
Indonesia selama masa Demokrasi Liberal dan memiliki yurisdiksi atas berbagai jenis kasus
hukum dan juga memiliki peran dalam menafsirkan undang-undang serta Konstitusi UUD
1945 lalu Pengadilan Negeri yang tetap berfungsi untuk mengadili kasus-kasus perdata,
pidana, dan administratif. Pengadilan Negeri memiliki yurisdiksi yang lebih terbatas
dibandingkan dengan Mahkamah Agung dan Hakim-hakim yang menjabat selama masa
Demokrasi Liberal berasal dari berbagai latar belakang dan biasanya diangkat berdasarkan
kualifikasi dan pengalaman mereka dalam hukum. Yurisdiksi dan otonomi pengadilan dalam
memutuskan kasus-kasus hukum tetap dihormati, dan keputusan pengadilan dihormati oleh
pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat.15

14
Erna Dewi. Dinamikan Lembaga Yudikatif dalam Pembangunan Nasional hlm:21-22
15
Kemendikbud SEJARAH LEMBAGA KEPRESIDENAN INDONESIA PERIODE 1949 – 1950
d. Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965
Selama masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) di Indonesia, sistem kehakiman tetap ada,
tetapi peran dan independensinya sangat terbatas oleh pemerintah yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Berikut adalah beberapa karakteristik lembaga kehakiman pada masa
Demokrasi Terpimpin. Mahkamah Agung tetap menjadi lembaga kehakiman tertinggi di
Indonesia selama masa Demokrasi Terpimpin. Namun, keputusan-keputusan Mahkamah
Agung sering kali dapat dipengaruhi oleh pemerintah, terutama Soekarno yang mencoba
seperti MPRS, DPRS, dan DPAS dibentuk. Hanya saja lembaga negara yang seharusnya
menjadi ciri demokrasi ini, semua anggotanya dipilih oleh Presiden. Beberapa jabatan
bahkan dipegang secara rangkap. Ini menyebabkan lembaga negara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif tidak independen. Semua urusan negara tergantung pada presiden. Presiden
menunjuk anggota lembaga negara dan ketuanya. Sementara anggota lembaga negara
tersebut ada pula yang menjabat sebagai menteri. Akibatnya, semua berada di bawah
kekuasaan Presiden. Bahkan, Presiden Sukarno diangkat sebagai presiden seumur hidup.
Sebuah pengangkatan yang melanggar ketentuan dalam UUD 1945.
e. Orde Baru tahun 1965-1998
Pada saat memasuki orde baru Ada beberapa perubahan penting yang menyangkut pada
lembaga yang diakibatkan oleh proses amandemen UUD 1945 Perubahan penting yang
memiliki prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka pada UUD 1945 Yang telah masuk
dalam prinsip terhadap perjelasan pasal yang ada pada 24 ayat (1) yang mengatur bahwa
kekuasaan kehakimaan merupakan kekuasaan yang Merdeka Untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, maka perubahan terhadap kekuasaan
kehakimaan akan memiliki peran terhadap berbagar hat terkat Mahkamah Agung serta
lembaga peradilan di bawahnya Kekuasaan kehakimaan yang dilaksanakan Mahkamah
Konstitusi, selain itu dengan berbagai hal terkait dengan kenaikan pula sebuah lembaga baru,
yaitu Komis: Yudisial Dalam hal ini dengan berbagai hal terkait dengan sistem peradilan
akan diketahui dengan berbagai mekanisme yang terkait dengan pertimbangan hukum yang
diberikan kepada Presiden Misalnya kebijakan yang dibuat ditingkat Nasional dan daerah
akan berbeda dengan berbagai pasal terkait dengan berbagai hal terkait dengan dinamika
yang dibuat terhadap perubahan serta peraturan perundang-undang yang dibuat Sehingga,
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang Maka, dari itu peran dari Mahkamah Konstitusi belum terbentuk dengan demikian
kewenangan judicial review terhadap undang-undang akan dilaksanakan di MA.
g. Reformasi tahun 1998-sekarang
Selama masa Reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 hingga saat ini, sistem
kehakiman telah mengalami perubahan yang signifikan dan penting. Reformasi politik dan
konstitusional telah memberikan dorongan besar untuk meningkatkan independensi dan
efisiensi sistem peradilan. Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan
sejak masa reformasi Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10
November 2001, 0 amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri
atas Mahkamah Ag dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung bertugas mengantur
peeundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang UU terhadap UUD 45. MA berwenang mengadili pada tingkat kasası.
Calon hakim diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan,
dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari
dan oleh hakim agung. Hakim agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan mahkamah
agung terlepas dari kekuasaan eksekutif. Mahkamah Agung bisa memberikan putusan
pemakzulan (mpeachment) presiden dan/atau wakil presieden atas permintaan DPR karena
melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat, atau perbuatan tercela. kedudukan yudikatif, eksekutif. legislatif suma, jadi
peran yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh eksekutif atau legislatif, yudikatif berdiri sendin
REFERENSI

Agung, I. A. (1993). Kenangan Masa Lampau (zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman
pendudukan Jepang di Bali). DKI Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Agung, M. (1986). Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah
Agung Indonesia.

Budiardjo, P. M. (1983). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Dewi, E. (2010). Dinamika Lembaga Yudikatif. Dinamika Lembaga Yudikatif dalam Pembangunan
Hukum Nasional, 28.

Kontitusi, S. J. (2010 ). Naskah Kompherensif Perubahan Undanga-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia tahun 1945. 50-62.

Maarif, A. S. (2021). Percaturan Islam dan Politik . Yogyakarta: IRCiSod.

Omara, A. (2021). Perkembangan Teori dan Praktik Mengenai Parlemen dI Indonesia. Universitas
Gajah Mada, Vol 33 No 1.

Setiawan, J. (2018). SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. PADA MASA DEMOKRASI


LIBERAL TAHUN 1950-, 14.

Wijaya, A. (2014). DEMOKRASI DALAM SEJARAH KETATANEGARAAN. Universitas Islam


Negeri Sunan Ampel Surabaya, 23.

Winengan. (2017). STRUKTUR KEKUASAAN EKSEKUTIF PADA PERIODESASI SISTEM.


Tinjauan Teori Integrasi Organisas, 17.

Anda mungkin juga menyukai