Anda di halaman 1dari 2

KELAS: IX C & D

C. Dinamika Perwujudan Kedaulatan Negara Republik Indonesia Perkembangan Demokrasi di Negara


Republik Indonesia
Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami sejumlah fase demokrasi. Adapun pembahasannya sebagai
berikut.

a. Demokrasi Parlementer (1945-1959)


UUD NRI Tahun 1945 menetapkan sistem pemerintahan presidensial dengan kekuasaan yang besar di tangan presiden,
meskipun kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR. Selain itu, ada pula Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung yang berwenang memberi nasihat kepada presiden dan Mahkamah Agung.
Selama MPR dan DPR belum dibentuk, wewenang kedua lembaga tersebut akan dijalankan oleh presiden dengan
nasihat dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada perkembangan selanjutnya, KNIP melalui badan pekerjanya
mengajukan petisi kepada pemerintah, yaitu agar para menteri kabinet bertanggung jawab kepada KNIP, bukan kepada
presiden. Pemerintah setuju dengan petisi tersebut dan mengeluarkan Maklumat Presiden pada tanggal 14 November
1945. Selanjutnya, Presiden Soekarno melantik kabinet parlementer yang pertama, dengan Sutan Sjahrir sebagai
Perdana Menteri. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden tersebut, demokrasi di Indonesia berubah dari demokrasi
Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensial menjadi demokrasi parlementer.
Dalam perkembangan selanjutnya, Konferensi Meja Bundar berakhir pada 2 November 1949. Setelah itu, pemerintah
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah tanggal 2 November 1949 tersebut, demokrasi Indonesia menjadi demokrasi parlementer dengan bentuk
negara federal. Setelah negara-negara bagian menyatakan, bersatu kembali, pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia;"
kembali menjadi negara kesatuan. Menurut UUD yang digunakan saat itu, yaitu UUDS 1950, sistem pemerintahan
Indonesia adalah parlementer, seperti pada masa berlakunya konstitusi RIS. Dengan demikian, demokrasi Indonesia
tetap demokrasi parlementer. Pada masa demokrasi parlementer, terjadi berkali-kali pergantian kabinet. Berikut daftar
kabinet pada masa demokrasi parlementer.
No. Nama Kabinet Awal masa kerja Akhir masa kerja Pimpinan Kabinet Jabatan
1. Sjahrir I 14 November 1945 12 Maret 1946 Sutan Sjahrir Perdana Menteri
2. Sjahrir II 12 Maret 1946 2 Oktober 1946 Sutan Sjahrir Perdana Menteri
3. Sjahrir III 2 Oktober 1946 3 Juli 1947 Sutan Sjahrir Perdana Menteri
4. Amir Sjarifuddin I 3 Juli 1947 11 November 1947 Amir Sjarifuddin Perdana Menteri
5. Amir Sjarifuddin II 11 November 1947 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin Perdana Menteri
6. Hatta I 29 Januari 1948 4 Agustus 1949 Mohammad Hatta Perdana Menteri
7. Hatta II 4 Agustus 1949 20 Desember 1949 Mohammad Hatta Perdana Menteri
8. Natsir 6 September 1950 27 April 1951 Mohammad Natsir Perdana Menteri
9. Sukiman- Suwirjo 27 April 1951 3 April 1952 Sukiman Wirjosandjojo Perdana Menteri I
10. Wilopo 3 April 1952 30 Juli 1953 Wilopo Perdana Menteri
11. Ali Sastroamidjojo I 30 Juli 1953 12 Agustus 1955 Ali Sastroamidjojo Perdana Menteri
12. Burhanuddin Harahap 12 Agustus 1955 24 Maret 1956 Burhanuddin Harahap Perdana Menteri
13. Ali Sastroamidjojo II 24 Maret 1956 9 April 1957 Ali Sastroamidjojo Perdana Menteri
14. Djuanda 9 April 1957 10 Juli 1959 Djuanda Perdana Menteri

UUD Sementara 1950 mengamanatkan agar segera disusun UUD yang baru. UUDS 1950 mengamanatkan penyusunan
UUD kepada sebuah badan pembuat UUD (konstituante). Namun, Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum
1955 ternyata tidak berhasil menyusun UUD baru.
Menanggapi situasi tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan anjuran kepada Konstituante untuk menetapkan
kembali UUD NRI Tahun 1945 sebagai UUD negara. Namun, sidang-sidang Konstituante tetap menemukan jalan buntu.
Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang isinya menetapkan kembali UUD NRI
Tahun 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Keluarnya dekret presiden pada tanggal 5 Juli 1959 menandai
berakhirnya pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia.
b. Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pemberlakuan kembali UUD NRI Tahun 1945 membawa sejumlah konsekuensi pada aspek ketatanegaraan. Misalnya,
sistem pemerintahan adalah presidensial—di dalamnya, tanggung jawab ada di tangan presiden, sedangkan menteri-
menteri merupakan pembantu presiden. MPR dan DPR segera dibentuk, kendati sifatnya masih sementara karena
belum diadakan pemilihan umum.
Namun pada praktiknya, dari tahun ke tahun, kecenderungan yang terjadi justru tidak mengarah kepada penegakan
UUD secara benar, melainkan kecenderungan penumpukan kekuasaan di tangan presiden. Pemusatan kekuasaan di
tangan presiden ini disebut Demokrasi Terpimpin. Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno menjadikan

1
KELAS: IX C & D
berbagai lembaga negara di bawah presiden. Hal yang paling mencolok adalah dikeluarkannya produk hukum yang
mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada 30 September 1965 terjadi pemberontakan G30S/PKI, tetapi gagal.
Selanjutnya, para mahasiswa yang mendapat dukungan dari rakyat melakukan tuntutan yang dikenal dengan nama
Tritura. Isi Tritura antara lain pembubaran PKI. Presiden Soekarno pun menyerahkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada 11 Maret 1966 kepada Mayjen Soeharto untuk mengatasi keamanan dalam negeri.
Masa demokrasi terpimpin berakhir setelah pertanggungjawaban Soekarno ditolak majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS). Soekarno pun diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS dan
Soeharto menggantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
c. Demokrasi Pancasila (1966-1998)
Setelah masa kepemimpinan Presiden Soekarno berakhir dan diganti dengan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin
oleh Presiden Soeharto, hal yang digaungkan adalah melaksanakan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan MPR mulai dipersiapkan dan kemudian dapat
diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Produk-produk MPRS dan DPRS yang bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 dicabut. Kedudukan MPR, DPR, dan MA pun dipulihkan.
Pada pemerintahan Orde Baru, demokrasi yang digunakan adalah Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ciri pokok Demokrasi Pancasila
adalah musyawarah mufakat karena musyawarah mufakat adalah prinsip utama yang hanya dapat ditemukan dalam
Demokrasi Pancasila. Penyebutan Demokrasi Pancasila ditegaskan dalam Tap MPR No. XXXVII/MPRS/1968 tentang
Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman/Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada masa Orde Baru, terjadi masa jabatan presiden yang panjang, antara lain karena tidak dibatasinya masa jabatan
presiden. Selama masa Orde Baru, MPR berkali-kali mengangkat Soeharto menjadi presiden. Oleh karena itu, Soeharto
menjabat sebagai presiden selama kurang lebih 30 tahun. Adapun efek dari masa kekuasaan yang panjang tersebut
antara lain presiden menjadi kuat dan nyaris mengatur seluruh proses politik. Terjadilah pemusatan kekuasaan pada
presiden. Selain itu, diperkirakan rekrutmen politik menjadi tertutup, kebebasan berpolitik dibatasi, dan diduga KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) berkembang.
Rakyat, dengan mahasiswa sebagai motornya, menuntut turunnya Presiden Soeharto. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei
1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden B. J. Habibie sebagai presiden RI ketiga.
d. Demokrasi Pancasila Masa Reformasi (1998—sekarang)
Pada masa reformasi, demokrasi yang dikembangkan tetap Demokrasi Pancasila, tetapi dengan perbaikan pelaksanaan
dan peraturan-peraturan. Berdasarkan Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Tahun 2005-2025 yang
dikeluarkan Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
perubahan struktur politik Indonesia dalam proses demokratisasi di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1) Tuntasnya amandemen (I, II, II, dan IV) UUD NRI Tahun 1945 yang secara mendasar telah mengubah dasar-dasar
konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, penataan kembali struktur dan
kewenangan lembaga-lembaga negara termasuk beberapa penyelenggaraan negara tambahan, seperti Komisi
Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum. Penataan tersebut telah memberikan peluang pada perwujudan pengawasan
dan penyeimbangan (checks and balances) kekuasaan politik.
2) Terciptanya format politik baru dengan disahkannya perundang-undangan baru bidang politik, pemilu, dan susunan
kedudukan MPR dan DPR.
3) Terciptanya format hubungan pusat-daerah yang baru berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang
baru. Intinya adalah lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan serta mengatur mengenai hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, serta hubungan antarpemerintah daerah.
4) Terciptanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer dan TNI dengan Polri berdasarkan ketetapan-
ketetapan MPR dan perundangan-undangan baru bidang pertahanan dan keamanan.
5) Pelaksanaan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung.
6) Diakhirinya pengangkatan TNI/PoIri dan Utusan Golongan di dalam komposisi parlemen.
7) Berkembangnya peran partai politik, organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya.

Anda mungkin juga menyukai