Anda di halaman 1dari 4

K.D 4.

2
Masa Demokrasi Parlementer Atau Liberal
17 Agustus 1950 Ris diubah menjadi NKRI dengan sistem pemerintahan Parlementer atau liberal
Ciri-ciri masa demokrasi liberal di Indonesia adalah
1. konstitusi UUDS 1950
2. Sistem pemerintahan: Parlementer
3. kepala pemerintahan: perdana menteri
4. sistem kepartaian: multi partai

keadaan politik pada masa demokrasi liberal: tentunya tidak stabil karena
1. para kabinet silih berganti
2. para kabinet hanya mementingkan partai politik sendiri selanjutnya
3. munculnya golongan oposisi, golongan oposisi merupakan golongan yang tidak mau bergabung pada
pemerintah
4. munculnya golongan separatisme
5. pemerintahan yang sentralistik
6. Konstituante gagal membuat uud yang baru

kabinet pada masa demokrasi liberal


Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana
menteri. Dan setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing.

Berikut ini ketujuh masa tersebut:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)


Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad
Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang
berseberangan.

Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai
Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and
Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan
Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari
jabatannya.

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)


PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat
masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.
Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya
dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari
1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)


Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen.

Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante.
Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)


Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei
1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan
pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955.

Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali. Sastroamidjojo bubar pada Juli
1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)


Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan
tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai
pemilu paling demokratis.

Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak
disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.

6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)


Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat ,
otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya.

Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan
Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)


Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan,
normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan
melaksanakan pembangunan.

Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata
membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait
penyelesaiannya.
Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak
stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.
Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959.
Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias
meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS)
dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan
akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

Sementara itu, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 belum juga
menyelesaikan tugasnya yakni menyusun UUD yang baru.

.
sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui
pembentukan kepemimpinan yang kuat. Dikeluarkanlah Dekkrit Presiden 5 Juli 1959

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut,

Indonesia jatuh pada masa Demokrasi Terpimpin.

Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator. Ia hampir menguasai semua
sektor kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah hype pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham
liberalisme, sosialisme-nasional, fasisme, dan komunisme, tetapi suatu paham demokrasi yang
didasarkan pada keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum di dalam
pembukaan UUD 1945. Demokrasi yang menuju pada satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan
makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945.

Namun di dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan Demokrasi Terpimpin yang mempunyai
tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Malah sebaliknya, sistem ini sangat
jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya.
Dalam prakteknya, yang memimpin demokrasi ini bukan Pancasila sebagaimana yang dicanangkan,
tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya, demokrasi yang dijalankan tidak berdasarkan keinginan
luhur bangsa Indonesia, tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi politik pemimpinnya
sendiri.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945
seperti:
 Pembentukan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis),
 Tap MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur
Hidup.
 Pembubaran DPR hasil pemilu oleh Presiden.
 Pengangkatan ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri negara oleh Presiden.
 GBHN yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA, bukan MPRS.
Dalam demokrasi terpimpin, jika tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka permasalahan yang ada
akan diserahkan kepada Presiden sebagai pemimpin besar revolusi untuk diputuskan sendiri. Dengan
demikian, rakyat atau wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif tidak mempunyai peranan yang
penting dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pada akhirnya, pemerintahan Orde Lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya
peristiwa G-30-S/PKI 1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah.
Seperti itulah penjelasan sejarah Demokrasi Terpimpin yang terjadi dari tahun 1959-1965

Anda mungkin juga menyukai