Anda di halaman 1dari 3

1.

Periode tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959


UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959) Perubahan ketatanegaraan dari negara
serikat menjadi negara kesatuan yang didasarkan pada UUD Sementara 1950 yang dalam
Pembukaannya memuat dasar negara yaitu Pancasila, namun pelaksanaan sistem
pemerintahannya menggunakan sistem kabinet parlementer yang tidak sesuai dengan jiwa
Pancasila, sehingga kabinet jatuh bangun, rata-rata usia setiap kabinet kurang dari satu tahun.
Menjelaskan bahwa dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 terjadi 7 kali pergantian kabinet,
yaitu:
a. Kabinet Natsir (6 September 1950 sampai dengan 27 April 1951)
b. Kabinet Sukiman (27 April 1951 sampai 3 April 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 hingga 1 Agustus 1953)
d. Kabinet Alisastroamidjojo I (1 Agustus 1953 hingga 12 Agustus 1955)
e. Kabinet Burhannudin Harahap (12 Agustus 1955 hingga 24 Maret 1956)
f. Kabinet Alisastroamidjojo II (24 Maret 1956 hingga 9 April 1957)
g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 hingga 10 Juli 1959).
Dalam kurun waktu 1950 hingga 1959, telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet, sehingga
dapat dipastikan stabilitas nasional sangat terganggu.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, Undang - Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia
1950 juga bersifat sementara. Sifat sementara ini disebutkan dalam Pasal 134 yang mewajibkan
Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD yang berlaku saat itu, yaitu UUDS 1950.
Berbeda dengan pemberlakuan UUD RIS 1949 yang tidak sempat merealisasikan pembentukan
majelis konstituante atau lembaga pembentuk undang-undang dasar, di bawah UUDS 1950
sebagai realisasi Pasal 134, pemilihan umum berhasil diselenggarakan.
Pemilihan umum pertama di Indonesia dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di dalam Dewan Konstituante yang akan membentuk UUD
baru menggantikan UUDS 1950. Konstituante sebagai Dewan Perancang Konstitusi dalam
sidang-sidangnya dari tahun 1956 hingga 1959 belum berhasil membuat undang-undang dasar
baru, selalu mengalami kesulitan karena tidak pernah tercapai kesepakatan. Jika keadaan ini terus
berlanjut, maka akan menimbulkan kebuntuan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa
dan Negara. Untuk itu, Presiden Soekarno mencari jalan keluar dengan mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang isinya, yaitu:
1) Menetapkan pembubaran Konstituante
2) Menetapkan bahwa UUD 1945 berlaku kembali terhitung mulai tanggal Dekrit dan
UUDS 1950 tidak berlaku lagi.
3) Menetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit ini mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat Indonesia, yang lebih penting
lagi melalui Dekrit ini terjadi perubahan konstitusi Indonesia, naskah UUD 1945 menjadi
berlaku kembali sebagai hukum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Periode tanggal 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999
Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama (1959-1965) Ciri-ciri periode ini
adalah kuatnya dominasi dari presiden, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya
pengaruh komunisme, dan meluasnya peran ABRI sebagai elemen sosial politik. Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan presiden untuk tetap menjabat setidaknya selama lima tahun.
Namun, Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963, yang mengangkat Soekarno sebagai presiden
seumur hidup, membatalkan batas lima tahun ini. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, meskipun UUD 1945 secara
eksplisit menetapkan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk melakukannya. Dewan
Perwakilan Rakyat gotong royong, yang menggantikan DPR hasil pemilihan umum, menekankan
perannya sebagai pembantu Presiden, sementara fungsi kontrol dihilangkan. Bahkan para
pimpinan DPR diangkat menjadi menteri sehingga fungsinya lebih sebagai pembantu presiden
daripada wakil rakyat. Kuatnya posisi presiden juga meluas ke bidang-bidang lain di luar
lembaga eksekutif. Berdasarkan UU No. 19/1964, Presiden diberi wewenang untuk campur
tangan di bidang yudikatif. Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD
1945 seperti yang dijelaskan oleh Miriam Budiardjo . Puncak dari peristiwa G 30 S/PKI
mengakhiri masa demokrasi terpimpin dan membuka jalan bagi dimulainya masa demokrasi
Pancasila.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menyebabkan pergantian Orde dari Orde
Lama ke Orde Baru. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 mengalami beberapa kali
perubahan. Orde Baru bertekad untuk melakukan perubahan terhadap berbagai penyimpangan
terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama. Pada awalnya, Orde Baru berupaya memperbaiki
nasib bangsa di berbagai bidang kehidupan. Dan rakyat merasakan perbaikan kondisi di berbagai
bidang kehidupan melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita.
Namun Orde Baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter. Penafsiran pasal-pasal UUD
1945 dimanipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Bahkan UUD 1945 yang
pendek dan fleksibel pun dengan mudah disalahtafsirkan, disakralkan untuk tidak diamandemen,
bukan untuk kebaikan rakyat, tapi demi kekuasaan. Pengalaman selama masa Orde Lama dengan
UUD 1945, posisi presiden sangat kuat, terulang kembali pada masa Orde Baru. Lembaga
legislatif berada di bawah presiden. Hak Asasi Manusia rakyat juga dibatasi. Kekuasaan tanpa
kontrol mengakibatkan pemerintah Orde Baru pemerintah cenderung melakukan penyimpangan
dalam berbagai aspek kehidupan. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merajalela. Terjadi
ketimpangan hasil pembangunan, jurang antara kaya dan miskin semakin melebar, utang
membengkak, dan akhirnya jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. kesenjangan antara
kaya dan miskin melebar, utang membengkak, dan akhirnya terakumulasi menjadi krisis multi
dimensi. Dipelopori oleh mahasiswa, rakyat menuntut reformasi di segala bidang. Akhirnya,
rezim Orde Baru runtuh dengan mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998. 

Anda mungkin juga menyukai