Anda di halaman 1dari 14

Kurun Waktu 1950 - 1959

Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal dan diberlakukan UUDS 1950.
Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan
ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan
dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta
tidak berlakunya UUDS 1950.

Pada tahun 1949 sampai tahun 1959 merupakan peridoe kedua


dari pemerintahan negara Indonesia yang merdeka.

Pada periode ini, terjadi dua kali pergantian UUD, yaitu UUD 1945 diganti
dengan Konstitusi RIS dan pergantian Konstitusi RIS dengan UUDS 1950.

Nah, kali ini kita akan membahas mengenai perwujudan dari demokrasi
parlementer di Indonesia yang menjadi materi PPKn kelas 11 SMA.

Adanya perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS atau Undang-Undang


Dasar Sementera 1950 merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi
sistem parlementer.

Jadi, pada tahun 1949 sampai tahun 1959, negara Indonesia mengant
sistem pemerintahan demokrasi parlementer, Adjarian.

O iya, demokrasi parlementer adalah sebuah konsep pemerintahan negara


yang memberikan kewenangan atau otoritas kepada parlemen dalam
mengerjakan tugas negara.

Parlemen ini mempunyai peran yang penting dalam mengangkat seorang


perdana menteri negara.

Selain itu, parlemen juga mempunyai legitimasi dalam menatuhkan


pemerintahan pada suatu negara, lo.

Yuk, kita cari tahu perwujudan demokrasi parlementer di Indonesia tahun


1949-1959 berikut ini!
“Dalam demokrasi parlementer, badan eksekutif atau pemerintah dan
badan legislatif atau parlemen saling bergantung antara satu dan
lainnya.”

Perwujudan Demokrasi Parlementer di Indonesia

Masa demokrasi parlementer merupakan masa yang semua elemen


demokrasinya bisa ditemukan perwujudannya dalam kehidupan politik di
Indonesia, yaitu:

1. Peran Parlemen yang Tinggi

Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat mempunyai peranan yang


sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan di Indonesia.

Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya berbagai


mosi tidak percaya yang diberikan kepada pamerintah.

Hal ini mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya walaupun


pemerintahannya baru berjalan beberapa bulan.

Misalnya pada Ir. Djuanda Kartawijaya yang diberhentikan dengan mosi


tidak percaya oleh parlemen.

“Adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pamerintah merupakan


bentuk perwujudan kekuasaan parlemen.”

2. Tingginya Akuntabilitas Pemegang Jabatan dan Politisi

Akuntabilitas atau pertanggungjawaban dari pemegang jabatan dan politisi


pada umumnya sangat tinggi.

Hal ini bisa terjadi karena berfungsinya parlemen dan berbagai media
massa yang menjadi alat kontrol sosial. Contoh konkret dari tingginya
akuntabilitas pada periode ini adalah banyaknya kasus jatihnya kabinet.

3. Kepartaian Dapat Berkembang

Kehidupan kepartaian dikatakan mendapatkan peluang yang besar untuk


dapat berkembang secara maksimal.
Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem multipartai, di mana hampir
40 partai politik terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam
proses rekrutmen.

Bahkan, campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen politik bisa


dibilang tidak ada sama sekali.

Sehingga, partai-partai memiliki kebebasan dalam memilik anggota


pengurus dan ketuanya.

4. Dilaksanakannya Pemilihan Umum

Pada periode 1949-1959, pemelihan umum baru bisa dilaksanakan satu


kali, tepatnya pada tahun 1955.

Akan tetapi, pemelihan tersebut benar-benar berjalan dengan memegang


prinsip demokrasi.

Kompetensi antarpartai politik berjalan dengan adil dan intensif, serta para
pemilih bisa menggunakan hak pilihannya dengan bebas tanpa tekanan
atau rasa takut.

“Pemilihan umum terjadi satu kali pada tahun 1955 dan berjalan
dengan memegang prinsip demokrasi.”

5. Hak Dasar Masyarakat Tidak Dikurangi

Umumnya, masyarakat bisa merasakan bahwa semua hak-hak dasarnya


tidak dikurangi sama sekali.

Meskipun tidak semua warga negara bisa memenfaatkan hak-hak dasar


tersebut dengan maksimal.

Hak untuk berserikat dan berkumpul bisa diwujudkan dengan jelas, yaitu
dengan berdirinya partai politik dan organisasi peserta pemilu.

Lalu kebebasan pers dan kebebasan berpendapat juga bisa dirasakan


masyarakat pada periode tersebut.

Nah, itu tadi Adjarian perwujudan demokrasi parlementer di Indonesia


tahun 1949-1959 yang terbagi menjadi lima hal.
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959
(keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting,
seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan
pemilihan Konstituante, serta periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak
ada kabinet yang bertahan selama dua tahun.

Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah
dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan
akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara
baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan
tradisi otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di
Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah
dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian
empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan
belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan
kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk
buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat,
banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan
devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.

Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa
peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga demokrasi
terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD 1945, di
antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
yang merupakan wewenang MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai
oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata
tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin
kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet
RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Mulainya Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan
Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal.
Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala
negara. Sementara itu, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS)
1950 digunakan sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3
Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan
sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan
konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama.
Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember
pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota
Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November
1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung
selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan
yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung
Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah
lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada
beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak
sempat menyelesaikan tugasnya.
Berakhirnya Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden
Soekarno lalu menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu
yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran
Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era
Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS
dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa
ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis,
agama, dan komunis.
Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer[sunting | sunting sumber]
Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan
politik. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet
pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai
lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan
konflik berkepanjangan.

Akhir
Perdana Jumlah Awal masa Masa
No. Nama kabinet masa
Menteri personel kerja kerja
kerja

Mohammad 6 September 21 Maret 6 bulan


1. Natsir 18
Natsir 1950 1951 15 hari

23
Sukiman 27 April 9 bulan
2. Sukiman-Suwirjo 20 Februari
Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952

3 Juni 1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18 3 April 1952
1953 bulan

1 tahun
Ali 1 Agustus 24 Juli
4. Ali Sastroamidjojo I 20 11 bulan
Sastroamidjojo 1953 1955
23 hari

Burhanuddin Burhanuddin 12 Agustus 3 Maret 6 bulan


5. 23
Harahap Harahap 1955 1956 19 hari

Ali Sastroamidjojo Ali 24 Maret 14 Maret 11 bulan


6. 25
II / Ali Wongso Sastroamidjojo 1956 1957 19 hari

7. Djuanda Djuanda 24 9 April 1957 5 Juli 1959 1 tahun 2


Kartawidjaja bulan 26
hari

Kabinet Natsir[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Kabinet Natsir

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad


Natsir dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan
didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:

 Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
 Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
 Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
 Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi
rakyat
 Menyempurnakan organisasi angkatan perang
 Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda
untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah
yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda
mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan
Andi Azis, gerakan APRA, dan gerakan RMS.
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak
percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan
DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir
harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari
oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo[sunting | sunting sumber]
Berkas:Kabinet sukiman suwirjo.jpg

Kabinet Sukiman Suwirjo

Artikel utama: Kabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini
bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner
sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Program kerja kabinet Sukiman:

 Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin


keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan
negara
 Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk
meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum
agraria sesuai dengan kepentingan petani
 Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
 Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan
konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta
mempercepat terlaksananya otonomi daerah
 Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama
(collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian
perburuhan
 Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia,
menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya
berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional
biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta
meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
 Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu
sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya,
seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa
kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:

 adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo dengan
Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan ekonomi dan
militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual
Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar
negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
 adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
 masalah Irian Barat belum juga teratasi
 hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952.
Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta
Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada
Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut
dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih
condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Wilopo

Program kerja kabinet Wilopo:

 Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


 Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik
Indonesia
 Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
 Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
 Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

 Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


 Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat pada
tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
 Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi
akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan izin kepada
pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini
sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh
pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku
menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah
tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret
1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat
pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5 orang
petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari pihak parlemen
maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo.
Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat
Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada
tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan
masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang
diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

 Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


 Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
 Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
 Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
 Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
 Penyelesaian pertikaian politik
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara
lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar
Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-
Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu,
kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan
Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih
anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-
Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia
terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan
pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf
TNI-AD.
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi
Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia
dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas
dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum
pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi
pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.
Kabinet Burhanuddin Harahap[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Burhanuddin Harahap

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta


Wakil Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono
Tjokroaminoto dari PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini
karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini
adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap
yaitu

 mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat
dan masyarakat kepada pemerintah;
 melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi; serta
 memperjuangkan pengembalian Irian Barat.
Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk
mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam
masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa
kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang
kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan
umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain
itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata
pihak Angkatan Darat.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan
karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari
parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956
pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan
hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20
hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap
dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin


oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri
yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet
ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban,
dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut
rencana pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu

 menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;


 menyelesaikan masalah Irian Barat;
 membentuk Provinsi Irian Barat;
 menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
 membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota
DPRD;
 mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
 menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
 mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah
pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun
dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari
Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya
pada Presiden.
Kabinet Djuanda[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana
Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri
yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu

 membentuk Dewan Nasional,


 menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
 melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
 memperjuangkan Irian Barat, dan
 mempercepat pembangunan.

Kebijakan ekonomi[sunting | sunting sumber]


Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah
keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang
terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan
sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas
dari beberapa hal berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember


1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang
cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak pada
ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk
mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin
meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil
merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki
perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April
1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan
selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan
kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada
banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas
para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh
keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha
bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan
tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha
asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda,
dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng
tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional
bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada
awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor,
maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700
perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang
menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non
bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali"
merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian
dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga
menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika
industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini
dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan
masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa
masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan)
tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno
membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja.
Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman
pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang
telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan
birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua
menterinya yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini
yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959.    

Dekret Presiden 5 Juli 1959[sunting | sunting sumber]


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau
memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah
dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan
sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang
dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR  ditambah dengan para utusan
daerah dan golongan.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah
sebagai berikut.

1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting
dalam melaksanakan pemerintahan.
2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala
cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
5. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah
kepada gerakan separatis.
Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai