Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

" PERANG DIPONEGORO DAN JAGARAGA BALI "

KELOMPOK 6
1. WELY JUNANTO WIJAYA
2. MEISYA MUTIAH

SEJARAH INDONESIA
TAHUN AJARAN 2018/2019
PERANG DIPONEGORO

Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar
dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinanJendral De
Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun
jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000
jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang
ini sebagai Perang Jawa.

Jalannya perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di
puluhan kotadan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah
itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalurIogistik dibangun dari satu wilayah ke
wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh
kilang mesiu dibangun dihutan-hutan dan di dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja
keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan
untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan
musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria,disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di
desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa
Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan
sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat
yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf
(psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka
yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah
pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan
panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada
tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di
sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak
memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,
7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai
kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa
takut akan diusir.

Penyebab terjadinya perang diponegoro


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Perang Diponegoro. Sebab-sebab tersebut antara
lain
a. Sebab Umum
Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin merosot karena daerah
kekuasaannya semakin berkurang. Kaum bangsawan merasa dikurangi haknya, tanah-tanah yang
mereka sewakan kepada pihak swasta Eropa telah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Akibatnya,
mereka harus mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya. Kaum bangsawan kemudian
diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapatkan gaji.
Rakyat mempunyai beban yang sangat berat dalam hidupnya, seperti kerja rodi dan membayar pajak
tanah. Disamping itu, juga terdapat pemungutan pajak yang diborongkan kepada orang-orang Cina.
Pemungutan yang dilakukan bersifat memeras dan menjadi beban buat rakyat.

b. Sebab Khusus
Sebab khusus Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui tanah makam leluhur
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV sebagai
kaki tangan bangsa Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo IV dicabut oleh
pasukan pangeran diponegoro. Pemasangan dan pencabutan patok-patok tanda pembuatan jalan itu
telah terjadi berulang kali. akhirnya Pangeran Diponegoro memerintahkan agar patok-patok itu
diganti dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Sementara itu, pihak Belanda tidak menginginkan terjadinya perang. Pihak Belanda mengirim
Pangeran Mangkubumi (Paman Pangeran Diponegoro) untuk membujuk Pangeran Diponegoro agar
mau bertemu dengan Residen Belanda di rumah dinasnya. Pangeran Diponegoro menolak, karena
telah mengetahui maksud Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan
Pangeran Diponegoro sedang berlangsung, tiba-tiba pihak Belanda melancarkan serangan. Serangan
pihak Belanda itulah yang menjadi awal dari Perang Diponegoro.
Taktik Perang Diponogoro
Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan;
para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata
dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di
desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Akhir Perang Diponegoro
Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula Diponegoro
sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda.
Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan
dan perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih dan melarikan
diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergunung-gunung sehingga memudahkan
Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera
membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro dapat
dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan
yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang gerilya.Banyak pemimpin perang
Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-Belanda.
Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan sejak Van Der Capellen
mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri
terjadi rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh Hindia-Belanda,
dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi
sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal
De Kock meminta agar tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat perubahan taktik ini
Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen, sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto,
dan Banyumas. Ini semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas gerakan
Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai
Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan ke Ledok dan
Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini Belanda memakai
pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan
Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan
Surakarta. Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Adipati
Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak, sementara itu Adipati
Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud membantu pasukan Adipati Urawan dan
Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk
memberi bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut
bergerak memberi bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak memberi bantuan.
Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak
Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan
Diponegoro berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit.
Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro tewas dalam
pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April
1829 terjadi pertempuran di RawaGenda. Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh
dalam serangan Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan pasukan
Belanda (Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang. Gudang dan pabrik
amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara Raden
Joyonegoro meneruskan perlawanan sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi
pasukan Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah desa yang dicurigai
sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud
dan Pangeran Anom Diponegoro (putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan
membunuh Anom Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris.
Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas Wiryokusumo, Raden Mas
Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada Belanda. Belanda kemudian meminta kepada
Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran
Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab.
Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pimpinan pasukan Jogokaryo yang
bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perang
lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung Wiryodirjo dan ratusan
pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian Tumenggung Surodeksono, Pangeran
Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran
Mangkubumi) juga menyerah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829,
Pangeran Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang
dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30 September 1829, pukulan
kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan Harnokusumo disergap oleh Belanda
di Desa Sangir dan mereka semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan hanyalah Sentot. Tetapi
walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri mengkhawatirkan karena kekurangan bahan
makanan dan terputus jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda
melakukan perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan syarat sebagai berikut :
a. Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit
b. Tetap memimpin pasukan Pinilih nya
c. Diberi 500 pucuk senapan.
d. Tetap memeluk agama Islam
e. Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot
menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke
Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan
menyembah sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan Hamengkubuwono
V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan gaji 100 ringgit per bulan.
PERANG JAGARAGA BALI

Perang Jagaraga merupakan perang yang terjadi antara Koninklijk Nederlandsch-Indisch


Leger dengan Kerajaan Bali pada tahun 1849. Pada tanggal 8Juni1848, Belanda mulai
mengadakan serangan terhadap daerah Jagaraga dengan menghujankan tembakan-tembakan
meriam dari pantai Sangsit. Bagi Belanda pantai Sangsit harus dikuasai dan dipertahankan
sebab Sangsit merupakan salah satu pantai yang masih bisa digunakan sebagai penghubung
antara Bali dengan Batavia. Disamping itu penduduk Sangsit dengan mudah dapat dibina
agar membantu pemerintah Belanda. Dalam ekspedisi Belanda yang kedua ini, Belanda telah
mempersiapkan pasukannya secara matang. Dalam ekspedisi ini, pasukan militer Belanda
diangkut oleh kapal-kapal perang sebanyak 22 buah seperti : kapal perang Merapi, Agro,
Etna, Hekla, Anna, A.R. Falck, Ambonia dan Galen dan sebagainya. Masing-masing kapal
perang itu dilengkapi dengan persenjataan yang berupa meriam dan persenjataan lainnya.
Kekalahan Belanda dalam ekspedisinya yang pertama ke Bali benar-benar di luar
dugaan, Belanda menjadi marah dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun 1848.
Seorang perwira Belanda bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van der Wijck,
bahwa jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia tidak mau beristirahat
sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.
Dengan gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap
pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama sehari,
Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar Jagaraga, sehingga
secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah jatuh ke tangan pemerintah Kolonial
Belanda pada tanggal 19 April 1849, dengan jumlah korban di pihak Jagaraga kurang lebih
sekitar 2200 orang, termasuk 38 orang pedanda dan pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83
pemekel, sedang di pihak Belanda menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang
serdadu bawahan maupun tingkat yang lebih tinggi
Latar Belakang Terjadinya Peperangan Jagaraga

Di Bali terdapat hukum tawan karang. Yaitu hukum yang memberikan hak kepada kerajaan di Bali
untuk merampas kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan seluruh isinya termasuk anak buah
kapal sebagai asset mereka. Hukum Tawan Karang tetap saja dilakukan oleh rakyat Buleleng
sepanjang pesisir. Bahkan sering mengganggu pelayaran Belanda.

Pada tahun 1841, Belanda mengdakan suatu perjanjian dengan raja Buleleng dimana hukum Tawan
Karang tersebut tidak berlaku kepada kapal-kapal Belanda. Pada tahun 1844 perjanjian tersebut
dijalankan. Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di Bali, kapal itu
dirompak dan protes atas perlakuan itu diabaikan, yang berarti penguasa Bali melanggar kesepakatan,
sehingga pemerintah colonial Belanda di Jawa tak bisa lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi.

Latar belakang dari kerajaan Buleleng adalah Patih Jelantik tetap pada pendiriannya semula yaitu
bertekad mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng. Untuk mewujudkan keinginan ini, Patih
Jelantik mempersiapkan Desa Jagaraga sebagai pusat kegiatan untuk mencapai maksudnya. Namun
tindakan-tindakan serdadu Belanda merampas ibukotanya merampok rumah-rumah rakyat
menimbulkan dendam pada rakyat Buleleng. Maka Patih Jelantik secara rahasia telah mengirimkan
mata-mata untuk mengetahui kegiatan serdadu Belanda di Pabean dan kemudian mengambil
kesimpulan bahwa Belanda telah mempersiapkan suatu penyerangan besar-besaran terhadap Jagaraga.
Karena itu Patih Jelantik memutuskan memperkuat Jagaraga dalam system perbentengan, kekuatan
lascar, dan persenjataan.
Kronologi Perang Jagaraga

Perang Jagaraga I

Maret 1848: Sebelum Belanda melakukan penyerbuan secara langsung, pemerintah Belanda mengirim
utusan ke Buleleng.

27 April 1848: Pemerintah Belanda dengan resmi mengumumkan perang terhadap raja Buleleng.

6 Juni 1848: Armada ekspedisi Belanda yang kedua sudah merapat di pantai Sangsit. Ekspedisi ini
diangkut oleh suatu kapal armada perang yang terdiri atas 22 buah kapal perang. Masing-masing
kapal dilengkapi meriam-meriam dan persenjataan lainnya.

8 Juni 1848: Serdadu Belanda mendarat di desa Sangsit dan terus melakukan serbuan-serbuan di
bawah perlindungan tembakan meriam dari atas kapal. Serdadu Belanda terbagi atas 4 divisi.
Akhirnya terjadi pertempuran sengit di desa Bungkulan dan sekitarrnya.

9 Juni 1848: Mayor Sorg berusaha menguasai Bungkulan menuju desa Jagaraga dan bermaksud
memukul langsung pusat pertahanan Patih Jelantik. Sore harinya, sisa-sisa serdadu Belanda berhasil
mencapai pantai desa Sangsit dan langsung menuju ke kapal.

20 Juni 1848: Seluruh ekspedisi Belanda kembali ke Jawa. Kemenangan mutlak berada di tangan
laskar Jagaraga berkat kepemimpinan Patih Jelantik dan bersatunya lakar dengan rakyat.

Perang Jagaraga II

14 April 1849: Armada perang Belanda sudah mendarat di tepi pantai desa Sangsit.

15 April 1849: Pagi-pagi buta, Patih Jelantik dengan diikuti oleh laskarnya sekitar 10.000 orang
berangkat ke Singaraja, pura-pura untuk berunding dengan Jenderal Michiels. Selanjutnya lambung
barat benteng induk Jagaraga jatuh ke tangan Belanda, dengan korban yang besar di pihak lascar
Jagaraga.

16 April 1849: Benteng induk Jagaraga jatuh ke tangan serdadu Belanda yang berada di bawah
pimpinan Letnan Kolonel C.A. de Brauw, dengan korban besar di pihak Jagaraga.

24 Mei 1849: benteng Kusamba diserang oleh pasukan belanda yang bergerak dari pelabuhan
padangbai.

25 Mei 1849: malam hari menjelang pagi tiba tiba perkemahan belanda diserang oleh pasukan
istemewa yang sengaja dikirim dari kelungkung.Dalam pernyebuan ini laskar kelungkung berhasil
menembak jendral Michiels.Letnan Kolonel Van Swieten memerintahkan seluruh armada kembali ke
Jawa.Kematian sang Jendral merupakan kemenangan yang gemilang bagi kerajaan Kelungkung
karena sekaligus mengusir Belanda dari wilayah kerajaan kelungkung.

Nilai nilai luhur di dalam perang Jagaraga


Walupun Belanda pada akhirnya mendapatkan kemenangan dalam peperangan, tetapi mereka
mengagumi kepatriotan dan keikhlasan orang bali mempertaruhkan nyawa dengan persenjataan yang
amat sederhana dan tidak seimbang.

Sebagai hikmah yang dapat dipetik darin perang Jaga raga ini adalah, tercermin bagi kita sekarng
suatu jiwa kepahlawanan, patriotism bagi rakyat Bali. Hal ini didorong karena dilandasi oleh ajaran
ajaran keagamaan Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali, seperti ajaran satyam yaitu kebenaran
atau nidihin kepatutan. Di samping rasa kesetiaan kepada Tri Guru dalam hal ini kepada Guru Wisesa
yaitu Raja sebagai Kepala Pemerintahan.

Hikmah yang lain dari perang Jagaraga adalah mengilhami kejadian kejadian berikutnya dimana nanti
timbul perang puputan Badung, puputan klungkung, dan puputan margarana.

Anda mungkin juga menyukai