SEJARAH INDONESIA
Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum
dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama adalah pembentukan Dewan
Nasional pada 6 Mei 1957. Sejak itu Presiden Soekarno mencoba mengganti system Demokrasi
Parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan Demokrasi Terpimpin.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah mengeluarkan suatu
keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam
rangka kembali ke UUD 1945.
Tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya untuk
selamanya. Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan
menghadiri siding lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante.
2. Peta Kekuatan Politik Nasional
Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden
Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan Negara dengan TNI AD dan PKI
di sampingnya. TNI, yang sejak Kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian
pemberontakkan PRRI dan permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting
dalam bidang politik.
Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada
tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi
kekuatan baru pada Pemilihan Umum 1955.
PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif didepan Presiden Soekarno. PKI
merupakan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha
memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno
yang menguntungkannya.
PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-baiknya,
karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik
Indonesia.
PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat.
Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI,Aidit, Siapa setuju Nasakom harus setuju
Pancasila.
3. Pembebasan Irian Barat
Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah cabinet RI adalah
masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17
Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian
Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromipasal di Piagam
Penyerahan Kedaulatan.
Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui
konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun upaya
penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintahan kita
mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB.
Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis
Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya menegmbalikan Irian Barat ke
pangkuan RI. Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali.
Pidato Presiden itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat
di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan
kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Setelah Upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan
ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi
militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian
Barat,pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri.
4. Konfrontasi Terhadap Malaysia
Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapatkan tempat
dalam kalangan pimpinan Negara. Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku
Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura
untuk menyatukan kedua Negara tersebut menjadi Federasi Malaysia.
Pemerintah Indonesia pada saat itu menentangan karena menurut Presiden Soekarno
pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk
mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara.
Mengenai pembentukan Federasi Malaysia,ketiga kepala pemerintahan setuju untuk
meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat
diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi
Malaysia.
Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku
Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu
merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman.
Konflik di Asia Tenggara ini menarik perhatian beberapa Negara dan menghendaki
penyelesaian pertikaian secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand
berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini.
B. Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin
Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha
diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya anatara lain
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas
yang nilai nominalnya Rp 500 dan Rp 1.000,00 masing masing nilainya diturunkan menjadi
10% saja.
Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin
oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Depernas kemudian menyusun
program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan
Semesta Berencana dengan mempertimbangannya faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan
pembangunan. Dapernas pada tahun 1963 diganti dengan Bahan Perancangan Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri.
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00
pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan
perbaikan keuangan dan perekonomian Negara.
Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk panitia
13. Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para
pemimpin partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR),
pimpinan DPR, DPA.
Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi
tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon,
padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang
PKI.
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja Negara setiap tahunnya
terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan Negara yang memadai.
Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha
mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah
satu atau dua bulan.
Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan
barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah menggeluarkan
kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp.1.000,00 (uang lama) diganti dengan Rp
1,00 (uang baru)