Anda di halaman 1dari 8

PANGERAN DIPONEGORO

Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan
seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama
Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III.[1]
Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian
diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama Islamnya adalah Ngabdul Kamid.[3]
Setelah ayahnya naik tahta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan
nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia
sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat dirinya
merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut.[4]

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang
hukum Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang
masalah pemerintahan keraton dain membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih
tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti
Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di
keraton.[4]

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk
menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822)
yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari
dikendalikan oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui
cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[4]

Perang Diponegoro (1825-1830)

Artikel utama: Perang Jawa

Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang
memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut
ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan
eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro
semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]

Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab
perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan
keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang
Pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan
membebaskan Istana dari madat.[11]

Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka
kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH
Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[10]

Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan
beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal,
Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri,
Brojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[12]

Strategi perang sang Pangeran

Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-
beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api
dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya
menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering
kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya
baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.[18]

Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Sang
Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid Herucakra
Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat negara berada di
Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan
penanganannya kepada Kerta Pengalasan.[18]

Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan


Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran
mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan Prawirakusumah,
keduanya masih berusia 16 tahun.[18] Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan
Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, namun sudah dikosongkan. Ketika
pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro
menyergap dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.[18]

Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan
mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng
Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat
Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan
keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata,
namun Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata
pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.[18]

Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah
memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan
Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya,
Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti
Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai "senjata" dan
tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-
besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut sering kali membuat
gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan
melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya
datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak”
bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi
dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-
desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para
pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Taktik Hindia Belanda

Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai
jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon
selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai
desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu
silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula
sebaliknya.

Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja
keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan
menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.

Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu[10],
suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan
sebagian Jawa timur, namun dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku,
melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui
insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat
langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa
siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah
sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[18]

Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi
panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya
Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-
benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah
kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan
mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan
pasukan gerak cepat.[18]

Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot
Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya
istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[18]

Negosiasi dan pengkhianatan

Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock,
yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar
Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo),
di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung
dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen
Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan
sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[3]

Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran
Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan
ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock
menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran
Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[3]

Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah
seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para
pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya,
kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra
tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan
bergabung di Magelang.[3]

Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan
Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock
bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di
taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran.
Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung
Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan
Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama
wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala
agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua
komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan
perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.[3]

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock
bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck,
Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa,
Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua
punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta
agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan
mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya
bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan
Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.[22]

Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya
harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara
menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock
langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan
terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga.
Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk
karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa.
Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah
Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang
disandangnya.[22]

Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan.
Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak
takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak
mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya
tidak akan membunuh sang Pangeran, namun juga tidak akan memenuhi keinginan sang
Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock,
namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan
menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun
berhasil ditangkap.[22]

Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan
Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1930 dengan menggunakan kapal
Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis
(Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan
ke Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para
pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di
Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[10]
Keberlanjutan perang

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki
Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned, yang terus-
menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran
Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu
juga Ki Sodewa.

Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000
tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[5]
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk
Ngayogyakarta menyusut separuhnya.

Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro


dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton,
sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro,
dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak
cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka,
tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir hayat Diponegoro

Lihat pula: Makam Pangeran Diponegoro

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi
Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan
terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur
Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali
mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika
Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa
untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari
sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro
diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40
tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon
yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu
berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga
wafat.[26]

Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di
Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, namun
Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62
pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan
Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai
Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830
hingga Juni 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara
diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro
menolak upaya Hindia Belanda untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin
menghabiskan akhir hayatnya di Makassar.[26]

Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya bernama Raden
Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena sakit dan dimakamkan di sebidang tanah
kecil milik Hindia Belanda, di Kampung Melayu. Setelah kematian putranya tersebut,
Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika dia wafat. Dia pun menulis surat
kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar makam putranya diberikan pagar tembok
rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di samping pusara putranya, dan membuat rumah
berikut masjid kecil untuk istri dan pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan
keluar dari Benteng.[26]

Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian,
anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan
yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan
perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam
pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun mereka mendapatkan
tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[26]

Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Setelah sang istri
meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya dipindahkan ke pemakaman
umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.[26]

Penghargaan sebagai Pahlawan

Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah
kemerdekaan.

Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, kota-
kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangdd eran Diponegoro, seperti di
Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, Stadion Diponegoro, Universitas
Diponegoro (Undip), dan Kodam IV/Diponegoro. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat
sebagai penghargaan, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di
Kodam IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah
kemerdekaan.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah menyelenggarakan Haul


Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955,
sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal
6 November 1973 melalui Keppres No 87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan
Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro
merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di
Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[37][38]

Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan,
didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan
"Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran
Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai