Anda di halaman 1dari 32

BAB l

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Parlementer
(1950 hingga 1959) belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet yang silih
berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Partai-partai politik saling bersaing dan saling menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan
kepentingan kelompok masing-masing. Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk
melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru
bagi Republik Indonesia. Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu
1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik. Hal ini
seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era” demokrasi raba-raba’ telah
ditutup”. Namun pada kenyataannya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden
Soekarno semata.

Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-


partai politik yang ada, setidaknya menyederhanakan partai-partai politik yang ada dan
membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang menang dalam pemilihan umum 1955.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para
tokoh politik dan tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi
krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet. Dalam
konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat yang
anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI. Selain itu Presiden
Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari
golongan fungsional di dalam masyarakat.

Lebih jauh Presiden juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu
merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia.
Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan Indonesia yang


ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957. Demokrasi Terpimpin juga merupakan

1
suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi.
Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok
pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama, dalam pembaruan struktur
politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-
kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan
kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil
partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden
Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.

b. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang tersebut antara lain :

A. Bagaimana Perkembangan Politik pada Demokrasi Terpimpin ?


B. Bagaimana Pembebasan Irian Barat ?
C. Bagaimana Perkembangan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin?
C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini antara lain :

 Untuk mengetahui perkembangan politik pada demokrasi terpimpin


 Untuk mengetahui sejarah pembebasan irian barat
 Untuk mengetahui perkembangan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin

2
BAB ll

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin

1. Dekret Presiden 5 Juli 1959

Pada pemilu tanggal 15 Desember 1955 berhasil memilih anggota DPR dan
konstituante (dewan penyusun UUD Pada tanggal 10 November 1956 konstituante
dilantik dengan tugas utama merumuskan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS
1950, kemudian konstante mu bersidang dengan pidato pembukaan dan presiden
untuk menyusun dan menetapkan UUD RI tanpa ada pembatasan waktu. Namun,
ketika itu situasi dalam negen terjadi pergolakan di daerah-daerah yang memuncak
menjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Berkaitan dengan keadaan tersebut sampai
dengan awal tahun 1957 konstituante belum juga berhasil menyelesaikan tugasnya
untuk merumuskan UUD yang baru.

Pada tanggal 3 Juni 1959, konstituante mengadakan reses (masa istirahat) yang
ternyata untuk selama-lamanya. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
dinginkan, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal A.H. Nasution, atas
nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) mengeluarkan peraturan Nomor
Prt/Peperpu/040/1959 yang isinya larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik Pada
tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI. Suwiryo, mengirimkan surat kepada
Presiden Soekarno agar mendekretkan berlakunya kembali UUD 1945 dan
membubarkan konstituante.

Gagalnya konstituante dalam melaksanakan tugasnya serta rentetan peristiwa


politik keamanan yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai
puncaknya pada bulan Juni 1959. Untuk keselamatan negara berdasarkan
staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli
1959 pada pukul 17.00 dalam suatu upacara resmi di istana merdeka, presiden
soekarno mengeluarkan dekret presiden yang berisi sebagai berikut.

a. Pembubaran konstituante.
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kemball UUD 1945.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS.

3
2. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Masa demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekret Presiden 5 Juli


1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah
negara yang semakin mengkhawatirkan. berlakunya Dekret Presiden ini memiliki sisi
positif dan negatif.

Berikut ini positif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

a. Menyelamatkan negara di perpecahan dan krisis politik yang berkepanjangan.


b. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 dari kelangsungan hidup
negara.
c. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi
negara berupa DPAS yang selama masa demokrasi liberal tertunda
pembentukannya.

Adapun sisi negatif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu sebagai berikut.
a. Memberi kekuasaan besar kepada Presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara.
b. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam dunia politik.

Disebut demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia pada saat itu


mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin
merupakan reaksi terhadap demokrasi liberal atau parlementer karena pada masa
demokrasi parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara,
sedangkan Kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai. Pada masa demokrasi
terpimpin kekuasaan presiden sangat besar dan mutlak, Sedangkan aktivitas partai
dibatasi. Oleh karena kekuasaan presiden yang mutlak tersebut, mengakibatkan
penataan kehidupan politik menyimpang dari hujan awal, yaitu demokratisasi
(menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (Pemusatan
kekuasaan di tangan Presiden).
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang
menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang
ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr.
Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota

4
Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah
Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.
Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekrit yang memuat tiga hal pokok yaitu:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit
akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI
serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan
perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini
terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang
menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang
ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr.
Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota

5
Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah
Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.
Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekrit yang memuat tiga hal pokok yaitu:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit
akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI
serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan
perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini
terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang
menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang
ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr.
Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota

6
Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah
Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.
Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekrit yang memuat tiga hal pokok yaitu:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit
akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI
serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan
perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini
terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang
menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang
ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr.
Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota

7
Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah
Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.
Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekrit yang memuat tiga hal pokok yaitu:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit
akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI
serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan
perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini
terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang
menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang
ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr.
Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota

8
Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah
Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.
Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekrit yang memuat tiga hal pokok yaitu:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit
akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI
serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan
perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini
terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.

9
a. Pembentukan MPRS

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959, presiden membentuk


MPRS. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota
anggota yang duduk di MPR. Ketua MPRS adalah Khairul Saleh, dengan tugas
MPRS hanya terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Pada tanggal 10 November sampai 7 Desember 1960, MPRS mengadakan


sidang umum pertama di Bandung. Sidang umum MPRS tersebut menghasilkan dua
ketetapan sebagai berikut.

1) Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 yang menetapkan Manifesto Politik


Republik Indonesia sebagai GBHN.
2) Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969).

Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR, tetapi


pada kenyataannya MPRS tunduk kepada presiden yang terlihat dari tindakan
Presiden dalam pengangkatan ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana
menteri III dan pengangkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai
besar (PNI, NU, dan, PKI ) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan
sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

b. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR GR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan pada
tanggal 5 Maret 1960 karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan
pemerintah. Presiden kemudian mengeluarkan penetapan presiden yang menyatakan
bahwa DPR dibubarkan dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Oleh karena bukan hasil pemilihan
umum, semua anggota DPR GR ditunjuk oleh presiden. Peraturan maupun tata tertib
DPR GR ditentukan oleh presiden, akibatnya DPR GR mengikuti kehendak serta
kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

10
c. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan


Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Lembaga tinggi negara ini diketuai oleh
presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri dari satu orang wakil ketua (Ruslan
Abdulgani), 12 orang wakil partai us de politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang
wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi Rongjawaban atas pertanyaan
presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Pelantikan DPAS dilakukan di
Istana Negara pada tanggal 15 Agustus 1959.

Seperti MPRS dan DPR GR, DPAS menempatkan diri di bawah pemerintah.
Alasan- nya adalah DPAS yang mengusulkan agar pidato presiden pada hari
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan
Kembali Revolusi Kita yang dikenal dengan manifesto politik (manipol) Republik
Indonesia ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No. 1 Tahun 1960 dan
Ketetapan MPRS Nomor 1/MPRS/1960. Inti manipol adalah USDEK (Undang-
Undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin,
dan kepribadian Indonesia) sehingga lebih dikenal dengan manipol USDEK.

d. Pembentukan Front NasionaL

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun


1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan
cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuan
pembentukan Front Nasional adalah menyatukan seluruh potensi nasional agar
menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Tugas Front Nasional adalah menyelesaikan revolusi nasional,
melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.

e. Pembentukan Kabinet Kerja

Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet
ini Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Juanda
menjadi menteri pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan
programnya yang disebut triprogram Kabinet Kerja. Isi triprogram Kabinet Kerja
yaitu sebagai berikut.

11
1) Mencukupi kebutuhan sandang pangan.
2) Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara.
3) Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme
politik (Irian Barat)

Sehari sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda


mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.
Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut
Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan
Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr.
Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri dari sembilan menteri dan dua puluh empat
menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua partai besar, sehingga kabinet
bisa dikatakan sebagai kabinet non partai. Namun kabinet ini mengikutsertakan para
kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri negara ex
officio. Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan
dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.

Pembentukan kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan


Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan
Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS bertugas menjawab pertanyaan
presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota
DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang,
12 orang wakil golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil
golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.

Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI,


Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya. Dalam pidato
tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang
isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme,
anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. DPA dalam sidangnya bulan November 1959
mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus
1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian

12
menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama
“Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.

Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan


Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya
dan dibantu beberapa orang wakil ketua. Anggota MPRS pemilihannya dilakukan
melalui penunjukan dan pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum
sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Mereka yang diangkat harus memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan
RI dan setuju dengan Manifesto Politik. MPRS dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun
diatur melalui Penpres No. 2 1959, di mana fungsi dan tugas MPRS hanya
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

3. Arah Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin

a. Peran Aktif Indonesia pada Awal Masa Demokrasi Terpimpin

Peran aktif Indonesia pada awal masa Demokrasi Terpimpin dapat dilihat dari
hal-hal berikut.

1) Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan pasukan


perdamaian PBB, UNOC (United Nations Operation for Congo).
2) Presiden Soekarno berpidato dalam sidang umum PBB pada tanggal 30
September 1960. Judul pidato tersebut To Built the World a New yang
menguraikan tentang Pancasila, masalah Irian Barat, kolonialisme,
peredaan Perang Dingin, dan perbaikan organisasi PBB.
3) Ikut memprakarsai berdirinya GNB.
4) Pada tanggal 24 Agustus sampai 4 September 1962. Indonesia berhasil
menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta.

Arah politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi
penyimpangan. Penyimpangan tersebut dari politik luar negeri bebas aktif menjadi
condong pada salah satu poros. Pada waktu itu diberlakukan politik konfrontasi
yang diarahkan pada negara-negara kapasitas.

13
Tindakan pemerintah yang mengarah ke politik mercusuar ( mengajar
kemegahan di tengah-tengah pergaulan antar bangsa) adalah membagi kekuatan
politik dunia menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1) Old Established Force (Oldefo) adalah suku bangsa-bangsa tertindas yang


progresif revolusioner menentang imperialisme dan neokolonialisme.
2) New emerging Force (Nefo) adalah kelompok negara-negara berkembang
yang anti imperialis atau kolonialis dan sosialis serta komunis. Indonesia
termasuk dalam kelompok Nefo.

Pada masa Demokrasi Terpimpin dijalankan politik mercusuar. Presiden


Soekarno ber- pendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat
menerangi jalan bagi Nefo. Untuk hal tersebut, kemudian dilaksanakan proyek-
proyek besar dan spektakuler yang di- harapkan dapat menempatkan Indonesia
pada kedudukan terkemuka di kalangan Nefo. Proyek tersebut seperti
penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang menelan
biaya miliaran rupiah. Untuk penyelenggaraan Ganefo dibangun kompleks
olahraga Senayan. Pesta olahraga ini diikuti oleh 48 kontingen. Memasuki tahun
1965, Indonesia membentuk poros Jakarta-Peking dan poros Jakarta-Phnom Penh-
Hanoi-Peking-Pyongyang. Dengan terbentuknya poros semacam ini membuat
Indonesia semakin mendekatkan diri pada negara-negara komunis.

b. Konfrontasi dengan Malaysia

Sikap Indonesia yang konfrontatif terhadap negara-negara Barat antara lain


ditunjukkan Your dengan konfrontasi terhadap Malaysia. Hal tersebut karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara Federasi Malaysia yang
dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo. Pembentukan Federasi Malaysia pertama kali dilontarkan
oleh Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rachman pada tanggal 27 Mei
1961. Menurut Tengku Abdul Rachman, federasi yang akan dibentuk terdiri I dari
Malaysia, Singapura, dan Sabah. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden
Soekarno mengumumkan dwikomando rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964
di Jakarta. Isi Dwikora yaitu perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu
perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari nekolim Inggris. Dalam

14
melaksanakan konfrontasi dengan Malaysia ini dibentuk Komando Mandala Siaga
(Kolaga) yang dipimpin oleh Marsekal Madya Omar ong Dani (Menteri/Panglima
Angkatan Udara). Komando ini kemudian mengirimkan pasukan sukarelawan
untuk memasuki daerah Malaysia, baik Malaysia Barat maupun Malaysia Timur.

c. Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB

Pada tanggal 7 Januari 1965 dalam sebuah rapat umum antipangkalan militer
asing, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB. Penyebab
keluarnya Indonesia dari PBB . adalah karena tidak menyetujui Malaysia menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

15
B. Pembebasan Irian Barat

1. Latar Belakang Perjuangan

Salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag,
Belanda pada tanggal 23 Agustus-2 September 1949 adalah masalah Irian Barat
(sekarang Papua) akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah pengakuan
kedaulatan. Dengan keputusan tersebut, temyata ada perbedaan penafsiran antara
Indonesia dan Belanda. Bangsa Indonesia menafsirkan bahwa Belanda akan
menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, tetapi temyata Belanda menafsirkan hanya
akan merundingkan masalah Irian Barat dan bukan diserahkan ke Republik Indonesia.

2. Perjuangan Membebaskan Irian Barat

a. Perjuangan Diplomasi

Dalam menghadapi masalah Irian Barat, Indonesia menempuh tiga bentuk


perjuangan, yaitu diplomasi, konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi
militer, Dalam melakukan perjuangan diplomasi dilakukan dua tahap, tahap pertama
Indonesia berupaya melalui diplomasi bilateral dengan berunding langsung dengan
Belanda, tetapi selalu mengalami kegagalan. Pada tahap kedua, Indonesia membawa
masalah Iran Barat ke sidang Majelis Umum PBB.

Dalam sidang Majelis Umum PBB, Indonesia selalu berusaha meyakinkan


bahwa masalah inan Barat perlu mendapatkan perhatian karena masalah Irian Barat
tersebut menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain.
Setelah upaya diplomasi tidak membawa hasil, pemerintah mengambil sikap dengan
membatalkan Uni Indonesia-Belanda dan pembatalan persetujuan KMB pada tahun
1956. Pada tahun 1957, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dalam sidang
Majelis Umum PBB menyatakan bahwa Indonesia akan menempuh jalan lain jika
usaha dalam forum PBB tidak membawa hasil, Dalam menanggapi usaha Indonesia
tersebut, Belanda meyakinkan PBB bahwa masalah Irian Barat adalah masalah
bilateral antara Indonesia dan Belanda Pernyataan Belanda tersebut mendapat
dukungan dan negara Eropa Barat, terutama sesama anggota NATO, akibatnya
resolusi pengembalian Inan Barat gagal.

b. Konfrontasi Ekonomi dan Politik

16
Oleh karena perjuangan diplomasi tidak membawa hasil, Indonesia
meningkatkan perjuangan dalam bentuk konfrontasi ekonomi dan politik.
Konfrontasi ekonomi dilakukan dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
milk Belanda.

Konfrontasl ekonomi tersebut yaitu sebagai berikut.

1) Pada tahun 1956, secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB dan
diumumkan pembatalan utang-utang Republik Indonesia kepada Belanda.
2) Selama tahun 1956 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan
Belanda, melarang terbitan film berbahasa Belanda, dan membolkot
kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.
3) Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap #700 perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia serta mengalihkan pusat pemasaran
komoditas Republik Indonesia dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

Adapun konfrontasi politik dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut.

1) Kabinet Sukiman pada tahun 1951 menyatakan bahwa hubungan Indonesia


dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan hubungan Unie-
Statuut.
2) Pada tanggal 3 Mel 1956, pada masa Kabinet All Sastroamijoyo Il
diumumkan pembatalan hasil KMB.
3) Pada tanggal 17 Agustus 1956, dibentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu
kotanya di Scasiu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai
gubernurnya. Provinsi Irian Barat meliputi Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani,
dan Wasile.
4) Tanggal 18 November 1957 di Jakarta diadakan rapat umum pembebasan
Irian Barat.
5) Pada tahun 1958, pemerintah menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler
Belanda di Indonesia.
6) Pada tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian
Barat.
7) Pada tanggal 17 Agustus 1960, diumumkan pemutusan hubungan diplomatik
dengan Belanda.

17
Tujuan pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat yaitu sebagai berikut.

1) Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia.


2) Melaksanakan pembangunan semesta nasional.
3) Mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Melihat hubungan yang tegang antara Indonesia dan Belanda tersebut, PBB dalam
sidang umum tahun 1961 kembali memperdebatkan masalah Irian Barat. Sekjen PBB U
Thant meminta Ellsworth Bunker (diplomat Amerika Serikat) untuk menengahi
perselisihan Indonesia dan Belanda.

Pada bulan Maret 1962, Ellsworth Bunker mengusulkan agar Belanda


menyerahkan Irian Barat ke Indonesia dengan perantara PBB dalam jangka waktu dua
tahun. Belanda tidak mengindahkan usul tersebut dan mengajukan usul agar Irian Barat
di bawah pengawasan PBB. Usulan Belanda tersebut membuktikan bahwa Belanda
tidak ingin Irian Barat. menjadi bagian dari Indonesia, bahkan tanpa persetujuan PBB
Belanda mendirikan negara Papua lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan.

C. Konfrontasi Militer

Menghadapi tindakan Belanda tersebut pemerintah segera mengambil tindakan


untuk membebaskan Irian Barat Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekamo
mengumumkan trikomando rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Peristiwa ini menandai
dimulainya konfrontasi militer terhadap Belanda. Isi Trikora yaitu sebagai berikut,

1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.


2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.

Setelah itu, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan gabungan kepala staf
serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Hasil rapatnya yaitu sebagai berikut.

1) Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru dengan putra Irian sebagai gubernurnya.
2) Membentuk Komando Mandala yang langsung di bawah ABRI.

18
Pembentukan Provinsi Irian Barat gaya baru diputuskan dengan Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1962. Provinsi Irian Barat beribu kota di Jayapura (pada
zaman Belanda bernama Hollandia). Pada tanggal 11 Januari 1962, untuk
melaksanakan Trikora Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat yang berkedudukan di Makassar. Pada bulan yang sama, juga ditetapkan
susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Susunan Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat yaitu sebagai berikut.
1. Panglima Besar Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno
2. Wakil Panglima Besar Jenderal A.H. Nasution
3. Kepala Staf Mayor Jenderal Ahmad Yani

Adapun susunan Komando Mandala yaitu sebagai berikut


1. Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto
2. Wakil Panglima I Kolonel Laut Subono
3. Wakil Panglima II Letnan Kolonel Udara Leo Watimena

Kepala Staf Umum: Kolonel Ahmad Taher Tugas Komando Mandala yaitu sebagai
berikut
1) Menyelenggarakan organisasi militer pembebasan Irian Barat.
2) Memimpin dan mempergunakan segenap pasukan bersenjata, barisan perlawanan
rakyat, ataupun potensi nasional lainnya dalam lingkungan kekuasaannya untuk
membebaskan Irian Barat.

Sebelum Komando Mandala melakukan operasi, terlebih dahulu dilakukan


penyusupan ke Inan Barat. Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuran di Laut
Aru. Dalam insiden di Laut Aru tersebut. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana
Pertama (Komodor) Yos Sudarso bersama Komandan KRI Macan Tutul Kapten (Laut)
Wiratno dan beberapa prajurit TNI-AL gugur sebagai pahlawan.

19
Operasi-operasi yang direncanakan Komando Mandala di Irian Barat dibagi dalam tiga
fase, yaitu sebagai berikut.

1) Fase infiltrasi (penyusupan) sampai akhir 1962 Fase ini yaitu dengan
memasukkan sepuluh kompi di sekitar sasaran tertentu untuk menciptakan
daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh. 2)
Fase eksploitasi (mulai awal 1963). Fase ini yaitu dengan mengadakan
serangan terbuka terhadap militer lawan dan menduduki pos pertahanan
musuh yang penting.
2) Fase konsolidasi (awal 1964). Fase ini yaitu dengan mendudukkan kekuasaan
Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Melihat situasi yang genting, akhirnya pada bulan Maret 1962 Amerika Serikat
melalui seorang diplomatnya (Ellsworth Bunker) mengajukan usul yang dikenal dengan
Bunker Isi Rencana Bunker yaitu sebagai berikut.

1) Pemerintah di Inan Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.

2) Sesudah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan pendapat, apakah tetap berada dalam negara Republik Indonesia
atau memisahkan diri.

3) Pelaksanaan penyerahan Irian Barat akan selesai dalam waktu dua tahun.

4) Untuk menghindari bentrokan fisik antara kekuatan Indonesia dan Belanda,


diadakan masa peralihan di bawah PBB selama satu tahun.

Pihak Republik Indonesia menyambut baik usul Amerika Serikat dan mendapatkan
simpati internasional. Belanda tidak memberikan tanggapan. Menghadapi sikap
Belanda tersebut, Komando Mandala mulai bulan Maret sampai Agustus 1962
melakukan serangkaian operasi. Operasi ini meliputi Operasi Banteng di Fak-Fak dan
Kaimana, Operasi Serigala di sekitar Sorong dan Teminanbuan, Operasi Naga di
Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong. Kaimana, dan Merauke. Pada fase eksploitasi
direncanakan melakukan serangan terbuka (Operasi Jayawijaya) yang akan
dilaksanakan pada tanggal 14 Agustus 1962 Namun, operasi ini batal dilaksanakan
karena antara Indonesia dan Belanda terjadi persetujuan pada tanggal 15 Agustus 1962.

20
3. Akhir Pembebasan Irian Barat

Akhirnya, perjuangan-perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia berhasil


memaksa Belanda melepaskan Irian Barat kembali ke Republik Indonesia. Pada tanggal
15 Agustus 1962 berhasil ditandatangani Persetujuan New York antara pihak Republik
Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh sekjen PBB. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh
Van Royen dan Schuurman. Isi pokok Perjanjian New York yaitu sebagai berikut.

a. Belanda akan menyerahkan Iran Barat kepada penguasa pelaksana sementara


PBB UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1
Oktober 1962.
b. Pada tanggal 1 Oktober 1962, bendera PBB akan berkibar di Irian Barat
berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada
tanggal 31 Desember 1962 untuk digantikan dengan bendera Indonesia
mendampingi bendera PBB.
c. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963. Pemerintahan
selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia dan bendera PBB diturunkan.
d. Selama masa UNTEA, sebanyak-banyaknya tenaga (pegawai) Indonesia akan
dipergunakan. sedangkan tenaga dan tentara Belanda akan dipulangkan
selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963.
e. Pada tahun 1969, Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya
tetap dalam Republik Indonesia atau memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Selanjutnya, untuk menjamin keamanan di Irian Barat dibentuk suatu pasukan


keamanan PBB yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) diawah
pimpinan Brigadir Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan.

21
Sesuai dengan Perjanjian New York, proses pengembalian Irian Barat
dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.
a. Mulai tanggal 1 Oktober 1962, kekuasaan Belanda atas Iran Barat berakhir.
b. Mulai tanggal 1 Oktober 1962-1 Mei 1963, Irian Barat berada di bawah
pengawasan pe- merintahan sementara PBB yang disebut United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA).
c. Secara resmi mulai tanggal 31 Desember 1963, PBB menyerahkan Irian Barat
kepada pemerintah Republik Indonesia. Upacara serah terima dilakukan di
Hollandia (sekarang Jayapura) dan pihak Indonesia diwakili oleh
Men/Pargad Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Pada tahun 1969 sesuai dengan Perjanjian New York, pemerintah Republik
Indonesia mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera). Melalui pepera tersebut
rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik Indonesia
atau merdeka. Hasilnya Dewan Musyawarah pepera memutuskan tetap bergabung
dengan Republik Indonesia.
Hasil pepera kemudian dibawa oleh diplomat PBB (Ortis Sanz) untuk
dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24 dan pada tanggal 19 November
1969 sidang umum PBB mengesahkan hasil pepera tersebut.

Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan
Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan
TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI, yang sejak kabinet Djuanda diberlakukan
S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai
memainkan peranan penting dalam bidang politik. Dihidupkannya UUD 1945
merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya.
Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan
pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha
mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan
merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.
Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit
kembali pada tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI
kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada pemilihan umum 1955. Dengan
menerima Penetapan Presiden No. 7 1959, partai ini mendapat tempat dalam

22
konstelasi politik baru. Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari
Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya. Sejak saat itu PKI
berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang diberikan oleh
Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.
PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden
Soekarno. PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara
sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pedukung
kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya. Hal ini seperti apa
yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen
adalah sama halnya dengan melaksakan program PKI. Hanya kaum Manipolis
munafik dan kaum reaksionerlah yang berusaha menghambat dan menyabot
manipol. Apa yang diungkapkan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk
memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.
PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-
sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam
konstelasi politik Indonesia. Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya
sebagai kekuatan politik sangat meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan
membubarkan partai melalui penetapan presiden, konsep awal disebutkan bahwa
partai yang akan dibubarkan adalah partai yang memberontak. Namun dalam
keputusan final, Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata “sedang” di depan
kata “memberontak”, sehingga rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena
para pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”. Sesuai dengan rumusan itu maka
partai yang calon kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI. Sebaliknya, PKI
yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar
Gonggong, 2005)
PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari
masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju
Nasakom harus setuju Pancasila. Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan
sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI. PKI
terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra kepada
PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling
setia.
Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk kabinet Gotong Royong
(Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan

23
TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan
dalam MPRS, DPRGR, DPA dan Pengurus Besar Front Nasional serta dalam
Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). Kondisi ini mendorong
pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan mengajukan calon-
calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI dalam komposisinya. Upaya
ini tidak mencapai hasil yang optimal karena Presiden Soekarno tetap memberikan
porsi dan posisi kep…

C.Perkembangan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin


Pada masa Demokrasi Terpimpin, keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia
mengalami masa suram. Untuk menanggulangi keadaan ekonomi tersebut pemerintah
mengeluarkan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan.
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi
terpimpin, sebagai awal berlakunya herordering ekonomi. Di mana alat-alat produksi dan
distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah
pengawasan negara. Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan
kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan
sistem komando. Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi
kebijakan ekonomi. Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi
politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis nasional.

1.Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, di bawah Kabinet Karya dibentuk Dewan


Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959. Depernas dipimpin oleh Muh.
Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Pembentukan Dewan Perancang Nasional ini
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 1958. Tugas Depernas adalah menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan
nasional dan menilai penyelenggaraan pembangunan.

24
Hasil yang dicapai Depemas dalam waktu satu tahun berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS dengan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960.

Pada tahun 1963, Depernas diganti nama menjadi Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Soekamo. Tugas Bappenas yaitu sebagai
berikut.

a.Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek

b. Mengawasi pelaksanaan pembangunan.

c.Menilai hasil kerja mandataris MPRS.

2. Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)

Tujuan dilakukan devaluasi adalah membendung inflasi yang tetap tinggi, mengurangi
jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat
kecil tidak dirugikan. Untuk membendung inflasi dan mengurangi jumlah uang yang beredar
di masyarakat, pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan penurunan nilai
uang (devaluasi) sebagai berikut.

a.Uang kertas pecahan bernilai Rp500,00 menjadi Rp50,00.

b.Uang kertas pecahan bernilai Rp1.000,00 menjadi Rp100,00.

c.Semua simpanan di bank yang melebihi Rp25.000,00 dibekukan. Namun, usaha pemerintah
tersebut tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi, terutama perbaikan dalam bidang
moneter.

3. Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu deklarasi
ekonomi (dekon). Tujuan dibentuk dekon adalah menciptakan ekonomi yang bersifat

25
nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.

Namun, dalam pelaksanaannya dekon tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan
masalah inflasi. Dekon justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme, artinya masalah-masalah perekonomian
diatur atau dipegang oleh pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi banyak
diabaikan. Akibatnya defisit dari tahun ke tahun semakin meningkat menjadi 40 kali lipat.
Defisit yang semakin meningkat tersebut dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan
matang sehingga menambah berat beban inflasi.

Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, pada tanggal 11 Mei 1965 Presiden Soekamo
mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 1965 tentang Bank Tunggal Milik Negara.
Bank tunggal milik negara kedudukannya di bawah urusan menteri bank sentral, Bank-bank
pemerintah menjadi unit-unit dari Bank Negara Indonesia.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi tersebut


mengalami kegagalan. Berikut faktor penyebabnya.

a. masalah ekonomi tidak rasional.

b.Ekonomi lebih bersifat politik dan tidak ada kontrol.

c.Pengeluaran negara cukup besar.

d.Devisa yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang yang menyebabkan
inflasi semakin membubung tinggi.

e.Struktur ekonomi menjurus ke ekonomi etatisme (semuanya diatur dan dipegang oleh
negara).

Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa demokrasi liberal berusaha
diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang
kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1000 masing-masing nilainya diturunkan menjadi
10% saja.

Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh
Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas dewan ini menyusun overall

26
planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental. Pada tanggal 17 Agustus 1959
Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya
memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu perencanaan overall dan
hubungan pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin.

Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang
disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan faktor
pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan. Perencanaan ini meliputi perencanaan
segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan
norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan
Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi pola proyek
pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan pembangunan.

Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun
1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede ini kemudian disetujui oleh
MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan
pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.

Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas Bappenas ialah
menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional
maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan
menilai Mandataris untuk MPRS.

Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi.
Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan
perbaikan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang kertas
pecahan Rp500 dan Rp1000 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu
diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan
pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000 dengan tujuan
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah
ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku harus ditukar
dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari
1960.

27
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan pembebasan Irian
Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi
ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama
Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati
sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama
dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.

Untuk memperbaiki ekonomi secara menyeluruh, pada 28 Maret 1963, pemerintah


mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang berisi 14 peraturan pokok

Dekon dikeluarkan sebagai strategi untuk menyukseskan pembangunan yang dirancang


Bappenas.

Pemerintab menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari atau berdiri di
atas kaki sendiri. Tujuan Dekon yakni untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional,
demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme.

Sayangnya, Dekon tak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi. Dekon
malah mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Kegagalan Dekon disebabkan:
Tidak terwujudnya pinjaman dari IMF sebesar 400 juta dollar ASA Perekonomian terganggu
karena pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia Konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara barat memperparah kemerosotan ekonomi.

28
4.Kebijakan Lain Pemerintah

Dalam usaha perdagangan, pemerintah mengeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964


mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (Kotoe) dan Kesatuan Opera(Kesop).
Kotoe bergerak secara sentralistik untuk mengatur perekonomian negara, sedangkan tujuan
dibentuk Kesop adalah meningkatkan sektor •Pembentukan Badan •Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas)

Penurunan nilai uang (devaluasi)

•Deklarasi Ekonomi (Dekon)

•Meningkatkan perdagangan dan perkreditan luar negeri

Berikut penjelasannya seperti dilansir dari Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi
Terpimpin (1959-1966) (2018).

Pembentukan Bappenas

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, pada 15 Agustus 1959 pemerintanh


membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Ketianya Moh Yamin dengan anggota sebanyak 50 orang. Pada tahun 1963, Presiden
Soekarno mengganti namanya menjadi Bappenas.

Tugas Bappenas yakni:

•Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan bagi pembangunan di tingkat
nasional dan daerah

•Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan

•Menyiapkan serta menilai hasil kerja mendatar untuk MPRSperdagangan.

29
Penurunan nilai uang (devaluasi).

Pada 25 Agustus 1959, pemerintah mengumumkan keputusan mengenai devaluasi dengan


nilai:

•Uang kertas Rp 500 menjadi Rp 50

•Uang kertas Rp 1.000 menjadi Rp 100

•Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000

Kebijakan ini diambil untuk membendung tingginya inflasi.

Dengan devaluasi, diharapkan uang yang beredar di masyarakat berkurang. Selain itu, nilai
rupiah meningkat.

Namun usaha tersebut tidak dapat mengatasi kemerosotan ekonomi. Para pengusaha di
daerah tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan tersebut.

Pemotongan nilai uang memang berdampak harga barang menjadi murah. Namun tetap saja
rakyat kesusahan karena tidak memiliki uang. Kas negara sendiri defisit akibat proyek politik
yang menghabiskan anggaran. Untuk menyetop defisit, pemerintah justru mencetak uang
baru tanpa perhitungan matang. Devaluasi kembali dilakukan pada 1965 dengan menjadikan
uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Akibatnya, bukannya berkurang, inflasi malah makin parah.
Indonesia mengalami hiperinflasi pada 1963-1965. Inflasi mencapai 600 persen pada 1965

30
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Presiden Soekarno mencoba mengusulkan pemikirannya dalam menyelesaikan permasalahan


yang dihadapi bangsa Indonesia melalui konsepsi yang dikenal dengan Konsepsi Presiden
1957. Konsepsi ini merupakan gagasan pembaruan kehidupan politik dengan sistem
demokrasi terpimpin sebagai upaya penyelesaian permasalahan bangsa Indonesia. Soekarno
berpendapat bahwa sistem Demokrasi Terpimpin adalah jawaban terhadap kegagalan sistem
Demokrasi Parlementer yang memunculkan pergolakan, pembangkangan dan instabilitas
politik. Pendapat Presiden Soekarno ini wujud ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi
yang dianut pemerintah masa demokrasi liberal.

Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain diwarnai dengan
tampilnya dua kekuatan politik di Indonesia yang saling bersaing, yaitu PKI dengan
Angkatan Darat. Pada masa Demokrasi Terpimpin pula, Indonesia melakukan operasi militer
untuk membebaskan Papua dari penjajahan Belanda (Trikora). Selain itu, konfrontasi dengan
Malaysia juga terjadi (Dwikora).

Kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa ini antara lain berupa pembentukan Dewan
Perancang Nasional dan Deklarasi Ekonomi, serta dilakukan Devaluasi Mata Uang. Proyek
Mercusuar berupa pembangunan Monas, kompleks olahraga Senayan, Pemukiman
Kebayoran juga berlangsung.

B.SARAN
Belajar Sejarah Demokrasi Terpimpin penting bagi kesadaran bangsa Indonesia untuk
memahami salah satu bentuk demokrasi dan sistem ekonomi yang pernah diterapkan di
negeri ini. Pemahaman dan pengalaman kita akan kehidupan berdemokrasi diharapkan
menjadi semakin kaya. Tentu dengan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan yang ada.

31
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/09/200000769/kebijakan-ekonomi-pada-masa-
demokrasi-terpimpin?page=2

https://doc.lalacomputer.com/makalah-sistem-dan-struktur-politik-dan-ekonomi-pada-masa-
demokrasi-terpimpin/

32

Anda mungkin juga menyukai