Anda di halaman 1dari 5

Demokrasi Liberal

Pengertian Demokrasi Liberal


Demokrasi Liberal adalah sistem pemerintahan yang menempatkan Presiden sebagai
kepala negara, dan perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan kabinet.
Posisi parlemen legislative sangat kuat untuk mempengaruhi kabinet, bahkan bisa
menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Pemerintah kemudian perlu membentuk
kabinet baru secepatnya. Demokrasi Liberal sebenarnya sama dengan Sistem Parlementer
pada umumnya, namun penyebutan ini dipergunakan untuk menandai perbedaannya
dengan masa Demokrasi Terpimpin yang terjadi setelahnya.
Sistem ini hanya dapat berlangsung baik apabila parlemen memiliki komposisi yang
seimbang dan tetap antara pendukung pemerintah dan oposisi. Komposisi pendukung dan
oposisi pemerintah yang seringkali berubah akan membuat kabinet dapat dijatuhkan
sewaktu-waktu.

Ciri-Ciri Masa Demokrasi Liberal


1. Parlemen memegang posisi yang kuat terhadap kabinet
2. Presiden dan Wakil Presiden bertugas sebagai kepala negara saja.
3. Penentuan kebijakan didasarkan atas keputusan mayoritas.
4. Sering terjadi mosi tidak percaya pada kabinet
5. Terjadi banyak gerakan ketidakpuasan karena lemah dan tidak stabilnya
pemerintahan.
6. Pemilu terlaksana sebagai proses demokrasi.
7. Konstitusi menjadi landasan penting bagi negara, dilihat dari pembentukan
konstituante.
Sejarah Singkat Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal
Kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tanggal 6-15
Desember 1949 salah satunya adalah membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
dengan panduan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. RIS terdiri atas 16
negara bagian, dengan luas wilayah dan penduduk yang berbeda-beda. Sidang Parlemen
dan Senat RIS pada 16 Desember 1949 menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS,
yang kemudian menunjuk Mohammad Hatta sebagai perdana Menteri. 17 Agustus 1950
RIS kembali menjadi Republik Indonesia (negara kesatuan). Tampuk kepemimpinan
selanjutnya dipegang oleh M. Natsir sebagai perdana Menteri sejak September 1950.
Demokrasi Liberal berjalan terpincang-pincang dengan adanya tujuh kabinet dalam
sembilan tahun, gerakan separatisme di banyak tempat, dan kekacauan ekonomi nasional.
Ketidakstabilan berkepanjangan ini nantinya dihentikan oleh presiden dan diganti dengan
pemerintahan otoritarian.

Kabinet-Kabinet yang Pernah Memerintah


1. Kabinet Natsir
Kabinet Natsir memerintah dari tanggal 6 September 1950 sampai dengan 20 Maret 1951,
hanya selama enam bulan. Inti dari kabinet ini adalah Masyumi, dan berbentuk kabinet
koalisi. Kabinet Natsir berfokus pada penggiatan usaha menuju keamanan negara dan
konsolidasi politik. Tugas selanjutnya adalah melakukan penyempurnaan Angkatan Perang
dan meninjau kembali penyerahan Irian Barat. Namun ternyata perundingan dengan
Belanda pada 4 Desember 1950 tidak menghasilkan apa-apa. Hubungan kabinet dan
parlemen memanas berujung pada Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden pada
21 Maret 1951.

2. Kabinet Sukiman
Kabinet Sukiman berjalan dari April 1951-April 1952, kabinet ini dipimpin oleh dr. Sukiman
Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI), koalisi dalam kabinet diharapkan bisa
memunculkan kestabilan politik. Ditambah lagi satu tugas yaitu mempercepat persiapan
pemilihan umum pertama Indonesia. Penyebab utama kejatuhan Kabinet Sukiman adalah
penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menlu RI Ahmad Subardjo
dan Dubes AS Merle Cochran. Sehingga oleh parlemen dianggap mencoreng politik luar
negeri bebas-aktif. Sukiman meletakkan mandatnya pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo memerintah pada April 1952-Juli 1953. Wilopo yang berasal dari PNI
Menyusun kabinet yang berisi dari banyak partai, dengan harapan dapat memunculkan
stabilitas politik. Kabinet ini dihadapkan dengan permasalahan ekonomi yang memburuk
karena tidak seimbangnya ekspor-impor serta defisit anggaran negara. Kejatuhan kabinet
ini diakibatkan oleh beberapa peristiwa, seperti Peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa
Tanjung Morawa. Wilopo yang diguncang oleh mosi tidak percaya dari Sarekat Tani
Indonesia dan PNI Sumatera Utara, terpaksa meletakkan jabatannya.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I


Kabinet Ali I berjalan dari Juli 1953-Agustus 1955. Ali Sastroamidjojo sendiri berasal dari
golongan NU. Kabinet ini bertugas untuk melakukan persiapan akhir dari pemilu yang akan
dilaksanakan pada pertengahan tahun 1955. Kabinet Ali I berhasil melaksanakan
Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Kabinet ini
diguncang oleh konflik internal, antara lain penarikan menteri-menteri dari golongan NU dan
konflik antara Menhan Iwa Kusumasumantri dengan pimpinan TNI AD.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap


Burhanuddin Harahap diminta oleh Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.
Kabinet ini berjalan dari Agustus 1955-Maret 1956. Tugas utama dari kabinet ini adalah
memastikan Pemilu 1955 berjalan dengan baik. Terdapat 100 partai mengajukan diri untuk
DPR, dan 82 partai untuk konstituante, ditambah lagi 86 organisasi dan perseorangan yang
ikut serta dalam pemilu. Tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai dengan
terlaksananya pemilu yang akan membentuk kabinet baru.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II


Ali Sastroamidjojo kembali ditunjuk presiden untuk membentuk kabinet. Kabinet ini
beranggotakan wakil-wakil dari PNI, Masyumi, dan NU. Namun tokoh-tokoh ketiga partai
menolak memasukkan PKI. Kabinet ini bertugas untuk membentuk Rencana Lima Tahun,
mempercepat otonomi daerah dan penunjukkan DPRD, serta sekali lagi mengusahakan
percepatan penyerahan Irian Barat. Pada masa ini presiden menandatangani UU
Pembatalan KMB pada 3 Mei 1956. Kebijakan ini memunculkan kebingungan peralihan
modal Belanda, yang berujung pada penjualan kepada kelompok Cina karena parlemen
menolak nasionalisasi aset.

7. Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda adalah kabinet terakhir pada masa demokrasi liberal, berjalan dari Maret
1957 sampai dengan Juli 1959. Kabinet ini memiliki tugas yang serupa, yaitu perjuangan
Irian Barat, melanjutkan pembatalan KMB, dan perbaikan keadaan negara. Kabinet ini
dibentuk bersamaan dengan memuncaknya pergolakan di berbagai daerah. Kabinet ini
bubar karena Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai
selesainya masa demokrasi liberal.

Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal


Sumitro berpendapat bahwa kunci menumbuhkan ekonomi nasional adalah memunculkan
kelas pengusaha. Gerakan Benteng (1950-1953) dijalankan untuk memberikan kredit
ringan pada 700 perusahaan Indonesia, namun tidak efektif karena sering disalahgunakan.
Permasalahan utama ekonomi masa ini adalah defisit anggaran negara akibat penerimaan
yang kecil. Ekspor sempat meledak pada masa Perang Korea pada tahun 1950, namun
kembali menurun pada 1951. Jumlah uang yang beredar tidak terkontrol, dan biaya hidup
yang terus meningkat juga masalah utama di masyarakat. Presentase defisit terus
meningkat, pada 1950 mencapai 20%, sedangkan pada 1960 mencapai 100%. Ekonomi
pada masa ini sangat carut-marut dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1965.

Kebijakan Politik pada Masa Demokrasi Liberal


1. Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Asia Afrika merupakan lanjutan dari Konferensi Colombo pada April 1954.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai lanjutan pertemuan antara pimpinan negara Asia-Afrika
untuk mengupayakan kedamaian. Konferensi ini memunculkan relasi dan kekuatan baru
antar negara baru, serta membuat Indonesia memperoleh dukungan dalam merebut Irian
Barat, serta persetujuan dwikewarganegaraan dengan RRC.
Konferensi Asia-Afrika Bandung
Sumber gambar: indonesia.go.id

2. Pemilu 1955
Pemilu ini adalah pertama kalinya dilaksanakan sejak Indonesia merdeka 1955. Kegiatan
ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperoleh legitimasi sebagai penyelenggara negara
demokrasi. Pemilu Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember, dan Pemilu DPR pada
22 Desember. Hasilnya adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI sebagai pemenang pemilu dan
menghasilkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II.

Pemilu 1955
Sumber gambar: pemilu.org

3. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif


Indonesia menerapkan politik luar negeri bebas-aktif di tengah ketegangan dunia antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sikap ini ditunjukkan dalam keikutsertaan Indonesia dalam
Gerakan Non-Blok serta memprakarsai Konferensi Asia-Afrika sebagai bentuk
penghimpunan kekuatan yang tidak memihak serta dapat berhubungan dengan semua
negara yang menjunjung tinggi kedamaian dunia.

Akhir Demokrasi Liberal


Masa demokrasi liberal diakhiri oleh keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketika kondisi
tidak membaik selama sembilan tahun dan kegagalan konstituante untuk merancang
pengganti UUDS 1950. Presiden mengambil alih tampuk kekuasaan dengan membubarkan
konstituante, mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, serta membentuk MPR dan DPA.
Presiden Soekarno dengan dukungan utama dari TNI dan kemudian PKI berupaya untuk
menuntaskan revolusi nasional dan mewujudkan stabilitas negara dengan kekuasaan
penuh di tangannya.

Artikel: Demokrasi Liberal


Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI

Anda mungkin juga menyukai