Liberal era
Sejarah Indonesia (1950-1959)
Apa saja yang akan kami bahas???
0 0 Kabinet-Kabinet
Perkenalan
1 4
0 Latar Belakang
0 Kebijakan Ekonomi
2 5
0 Gambaran Umum
0 Dekret Presiden
3 6
Demokrasi
Parlementer
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula
dengan Era Demokrasi Parlementer adalah era ketika
Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950.
Periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak
pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli
1959 (keluarnya Dekret Presiden).
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting,
seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan
umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante,
serta periode ketidakstabilan politik yang
berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang
bertahan selama dua tahun.
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang menganut
kebebasan individu.
Secara konstitusional, ini dapat diartikan sebagai hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.
Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau
langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk
pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan
hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori
kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau .
0
2
Latar
Belakang
Latar Belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia, perpecahan di
kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral,
tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi
pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah, dan tradisi otoriter. Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia:
militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah
Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan;
ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang
melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian
tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan
penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial.
Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan
devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.
0
3
Gambaran
Umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di
Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer
(demokrasi liberal), hingga demokrasi terpimpin.
Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya
perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang
MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar
tahun 1949 adalah terbentuknya Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara
federal yang diprakasai oleh Belanda untuk
melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara
kesatuan ternyata tidak didukung masyarakat
Indonesia. Banyak negara bagian yang
menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan dan
pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet
RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya
kepada Presiden Soekarno
Mulainya Demokrasi Parlementer
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional
untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak
Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan
September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-
wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu
kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan,
permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu
dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang
mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam
yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Berakhirnya Demokrasi
Parlementer
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante
gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu menyampaikan
konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD
1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain
berisi pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD
1945 kembali.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era Demokrasi
Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi
terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno
merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis, agama, dan komunis .
0
Kabinet-
4
Kabinet
Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru
menimbulkan ketidakstabilan politik. Pada masa ini terjadi
banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada
masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak
percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan
dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik
berkepanjangan.
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Partai
Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951.
Program kerja kabinet Natsir:
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan
belum sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini
karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga
Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
• Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta
menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara
• Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial
dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
• Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan
menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
• Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst),
penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan
• Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan
antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan
perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta
meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
• Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:
• Adanya pertukaran nota keuangan
• Adanya krisis moral
• Masalah Irian Barat yang sulit teratasi
• Hubungan Sukiman dengan militer yang kurang baik
• Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari
1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan
dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia
Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan
bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada
ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan
dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya
adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya
Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo
Program kerja kabinet Wilopo:
• Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum
• Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik Indonesia
•
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17
oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira
angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden
Sukarno membubarkan parlemen.
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:
• melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi;
serta
• memperjuangkan pengembalian Irian Barat.
Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk mengendalikan harga
dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil
cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga
barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum
pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga
mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga
bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak
percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada
tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap
mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk
dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum.
Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai
terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin
Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroarmidjojo II
Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan
Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan
keamanan dan ketertiban, dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut
rencana pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu
• menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950 dengan nama
Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera
memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang
menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif,
besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera dimaksudkan untuk
memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu
meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari
perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai
pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2 merancang pemberian
kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non
bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka
mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan
menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual lisensi impor yang
diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan
"Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal
pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program
Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini dimanfaatkan
oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai
perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap
telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah
kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini
membuat Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja.
Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.
Bab5
Dekret Presiden 5 Juli 1959
Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata
dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau
kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem
pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:
• Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala cara agar tujuan
kelompok/partai tercapai.
• UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
• Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan
separatis.
Sisi Positif:
Sisi positif dari adanya dekrit ini:
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk kembali ke UUD
1945;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa
Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri masa
parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.
Terimak
asih!
untuk perhatian anda sekalian
Materi ini dipersembahkan oleh : Fransiska, Donita,
Antonia, Rangga, Artha, dan Cresentia