Pada Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Peran Dunia Ke II
muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang.
akan tetapi Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan
upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada
tanggal 14 Agustus 1945. Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara
Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
• Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan
darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
• Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan
darat yang berkedudukan di Jakarta.
• Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang
berkedudukan di Makasar.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik
Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40
Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang
cenderung berbau otoriter/pemaksaan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka hal-hal yang
dilakukan adalah :
1. Menetapkan UUD Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Menetapkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pembentukan Departemen-Departemen oleh Presiden.
4. Pengangkatan anggota Komite Nasional Indonesi Pusat (KNIP) oleh
Presiden
Bentuk negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27
Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945
kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya lembaga-lembaga negara
seperti yang di kehendaki UUD 1945.
Menurut Pasal IV Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk
menurut UUD 1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan
sebuah komite nasional. dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut
kekuasaan legislatif kepada pemerintah / presiden sehingga keluarlah Maklumat
Wakil Presiden No. X, yang memberikan kewenangan kepada KNIP untuk menjalankan
Kekuasaan legislatif ( DPR / MPR ). Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga
legislatif ( parlemen ) waktu itu dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat
Pemerintah pada 14 November 1945, yang menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban
menteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui.
Setelah Indonesia merdeka, ternyata Belanda masih merasa/ ingin berkuasa di RI,
sehingga sering terjadi konflik antara RI & Belanda, sehingga dilakukanlah beberapa
kali perudingan, perundingan terakhir adalah Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada
tanggal 23 Agustus 1949 yang menghasilkan kesepakatan antara lain :
1. Mendirikan Negara Indoneis serikat
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS
3. Mendirikan UNI antara RIS dengan kerajaan Belanda.
Atas dasar KMB maka pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negra RIS dengfan
Konstitusi RIS. Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS,
sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.
1. Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun
sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
2. Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam
parlemen.
3. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan
kekuatan yang ada dalam parlemen.
Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga kekuasaan/lembaga,
tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu
sebagai berikut.
1. Presiden.
2. Menteri-menteri.
3. Senat.
4. Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Mahkamah Agung Indonesia
6. Dewan Pengawas keuangan.
Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya bentuk UUDS 1950
adalah negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang
berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang
demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950
adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-
kekuasaan negara dipegang oleh beberapa alat perlengkapan negara. Hal ini berarti
kekuasaan dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada satu badan atau lembaga.
Berdasarkan Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai
berikut :
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Menteri-menteri;
3. Dewan Perwakilan Rakyat;
4. Mahkamah Agung;
5. Dewan Pengawas Keuangan.
Mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang
akan ditetapkan oleh Konstituate bersama-sama dengan pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituate harus diperoleh
melalui pemilihan umum. Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka berakhirlah orde
lama. Kepimpinan disahkan kepada jenderal Soeharto mulai memegang kendali
pemerintahan dan menanamkan era kepemimpinan sebagai orde baru. Untuk mencapai
titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-upaya pembenahan sistem ketatatnegaraan
dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi yang menonjol yaitu
:
1) Adanya konsep dwi fungsi ABRI;
2) Pengutamaan Golongan Karya;
3) Magnifikasi kekuasaan ditangan eksekutif;
4) Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat;
Periode Reformasi
Kendati Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen tersebut memberikan indikasi
pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraan
ketatanegaraan Indonesia, sistem presidensial ini masih belum dilaksanakan secara
murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Tata
Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Di
dalam pasal 8 menyatakan sebagai berikut.
1. Fraksi dapat mengajukan seorang Presiden.
2. Calon presiden dapat juga dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh
orang anggota Majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih.
3. Setiap anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara
pengajuan Calon Presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.