Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Di susun oleh:

Fannysa Nur Aulia


Febriyani Dwi S.
Mita Amelia
Pebriyanti
Reza Amelia
Tiara Yulia Safitri
Zahra Aulia Cika R.

SMAN 3 TEBO
PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
PERIODE 1949-1959
Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi salah satu bentuk perjuangan diplomatic
Indonesia. Diadakannya KMB merupakan tindak lanjut dari isi perjanjian Roem-Royen.
Adapun konferensi ini dihadiri oleh perwakilan dari Indonesia, belanda, dan BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overgal) yang merupakan gabungan negara bagian bentukan
Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta. Perwakilan BFO dipimpin oleh
Sultan Hamid II. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen. Konferensi
Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Den Haag, Belanda.

KMB yang berlangsung di Den Haag 1949, menghasilkan beberapa keputusan sebagai
berikut;
1. Belanda mengakui kedaulatan RIS
2. Dibentuk Uni Indonesia
3. RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan ijin baru terhdp perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia
4. RIS membayar hutang2 pmrintah Hindia Belanda
5. Masalah Irian Barat ditunda satu tahun sesudah KMB

Periode kedua pemerintahan negara Indonesia merdeka berlangsung dalam rentang


waktu antara tahun 1949 sampai 1959. Pada periode ini terjadi dua kali pergantian undang-
undang dasar. Pertama, pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS pada rentang waktu 27
Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950. Dalam rentang waktu ini, bentuk negara
Indonesia berubah dari kesatuan menjadi serikat, sistem pemerintahan juga berubah dari
presidensil menjadi quasi parlementer. Kedua, pergantian Konstitusi RIS dengan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 pada rentang waktu 17 Agutus 1950 sampai dengan 5 Juli
1959. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai
konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara,
menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi
baru. Pada periode pemerintahan ini bentuk negara Indonesia kembali berubah menjadi
negara kesatuan dan sistem pemerintahan menganut sistem parlementer. Pada periode
1949 sampai dengan 1959, negara Indonesia menganut demokrasi parlementer.
Masa demokrasi parlementer (Sistem Demokrasi Liberal) merupakan sebuah konsep
pemerintahan negara yang memberikan kewenangan atau otoritas kepada parlemen dalam
mengerjakan tugas negara. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden
hanya sebagai kepala negara.

UUD 1950 Sementara diterapkan yang secara eksplisit merepresentasikan sistem demokrasi
parlementer.Teknisnya, perdana menteri yang menggawangi kabinet harus melaporkan
tanggung jawabnya kepada parlemen yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Karena hal ini, ada beberapa kabinet yang melegitimasi pemerintahan di kurun waktu 9
tahun, yaitu:

1. Kabinet Natsir
Kabinet Natsir yang langsung dipimpin oleh Mohammad Natsir selaku perdana menteri.
Natsir adalah tokoh politik dari partai Masyumi - partai Islam terbesar pada saat itu. Natsir
menjabat mulai 6 September 1950 hingga 21 Maret 1951

2. Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet Sukiman-Suwirjo yang merupakan koalisi politik dari dua partai, yakni partai
Masyumi dan PNI. Di kabinet ini, Sukiman Wirjosandjojo bertindak sebagai kepala
pemerintahan dan Suwirjo sebagai wakil kepala pemerintahan. Kabinet ini mengudara mulai
27 April 2951 hingga 3 April 1952.

3. Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo yang memimpin dari 3 April 1952 hingga 31 April 1953. Kabinet ini sangat
cepat demisioner karena berbagai dinamika politik yang menghantuinya. Misalnya, muncul
gerakan separatisme di Indonesia dan dianggap bersalah dalam kejadian Tanjung Morawa di
Sumatera Utara.

4. Kabinet Ali Sastromidjojo I


Kabinet Ali I yang memerintah sejak 31 Juli 1953 hingga 24 Juli 1955. Salah satu program
kabineT yang cukup membekas adalah program persiapan pemilihan umum untuk dewan
konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

5. Kabinet Burhanuddin Harahap


Kabinet Burhanuddin Harahap yang menjalankan pemerintah sejak 12 Agustus 1955 hingga
24 Maret 1956. Ini merupakan kabinet hasil dari koalisi yang besar, karena terjalin dengan
hampir seluruh partai yang ada parlemen.

6. Kabinet Ali Sastromidjojo II


Untuk kedua kalinya Ali sastromidjojo menjadi perdana menteri mulai 24 Maret 1956
hingga 14 Maret 1957. Kabinet Ali II ini adalah hasil dari koalisi politik dari tiga partai, yaitu
PNI, Masyumi, dan juga NU.

7. Kabinet Djuanda
Ketujuh dan terakhir, ada kabinet Djuanda yang dipimpin oleh Djuanda Kartawidjaja yang
memiliki 28 menteri. Kabinet terakhir dalam era demokrasi parlementer ini mulai
memerintah sejak 9 April 1957 hingga 6 Juli 1959 sebelum diubahnya sistem pemerintahan
menjadi demokrasi terpimpin oleh Soekarno.

Semua elemen demokrasi parlementer ini dapat di temukan perwujudannya dalam


kehidupan politik di Indonesia:
1.Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam
proses politik yang berjalan
Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak
percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan
jabatannya meskipun pemerintahannya baru berjalan beberapa bulan, seperti yang terjadi
pada Ir. Djuanda Kartawidjaja yang diberhentikan dengan mosi tidak percaya dari parlemen.
2.Akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat
tinggi
Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai
alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet pada periode ini merupakan contoh
konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
3.Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk
berkembang secara maksimal
Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem multipartai. Hampir 40 partai politik
terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik
pengurus atau pimpinan partainya maupun para pendukungnya. Campur tangan
pemerintah dalam hal rekrutmen boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Setiap partai bebas
memilih ketua dan segenap anggota pengurusnya.
4.Dilaksanakannya pemilihan umum
Sekali pun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi pemilihan
umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetisi antarpartai
politik berjalan sangat intensif dan fair, serta setiap pemilih dapat menggunakan hak
pilihnya dengan bebas tanpa ada tekanan atau rasa takut.
5.Hak dasar masyarakat tidak dikurangi
Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi
sama sekali. Sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan
maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul dapat diwujudkan dengan jelas, dengan
terbentuknya sejumlah partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum. Kebebasan
pers juga dirasakan dengan baik. Demikian juga dengan kebebasan berpendapat.
Masyarakat mampu melakukannya tanpa ada rasa takut untuk menghadapi risiko, sekalipun
mengkritik pemerintah dengan keras. Sebagai contoh adalah yang dilakukan oleh Dr. Halim,
mantan Perdana Menteri, yang menyampaikan surat terbuka dan mengeluarkan semua isi
hatinya dengan kritikan yang sangat tajam terhadap sejumlah langkah yang dilakukan
Presiden Soekarno. Surat tersebut tertanggal 27 Mei 1955

Dikarenakan hubungan kita selama tiga atau empat tahun yang terbatas pada satu atau
dua pertemuan setahun…, saya terpanggil untuk menggunakan bentuk “surat terbuka” ini
guna meminta perhatian Saudara terhadap keadaan sekarang ini, yang saya yakini bukan
hanya luar biasa pelik, tapi telah hampir menjadi ledakan. Mungkin Saudara sudah
mengetahui hal-hal ingin saya sebutkan di sini atau yang sudah saya sampaikan kepada
saudara untuk diperhatikan. Walaupun demikian, saya rasa perlu hal-hal itu dinyatakan
kembali, karena saya tidak adanya langkah-langkah yang ditempuh untuk memperbaiki
keadaan ini. Sebaliknya, keadaankeadaan buruk yang berlangsung di negeri kita sekarang
setiap hari semakin buruk. Akhirnya, saya ingin menyatakan, bahwa saya gembira ketika
mendengar Saudara menyatakan bahwa pengembalian Irian Barat ke Indonesia merupakan
“obsesi” bagi Saudara. Tetapi saya akan lebih gembira lagi kalau saya mendengar Saudara
menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat juga menjadi obsesi Saudara. Saya berharap,
Saudara membaca surat ini dengan semangat kejujuran
6. Dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang
cukup. Bahkan otonomi yang seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan
untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat pemerintah
daerah.

Keenam indikator tersebut merupakan ukuran dalam pelaksanaan demokrasi pada masa
pemerintahan parlementer. Demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun
seiring dengan dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945. Presiden menganggap bahwa
demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh
semangat gotong royong sehingga beliau menganggap bahwa sistem demokrasi ini telah
gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

Ada beberapa hal yang membuat demokrasi parlementer mengalami kegagalan:


a.Munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi Presiden untuk membentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan politik yang
ada termasuk Partai Komunis Indonesia. Melalui konsepsi ini Presiden membentuk Dewan
Nasional yang melibatkan semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Konsepsi
Presiden dan Dewan Nasional ini mendapat tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai
politik terutama Masyumi dan Partai Syarikat Islam. Mereka menganggap bahwa
pembentukan Dewan Nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental terhadap
konstitusi negara karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konstitusi.
b.Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan
ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu
kelompok yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara dan kelompok lain yang
menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara. Ketika voting dilakukan, ternyata suara
mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai.
C.Dominannya politik aliran sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
Akibat politik aliran tersebut, setiap konflik yang terjadi cenderung meluas melewati batas
wilayah yang pada akhirnya membawa dampak yang sangat negatif terhadap stabilitas
politik.
d.Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah. Struktur sosial yang dengan tegas
membedakan kedudukan masyarakat secara langsung tidak mendukung keberlangsungan
demokrasi. Akibatnya, semua komponen masyarakat sulit dipersatukan, sehingga hal
tersebut mengganggu stabilitas pemerintahan yang berdampak pada begitu mudahnya
pemerintahan yang sedang berjalan dijatuhkan atau diganti sebelum masa jabatannya
selesai.

Demokrasi Parlementer disebut sebagai masa kejayaan demokrasi di Indonesia karena


berhasil mewujudkan semua elemen-elemen yang terkandung pada sistem pemerintahan
demokrasi. Demokrasi Parlementer dibubarkan setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno karena Dewan Konstituante yang gagal
merumuskan Undang-Undang Baru untuk menggantikan UUDS 1950 dan digantikan
oleh Demokrasi Terpimpin.

Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi Parlementer


Secara akademis sistem demokrasi parlementer dinilai memiliki beberapa kelebihan yang
strategis, seperti:
● Akselerasi dalam membuat kebijakan, karena adanya konsensus dan ketergantungan
antara badan eksekutif dan legislatif
● Tidak tumpang tindih terkait konteks tanggung jawab, implementasi, dan membuat
kebijakan
● Kontrol yang ideal dari badan legislatif kepada badan eksekutif

Di lain sisi, demokrasi parlementer juga dinilai memiliki beberapa kekurangan, yaitu:
● Dinamis dan tidak jelasnya waktu dilaksanakannya pemilihan umum
● Terlalu tergantungnya badan eksekutif kepada badan legislatif, sehingga berpotensi
pemerintah dijatuhkan sewaktu-waktu
● Di sisi lain, badan eksekutif juga dapat mengontrol badan legislatif sewaktu-waktu ketika
jumlah partai koalisi lebih banyak di parlemen.

Anda mungkin juga menyukai