Anda di halaman 1dari 12

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN


Masa Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kepala Staf Angkatan
Darat mengeluarkan perintah harian bagi seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan
mengumumkan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR hasil
pemilu pertama, pada tanggal 22 Juli 1959 menyatakan kesediaan untuk bekerja berdasarkan
UUD 1945.
Negara Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan beberapa alasan sebagai berikut.
UUD 1945 tidak mengenal bentuk negara serikat dan hanya mengenal bentuk negara
kesatuan sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
UUD 1945 tidak mengenal dualisme kepemimpinan (dua pimpinan) antara pimpinan
pemerintah (perdana menteri) dan pimpinan negara (presiden).
UUD 1945 mencegah timbulnya liberalisme, baik dalam politik maupun ekonomi dan
juga mencegah timbulnya kediktatoran.
UUD 1945 menjamin adanya pemerintahan yang stabil.
UUD 1945 menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dan dasar
negara.
Bagaimana situasi politik dan ekonomi setelah 5 Juli 1959?
A. Situasi politik
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk
membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden
Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.
a. Pembentukan alat-alat negara
1. Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kabinet
Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam kabinet baru
ini, Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk
sebagai Menteri Pertama. Kabinet baru ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet
Kerja ada tiga, yaitu: keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan
pangan.
2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu,
pembentukan majelis merupakan pemenuhan dekrit tersebut. MPRS merupakan pengganti
Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh
Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia
kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS menurut
Penpres No. 2 Tahun
1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan
karya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun
1959. DPAS ini bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan
usul kepada pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 45 orang, terdiri
atas: 12 orang wakil golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari
golongan karya dan 1 orang wakil ketua.
4. DPR hasil pemilu 1955 tetap
DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap
menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-
perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru tersusun.
b. Menegakkan demokrasi terpimpin
1. Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul
Penemuan Kembali Revolusi Kita. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan
pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno
pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian
dikenal dengan sebutan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). DPAS dalam
sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden
Soekarno yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita dijadikan Garis-garis Besar
Haluan Negara dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).
Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS
dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato
Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang berjudul Jalannya Revolusi Kita dan
pidato di depan sidang Umum PBB yang berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build
the World a New) merupakan Pedoman-pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan
Februari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari
itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia (USDEK).
2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden
Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh
pemerintah. Tidak lama kemudian Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR
yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing.
Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut,
Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol,
merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada
upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno
menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS
dan member sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang
ditetapkan MPRS. Karena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya
adalah sebagai berikut.
Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan dalam DPR-GR memperkuat
pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-
kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan.
DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja,
sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi yang sehat.
Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah
bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan
terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul
reaksi keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia
(PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas
menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD
1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil
pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat
merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenangwenang karena:
ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk
mempelajarinya;
ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno
dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai
ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai
PNI dan PKI merupakan partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan.
Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang terlibat
pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden
Soekarno.
4. Kedudukan PKI semakin kuat
Di antara partai-partai yang ada, PKI merupakan partai yang menempati kedudukan istimewa
di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI
mendukung
konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI
berhasil
DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena
anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno.
DPR yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan Presiden pada kenyataannya berada
di bawah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan
Presiden.
3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955
Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai.
Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi
diketuai oleh I mron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi terdiri dari beberapa tokoh
partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSI, dan IPKI.
Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I serta
pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang tidak tepat. Liga Demokrasi mengusulkan
agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Presiden Soekarno akan lemah
terhadap PNI. Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan
Pancasila dengan suatu ideology yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai
berikut.
Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.
Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan PKI berdasarkan
internasionalisme.
Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme berlandaskan pertentangan
antarkelas.
Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus
dipegang
teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila digeser
oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan
sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi.
Keadaan semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup. Sekelompok wartawan yang
mempunyai keyakinan kuat terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme
(BPS) dengan harapan agar Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menempatkan diri di
pihak pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS
dilarang kehadirannya. Di antara partai-partai yang masih berani meneror mental PKI adalah
Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk
membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam tubuh partai-partai dan
beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan PKI itu mengakibatkan
pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir.
Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh
marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis gadungan.
Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa Maliki dan
Usep Ranawijaya. Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep.
Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi yang mampu menghalangi PKI dalam
usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah TNI. Oleh karena
itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI membina kader-kader dan
simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelekjelekkan nama
pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang banyak kader
PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI
diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan
kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi TNI yang
berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI
oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan
harta ini sementara masih didiamkan oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih
meningkatkan aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk
Angkatan ke-5. Sebagian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi
sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi
terpimpin dapat digagalkan oleh TNI, khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga
menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI.
Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat pimpinan
utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak
memegang departemen.
5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga membentuk
lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk
Front Nasional, Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang
Nasional (Depernas). Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959.
Front Nasional adalah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-
cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR
dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1962 yang anggotanya bertugas membantu
Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam mengambil kebijaksanaan
khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah para menteri yang
mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatanangkatan, dan wakil dari
organisasi Nasakom.
6. Penyimpangan dari UUD 1945
Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bahwa Presiden Soekarno menjadi pemimpin
tunggal dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh
karena itu, terdapat kemungkinan terjadinya penyimpanganpenyimpangan terhadap
konstitusi. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin
bahwa dengan kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami
perubahan struktur politik yang lebih baik. Masyarakat yang telah lama hidup dalam
kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan
konstitusi yang berlaku. Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan
sosial, budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat akan pelaksanaan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun secara tegas dalam dekrit
dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, kenyataanya masih
terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Kebijakan Presiden Soekarno dalam
penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden
Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara mutlak oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu untuk memperlihatkan
bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan, terpimpin
menurut UUD 1945 artinya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang
dalam hal ini dipimpin oleh MPR. Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR sebagai
mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden
ada di bawah MPR. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang berbunyi:
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
yang terbanyak. Sedangkan, dalam demokrasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden
No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditunjuk dan
diangkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden.
Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan
tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dengan demikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah
presiden. Menurut UUD 1945 pasal 7: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali. Sedangkan, Sidang Umum
MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur
hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS
tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
c. Politik luar negeri Indonesia
1. Landasan politik luar negeri I ndonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 dokumen yang dijadikan sebagai landasan politik luar
negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.
UUD 1945
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali
Revolusi Kita yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia.
Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, dan
diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960.
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul Jalannya Revolusi Kita.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November 1960 menjadi
Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.
Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang
berjudul Membangun Dunia Kembali. Pidato ini ditetapkan sebagai Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik
Republik Indonesia dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19
November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal
19 Januari 1961, dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik
Indonesia dan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Luar Negeri
Republik Indonesia.
2. Politik luar negeri I ndonesia bersifat konfrontatif
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar
negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi
karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap sebagai masa konfrontasi.
Diplomasi yang revolusioner, diplomasi yang konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi
yang mau merombak dan menyusun suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-
negara dipakai sebagai alat politik luar negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin
politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu Oldefos
(Old Established Forces) dan Nefos (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa
ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-
kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit (Nefos).
Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada kekuatan lama. Saat
pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri
yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi penyimpangan- penyimpangan. Negara Indonesia
ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-
komunis.
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung
berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin
sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang dilakukan pemerintah pada
masa demokrasi terpimpin.
Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17 Agustus 1960).
Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10 September
1960).
Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok (September 1961).
Pembebasan Irian Jaya (1962).
Konfrontasi dengan Malaysia (1963).
Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).
Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-komunis (blok
timur).
Indonesia membuka hubungan poros JakartaPeking (IndonesiaRRC) dan poros
JakartaPnom PenhHanoiPeking Pyongyang (Indonesia Kamboja Vietnam
UtaraRRCKorea Utara). Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat
bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh
dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia
mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada
masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan
di Asia.
Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian,
jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga
menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan
persoalan
baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya.
Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap
pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan
revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang
Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu,
pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina
mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Perundingan dilaksanakan dari bulan April September 1963. Berikut ini adalah rangkaian
pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia.
Tanggal 917 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara
bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama
antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman
(Malaya) mengadakan
pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk
membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden
Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara
maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
Tanggal 711 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina
bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala
pemerintahan.
Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani
dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat
negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
Tanggal 3 Juli 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan
Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama.
Dalam Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan
menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo
diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau
wakilnya.
Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu
hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah
melanggar DeklarasiBersama.
Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di
Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat
Malaysia dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di
Malaysia. Hubungan diplomatic antara Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17
September 1963.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei 1964,
Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato mengenai
Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.
Perhebat revolusi Indonesia.
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei
untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara
Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:
pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;
pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui
Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
v Timbulnya politik Poros JakartaPeking.
v Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
v Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
4. I ndonesia keluar dari PBB
Dalam situasi konflik IndonesiaMalaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada
tanggal 31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia
menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan
Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal
PBB, U Thant. Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7
Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak
menjadi
anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-badan PBB,
khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia dari
PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20 Januari
1965. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada
tanggal 1 Januari 1965. Jadi, alasan utama Indonesia keluar dari PBB adalah karena
terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
B. Keadaan ekonomi
a. Dalam bidang pembangunan
Dalam bidang pembangunan, pemerintah pada tahun 1958 mengeluarkan undang-undang
pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas), yakni UU No. 80 tahun 1958. Tugas
Dewan Perancang Nasional adalah mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan
nasional yang berencana dan menilai penyelenggaraan pembangunan itu. Dewan yang
beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah ini semula dipimpin oleh
Muhammad Yamin. Pada tanggal 26 Juli 1960, dewan ini berhasil menyusun Rancangan
Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961
1969 yang kemudian disetujui MPRS melalui Tap No. 2/MPRS/1960. Pada tahun 1963,
Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
Bappenas dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Badan ini bertugas untuk menyusun
rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan
menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
b. Dalam bidang ekonomikeuangan
Pada masa demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan terpuruk dan
sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi dan mencapai
keseimbangan dan kemantapan
keadaan keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai
berikut.
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun 1959 yang
mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi
banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp. 500 dan Rp 1000
yang beredar saat itu diturunkan masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100.
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1959 Tentang
pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Tujuannya untuk mengurangi
banyaknya uang dalam peredaran.
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.6 tahun 1959.
Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp 1000 dan Rp 500 yang
masih berlaku (yang sekarang bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus ditukar dengan uang kertas
bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Meskipun sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang yang beredar
semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan jumlah uang yang
beredar ini juga disebabkan
tindakan pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan
pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh tidak
adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-
pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek mercusuar seperti
Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging
Forces), pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang yang setiap tahun semakin besar.
Akibatnya, inflasi semakin tinggi dan hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat
kecil semakin sengsara.
c. Dalam bidang perdagangan dan perkreditan luar negeri
Negara Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya. Hasil
pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang dapat dijual ke luar negeri melalui
kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar negeri ini bertujuan untuk menghasilkan dan
meningkatkan devisa. Devisa inilah yang kemudian dipakai untuk membeli barang- barang
kebutuhan dari luar negeri yang belum bisa dihasilkan sendiri dalam negeri. Untuk menjaga
dan mempertahankan neraca perdagangan luar negeri yang sehat, Indonesia harus
meningkatkan ekspor supaya devisa semakin bisa ditingkatkan. Jika terjadi bahwa devisa
yang dihasilkan dari kegiatan perdagangan luar negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya
impor barang kebutuhan, pemerintah terpaksa membuat utang luar negeri melalui kredit-
kredit yang dikucurkan negara donor.
Dalam hal kredit luar negeri inilah Indonesia dapat terjebak dalam keputusan politik berpihak
pada blok tertentu yang sedang bersitegang, entah itu Blok Barat (negara-negara demokrasi
Barat) ataupun Blok Timur (negara-negara komunis). Misalnya, melalui Government to
Government (G to G), pemerintah RI dan RRC mengadakan hubungan dagang yang
menguntungkan kedua negara. Indonesia mengekspor karet ke RRC, tetapi dengan harga
yang sangat rendah. Karet tersebut tidak langsung dikirim ke RRC, tetapi justru diolah
terlebih dahulu di Singapura menjadi bahan baku yang selanjutnya diekspor Singapura ke
RRC. Tentu Singapura yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan Indonesia.
Lebih menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa karet dari Indonesia hanya berhenti di
wilayah teritorial Singapura. Karet- karet tersebut ditampung di kapal lain yang sudah siap
membawa ke Singapura. Sementara kapal- kapal dari Indonesia meneruskan perjalanan ke
Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah diolah di Singapura dan dijual
dengan harga yang lebih mahal. RRC kemudian mengolah bahan baku karet dari Singapura
tersebut menjadi ban dan barangbarang lainnya lalu diekspor ke Indonesia. Celakanya,
barang-barang yang diekspor RRC ke Indonesia itu dijual sangat mahal dan diperhitungkan
sebagai bantuan luar negeri. Hubungan perdagangan semacam ini sangat merugikan
Indonesia, karena Indonesia tidak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC. Ini terjadi
karena pemerintah RI memilih masuk dalam blok RRC dan blok negara komunis. Contoh
lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan dalam negeri, Presiden/
Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018 Tahun 1964 dan Keputusan
Presiden No. 360 tahun 1964. Isi dari instruksi presiden dan keputusan presiden itu adalah
ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan Dana-Dana Revolusi. Dana Revolusi
tersebut pada awalnya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan pungutan yang dikenakan
pada pemberian izin impor dengan deferrend payment (impor dibayar dengan kredit karena
tidak cukup persediaan devisa). Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan
system kredit itu adalah barang-barang yang tidak member manfaat bagi rakyat banyak
karena merupakan barang mewah atau barang perdagangan lainnya.
Akibat kebijakan luar negeri yang semacam itu, utang-utang negara bertambah besar.
Sementara itu, ekspor barang ke luar negeri semakin menurun. Devisa negara juga semakin
menipis. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara tidak mau lagi berhubungan
dagang dengan Indonesia karena utang-utangnya tidak dibayar. Di dalam negeri, situasi
keuangan yang buruk ini mengganggu produksi, distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah
yang akan mengalami kerugian dari praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai