Pelaksanaan pemerintahan pada masa demokrasi liberal Indonesia berlangsung pada tahun 1950 hingga
1959. Setelah kembali menjadi negara kesatuan, keadaan politik Indonesia menganut sistem demokrasi
liberal, dengan pemerintahan parlementer.
Sistem parlementer Indonesia masih berpedoman sistem parlementer Barat, yang dibentuk setelah
dibubarkannya pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950. Perubahan bentuk
pemerintahan mengakibatkan perubahan pula pada undang-undang dasarnya, dari konstitusi RIS menjadi
UUD sementara 1950.
Nama lain demokrasi liberal adalah demokrasi parlemanter. Dinamakan parlementer, karena pada masanya
para kebinet memiliki tanggung jawab dan peran penting sebagai parlemen (DPR) di pemerintahan. Dalam
sistem demokrasi liberal pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, dan presiden hanya sebagai kepala
negara.
Dikutip dari buku Cakap Berdemokrasi ala Generasi Milenial: Buku Pengayaan Materi Pelajaran PKN
(2018) karangan Yayuk Nuryanto, ciri-ciri demokrasi liberal adalah
1. Menganut paham demokrasi dalam sistem pemerintahannya dan dituangkan dalam konstitusinya
2. Memiliki perwakilan dari rakyat dan sekaligus membatasi kekuatan penguasa
3. Kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu titik, sehingga membuat proses pengambilan keputusan
lebih lambat
4. Keputusan didasarkan pada suara mayoritas
5. Kekuatan atau kekuasaan terhadap negara terfokus pada parlemen
6. Ada sistem voting dalam pengambilan keputusan
7. Pergantian kepemimpinan atau perwakilan dalam sistem demokrasi liberal dipilih oleh rakyat
8. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah tiap individu memiliki kebebasan untuk memeluk agama atau
kepercayaan.
Pada era demokrasi liberal juga, Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama pada tahun 1955.
Pemilu pertama dilaksanakan bertujuan untuk memilih para anggota parlemen dan anggota
konstituante. Konstituante ditugaskan untuk membentuk UUD baru, sehingga mampu
menggantikan UUD sementara.
Sistem politik masa demokrasi liberal banyak mendorong berkembangnya partai-partai politik,
karena demokrasi liberal menganut sistem multi partai. Keberadaan partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia sedang menduduki masa panas-panasnya. Partai besar pada masa
demokrasi liber antara lain Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi, dan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada masa ini, telah terjadi pergantian kabinet di mana partai-partai politik terkuat yang mengambil
alih kekuasaan. Partai terkuat dalam parlemen saat itu adalah PNI dan Masyumi.
Terjadi tujuh kali pergantian kabinet dalam masa demokrasi liberal. Susunan kabinet pada masa
demokrasi liberal adalah sebagai berikut:
Masa kabinet kebanyakan hanya bertahan kurang lebih satu tahun. Mengapa pada era ini sering kali
terjadi pergantian kabinet? Alasan utamanya disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan
antar partai yang ada. Sayangnya, perbedaan di antara partai-partai tersebut tidaklah pernah dapat
terselesaikan dengan baik.
Kekacauan politik yang ada pada masa demokrasi liberal membuat, kabinet telah mengalami jatuh
bangun, karena munculnya mosi tidak percaya dari partai relawan. Sehingga banyak terjadi
perdebatan dalam konstituante, yang sering menimbulkan suatu konflik berkepanjangan, yang
menghambat upaya pembangunan.
Penetapan dasar negara merupakan masalah utama yang dihadapi konstituante. Atas kondisi
tersebut, kemudian pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit.
Dekrit Presiden yang dilekuarkan pada 5 Juli 1959, mengungkapkan bahwa tidak diberlakukannya
lagi UUDS tahun 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan demokrasi liberal berakhir di
Indonesia.
Berakhirnya masa ini merupakan awal mula sistem Presidensil, dengan demokrasi terpimpin ala
Soekarno. Diberlakukannya pemerintahan demokrasi terpimpin bertujuan untuk menata kembali
kehidupan politik di Indonesia, setelah keadaan pemerintahan yang tidak stabil pada saat demokrasi
liberal.
DEMOKRASI TERPIMPIN.
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan sesuai dengan UUD 1945. Sedangkan Soekarno menjelaskan
demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan tanpa anarkinya liberalisme tanpa otokrasinya
ditaktor. Sebelumnya, Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal pada tahun 1950 – 1959.
Dengan terjadinya pergantian kabinet yang tidak menentu dan kondisi politik saat itu tidak stabil
membuat demokrasi liberal tidak bertahan lama. Hingga akhirnya diganti dengan sistem demokrasi
terpimpin.
Berikut ini adalah beberapa hal tentang demokrasi terpimpin yang sudah dilansir dari berbagai
sumber:
Ciri-ciri demokrasi terpimpin
1. Terbentuknya DPR-GR Terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
ini peranan Lembaga legislatif menjadi lemah.
DPR-GR ini merupakan instrumen politik Lembaga kepresidenan dan proses perekrutan politik
Lembaga yang ditentukan oleh presiden.
2. Terjadi sentralisasi kekuasaan Sentralisasi kekuasaan terjadi dalam hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah memiliki otonomi yang terbatas. Hal tersebut membuat pemerintahan sulit
untuk melakukan kegiatannya sendiri.
3. Anti kebebasan Pers Pers menjadi wadah informasi antara pemerintah dan rakyatnya. Ketika
masa demokrasi terpimpin kebebasan pers sangat dibatasi. Koran dan majalah akan diberantas
oleh pemerintah, seperti Harian Abadi dan Partai Masyumi dan Harian Pedoman dari partai PSI.
4. Pudarnya sistem partai Partai demokrasi dibentuk untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan.
Namun, pada masa demokrasi terpimpin partai politik digunakan untuk menjadi elemen
penopang Lembaga kepresidenan, yaitu penopang Angkatan Darat dan PKI.
5. Militer yang semakin berkuasa Pada masa demokrasi terpimpin, kekuatan militer sangat kuat
dan berkuasa. Bahkan beberapa anggota militer aktif masuk menjadi anggota wakil rakyat.
Padahal, anggota militer aktif tidak bisa terlibat dalam politik negara.
6. Melemahnya hak asasi manusia Pada masa demokrasi terpimpin, siapa saja yang menentang
kebijakan pemerintah bisa disingkirkan. Bahkan presiden juga bisa menyingkirkan lawan
politik yang berani melawannya. Hal ini membuat partai politik dan rakyat tidak memiliki
kebebasan untuk berpendapat.