Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal dan diberlakukan UUDS 1950.
Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan
ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan
dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta
tidak berlakunya UUDS 1950.
Pada periode ini, terjadi dua kali pergantian UUD, yaitu UUD 1945 diganti
dengan Konstitusi RIS dan pergantian Konstitusi RIS dengan UUDS 1950.
Nah, kali ini kita akan membahas mengenai perwujudan dari demokrasi
parlementer di Indonesia yang menjadi materi PPKn kelas 11 SMA.
Jadi, pada tahun 1949 sampai tahun 1959, negara Indonesia mengant
sistem pemerintahan demokrasi parlementer, Adjarian.
Hal ini bisa terjadi karena berfungsinya parlemen dan berbagai media
massa yang menjadi alat kontrol sosial. Contoh konkret dari tingginya
akuntabilitas pada periode ini adalah banyaknya kasus jatihnya kabinet.
Kompetensi antarpartai politik berjalan dengan adil dan intensif, serta para
pemilih bisa menggunakan hak pilihannya dengan bebas tanpa tekanan
atau rasa takut.
“Pemilihan umum terjadi satu kali pada tahun 1955 dan berjalan
dengan memegang prinsip demokrasi.”
Hak untuk berserikat dan berkumpul bisa diwujudkan dengan jelas, yaitu
dengan berdirinya partai politik dan organisasi peserta pemilu.
Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah
dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan
akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara
baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan
tradisi otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di
Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah
dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian
empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan
belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan
kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk
buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat,
banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan
devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.
Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa
peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga demokrasi
terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD 1945, di
antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
yang merupakan wewenang MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai
oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata
tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin
kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet
RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Mulainya Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan
Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal.
Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala
negara. Sementara itu, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS)
1950 digunakan sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3
Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan
sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan
konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama.
Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember
pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota
Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November
1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung
selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan
yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung
Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah
lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada
beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak
sempat menyelesaikan tugasnya.
Berakhirnya Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden
Soekarno lalu menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu
yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran
Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era
Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS
dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa
ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis,
agama, dan komunis.
Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer[sunting | sunting sumber]
Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan
politik. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet
pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai
lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan
konflik berkepanjangan.
Akhir
Perdana Jumlah Awal masa Masa
No. Nama kabinet masa
Menteri personel kerja kerja
kerja
23
Sukiman 27 April 9 bulan
2. Sukiman-Suwirjo 20 Februari
Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952
3 Juni 1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18 3 April 1952
1953 bulan
1 tahun
Ali 1 Agustus 24 Juli
4. Ali Sastroamidjojo I 20 11 bulan
Sastroamidjojo 1953 1955
23 hari
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini
bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner
sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Program kerja kabinet Sukiman:
adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo dengan
Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan ekonomi dan
militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual
Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar
negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
masalah Irian Barat belum juga teratasi
hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952.
Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta
Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada
Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut
dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih
condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Wilopo
mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat
dan masyarakat kepada pemerintah;
melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi; serta
memperjuangkan pengembalian Irian Barat.
Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk
mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam
masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa
kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang
kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan
umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain
itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata
pihak Angkatan Darat.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan
karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari
parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956
pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan
hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20
hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap
dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana
Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri
yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin.