1959 sampai dengan tahun 1966, dimulai dalam sistem demokrasi ini seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin Negara yang kala itu dipegang
oleh presiden soekarno.
Sebab, dengan mengacu pada pasal 137 UUDS 1950, jumlah anggota konstituante
yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 dari seluruh anggota yang hadir
dalam rapat/majelis tersebut.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit -- perintah yang dikeluarkan oleh kepala negara maupun
pemerintahan dan berkekuatan hukum -- yang diumumkan dalam upacara resmi di
Istana Merdeka: Kembali ke UUD 1945, yang artinya menggugurkan UUDS 1950.
Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini sebagai berikut: Presiden
mengangkat ketua, wakil ketua, dan anggota MPRS.
Orde Baru merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai pembeda antara
periode kekuasaan Presiden Soekarno (Orde Lama) dan periode kekuasaan
Presiden Soeharto.
Dalam praktiknya anggota konstituante yang seharusnya fokus untuk membuat UUD
yang baru justru lebih fokus terhadap pertikaian politik yang terjadi karena adanya
kepentingan dari masing-masing partai politik.
Dalam masa kerjanya dari tahun 1955-1959, konstituante dianggap gagal dalam
melaksanakan tugasnya sehingga dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 5 Juli
1959 melalui Dekrit Presiden.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Selain pembubaran konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945, salah satu isi
dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah pembentukan lembaga negara, yakni MPRS
dan DPAS.
Pembentukan MPRS Sebelum ada MPR yang tetap sesuai dengan UUD 1945,
Presiden Soekarno membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No.
Anggota MPRS langsung ditunjuk oleh presiden, ini merupakan salah satu bukti
penyimpangan terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota MPRS dipilih
oleh rakyat melalui pemilu.
DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua; Sebelum memangku jabatan, Wakil
Ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden; DPAS
dilantik pada pada tanggal 15 Agustus 1945.
Logo Katadata
BERITA NASIONAL
Mengenal Demokrasi Terpimpin, Sistem Pemerintahan Era Soekarno
Demokrasi Terpimpin merupakan penyeimbangan kekuasaan antara kekuatan politik
militer Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia dan Presiden Soekarno
sebagai balancer diantara keduanya.
[20.10, 5/9/2022] Mey-mey: Demokrasi Terpimpin
Sementara pihak yang gigih melawan PKI adalan Partai Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) yang pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena
dianggap menjadi pendukung pemberontakan yang terjadi di daerah Sumatera dan
Sulawesi. TNI AD juga turut menjadi pihak yang anti komunis. Presiden Soekarno
bekerjasama dengan TNI AD untuk mengendalikan partai politik, namun di sisi lain
Soekarno melindungi PKI.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante menerapkan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang mencetuskan
setuju lebih banyak dan tetapi karenanyanya pemungutan suara ini harus diulang,
sebab banyak suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah banyak minimum anggota yg harus benar di rapat, majelis, dan
untuknya (biasanya lebih dari separuh banyak anggota) supaya dapat mengesahkan
suatu putusan. Pemungutan suara kembali diterapkan pada tanggal 1 dan 2 Juni
1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum.
Hingga akhirnya, pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekret yang diumumkan dalam upacara formal di Istana Merdeka.
MPRS, DPRS, dan DPAS dibentuk. Hanya saja lembaga negara yang seharusnya
menjadi ciri demokrasi ini, semua anggotanya dipilih oleh Presiden. Beberapa
jabatan bahkan dipegang secara rangkap. Ini menyebabkan lembaga negara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak independen.
5. Penyederhanaan Partai
Saat demokrasi terpemimpin ABRI menganut dwi fungsi, yaitu peran sebagai
pelindung negara sekaligus dalam kegiatan politik. Akibatnya peran ABRI yang lebih
utama banyak ditinggalkan.
Kelompok atau perorangan yang identik dengan Barat dan Amerika dilarang.
Pemerintah saat itu memberlakukan politik mercusuar. Politik yang didominasi atau
berkiblat ke Cina sebagai negara komunis.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante menerapkan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang mencetuskan
setuju lebih banyak dan tetapi karenanyanya pemungutan suara ini harus diulang,
sebab banyak suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah banyak minimum anggota yg harus benar di rapat, majelis, dan
untuknya (biasanya lebih dari separuh banyak anggota) supaya dapat mengesahkan
suatu putusan. Pemungutan suara kembali diterapkan pada tanggal 1 dan 2 Juni
1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum
Hingga akhirnya, pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekret yang diumumkan dalam upacara formal di Istana Merdeka.
Isi dari Dekrit tersebut antara lain:
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan digantikan
dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin yang berlaku dari 1959 hingga
1965 memiliki artian bahwa demokrasi dengan pengakuan kepemimpinan.