Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN SEMASA

DEMOKRASI TERPIMPIN Leave a comment


PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Masa Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kepala Staf
Angkatan Darat mengeluarkan perintah harian bagi seluruh anggota TNI untuk
melaksanakan dan mengumumkan dekrit tersebut. Mahkamah Agung
membenarkan dekrit tersebut. DPR hasil pemilu pertama, pada tanggal 22 Juli 1959
menyatakan kesediaan untuk bekerja berdasarkan UUD 1945.

Negara Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan beberapa alasan sebagai
berikut.

 UUD 1945 tidak mengenal bentuk negara serikat dan hanya mengenal bentuk
negara kesatuan sesuai dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
 UUD 1945 tidak mengenal dualisme kepemimpinan (dua pimpinan) antara
pimpinan pemerintah (perdana menteri) dan pimpinan negara (presiden).
 UUD 1945 mencegah timbulnya liberalisme, baik dalam politik maupun
ekonomi dan juga mencegah timbulnya kediktatoran.
 UUD 1945 menjamin adanya pemerintahan yang stabil.
 UUD 1945 menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dan
dasar negara.
 Bagaimana situasi politik dan ekonomi setelah 5 Juli 1959?
A. Situasi politik
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik
untuk membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Selain itu, Presiden Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.

a. Pembentukan alat-alat negara


1. Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli
1959 Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet
baru. Dalam kabinet baru ini, Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana
Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama. Kabinet baru
ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu: keamanan
dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.

2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh
karena itu, pembentukan majelis merupakan pemenuhan dekrit tersebut. MPRS
merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota
MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959.

Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD
1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun

1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang
golongan karya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar
Haluan Negara (GBHN).

3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No.
3 tahun 1959. DPAS ini bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan
berhak mengajukan usul kepada pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden dan
beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil golongan politik, 8 orang
utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang wakil
ketua.

4. DPR hasil pemilu 1955 tetap


DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953
tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus
menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sampai DPR
yang baru tersusun.

b. Menegakkan demokrasi terpimpin


1. Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan
pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden
Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato
ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia”
(Manipol). DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan
kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan
“Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.

Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960,
MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik
menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga
memutuskan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang
berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang
berjudul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World a New) merupakan
Pedoman-pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada
bulan Februari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada
lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).

2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden
Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh
pemerintah. Tidak lama kemudian Presiden berhasil menyusun daftar anggota
DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili
golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.
Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas
DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat,
dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara pelantikan wakil-wakil ketua
DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan kedudukan DPR-
GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan member sumbangan
tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan
MPRS. Karena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya adalah
sebagai berikut.

 Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan dalam DPR-GR


memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang
mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan
memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
 DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan
saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi
yang sehat.
 Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu
adalah bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-
undang.
Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan
keberatan terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr.
Sartono dan Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam
PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Masyumi dan
PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya
yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa
kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945.
Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia
hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan
rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenangwenang
karena:
 ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk
mempelajarinya;
 ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan
komunis.
Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden
Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana
pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno
tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan partai yang dekat
dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI
yang terlibat

pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh


Presiden Soekarno.

4. Kedudukan PKI semakin kuat


Di antara partai-partai yang ada, PKI merupakan partai yang menempati
kedudukan istimewa
di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan
tegas PKI mendukung
konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada
Nasakom. PKI berhasil

DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945
karena anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap
keputusan Soekarno. DPR yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan
Presiden pada kenyataannya berada di bawah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR
berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.

3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955


Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-
partai. Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi.
Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi
terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik,
Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan Presiden
membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan
yang tidak tepat. Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis
dan konstitusional. Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut sertanya PKI
dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan Pancasila dengan suatu
ideology yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai berikut.
 Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung
ateis.
 Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan PKI berdasarkan
internasionalisme.
 Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme berlandaskan
pertentangan antarkelas.
Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol
harus dipegang

teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan


Pancasila digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa
Pancasila hanya dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah
bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam ini menggelisahkan
berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup. Sekelompok wartawan yang mempunyai keyakinan kuat
terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan
harapan agar Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menempatkan diri di pihak
pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS
dilarang kehadirannya. Di antara partai-partai yang masih berani meneror mental
PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi
Presiden Soekarno untuk membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup
ke dalam tubuh partai-partai dan beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu.
Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali
Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi
sejajar dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan
dengan dalih mereka adalah marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian
membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep
Ranawijaya. Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep.
Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi yang mampu menghalangi PKI
dalam usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah
TNI. Oleh karena itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI
membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan
cara menjelekjelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-
daerah, terutama yang banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan
Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja
tanah-tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya.
Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan
massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI oleh massa
PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan
harta ini sementara masih ‘didiamkan’ oleh pemerintah. Karena merasa menang,
PKI lebih meningkatkan aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno
untuk membentuk Angkatan ke-5. Sebagian anggota angkatan ke-5 akan diambil
dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan
ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI,
khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya
Kabinet Nasakom yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini
sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama
PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak
memegang departemen.

