Anda di halaman 1dari 35

Demokrasi

Liberal era
Sejarah Indonesia (1950-1959)
Apa saja yang akan kami bahas???
0 0 Kabinet-Kabinet
Perkenalan
1 4
0 Latar Belakang
0 Kebijakan Ekonomi
2 5
0 Gambaran Umum
0 Dekret Presiden

3 6
Demokrasi
Parlementer
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula
dengan Era Demokrasi Parlementer adalah era ketika
Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950.
Periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak
pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli
1959 (keluarnya Dekret Presiden).
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting,
seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan
umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante,
serta periode ketidakstabilan politik yang
berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang
bertahan selama dua tahun.
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang menganut
kebebasan individu.

Secara konstitusional, ini dapat diartikan sebagai hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.
Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau
langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk
pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan
hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori
kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau .
0
2
Latar
Belakang
Latar Belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia, perpecahan di
kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral,
tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi
pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah, dan tradisi otoriter. Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia:
militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah
Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan;
ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.

Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang
melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian
tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan
penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial.
Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan
devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.
0
3
Gambaran
Umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di
Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer
(demokrasi liberal), hingga demokrasi terpimpin.
Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya
perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang
MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar
tahun 1949 adalah terbentuknya Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara
federal yang diprakasai oleh Belanda untuk
melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara
kesatuan ternyata tidak didukung masyarakat
Indonesia. Banyak negara bagian yang
menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan dan
pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet
RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya
kepada Presiden Soekarno
Mulainya Demokrasi Parlementer
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional
untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak
Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan
September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-
wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu
kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan,
permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu
dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang
mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam
yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Berakhirnya Demokrasi
Parlementer
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante
gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu menyampaikan
konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD
1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain
berisi pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD
1945 kembali.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era Demokrasi
Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi
terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno
merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis, agama, dan komunis .
0
Kabinet-
4
Kabinet
Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru
menimbulkan ketidakstabilan politik. Pada masa ini terjadi
banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada
masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak
percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan
dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik
berkepanjangan.
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Partai
Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951.
Program kerja kabinet Natsir:

• Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante

• Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara

• Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman

• Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat


• Menyempurnakan organisasi angkatan perang
• Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-
Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara
kendala atau masalah yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah
Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul
masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan
APRA, dan gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan
belum sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini
karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga
Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng


yang didasari oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional. Program Benteng resmi berjalan selama
tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan
Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo (
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951
Sukiman Wirjosandjojo)
hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara
Masyumi dan PNI. Program kerja kabinet Sukiman:

• Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta
menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara

• Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial
dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani

• Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan

• Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan
menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah

• Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst),
penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan

• Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan
antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan
perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta
meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara

• Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:
• Adanya pertukaran nota keuangan
• Adanya krisis moral
• Masalah Irian Barat yang sulit teratasi
• Hubungan Sukiman dengan militer yang kurang baik

• Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari
1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan
dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia
Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan
bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada
ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan
dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya
adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya
Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo
Program kerja kabinet Wilopo:
• Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum
• Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik Indonesia

• Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan


• Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
• Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif


Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17
oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira
angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden
Sukarno membubarkan parlemen.
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

• Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


• Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan
Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
• Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung
Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar
memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah
perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani
karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet
Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri
memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah tersebut berhasil
dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret
1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin.
Akibat pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang
menewaskan 5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan
yang tajam dari pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi
penyebab jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh
mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti.
• Lalu Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni
1953.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:
• Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah

• Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum

• Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI

• Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika

• Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB

• Penyelesaian pertikaian politik


Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat,
antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh,
dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan,
kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika.
Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain
berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi
persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan
pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan
Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah
tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan


Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini
dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting
bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa
Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga
merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan
oleh kabinet berikutnya.
Kabinet Burhanuddin Harahap
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil Perdana Menteri
yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari PSII. Presiden Soekarno sebenarnya
kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan
kabinet ini adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu
• mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan
masyarakat kepada pemerintah;

• melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi;
serta
• memperjuangkan pengembalian Irian Barat.

Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk mengendalikan harga
dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil
cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga
barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum
pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga
mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga
bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak
percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada
tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap
mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk
dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum.
Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai
terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin
Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroarmidjojo II
Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan
Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan
keamanan dan ketertiban, dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut
rencana pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu
• menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;

• menyelesaikan masalah Irian Barat;

• membentuk Provinsi Irian Barat;

• menjalankan politik luar negeri bebas aktif;

• membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD;


• mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
• menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
• mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya
adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan
oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada
Presiden.
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari
PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes
Leimena dari Parkindo. Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu

• membentuk Dewan Nasional,

• menormalisasi keadaan Republik Indonesia,

• melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,

• memperjuangkan Irian Barat, dan


• mempercepat pembangunan
0
5
Kebijakan
Ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait
dengan masalah keamanan dan pertahanan negara.

Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di


tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi
bangsa dan sejumlah permasalahan ekonomi negara.
Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal
berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang


diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa Indonesia
dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang
cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja
Bundar.

2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh


bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan
program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran
untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan
keamanan negara.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada hasil
perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro
Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha
untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950 dengan nama
Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera
memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang
menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif,
besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera dimaksudkan untuk
memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu
meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari
perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai
pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2 merancang pemberian
kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non
bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka
mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan
menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual lisensi impor yang
diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan
"Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal
pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program
Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini dimanfaatkan
oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai
perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap
telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah
kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini
membuat Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja.
Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.
Bab5
Dekret Presiden 5 Juli 1959
Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata
dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau
kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem
pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

• Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


• Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
• Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan para utusan
daerah dan golongan

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat


menimbulkan ketidakstabilan politik yang
mengakibatkan program-program kabinet
tidak berjalan dengan baik.
Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 .
Alasan?
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai berikut.
• Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali bersidang. Padahal, UUD
sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting dalam melaksanakan pemerintahan.

• Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.

• Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.

• Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala cara agar tujuan
kelompok/partai tercapai.

• UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia.

• Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan
separatis.
Sisi Positif:
Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk kembali ke UUD
1945;

2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;

3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa
Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri masa
parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.
Terimak
asih!
untuk perhatian anda sekalian
Materi ini dipersembahkan oleh : Fransiska, Donita,
Antonia, Rangga, Artha, dan Cresentia

CREDITS: This presentation template was created by


Slidesgo, including icons by Flaticon, and infographics
& images by Freepik

A Credit for Wikipedia, Slidesgo, Flaticon, n


Freepik

Anda mungkin juga menyukai