Dengan berlakunya UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno langsung
memimpir pemerintahan dan segera mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
Menyusun Kabinet Kerja. Kabinet Kerja I dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan
mengangkat Ir. Djuanda sebagai menter pertama. Anggota Kabinet Kerja I dilantik pada tanggal
19 Juli 1959 dengan program kerjanya yang dikenal dengan Tri Program Kabinet Kerja, yang
meliputi masalah sandang dan pangan. serta keamanan dan pengambilan Irian Barat. program ini
dijalankan bersama dengan program yang diuraikan Presiden pada tanggal 17Agustus 1959 yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang selanjutnya dikenal sebagai Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol). Pidato ini oleh DPAS diusulkan menjadi Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dan pada akhimya ditetapkan dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960 yang
berintikan USDEK yaitu UUD 1945, sosialis Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
Menyusun Lembaga-lembaga Negara. Pada tanggal 22 Juli 1959 keluar penetapan
Presiden No. 1 tahun 1959 yang menetapkan bahwa sebelum terbentuk DPR berdasarkan UUD
1945, maka DPR yang telah C bentuk berdasarkan Ulu no. 37 tahun 1953 menjalankan tugasnya
sebagai DPR. Tetapi penolakan DPR terhadap RAPBN tahun 1960 mengakibatkan Presiden
membubarkan lembaga tersebut berdasarkan penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, tanggal 5
Maret 1960. Pada tanggal 24 Juni 1960 DPR diganti dengan DPR GR yang anggotanya berasal
dari tiga partai besar (PNI, NU, PKI). Ketiga partai ini dianggap telah mewakili semua golongan
seperti nasional, agama dan Komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. DPAS dipimpin oleh
Presiden dan Roeslan Abdul Gani sebagai wakil ketuanya. Pelantikan wakil ketua DPAS
dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 di istana negara bersama dengan Hamengkubuwono
pelantikan Mr. Moh. Yamin sebagai ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan aparatur Negara. MPRS
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yang diketahui oleh Chaerul Shaleh,
dan pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960 mengadakan Sidang Umum pertama di
Bandung, menghasilkan dua ketetapan, yaitu sebagai berikut : 1) Tap MPRS No. 1/MPRS/1960
tentang menifesto politik sebagai garis besar haluan negara. 2) Tap MPRS No. 11/MPRS/1960
tentang pembangunan nasional semesta berencana 1961 -1969. Disamping dua ketetapan di atas
MPRS juga mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
A. Situasi politik
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk
membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden
Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.
2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan diselenggarakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan
utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pemenuhan
dekrit tersebut. MPRS merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota
MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959.
Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada
perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun
1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan karya.
Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959.
DPAS ini bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang
wakil ketua.
Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan
ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal
7 Agustus 1960, yang berjudul Jalannya Revolusi Kita dan pidato di depan sidang Umum PBB yang
berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman
Pelaksanaan
Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960,
Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena
menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian
Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili
golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara
pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan
Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada
upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan
kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan member sumbangan
tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS. Karena itu,
pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.
DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga tidak
dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi yang sehat.
Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan
dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan terhadap
pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartonodan Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi
keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat
pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa
kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang
dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo,
tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang.
Dikatakan sewenangwenang karena:
ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempelajarinya;
ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan
rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI
dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan
partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI
yang terlibat
pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.
DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena
anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR
yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan Presiden pada kenyataannya berada di bawah
presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.
Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus
dipegang teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila
digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai
alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan
semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup.
Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali
Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI.
Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis
gadungan. Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa
Maliki dan Usep Ranawijaya.
Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep. Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi
yang mampu menghalangi PKI dalam usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI
membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara
menjelekjelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang
banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak.
Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-
tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya
merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan
terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak
korban jiwa dan harta ini sementara masih didiamkan oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI
lebih meningkatkan aksinya.
PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Sebagian
anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha
pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI,
khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang
harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno
dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri,
walaupun tidak memegang departemen.
5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga membentuk
lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional,
Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas). Front
Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi massa
yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front
Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1962 yang
anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam
mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah
para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatanangkatan, dan
wakil dari organisasi Nasakom.
Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Presiden Soekarno
bertindak sebagai perdana menteri. Sedangkan Ir. Juanda menjadi menteri pertama. Kabinet Kerja
dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan programnya yang disebut Tri Program Kabinet Kerja.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa
PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan
ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser
kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih
kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa
Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan
Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang
kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan
fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
11. Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara
leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan
presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang
terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-
gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden
yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah
berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan
pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat
dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal
17 Agustus 1960.
UUD 1945
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang
terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia. Manifesto politik ini dijadikan sebagai
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal
29 Januari 1960, dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19
November 1960.
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul Jalannya Revolusi Kita. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November 1960 menjadi Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Republik Indonesia.
Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul
Membangun Dunia Kembali. Pidato ini ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik
Republik Indonesia dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19 November 1960.
Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan
sebagai Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia dan sebagai Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik Luar Negeri Republik Indonesia.
Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).
Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-komunis (blok timur).
mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu.
Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia.
Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, jelaslah
bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan persoalan
baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia
secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan
Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu
pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga
menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus
digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk
menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bulan April September 1963.
Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara
federasi Malaysia.
Tanggal 917 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu untuk
membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan
mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya)
mengadakan
Tanggal 711 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila
untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen
pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan
Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
Tanggal 3 Juli 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia
mengadakan pertemuan di Manila.
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam
Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik
pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas
yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.
Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil
penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah melanggar
DeklarasiBersama.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden
Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato
itu antara lain sebagai berikut.
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk
membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia
itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain: