2
Masa Demokrasi Parlementer Atau Liberal
17 Agustus 1950 Ris diubah menjadi NKRI dengan sistem pemerintahan Parlementer atau liberal
Ciri-ciri masa demokrasi liberal di Indonesia adalah
1. konstitusi UUDS 1950
2. Sistem pemerintahan: Parlementer
3. kepala pemerintahan: perdana menteri
4. sistem kepartaian: multi partai
keadaan politik pada masa demokrasi liberal: tentunya tidak stabil karena
1. para kabinet silih berganti
2. para kabinet hanya mementingkan partai politik sendiri selanjutnya
3. munculnya golongan oposisi, golongan oposisi merupakan golongan yang tidak mau bergabung pada
pemerintah
4. munculnya golongan separatisme
5. pemerintahan yang sentralistik
6. Konstituante gagal membuat uud yang baru
Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai
Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.
Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and
Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.
PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan
Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari
jabatannya.
Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante.
Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.
Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali. Sastroamidjojo bubar pada Juli
1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.
Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak
disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.
Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan
Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.
Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata
membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait
penyelesaiannya.
Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak
stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.
Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959.
Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias
meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS)
dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan
akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.
Sementara itu, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 belum juga
menyelesaikan tugasnya yakni menyusun UUD yang baru.
.
sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui
pembentukan kepemimpinan yang kuat. Dikeluarkanlah Dekkrit Presiden 5 Juli 1959
Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator. Ia hampir menguasai semua
sektor kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah hype pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham
liberalisme, sosialisme-nasional, fasisme, dan komunisme, tetapi suatu paham demokrasi yang
didasarkan pada keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum di dalam
pembukaan UUD 1945. Demokrasi yang menuju pada satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan
makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945.
Namun di dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan Demokrasi Terpimpin yang mempunyai
tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Malah sebaliknya, sistem ini sangat
jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya.
Dalam prakteknya, yang memimpin demokrasi ini bukan Pancasila sebagaimana yang dicanangkan,
tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya, demokrasi yang dijalankan tidak berdasarkan keinginan
luhur bangsa Indonesia, tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi politik pemimpinnya
sendiri.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945
seperti:
Pembentukan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis),
Tap MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur
Hidup.
Pembubaran DPR hasil pemilu oleh Presiden.
Pengangkatan ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri negara oleh Presiden.
GBHN yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA, bukan MPRS.
Dalam demokrasi terpimpin, jika tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka permasalahan yang ada
akan diserahkan kepada Presiden sebagai pemimpin besar revolusi untuk diputuskan sendiri. Dengan
demikian, rakyat atau wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif tidak mempunyai peranan yang
penting dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pada akhirnya, pemerintahan Orde Lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya
peristiwa G-30-S/PKI 1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah.
Seperti itulah penjelasan sejarah Demokrasi Terpimpin yang terjadi dari tahun 1959-1965