Anda di halaman 1dari 6

PERANG DIPONEGORO

A. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar
dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral
De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta
bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah,
disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh
Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka
disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

B. Jalannya perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di
seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah
dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun
dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang
mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung
terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras
mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan
menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan;
para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak
terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha
untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh
yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan
mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang
gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan
(Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung
dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan
diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk
Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta
Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi
masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
C. Penyebab terjadinya perang diponegoro
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Perang Diponegoro. Sebab-sebab
tersebut antara lain
a.       Sebab Umum
Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin merosot karena daerah
kekuasaannya semakin berkurang. Kaum bangsawan merasa dikurangi haknya, tanah-tanah
yang mereka sewakan kepada pihak swasta Eropa telah diambil alih oleh pemerintah
kolonial. Akibatnya, mereka harus mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya.
Kaum bangsawan kemudian diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapatkan gaji.
Rakyat mempunyai beban yang sangat berat dalam hidupnya, seperti kerja rodi dan
membayar pajak tanah. Disamping itu, juga terdapat pemungutan pajak yang diborongkan
kepada orang-orang Cina. Pemungutan yang dilakukan bersifat memeras dan menjadi beban
buat rakyat.

b.             Sebab Khusus


Sebab khusus Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui tanah makam leluhur
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV
sebagai kaki tangan bangsa Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo
IV dicabut oleh pasukan pangeran diponegoro. Pemasangan dan pencabutan patok-patok
tanda pembuatan jalan itu telah terjadi berulang kali. akhirnya Pangeran Diponegoro
memerintahkan agar patok-patok itu diganti dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Sementara itu, pihak Belanda tidak menginginkan terjadinya perang. Pihak Belanda
mengirim Pangeran Mangkubumi (Paman Pangeran Diponegoro) untuk membujuk Pangeran
Diponegoro agar mau bertemu dengan Residen Belanda di rumah dinasnya. Pangeran
Diponegoro menolak, karena telah mengetahui maksud Belanda. Ketika pembicaraan antara
Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro sedang berlangsung, tiba-tiba pihak
Belanda melancarkan serangan. Serangan pihak Belanda itulah yang menjadi awal dari
Perang Diponegoro.

D. Taktik Perang Diponogoro


Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan
penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata”
tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha
untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan
moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata
terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang
dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan
tetap berjuang melawan Belanda.

E. Akhir Perang Diponegoro


Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula Diponegoro
sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan
Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak
kuat dengan cobaan dan perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih dan
melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergunung-gunung sehingga
memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak.
Tetapi de Kock segera membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu
sehingga gerakan Diponegoro dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat
Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap
melanjutkan perang gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri
pada Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-Belanda.
Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan sejak Van Der
Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di
tubuh militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer
untuk seluruh Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor
Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal
karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar tetap dipercaya
memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat perubahan taktik ini
Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen, sebagian sungai progo, sebagian sungai
bogowonto, dan Banyumas. Ini semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock
membalas gerakan Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera
Bagelen direbut, Sungai Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan
dilanjutkan ke Ledok dan Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini Belanda memakai
pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan pasukan Belanda sendiri. Kemudian
pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan
Kasunanan Surakarta. Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang
dipimpin oleh Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil
didesak, sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud
membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan
Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti
Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak memberi bantuan.
Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga
bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan
gabungan pasukan Diponegoro berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah
pertempuran sengit. Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak
prajurit Diponegoro tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu
Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda. Basah
Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan Belanda itu. Sementara
Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan pasukan Belanda (Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang. Gudang dan pabrik
amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara
Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka
suply amunisi pasukan Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah desa yang
dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan itu berhasil ditangkap Raden
Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro (putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda
mengancam akan membunuh Anom Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi
ancaman ini tidak digubris. Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas Wiryokusumo, Raden
Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada Belanda. Belanda kemudian
meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dan 6+3+45memberitahukan letak
persembunyian keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang
lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi
adalah pimpinan pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga
Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perang lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung Wiryodirjo dan ratusan
pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian Tumenggung Surodeksono,
Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua
Pangeran Mangkubumi) juga menyerah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28
September 1829, Pangeran Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga
panglima perang yang dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal
30 September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan
Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan hanyalah Sentot.
Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri mengkhawatirkan karena
kekurangan bahan makanan dan terputus jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan
Bupati Madiun, Belanda melakukan perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah
dengan syarat sebagai berikut :
a.       Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit
b.      Tetap memimpin pasukan Pinilih nya
c.       Diberi 500 pucuk senapan.
d.      Tetap memeluk agama Islam
e.       Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot
menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya
masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk
bersimpuh dan menyembah sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap
Sultan Hamengkubuwono V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie
dengan gaji 100 ringgit per bulan.

Anda mungkin juga menyukai