Anda di halaman 1dari 8

Tugas 2

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

Nama : Wisnu Bayu Pratama

NIM : 030439794

Perbedaan Polstranas dari masing-masing pemerintahan.

1. Orde Lama
A. Politik Masa Orde Lama (1959-1965)
Orde lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966, saat diserahkannya
Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto. Ciri-ciri orde lama adalah sebagai
berikut:
- Mempunyai landasan idiil Pancasila dan landasan stuktual UUD 1945.
- Membentuk NKRI yang berbentuk kesatuan dan kebangsaan yang demokratis.
- Membentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur baik materal maupun spiritual
dalam wadah NKRI.
- Membentuk kerja sama yang baik dengan semua Negara di dunia, terutama dengan
Negara-Negara di kawasan Asia-Afrika.
- Melaksanakan dengan meluruskan segala cara.
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum, masing-masing
untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwalilan Rakyat (DPR) dan anggota Konstituante.
Tugas Konstituante adalah untuk membuat Rancangan Undan-Undang Dasar (RUUD) sebagai
pengganti UUDS 1950, yang menurut pasal 134 akan ditetapkan selekas-lekasnya bersama-
sama dengan Pemerintah.
Untuk mengambil putusan mengenai UUD maka pasal 137 UUDS 1950 menyatakan bahwa:
- Untuk mengambil keputusan tentang RUUD baru maka sekurang-kurangnya 2/3 jumlah
anggota konstituante yang hadir;
- Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir;
- Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada presiden untuk
disahkan oleh pemerintah.
- Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan
undang-undang itu dengan keluhuran.

Dekrit oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali pada UUD 1945. Dalam
keadaan seperti itu, yang menurut Kepala Negara menimbulkan keadaan ketatanegaraan
yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa. Maka, tindakan
Presiden menegeluarkan Dekrit Presiden tersebut dibenarkan berdasarkan hukum darurat
negara (staatnoodrecht).

Diktum Dekrit Presiden itu berbunyi:


1. Menetapkan pembubaran konstituante;
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi
UUDS 1950;
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara yang terdiri atas anggota-
anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), akan diselenggarakan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sejak 5 Juli 1959 UUD 1945 berlaku lagi bagi Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak pengalaman yang kita peroleh dalam melaksanakan
UUD 1945. Apabila dilihat dari pelaksanaan UUD 1945 dalam kurun waktu antara 1959-1966,
lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, BPK belum dibentuk berdasarkan undang-
undang seperti yang ditentukan dalam UUD 1945. Lembaga-lembaga negara tersebut masih
dalam bentuk sementara. Belum lagi jika kita mengupas tentang berfungsinya lembaga-
lembaga negara tersebut telah sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945.
B. Politik Masa Orde Lama dan Arah Strategi Nasional
Dalam masa Orde Lama itu, Presiden, selaku pemegang kekuasaan eksekutif, dan pemegang
kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR telah menggunakan kekuasaannya dengan
tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya
adalah Undang-Undang (sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk
penetapan Presiden, tanpa persetujuan DPR. Selain itu terdapat pula penyimpangan-
penyimpangan lain, antara lain:
1. MPR, dengan ketetapan No. I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang
lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN
bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
2. MPRS telah mengambil keputusan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur
hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang menetapkan masa
jabatan Presiden lima tahun.
3. Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan
RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang
bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan
Pendapatan dan Belanja Negara (RPBN) yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden
waktu itu membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-Gotong
Royong (DPR-GR).
4. Pimpinan Lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, sedangkan
Presiden sendiri menjadi anggota DPA, yang semuanya tidak sesuai dengan ketentuan
UUD 1945.

Penyimpangan ini jelas bukan saja mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan
dalam UUD 1945, melainkan juga telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan
keamanan serta terjadinya kemerosotan ekonomi yang mencapai puncaknya dengan
pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S PKI). Pemberontakan tersebut
dapat digagalkan melalui kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.

II. Orde Baru


A. Politik Masa Orde Baru
Orde Baru lahir setelah gagalnya pemberontakan G30S/ PKI pada tanggal 30 September
1965. Pemberontakan PKI yang puncaknya pada tanggal 30 September 1965 itu adalah yang
kedua kali dilakukan mereka, tetapi kali ini merupakan pemberontakan yang terbesar yang
dialami Bangsa Indonesia sejak kemerdekaan. Dikatakan demikian karena resonansinya
dirasakan oleh seluruh Bangsa Indonesia sampai ke daerah-daerah pedalaman sekalipun.
Setelah membangkitkan isu-isu tentang perbedaan jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin, kemudian menyebarluaskan program sama rata sama rasa. Lalu pada puncaknya
melakukan pembantaian di lubang buaya, Jakarta. Sasaran utama mereka adalah para
Jenderal yang semula paling keras menentang dipersenjatainya Angkatan Kelima Buruh Tani
PKI oleh pemerintah.
Gempa politik yang terjadi pada akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966 ini menampilkan
Letjen Soeharto (Mantan Panglima Mandala) itu ke latar depan sejarah bangsa. Karena
mengetahui dari Latif, anak buahnya bahwa Yani dan Nasution akan dibunuh, lalu
memanfaatkan keadaan, dengan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat yang lowong
dengan tewasnya Jenderal Ahmad Yani. Lalu mulailah operasi yang gencar dan sistematis,
menumpas G30S/PKI dan Orde Lama.

B. Politik Orde Baru dan Arah Strategi Nasioanal


Sejak awal kelahirannya, Orde Baru (Orba) selalu menyebut dirinya sebagai suatu kekuatan
yang bersifat korektif atas orde sebelumnya. Dalam jargon-jargon yang muncul pada awal
kebangkitan Orba juga masih bertahan sampai sekarang, selalu ditanyakan bahwa orba
bertekad melaksanakan kehidupan politik yang konstitusional serta melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secar implisit maupun eksplisit, jargon-jargon
tersebut memperlihatkan bahwa kehidupan politik pada masa sebelum Orba adalah
kehidupan politik yang inkonstitusional serta menyimpang dari ideologi negara. Orba lahir
untuk mengoreksi penyimpangan konstitusi dan ideologi serta menegakkan Orde
Pembangunan.
Di balik jargon-jargon tersebut, Orba mengacu kepada kondisi-kondisi empiris yang
menyebabkan situasi kondusif untuk kemunculan Orba. Kondisi empiris tersebut meliputi
krisis ekonomi dan krisis politik.
Krisis politik pada umumnya mengacu pada apa yang disebut sebagai periode Demokrasi
Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Periode demokrasi
Parlementer ditandai dengan ketidakstabilan politik sebagai akibat persaingan antar partai
serta pemberontakan-pemberontakan. Jumlah partai politik sangat banyak dengan
perbedaan ideologi yang tajam antara yang satu partai dengan partai lain. Peranan partai
politik yang demikian besar dianggap Presiden Soekarno sebagai penyebab kemacetan
sistem politik. Pada Juli 1959 Presiden Sukarno, atas dukungan militer, memberlakukan
kembali UUD 1945. Sejak itu, selesailah era Demokrasi Parlementer.
Periode Demokrasi Terpimpin ditandai dengan peningkatan peran politik Partai Komunis
Indonesia (PKI), serta merosotnya peranan partai-partai politik di luar PKI. Pada 1960,
Presiden membubarkan DPR karena DPR menolak anggaran belanja negara yang diusulkan
Presiden. Presiden Sukarno juga mengangkat ketua DPR sebagai menteri, ikut campur dalam
bidang legislatif dan yudikatif serta membiarkan diri diangkat sebagai Presiden seumur
hidup.
Selain krisis politik, Presiden Sukarno juga ditandai oleh krisis ekonomi. Dalam banyak hal,
Sukarno cenderung mengabaikan pembangunan ekonomi dan menekankan program-
program politik yang bersifat revolusioner. Sukarno bahkan membatalkan program-program
ekonomi pada 1963. Krisis moneter jadi tak terhindarkan lagi. Harga-harga naik, inflasi naik,
serta defisit terus membengkak. Ditambah lagi dengan hutang luar negeri yang semakin
besar. Kedua krisis tersebut mengundang ketidakpuasan militer atas kekuasaan sipil.
Sejak awal, militer di Indonesia memang berakar pada situasi revolusi fisik. Sebagai
akibatnya, militer mempersepsikan diri sebagai kekuatan yang harus ikut serta dalam
kehidupan politik. Sejak 1954, Nasution telah membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI) sebagai upaya untuk ikut serta dalam politik, minimal dalam pemilu 1955.
Pada pertengahan 1950-an militer juga mulai mencoba mengelola sumber-sumber ekonomi
di luar anggaran pemerintah. Sampai menjelang Demokrasi Terpimpin, kedudukan militer
dalam politik sudah demikian kuat sehingga mampu bersaing dengan Sukarno maupun
dengan PKI. Melihat konteks kompetisi politik antara Sukarno, militer, dan PKI pada 1960-an,
kemunculan militer pada panggung politik tinggal masalah waktu saja.
Suatu aksi dramatis yang dilancarkan PKI pada September 1965 memicu militer untuk benar-
benar tampil sebagai pemegang kendali kekuasaan. Dalam peristiwa tersebut, yang
kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September/PKI, sejumlah militer tewas. Militer segera
memiliki alasan kuat untuk mematahkan PKI secara total sekaligus mengkooptasi
kepemimpinan Sukarno. Sejak peristiwa G-30-S/PKI tersebut, militer semakin mantab
menapaki tangga kekuasaan politik sampai di anak tangga terakhir.
Gagalnya memperebutkan kekuasaan oleh G30S PKI itu telah diungkapkan dan dibuktikan,
baik melalui sidang pengadilan maupun bahan dan keterangan lainnya, bahwa PKI lah yang
mendalangi secara sadar dan berencana coup d’eat itu. Keadaan semakin meruncing,
keadaan ekonomi dan keaamanan makin tidak terkendalikan. Dengan dipelopori oleh
pemuda/mahasiswa, rakyat menyampaikan “Tri Tuntutan Rakyat” (Tritura), yaitu:
1. Bubarkan PKI;
2. Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI;
3. Turunkan harga-harga atau perbaiki ekonomi.
Pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya dan mengadakan
koreksi terhadap penyimpangan dalam berbagai bidang selama pemerintahan Orde Lama
dengan konstitusional, yaitu melalui sidang MPRS yang telah menghasilkan:
1. Pengukuhan Supersemar (Tap. No.IX/MPRS/1960)
2. Pembubaran PKI dan Ormas-ormasnya (Tap. No.XXV/MPR/1966)
3. Penegasan kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI (Tap.
No.XII/MPRS/1966)
4. Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Bidang Ekonomi, Keuangan, dan
Pembangunan (Tap. No.XXIII/MPRS/1966)
5. Pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno (Tap.
No.XLV/MPRS/1968).

Konsensus Nasional ini telah mewarnai pelaksanaan demokrasi di negara Republik Indonesia
sepanjang pemerintahan Orde Baru (Orba) sehingga pelaksanaan UUD 1945 lebih cenderung
berpihak kepada rezim yang berkuasa apabila dibandingkan menegakkan kedaulatan rakyat
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri.
Pemerintahan Orba telah banyak melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu,
antara lain:

1. Campur tangan birokrasi terlalu besar dalam memengaruhi pilihan rakyat,


2. Panitia pemilu tidak independen, memihak salah satu kontestan,
3. Kompetisi antar kontestan tidak leluasa,
4. Rakyat tidak bebas mendiskusikan dan menentukan pilihan,
5. Penghitungan suara tidak jujur,
6. Kontestan tidak bebas kampanye karena dihambat aparat keamanan/perizinan.
Mengingat pemilu adalah titik awal dari pembentukan sebuah pemerintahan demokrasi,
maka kelemahan dan praktek pemilu membawa kinerja sisitem politik, yaitu tercipta
perwakilan politik yang kurang kondusif bagi demokrasi. Wakil rakyat lebih cenderung loyal
kepada parpol yang menunjuknya menjadi rakyat ketimbang pada rakyat pemilih (tipe
partisan). Akibat pemilu orde baru kepada DPR menyokong pembatasan kapabilitas politik
legislatif itu. Sehingga penggunaan hak-hak DPR, seperti hak inisiatif dan fungsi pengawasan
menjadi lemah. Kenyataan ini makin memperkuat eksekutif sebagai pemihak pusat
kekuasaan yang mengatasi legislatif.

Ekeses pemilu yang juga fundamental adalah terbentuknya format “demokrasi” ala orde
baru yang khas. Sebuah model “demokrasi terpimpin” yang dicirikan oleh sentralisasi
kekuasaan politik pada puncak kekuasaan. Pada saat yang sama struktur kekuasaan macam
itu melebur kekuasaan eksekutif dan pengontrolannya (legislatif dan yudikatif) ke dalam satu
saluran kekuasaan. Model demokrasi seperti ini dapat dinamai model “Demokrasi terpimpin
konstitusional”. Sebuah reinkarnasi model demokrasi terpimpin yang telah direparasi aspek
yuridis formalnya sehingga menjadi konstitusional. Demokrasi pun cenderung berhenti di
tingkat slogan dan simbolik, lalu tercegah untuk bekerja di tingkat praksis.

Alokasi nilai di bidang politik dalam melaksanakan UU No. 1 tahun 1983 tentang susunan dan
kedudukan MPR/DPR Presiden Suharto melakukan:

1. Menerapkan penelitian khusus (Litsus) kepada segenap calon anggota MPR/DPR dengan
kriteria hanya mono loyalitas terhadap dirinya, yang diijinkan menjadi calon resmi dari
Partai dan Golkar.
2. Menetapkan keluarga Presiden, para pejabat eksekutif beserta beberapa keluarganya
dan orang-orang yang berkaitan dengan bisnis keluarga Presiden sebagai calon resmi
dari Partai Politik dan Golkar.

Dalam pelaksanaan UU No. 2 tahun 1983 tentang Pemilu:

1. Presiden Suharto secara subyektif mencoret dan mengganti calon yang tidak memenuhi
persyaratan subyektif dari Partai Politik dan Golkar.
2. Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuat di kantor-kantor dan waktu pelaksanaan
pemungutan suara ditetapkan bukan pada hari libur tetapi hari kerja.
3. Pelaksanaan pemungutan suara, sejumlah pemilih pendukung Golkar diberi formulir A-B
sampai 5-10 lembar seorang.

Dalam pelaksanaan UU No. 3 tahun 1983 tentang Partai Politik dan Golkar, ketentuan yang
melarang kegiatan politik partai politik hanya sampai kabupaten, sedangkan Golkar secara
terbuka melakukan kegiatan politik sampai desa-desa. Semua Pegawai Negeri dan ABRI yang
masih aktif maupun pensiun pada semua tingkat jabatan terbuka melakukan pemaksaan
dengan sanksi pada segenap anggota jajarannya untuk memilih Golkar. Sedangkan
Organisasi Masyarakat (Ormas) menurut UU No. 5 tahun 1985 tidak dibolehkan beralifiasi
kepada Partai Politik, tetapi banyak Ormas yang diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar. UU
No. 5 tahun 1985 tentang Referendum mengatur tidak memungkinkannya
diselenggarakannya referendum karena mempersyaratkan suara 90% dari seluruh peserta
referendum.

III. Masa Reformasi


A. Politik Masa Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan-
kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politi, ekonomi,
social dan budaya yang berbau Orde baru. Atau membangun kembali, menyusun kembali.
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan karena tumbangnya orde
baru sehingga membuka peluang terjadinya reformasi politik di Indonesia pada pertengahan
1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya
wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan rezim Soeharto
dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga desakan dari
parlemen beserta mundurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. Sehingga bangsa
Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan
rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh
lembaga wakil rakyat (DPR).
Tujuan Reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan
sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Adapun faktor-faktor pendorong terjadinya
reformasi adalah sebagai berikut:
a. Faktor politik;
1. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
2. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintahan masa Orba.
3. Kekuasaan Orba dibawah Soeharto otoriter tertutup.
4. Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
5. 5.Mahasiswa menginginkan perubahan.
b. Faktor ekonomi;
1. Adanya krisis mata uang rupiah.
2. Naiknya harga kebutuhan masyarakat.
3. Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
c. Faktor sosial: adanya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 yang melumpuhkan
perekonomian masyarakat.
d. Faktor hukum: belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama diantara
warga negara.

B. Strategi Nasional antara lain:


1. Reformasi dibidang ideologi negara dan konstitusi.
2. Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat bener-benar
melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah
sebagai berikut;
a. Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
b. Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
c. Memperdayakan MPR.
d. Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR.
3. Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet melalui hal-hal berikut;
a. Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan
instruksi presiden.
b. Membatasi penggunaan hak prerogatif.
c. Menyusun kode etik kepresidenan.
4. Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai poltik untuk menegakan
kedaultan rakyat, maka harus dikembangkan sistem multipartai yang demokratis tanpa
intervensi pemerintah.
5. Penyelengaraan pemilu.
6. Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan profesional
yang tidak memihak.
7. Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran sosial politik secara
bertahap sampai akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI beroknsentrasi pada fungsi
Hankam.
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/12629423/Makalah_Politik_dan_Strategi_Nasional

http://klikwaktu.blogspot.co.id/2016/09/perbedaan-strategi-polstranas-dari-orde.html

http://tutiaselina.com/wawasan-nusantara/perbandingan-implementasi-polstranas-ri-orba-dan-
pasca-reformasi/

https://seftikamulyawati.wordpress.com/2014/07/01/tulisan-4-persamaan-dan-perbedaan-strategi-
politik-nasional-pada-masa-orde-baru-dan-reformasi-otonomi-daerah/

Anda mungkin juga menyukai