5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR


Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga
membentuk lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet,
Presiden membentuk Front Nasional, Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi
(MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas). Front Nasional dibentuk
berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi massa
yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam
UUD 1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan
Penpres No. 4 Tahun 1962 yang anggotanya bertugas membantu Presiden
Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam mengambil kebijaksanaan
khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah para
menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen,
angkatanangkatan, dan wakil dari organisasi Nasakom.

6. Penyimpangan dari UUD 1945


Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bahwa Presiden Soekarno menjadi
“pemimpin tunggal” dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang
ada diabaikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan terjadinya
penyimpanganpenyimpangan terhadap konstitusi. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada
UUD 1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami perubahan struktur
politik yang lebih baik. Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik
merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi
yang berlaku. Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan sosial,
budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat akan
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun
secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali
kepada UUD 1945, kenyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam
pelaksanaannya. Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi
terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden
Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu untuk
memperlihatkan bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak.
Sedangkan, terpimpin menurut UUD 1945 artinya kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
dalam hal ini dipimpin oleh MPR. Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR sebagai
mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan kata lain, kedudukan
presiden ada di bawah MPR. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang
berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Sedangkan, dalam demokrasi terpimpin,
berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Dengan
demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan
DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal,
kedua jabatan tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden. Menurut UUD 1945 pasal
7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima
tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”. Sedangkan, Sidang Umum MPRS
tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden
seumur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963.
Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
c. Politik luar negeri Indonesia
1. Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 dokumen yang dijadikan sebagai landasan
politik luar negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.

 UUD 1945
 Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.
Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960,
dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19
November 1960.
 Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi
Kita”. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November
1960 menjadi “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”.
 Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang
berjudul “Membangun Dunia Kembali”. Pidato ini ditetapkan sebagai “Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik
 Republik Indonesia” dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19
November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61,
tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai “Garis-garis Besar Politik Luar
Negeri Republik Indonesia” dan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik Luar Negeri Republik Indonesia”.
2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik
luar negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia
sarat konfrontasi karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap
sebagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusioner, diplomasi yang
konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi yang mau merombak dan menyusun
suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-negara dipakai sebagai alat
politik luar negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru. Doktrin
itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old
EstablishedForces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan
bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan
antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada
kekuatan lama. Saat pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin,
cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi penyimpangan-
penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain,
tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan
cenderung berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional
menjadi semakin sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang
dilakukan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.

􀂐 Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17 Agustus 1960).

􀂐 Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10


September 1960).

􀂐 Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok (September 1961).

􀂐 Pembebasan Irian Jaya (1962).

􀂐 Konfrontasi dengan Malaysia (1963).

􀂐 Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).


􀂐 Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).

􀂐 Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-


komunis (blok timur).
Indonesia membuka hubungan poros Jakarta—Peking (Indonesia—RRC) dan poros
Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking— Pyongyang (Indonesia — Kamboja —
Vietnam Utara—RRC—Korea Utara). Presiden Soekarno dengan politik
mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu
menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia

mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah


internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai
negara yang pantas diperhitungkan di Asia.

Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan


demikian, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang
diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

3. Konfrontasi dengan Malaysia


Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris
menimbulkan persoalan

baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan


Malaya. Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia.
Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek
neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan
militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga
menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan
federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina
mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Perundingan dilaksanakan dari bulan April – September 1963. Berikut ini adalah
rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara
federasi Malaysia.
 Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara
bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja
sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan
selanjutnya.
 1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman
(Malaya) mengadakan
 pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk
membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan
Presiden Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah
Asia Tenggara maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
 Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina
bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3
kepala pemerintahan.
 Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani
dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini
membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
 Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan
Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike
Bersama. Dalam Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan
Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan
rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak,
yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.

 Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa


menunggu hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh
Malaysia telah melanggar DeklarasiBersama.
 Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi
di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh
masyarakat Malaysia dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan
Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatic antara Indonesia dan
Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei
1964, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara
berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.

Ø Perhebat revolusi Indonesia.

Ø Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan


Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan
pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa
tindakan, antara lain:

Ø pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;


Ø pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan

Ø mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah


Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang
Persemakmuran Inggris

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.

v Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.

v Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.

v Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.

4. Indonesia keluar dari PBB


Dalam situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut,
Presiden Soekarno pada tanggal 31 Desember 1964 menyatakan
ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan
Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu
disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal
PBB, U Thant. Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal
7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB.

Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia
tidak menjadi

anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-
badan PBB, khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya
pihak Indonesia dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr.
Subandrio, tertanggal 20 Januari 1965. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa
Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada tanggal 1 Januari 1965. Jadi, alasan
utama Indonesia keluar dari PBB adalah karena terpilihnya Malaysia menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

B. Keadaan ekonomi
a. Dalam bidang pembangunan
Dalam bidang pembangunan, pemerintah pada tahun 1958 mengeluarkan undang-
undang pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas), yakni UU No. 80
tahun 1958. Tugas Dewan Perancang Nasional adalah mempersiapkan rancangan
undang-undang pembangunan nasional yang berencana dan menilai
penyelenggaraan pembangunan itu. Dewan yang beranggotakan 80 orang wakil
golongan masyarakat dan daerah ini semula dipimpin oleh Muhammad Yamin.
Pada tanggal 26 Juli 1960, dewan ini berhasil menyusun “Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961
– 1969” yang kemudian disetujui MPRS melalui Tap No. 2/MPRS/1960. Pada tahun
1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas). Bappenas dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Badan ini
bertugas untuk menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik
nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan,
menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
b. Dalam bidang ekonomi–keuangan
Pada masa demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan
terpuruk dan sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi
dan mencapai keseimbangan dan kemantapan

keadaan keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan


sebagai berikut.

Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun


1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan ini dikeluarkan untuk
mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp.
500 dan Rp 1000 yang beredar saat itu diturunkan masing-masing menjadi Rp 50
dan Rp 100.

Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun


1959 Tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Tujuannya
untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran.

Ø Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.6 tahun


1959. Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp 1000
dan Rp 500 yang masih berlaku (yang sekarang bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus
ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.

Ø Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang


penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Meskipun sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang
yang beredar semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan
jumlah uang yang beredar ini juga disebabkan

tindakan pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13


Desember 1965.

Tindakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan
pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh
tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam
pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek
mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan
Conefo (Conference of the New Emerging Forces), pemerintah terpaksa harus
mengeluarkan uang yang setiap tahun semakin besar. Akibatnya, inflasi semakin
tinggi dan hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat kecil semakin
sengsara.
c. Dalam bidang perdagangan dan perkreditan luar negeri
Negara Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya.
Hasil pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang dapat dijual ke luar
negeri melalui kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar negeri ini bertujuan
untuk menghasilkan dan meningkatkan devisa. Devisa inilah yang kemudian
dipakai untuk membeli barang- barang kebutuhan dari luar negeri yang belum bisa
dihasilkan sendiri dalam negeri. Untuk menjaga dan mempertahankan neraca
perdagangan luar negeri yang sehat, Indonesia harus meningkatkan ekspor supaya
devisa semakin bisa ditingkatkan. Jika terjadi bahwa devisa yang dihasilkan dari
kegiatan perdagangan luar negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya impor
barang kebutuhan, pemerintah “terpaksa” membuat utang luar negeri melalui
kredit-kredit yang dikucurkan negara donor.

Dalam hal kredit luar negeri inilah Indonesia dapat terjebak dalam keputusan politik
berpihak pada blok tertentu yang sedang bersitegang, entah itu Blok Barat
(negara-negara demokrasi Barat) ataupun Blok Timur (negara-negara komunis).
Misalnya, melalui Government to Government (G to G), pemerintah RI dan RRC
mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan kedua negara. Indonesia
mengekspor karet ke RRC, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Karet tersebut
tidak langsung dikirim ke RRC, tetapi justru diolah terlebih dahulu di Singapura
menjadi bahan baku yang selanjutnya diekspor Singapura ke RRC. Tentu Singapura
yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan Indonesia. Lebih
menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa karet dari Indonesia hanya berhenti
di wilayah teritorial Singapura. Karet- karet tersebut ditampung di kapal lain yang
sudah siap membawa ke Singapura. Sementara kapal- kapal dari Indonesia
meneruskan perjalanan ke Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah
diolah di Singapura dan dijual dengan harga yang lebih mahal. RRC kemudian
mengolah bahan baku karet dari Singapura tersebut menjadi ban dan
barangbarang lainnya lalu diekspor ke Indonesia. Celakanya, barang-barang yang
diekspor RRC ke Indonesia itu dijual sangat mahal dan diperhitungkan sebagai
bantuan luar negeri. Hubungan perdagangan semacam ini sangat merugikan
Indonesia, karena Indonesia tidak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC.
Ini terjadi karena pemerintah RI memilih masuk dalam blok RRC dan blok negara
komunis. Contoh lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan
dalam negeri, Presiden/ Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018
Tahun 1964 dan Keputusan Presiden No. 360 tahun 1964. Isi dari instruksi presiden
dan keputusan presiden itu adalah ketentuan mengenai penghimpunan dan
penggunaan Dana-Dana Revolusi. Dana Revolusi tersebut pada awalnya diperoleh
dari pungutan uang call SPP dan pungutan yang dikenakan pada pemberian izin
impor dengan deferrend payment (impor dibayar dengan kredit karena tidak cukup
persediaan devisa). Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan system
kredit itu adalah barang-barang yang tidak member manfaat bagi rakyat banyak
karena merupakan barang mewah atau barang perdagangan lainnya.
Akibat kebijakan luar negeri yang semacam itu, utang-utang negara bertambah
besar. Sementara itu, ekspor barang ke luar negeri semakin menurun. Devisa
negara juga semakin menipis. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa
negara tidak mau lagi berhubungan dagang dengan Indonesia karena utang-
utangnya tidak dibayar. Di dalam negeri, situasi keuangan yang buruk ini
mengganggu produksi, distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah yang akan
mengalami kerugian dari praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai