Anda di halaman 1dari 14

N0-1

Setelah mendapatkan pengakuan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, para rakyat menuntut
agar pada Mei 1950 dilakukan perundingan bergabung dengan Indonesia untuk menyatukan
negara Indonesia. Hasil perundingan tersebut pun dituangkan ke dalam piagam persetujuan
pada 19 Mei 1950. Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat Sepakat untuk membentuk
Negara kesatuan Republik Indonesia.

Untuk membentuk rancangan UUD yang baru di bentuklah suatu panitia bersama RI-RIS yang
bertugas melaksanakan piagam persetujuan 19 Mei 1950.Pada 15 Agustus 1950, di selenggarakan
rapat gabungan Parlemen RI-RIS di Jakarta. Presiden RIS, Ir. Soekarno membacakan naskah
piagam terbentuknya NKRI yang disetujui oleh peserta sidang.

17 Agustus 1950, melalui suatu upacara yang disaksikan oleh Para Pembesar RI dan RIS, Presiden
Soekarno memproklamasikan berdirinya NKRI dengan berdasar kepada UUDS 1950. Sejak itu
berakhirlah pemerintahan RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi
menggunakan UUDS 1950 yang berarti Indonesia memasuki masa demokrasi liberal (1950-1959).
UUDS 1950 ini menganut demokrasi liberal dan sistem Kabinet Parlemen yang artinya menteri-
menteri bertanggung jawab kepada parlemen bukan kepada presiden. Hal ini pernyimpangan
terhadap UUD 1945.

Penyimpangan ini berakibat sering jatuh bangunnya kabinet. Dalan waktu sembilan tahun
terjadu tujuh kaku pergantian kabinet akibat serung dijatuhkan parlemen. Pada masa ini terjadi
banyak ketidakstabilan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan negara.

No-2
Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.
Namun pada masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan ideologi, politik, ekonomi dan sosial
budaya. Pada masa itu terjadi berbagai gangguan keamanan akibat pemberontakan DI/TII,
APRA, dll.

Dalam kurun waktu sembilan tahun terjadi tujuh kali pergantian kabinet, yaitu:

a. Kabinet Natsir (7 September 1950 - 21 Maret 1951)

b. Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)

c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)

d. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juni 1953 - 12 Agustus 1955)

e. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)

f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957)

g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)

Buruknya ekonomi di perparah harga barang ekspor Indonesia maka dari itu pemerintah
menurunkan pajak ekspor serta menghapus sistem sertifikat dari kabinet sebelumnya.

No-3

Salah satu program pemerintah pada masa demokrasi liberal adalah di selenggarakan pemilu
untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Namun, karena sering mengalami kesulitan
karena sering berganti-gantinya kabinet. Baru pads masa Kabinet Burhanudin Harahap, Pemilu
pertama dapat di laksanakan.
Pada 29 September 1955 di selenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR. Dilaksanakan 15
Desember 1955 untuk memilihan anggota Konstituante. Hasil anggota DPR dilantik pada 20
Maret 1956, dan anggota Konstituante pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya, baik
DPR maupun Konstituante hasil pemilihan umum pertama ini tidak dapat menjalankan
tugasnya sebab banyaknya fraksi dalam DPR dan Konstituante justry lebih mengutamakan
kepentingan pribadi daripada bangsa dan negara. Persaingan partai politik yang tajam di antara
para anggotanya menyebabkan DPR dan Konstituante tidak menghasilkan keputusan penting
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

No-4

UUDS 1950 disebutkan bersifat sementara sebelum UUD baru dapat dibentuk oleh konstituante.
Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 135 UUDS 1950, bahwa konstituante bersama-sama
pemerintah secepatnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-Undang Dasar sementara. Pasal 135 UUDS 1950 menegaskan bahwa
anggota konstituante yang akan membentukan UUD baru harus dipilih melalui pemilu. Tetapi
ketentuan tersebut tidak dihiraukan oleh anggota Konstituante yang terpilih. Pada 10 November
1955, anggota konstituante terpilih mengadakan sidang pertamanya di Bandung, yang dibuka
resmi oleh Presiden Soekarno. Namun, forum sidang konstituante ternyata menjadi arena
perdebatan yang tidak menghasilkan suatu keputusan yang penting.

Kegagalan Konstituante membentuk UUD baru menyebabkan konflik politik semakin buruk.
Pertikaian politik pengaruhnya meluas ke berbagai aspek kehidupan lainnya. Perekonomian
menjadi semakin kacau hingga kehidupan masyarakat semakin tidak menentu. Presiden
Soekarno mengajukan konsepsi agar lembali ke UUD 1945 dan konsepsi itu disampaikan di
depan sidang DPR hasil pemilu 1955. Perdana Menteri Djuanda menyatakan untuk kembali ke
UUD 1945, harus dilakukan secara konstitusional berdasarkan pasal 134 UUDS 1950. Gagasan
Presiden Soekarno ditanggapi pro dan kontra oleh anggota konstituante, bahkan menjadi bahan
perdebatan untuk menghasilkan suatu keputusan.

No-5

Pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi yaitu

- Program Ekonomi gerakan Benteng: Program tersebut merupakan gagasan dari Dr. Sumitro
Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan pada pemerintahan Kabinet Natsir. Program ini suatu
upaya perbaikan/perubahan struktur ekonomi peninggalan Belanda ke arah ekonomi nasional
melalui gerakan Konfrontasi ekonomi. Inti nya adalah untuk melindungi para penguasa pribumi
dari persaingan penguasa nonpribumi

- Rencana Sumitro: PERIODE YANG SAMA, pemerintah kabinet natsir mengeluarkan kebijakan
untuk memperbaiki keadaan ekonomi, terutama di industri. Sasarannya ditekankan pada pabrik
semen, pabrik pemintalan, pabrik karung, peningkatan produksi pangan, perbaikan sarana dan
prasarana pertanian, dan masalah penanaman modal asing.

- Nasionalisme de Javasche Bank: de javasche bank menjadi Bank Indonesia dilakukan pada
Kabinet Sukiman. Hal itu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu Indonesia menanggung beban
ekonomi dan keuangan ketentuan hasil KMB, sumber devisa yang menggunakan ekspor hasil
perkebunan tidak mencukupi kebutuhan anggaran belanja negara, perusahaan dan bank swasta
pada umumnya juga masih dikuasai asing, dan kondisi politik yang belum stabil
- Program Ali-Baba: Program yang dikenalkan pada pemerintah Kabinet Ali I oleh Mr. Iskak yaitu
bentuk kerja sama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan
Pengusaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba (Ali Baba). Program ini lebih menekankan
pada kebijakan indonesianisasi yang mendorong tumbuh dan berkembang pengusaha swasta
nasional pribumi

- Deklarasi Ekonomi (Dekon): Krisis parah ekonomi yang mendorong Presiden Soekarno pada 28
Maret 1963 mengeluarkan Dekon. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
untuk menciptakan ekonomi yang bersifat rasional, demokratis, dan antiimperialis. Untuk
melaksanakan kebijakan itu, pada 26 Mei 1963c dikeluarkan peraturan pemerintah yang
berjumlah 14 buah yang dikenal sebagai peraturan 26 Mei 1963. Kebijakan tersebut tidak dapat
mengatasi kesulitan ekonomi, tetapi menambah beban rakyat karena harga barang kebutuhan
yang tidak terjangkau.

No-6

Tanggal 13 Desember 1957, deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda oleh Perdana
Menteri Indonesia yang menjabat saat itu, yaitu Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda ialah
pernyataan pada dunia bahwa laut Indonesia termasuk laut sekitar, serta di dalam kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.

Penyelenggaraan Deklarasi Djuanda didasari karena wilayah NKRI yang mengacu pada
ordonansi Hindia Belanda tahun 1939 yaitu Tetitoriale Zeeen en Maritieme Krinen Ordonantie,
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mengatur tentang pulau-
pulau yang berada di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut dan setiap pulau mempunyai laut
di sekeliling sejauh tiga mil (4.8 km) dari garis pantai.
Deklarasi Djuanda menjadi tonggak atas pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda memberikan keuntungan bagi pembangunan nasional, bertambahnya luas
perairan nasional secara yuridis berikut kekayaan alam yang terkandung di laut dan dasarnya,
serta peluang untuk memanfaatkan laut sebagai medium transportasi.

No-7

Badan Konstituante yang diserahi tugas membentuk UUD baru, belum melaksanakan tugas
Konstitusionalnya. Situasi politik dan jalannya pemerintahan semakin tidak menentu. Aksi-aksi
teror dan pemberontakan yang terjadi di daerah semakin merajalela dan dapat menimbulkan
disintegrasi nasional.

Sementara itu, anjuran Presiden Soekarno agar kembali Ke UUD 1945 tidak mendapat
persetujuan Konstituante. Presiden Soekarno menganggap keadaan negara sudah parah dan
harus diselamatkan. Hal itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaannya dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang berisi:

a.tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlaku kembali UUD 1945

b.pembubaran Badan Konstituante

c. membentuk MPRS dan DPAS.

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945, UUDS 1950
dinyatakan tidak berlaku. Kabinet parlementer di bawah Perdana Menteri Djuanda dinyatakan
demisioner dan digantikan oleh kabinet yang baru (kabinet presidensial). Presiden Soekarno
menerapkan sistem demokrasi terpimpin, yaitu sistem demokrasi yang dipimpin langsung oleh
presiden.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat sambutan dari masyarakat. KSAD mengeluarkan perintah
harian kepada anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden. DPR hasil
pemilu dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk
bekerja berdasarkan UUD 1945.

N0-8

Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan Berlakunya UUD 1945. Kabinet Djuanda
dibubarkan pada 10 Juli 1959. Lalu dibentuklah Kabinet presidensial dengan Presiden Soekarno
menjadi perdana menteri dan Ir. H. Djuanda menjadi menteri pertama/ Kabinet itu disebut
dengan Kabinet kerja. Program kabinet ini disebut Triprogram, yaitu terdiri atas sandang-
pangan,keamanan, dan pengembalian wilayah Irian Barat.

9.

Pada HUT proklamasi kemerdekaan RI ke-14, Presiden Soekarno berpidato di hadapan


penduduk Jakarta.

Pidato itu kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol).

Dewan pertimbangan Agung sementara (DPAS) dalam sidang 23-25 September 1959
mengusulkan agar Manipol menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Intisari dari Manipol adalah UUD 1845, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK). Usul DPAS diterima dengan baik oleh
Pemerintah dan MPRS.

Dengan Penetapan Presiden no 1 tahun 1960 dan TAP MPRS No 1 tahun 1960, Manipol USDEK
menjadi GBHN

10
Dalam melaksanakan GBHN (USDEK), Presiden Soekarno membentuk Front Nasional dengan
Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 1959

Tujuan pokok dari Front Nasional:

a. Menyelesaikan Revolusi nasional

b. melaksanakan pembangunan semesta nasional

c. mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah republik Indonesia

Dalam Praktiknya, Front Nasional dimanfaatkan oleh PKI dan Simpatisannya untuk mencapai
tujuan politik mereka.

No-11

DPR hasil pemilu 1955 yang diketuai oleh Mr.Sartono bersedia melanjutkan tugas tugasnya
sebagai lembaga perwakilan rakyat bersama pemerintah. Pada 23 Juni 1959 DPR hasil Pemilu
berhasil dilantik Presiden. Ketika pemerintah mengajukan anggaran belanja negara untuk 1961,
terjadi selisih pendapat. Akibatnya Presiden membubarkan DPR dengan penetapan presiden
nomor 3 Tahun 1960.

12

Realisasi dari Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno kembali membentuk Majelis


Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959.
MPRS pertama kali mengadakan sidang di Bandung pada 10 November-7 Desember 1960 yang
menghasilkan 3 keputusan:
a. Ketetapan (TAP) MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

b. Ketetapan (TAP) MPRS No.2/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan


Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969.

c. Mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Mandataris MPRS.

N13

a. Perjuangan Diplomasi

Usaha pembebasan Irian Barat secara diplomasi telah berlangsung sejak pelaksanakan
Demokrasi Liberal, tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Belanda tetap mengulur waktu dan
mengingkari isi persetujuan KMB, salah satu keputusannya menyebut bahwa Irian Barat akan
diserahkan satu tahun setelah persetujuan KMB ditandatangani.

Sejak 1960 usaha diplomasi untuk membebaskan Irian Barat semakin ditingkatkan, bahkan
dijadikan program pemerintah. Perjuangan Indonesia untuk memasukan masalah Irian Barat ke
agenda sidang Dewan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu digagalkan oleh Belanda. Dalam
forum PBB, Belanda menyatakan bahwa Irian Barat merupakan masalah dekolonialisasi, yaitu
sebagai koloni Belanda yang akan dimerdekakan. Usaha dekolonialisasi Irian Barat akan
dilakukan tahun 1961 sebagai negara Papua.

Sikap itulah yang membuat pemerintah Indonesia semakin giat merebut Irian Barat.
Dalam usaha mebebaskan Irian Barat secara diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda sebagai reaksi terhadap
sikap pemerintah Belanda yang mempersulit pengembalian Irian Barat. Hal ini diumumkan
langsung oleh Soekarno dalam pidato HUT Kemerdekaan Indonesia tahun 1960.

b. Tri Komando Rakyat (Trikora)

Dalam pidato di depan rapat raksasa di Yogyakarta pada 19 Desember 1961, dalam rangka
pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno mengeluarkan komando yang dikenal sebagai Tri
Komando Rakyat (Trikora). Isinya:

1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.

2) Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia.

3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.

Langkah pertama pelaksanaan Trikora: membentuk komando operasi militer, diberi nama
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 2 Januari 1962. Panglimanya adalah Jendral
Soeharto, Wakil I Panglima, Kolonel Laut Soedomo, Wakil II Panglima, Kolonel Udara Leo
Watimena, dan Kepala Staf Gabungan, Kolonel Ahmad Taher.
Tugas Komando Mandala:

1) Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan


pengembalian wilayah Provinsi Irian Barat ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia).

2) Mengembangkan situasi militer di wilayah Provinsi Irian Barat:

a) sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi;

b) supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara
de-facto diciptakan daerah-daerah bebas atau didudukkan unsur kekuasaan/pemerintah
Republik Indonesia.

Rencana operasi militer pembebasan Irian Barat diatur dalam 3 fase:

1) Fase infiltrasi sampai akhir 1962, yaitu memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaran tertentu untuk
menciptakan daerah de-facto. Kesatuan-kesatuan ini harus dapat mengembangkan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Barat dalam perjuangan fisik untuk membebaskan wilayah
tersebut.

2) Fase eksploitasi mulai awal 1963, yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer
lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.

3) Fase kolonialisasi pada awal 1964, yaitu menegakkan kekuasaan Republik Indonesia secara
mutlak di seluruh Irian Barat.

Bulan Maret-Agustus 1962, Komando Mandala melakukan operasi pendaratan melalui laut dan
penerjunan dari udara. Operasi-operasi militer (infiltrasi) berhasil mendaratkan pasukan TNI
dan sukarelawan di Irian Barat, antara lain Operasi Benteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi
Naga di Merauke, Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. Operasi penentuan merebut
Irian Barat dinamai Operasi Jayawijaya. Untuk operasi tersebut, di bawah pimpinan Kolonel
Soedomo, Angkatan Laut Mandala membentuk Angkatan Tugas Ampibi 17, Angkatan Udara
membentuk 6 kesatuan tempur baru.

Konfrontasi militer untuk merebut Irian Barat mulai dijalankan. 15 Januari 1962, 3 kapal
Angkatan Laut RI, KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Macan Harimau melawam
kapal perusak serta freagat Belanda, dibantu pesawat udara. Dalam pertempuran tersebut,
Deputi KSAL Komodor Yos Sudarso gugur di Laut Aru. Kapal yang membawa Yos Sudarso
tenggelam.

c. Persetujuan New York tentang Penyerahan Irian Barat

15 Agustus 1962, di Markas PBB di New York, Amerika Serikat dilakukan penandatanganan
persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang masalah Irian Barat.

Isi persetujuan New York:

1) Mulai tanggal 1 Oktober 1962 kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir.

2) Mulai tanggal 1 Oktober 1962-1 Mei 1963, Irian Barat berada di bawah penguasa/pemerintahan
sementara PBB/UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Sebagai bagian dari persetujuan New York, Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan
Penentuan Pendapatan Rakyat (ascertainment of the wishes of the people) di Irian Barat sebelum
akhir 1969 dengan ketentuan bahwa Indonesia dan Belanda akan menerima keputusan hasil
Penentuan Pendapatan Rakyat (Pepera) Irian Barat.

d. Penentuan Pendapatan Rakyat (Pepera)

Gagasan Perpera Irian Barat dan dibentuknya pemerintah sementara PBB di Irian Barat berasal
dari usul diplomat Amerika Serikat bernama Ellsworth Bunker, dikenal sebagai Proposal Bunker.
Usul Bunker disetujui oleh sidang PBB, kemudian menghasilkan Persetujuan New York pada 15
Agustus 1962.

Sejak itu, Irian Barat berada dalam kekuasaan pemerintah sementara PBB sambil menunggu
hasil perpera pada 1969. Selama pemerintahan UNTEA rayat Irian Barat ingin segera bergabung
dengan Indonesia. Sesuai isi Persetujuan New York yang memberikan izin kepada pemerintah RI
untuk mengadakan perpera di Irian Barat, apakah bergabung dengan RI atau berdiri sendiri di
bawah Uni-Irian Belanda. 14 Juli 1969-4 Agustus 1969, diselenggarakan perpera. Setelah dihitung
hasilnya, rakyat Irian Barat ingin bergabung dengan RI.

Ortiz Sanz, pejabat UNTEA segera melaporkan hasilnya ke sidang umum PBB. PBB menerima
dan menyetujui. Lalu dilakukanlah persiapan oleh pejabat pemerintah sementara PBB di Irian
Barat untuk menyerahkan kekuasaan Irian Barat kepada pemerintah RI.

Anda mungkin juga menyukai