Anda di halaman 1dari 15

Sistem Politik Demokrasi Terpimpin

Dengan berlakunya UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno langsung
memimpir pemerintahan dan segera mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
Menyusun Kabinet Kerja. Kabinet Kerja I dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan
mengangkat Ir. Djuanda sebagai menter pertama. Anggota Kabinet Kerja I dilantik pada tanggal
19 Juli 1959 dengan program kerjanya yang dikenal dengan Tri Program Kabinet Kerja, yang
meliputi masalah sandang dan pangan. serta keamanan dan pengambilan Irian Barat. program ini
dijalankan bersama dengan program yang diuraikan Presiden pada tanggal 17Agustus 1959 yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang selanjutnya dikenal sebagai Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol). Pidato ini oleh DPAS diusulkan menjadi Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dan pada akhimya ditetapkan dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960 yang
berintikan USDEK yaitu UUD 1945, sosialis Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
Menyusun Lembaga-lembaga Negara. Pada tanggal 22 Juli 1959 keluar penetapan
Presiden No. 1 tahun 1959 yang menetapkan bahwa sebelum terbentuk DPR berdasarkan UUD
1945, maka DPR yang telah C bentuk berdasarkan Ulu no. 37 tahun 1953 menjalankan tugasnya
sebagai DPR. Tetapi penolakan DPR terhadap RAPBN tahun 1960 mengakibatkan Presiden
membubarkan lembaga tersebut berdasarkan penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, tanggal 5
Maret 1960. Pada tanggal 24 Juni 1960 DPR diganti dengan DPR GR yang anggotanya berasal
dari tiga partai besar (PNI, NU, PKI). Ketiga partai ini dianggap telah mewakili semua golongan
seperti nasional, agama dan Komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. DPAS dipimpin oleh
Presiden dan Roeslan Abdul Gani sebagai wakil ketuanya. Pelantikan wakil ketua DPAS
dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 di istana negara bersama dengan Hamengkubuwono
pelantikan Mr. Moh. Yamin sebagai ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan aparatur Negara. MPRS
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yang diketahui oleh Chaerul Shaleh,
dan pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960 mengadakan Sidang Umum pertama di
Bandung, menghasilkan dua ketetapan, yaitu sebagai berikut : 1) Tap MPRS No. 1/MPRS/1960
tentang menifesto politik sebagai garis besar haluan negara. 2) Tap MPRS No. 11/MPRS/1960
tentang pembangunan nasional semesta berencana 1961 -1969. Disamping dua ketetapan di atas
MPRS juga mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Penyimpangan dalam Demokrasi Terpimpin :


Beberapa penyimpangan yang terlihat pada demokrasi terpimpin yaitu:
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Namun,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya
tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III
serta pengangkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta
wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin
departemen.
2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya pengangkatan anggota MPRS
sebagai lembaga tertinggi negara dilakukan melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang
terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. 7 anggota MPRS ditunjuk
dan diangkat oleh Presiden apabila mereka setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada
perjuangan Republik Indonesia, dan setuju pada manifesto politik. Keanggotaan MPRS terdiri
dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan. Tugas
MPRS terbatas untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena pada tahun
1960 DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden menyatakan pembubaran DPR
dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-
GR), dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPR-GR juga ditentukan oleh
presiden, sehingga DPR-GR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan
presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak
dapat membubarkan DPR. Tugas DPR-GR yaitu melaksanakan manifesto politik; mewujudkan
amanat penderitaan rakyat; serta melaksanakan demokrasi terpimpin.
4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh presiden. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang
wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan.
Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada
pemerintah. Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada di bawah pemerintah (presiden)
sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan
suara bulat agar pidato presiden mengenai 'Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)'
ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK
(Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin,
dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
5. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk
potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin
oleh Presiden Soekarno. Tugas front nasional yaitu menyelesaikan Revolusi Nasional;
melaksanakan pembangunan; serta mengembalikan Irian Barat
6. Pembentukan Kabinet Kerja
Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Djuanda. Hingga pada tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali
perombakan (re-shuffle). Program kabinet antara lain: mencukupi kebutuhan sandang pangan;
menciptakan keamanan negara; serta mengembalikan Irian Barat
7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang pada masa demokrasi parlementer
menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden NASAKOM merupakan
cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima
dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa
PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan
ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta menggeser
kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi Komunis. Selain itu, PKI juga mengambil alih
kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah.
8. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan
Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang
kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan
fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
9. Penataan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa.
Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden
No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat akan dibubarkan (dibatasi). Tindakan
pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-gerik partai
semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden yang kuat
tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan partai politik yang pernah berjaya
pada masa demokrasi parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan
pembubaran partai karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam
pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17
Agustus 1960.
10. Arah Politik Luar Negeri
Pada awalnya, politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif yang mengabdi pada
kepentingan nasional. Bebas berarti tidak memihak, sedangkan aktif berarti ikut memelihara
perdamaian dunia. Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri cenderung
mendekati negara-negara blok Timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok Barat.
Perubahan arah ini disebabkan oleh:
a. Faktor dalam negeri: dominasi PKI dalam kehidupan politik
b. Faktor luar negeri: sikap negara-negara Barat yang kurang simpatik dan tidak mendukung
perjuangan bangsa Indonesia
Terdapat beberapa penyimpangan politik pada masa demokrasi terpimpin, yaitu:
a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang cenderung pada salah satu
poros. Saat itu, Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-
negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi tersebut
dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established
Forces)
b. Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan
karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut, Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang berisi:
a) Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
b) Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
c) Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat
menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c. Politik Mercusuar
Politik mercusuar dijalankan oleh presiden karena beliau menganggap bahwa Indonesia
merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk
mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar yang diharapkan dapat
menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek
tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya
diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang membutuhkan
pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
d. Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara Asia-Afrika yang kehidupan
politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Gerakan ini memusatkan
perjuangannya terhadap gerakan kemerdekaan bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan
Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik
Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung
perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi Indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi
dari UUD 1945 baik dalam skala nasional dan internasional.

A. Situasi politik

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk
membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden
Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.

a. Pembentukan alat-alat negara


1. Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kabinet Djuanda
(Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam kabinet baru ini, Presiden
Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri
Pertama. Kabinet baru ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu:
keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.

2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan diselenggarakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan
utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pemenuhan
dekrit tersebut. MPRS merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota
MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959.
Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada
perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun

1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan karya.
Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959.
DPAS ini bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang
wakil ketua.

4. DPR hasil pemilu 1955 tetap


DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap menjalankan
tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru tersusun.

b. Menegakkan demokrasi terpimpin


1. Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul Penemuan
Kembali Revolusi Kita. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5
Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem
demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol). DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada
pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita dijadikan
Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).

Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan
ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal
7 Agustus 1960, yang berjudul Jalannya Revolusi Kita dan pidato di depan sidang Umum PBB yang
berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman
Pelaksanaan
Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960,
Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).

2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena
menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian
Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili
golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara
pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan
Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada
upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan
kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan member sumbangan
tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS. Karena itu,
pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.

Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan dalam DPR-GR memperkuat pengaruh


dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam
masyarakat dan memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga tidak
dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi yang sehat.

Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan
dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.

Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan terhadap
pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartonodan Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi
keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat
pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa
kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang
dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo,
tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang.
Dikatakan sewenangwenang karena:
ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempelajarinya;

ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.

Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan
rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI
dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan
partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI
yang terlibat

pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.

4. Kedudukan PKI semakin kuat


Di antara partai-partai yang ada, PKI merupakan partai yang menempati kedudukan istimewa
di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI mendukung
konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI berhasil

DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena
anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR
yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan Presiden pada kenyataannya berada di bawah
presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.

3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955


Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai. Pada bulan
Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron
Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi,
Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan
Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang
tidak tepat. Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional.
Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia
berarti menduakan Pancasila dengan suatu ideology yang bertentangan. Letak pertentangannya
adalah sebagai berikut.
Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.

Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan PKI berdasarkan internasionalisme.

Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme berlandaskan pertentangan antarkelas.

Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus
dipegang teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila
digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai
alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan
semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup.

Sekelompok wartawan yang mempunyai keyakinan kuat terhadap Pancasila


membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan harapan agar Presiden Soekarno berpaling
dari PKI dan menempatkan diri di pihak pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden
Soekarno. Justru BPS dilarang kehadirannya. Di antara partai-partai yang masih berani meneror
mental PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno
untuk membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam tubuh partai-partai dan
beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu.

Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali
Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI.
Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis
gadungan. Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa
Maliki dan Usep Ranawijaya.

Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep. Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi
yang mampu menghalangi PKI dalam usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI
membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara
menjelekjelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang
banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak.
Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-
tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya
merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan
terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak
korban jiwa dan harta ini sementara masih didiamkan oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI
lebih meningkatkan aksinya.
PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Sebagian
anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha
pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI,
khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang
harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno
dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri,
walaupun tidak memegang departemen.
5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga membentuk
lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional,
Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas). Front
Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi massa
yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front
Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1962 yang
anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam
mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah
para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatanangkatan, dan
wakil dari organisasi Nasakom.

6. Penyimpangan dari UUD 1945


Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bahwa Presiden Soekarno menjadi pemimpin
tunggal dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu,
terdapat kemungkinan terjadinya penyimpanganpenyimpangan terhadap konstitusi. Dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada UUD
1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami perubahan struktur politik yang lebih baik.
Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai
kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku. Ketidakstabilan politik menghambat
perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat
akan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun secara tegas
dalam dekrit dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, kenyataanya
masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Kebijakan Presiden Soekarno dalam
penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden
Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara mutlak oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu untuk memperlihatkan bahwa
Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan,terpimpin menurut UUD 1945
artinya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang dalam hal ini dipimpin oleh MPR. Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR sebagai mandataris
MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden ada di bawah MPR.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak. Sedangkan, dalam demokrasi
terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini
berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan tersebut
menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian,
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden. Menurut UUD 1945
pasal 7: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima
tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali. Sedangkan, Sidang Umum MPRS tahun 1963
menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Keputusan itu
dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan
pelanggaran terhadap UUD 1945.

7. Pembentukan Kabinet Kerja

Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Presiden Soekarno
bertindak sebagai perdana menteri. Sedangkan Ir. Juanda menjadi menteri pertama. Kabinet Kerja
dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan programnya yang disebut Tri Program Kabinet Kerja.

Isi Tri Program Kabinet Kerja adalah sebagai berikut :

1. Mencukupi kebutuhan sandang pangan.


2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara.
3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik (Irian
Barat
8. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom

Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer


menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan
Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.

Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam


masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka
persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada
masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat
kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.

Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa
PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan
ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser
kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih
kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa
Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

9. Adanya ajaran RESOPIM


Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan
Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan
pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara
harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan
tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat
menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai
pembantu presiden.

10. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan
Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang
kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan
fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
11. Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara
leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan
presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang
terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-
gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden
yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah
berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan
pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat
dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal
17 Agustus 1960.

c. Politik luar negeri Indonesia


1. Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 dokumen yang dijadikan sebagai landasan politik luar negeri
Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.

UUD 1945

Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang
terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia. Manifesto politik ini dijadikan sebagai
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal
29 Januari 1960, dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19
November 1960.

Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul Jalannya Revolusi Kita. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November 1960 menjadi Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Republik Indonesia.

Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul
Membangun Dunia Kembali. Pidato ini ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik

Republik Indonesia dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19 November 1960.
Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan
sebagai Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia dan sebagai Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik Luar Negeri Republik Indonesia.

2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif


Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar negeri
yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi karena masa itu
oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap sebagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusioner,
diplomasi yang konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi yang mau merombak dan menyusun
suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-negara dipakai sebagai alat politik luar negeri.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi
dalam dua blok, yaitu Oldefos (Old Established Forces)dan Nefos (New Emerging Forces).
Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari
pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada kekuatan lama. Saat
pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri yang bebas-
aktif tidak tercapai. Terjadi penyimpangan- penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas
dari blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung berpihak ke blok
timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin sempit. Berikut ini adalah
beberapa kebijakan luar negeri yang dilakukan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.

Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17 Agustus 1960).

Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).

Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok (September 1961).

Pembebasan Irian Jaya (1962).

Konfrontasi dengan Malaysia (1963).

Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).


Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).

Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-komunis (blok timur).

Indonesia membuka hubungan poros JakartaPeking (IndonesiaRRC) dan poros JakartaPnom


PenhHanoiPeking Pyongyang (Indonesia Kamboja Vietnam UtaraRRCKorea Utara).
Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar
yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia

mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu.
Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia.

Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, jelaslah
bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan persoalan

baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia
secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan
Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu
pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga
menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus
digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk
menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bulan April September 1963.
Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara
federasi Malaysia.
Tanggal 917 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu untuk
membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan
mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.

1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya)
mengadakan

pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk membicarakan


masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden Filipina, baik mengenai
masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara maupun rencana pembentukan
Federasi Malaysia.

Tanggal 711 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila
untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.

Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen
pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan
Indonesia bersitegang dengan Malaysia.

Tanggal 3 Juli 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia
mengadakan pertemuan di Manila.

Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam
Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik
pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas
yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.

Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil
penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah melanggar
DeklarasiBersama.

Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar


Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan melakukan
demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatic antara
Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.

Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden
Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato
itu antara lain sebagai berikut.

Perhebat revolusi Indonesia.

Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk
membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia
itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:

pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;

pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan

mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui


Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.

v Timbulnya politik Poros JakartaPeking.

v Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.

v Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.

4. Indonesia keluar dari PBB


Dalam situasi konflik IndonesiaMalaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal
31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota
Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampaikan
oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant. Ancaman Indonesia
tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari
PBB. Indonesia tidak menjadi anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan
badan-badan PBB, khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak
Indonesia dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20
Januari 1965. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada
tanggal 1 Januari 1965. Jadi, alasan utama Indonesia keluar dari PBB adalah karena terpilihnya
Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Anda mungkin juga menyukai