Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-
Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro,
sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut dengan
tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta.
Kronologi Perang
Keraton Yogyakarta berusaha untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya
perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro semakin fanatic terhadap keagamaannya.
Diponegoro dirasa terlalu tenggelam dan mengabaikan hubungannya dengan keraton. Di
mana ia bertugas sebagai wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar namun pangeran dapat
melarikan diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, dan kemudian ke Bantul. Mendirikan basisnya di
Gua Selarong, dan berhasil mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bergabung dalam
perang suci. 15 orang pangeran bergabung dengan Diponegoro, ia juga merekrut bandit
professional untuk bergabung melawan Belanda. Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo
selaku pemimpin spiritual perang, dan kemudian Sentot Alibasah sebagai panglima perang.
Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah
Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit pasukan
Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun 1829, Pangeran
Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret 1830, Pangeran
Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada Belanda dengan catatan
anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya.
Tokoh-Tokoh
1. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro memang tidak kehilangan jabatan di keraton. Malahan ia adalah wali
raja bagi Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng dan Patih
Danuredjo. Namun kebijakan Belanda yang mencekik para petani serta membawa keraton
dalam kebangkrutan, lebih dari mencampuri urusan dalam keraton. Hal ini membuat
kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak baik terhadap Belanda ataupun kalangan
Keraton Yogyakarta yang berdiam diri. Ia memilih memutus hubungan dengan kerajaan dan
mempersiapkan perang suci melawan penindas dan kaum kafir. Ia memobilisasi pangeran,
petani, bandit, dan penduduk biasa untuk membantunya mengobarkan perang yang
berlangsung selama lima tahun.
PERANG PADRI
Sejarah Perang Padri (Padri 1821-1837) dan Latar Belakang Perang Padri dan penyebab
perang Padri Di wilayah Minangkabau ada beberapa orang yang kembali dari Mekkah Haji
dan akan mengadakan pelaksanaan hidup sesuai ajaran agama yang murni dibanting. Mereka
kembali dari ziarah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, mereka sayap Wahabi
Menurut ajaran banyak agama adat Sumatera Barat (Minangkabau) harus ditinggalkan
seperti: minum, (minum anggur), sabung ayam, judi , dan lain-lain seperti contoh negara
netral.
Pedir atau Pideri adalah kota kecil di pantai barat Sumatera Utara tempat mereka
pergi dan pulang dan berziarah.
Asal Portugis. Padre atau di Vader Belanda berarti “Bapa” atau “Pendeta”. Jadi
dengan Padri seperti itu adalah
pendeta.
Perang Padri dapat dibagi atau menjadi tahap terakhir, yaitu:
Walaupun Belanda memerlukan perlawanan yang sengit dan sebenarnya butuh waktu yang
lumayan lama bagi mereka agar bisa menaklukan daerah Bojol dan benteng disana. Namun
tetap saja perlawanan dari kaum padri dan meriam tidak bisa menghentikan perlwanan dari
kaum belanda. Bahkan korban kian banyak berjatuhan saat melakukan perang jarak dekat
dengan cara bertempur satu per satu dengan pasukan Belanda. Inilah yang membuat para
prajurit minangkabau dan kaum padri kian terpojok dan sulit melanjutkan dan meraih
kemenangan. Walaupun penangkapan pemimpin yakni Tuanku Imam Bonjol telah terjadi
pada 25 Oktober tahun 1937 teteap saja perlawanan kaum Padri berlanjut. Tuanku Tambusai
memimpin perlawanan tahun 1838. Namun sayangnya perlawanan tersebut tetap saja
mengalami kekalahan dan akhirnya kaum Padri kalah dalam perperangan tersebut. Ini
merupakan perjuangan panjang yang dilakukan demi menaglahkan kekuatan belanda dalam
menaklukan daerah minangkabau dan sekitarnya. Dan kaum padri telah melakukan
perlawanan yang sengit dalam pertempuran yang lama tersebut.
PERANG BALI:
Perang ini melibatkan 3 kali pertempuran yaitu Perang Bali I, Perang Bali II dan Perang Bali
III.
Latar belakang terjadinya perang Bali diawali dengan kedatangan Cornelis de Houtman.
Cornelis de Houtman merupakan seorang penjelajah asal Belanda yang lahir di tahun 1565.
Beliau berkeliling menjelajah dan menemukan adanya jalur pelayaran dari daerah Eropa
menuju Indonesia.
Beliau pula yang akhirnya menemukan bahwa Indonesia kaya akan rempah-rempah dan
memulai perdagangan rempah untuk Belanda.
Ketika beliau singgah di pulau Bali, masyarakat serta pemerintah kerajaan masih menerima
dengan baik.
Hingga suatu ketika di tahun 1841 dan 1843, sudah dapat ditebak bahwa Belanda meminta
suatu kesepakatan dengan kerajaan-kerajaan di Bali.
Salah satunya adalah raja dari salah satu kerajaan di Bali yaitu kerajaan Buleleng.
Raja Buleleng seringkali melanggar kesepakatan sehingga pemerintah Belanda dibuat geram.
Pemerintah Belanda juga lelah karena adanya hukum tradisi Tawan Karang yang terjadi di
Bali.
Tawan Karang merupakan suatu hak istimewa dari raja-raja di pulau Bali untuk dapat
mengambil, menyita atau merampas kapal apapun beserta muatannya yang terdampar di
wilayah perairan mereka.
Tradisi ini dibuktikan dengan adanya 2 prasasti yang ditemukan yaitu Prasasti Bebetin AI dan
Prasasti Sembiran.
Lantaran hal itulah, pihak Belanda melancarkan aksi perlawanan berupa Perang Bali I di
tahun 1846.
Sayangnya Perang Bali I tidak membuahkan hasil hingga akhirnya berlanjut ke Perang Bali II
di tahun 1848 dan Perang Bali III di tahun 1849.
Ketiga perang Bali ini sama-sama dilatar-belakangi oleh pihak Belanda yang menginginkan
tradisi Tawan Karang untuk dihapuskan.
Tawan Karang merupakan hak kerajaan di Bali yang menyita dan merampas kapal beserta
isinya yang telah memasuki daerah wilayah kekuasaan mereka.
Karena hal inilah, Belanda tidak dapat dengan bebas berlayar kemana saja untuk memperluas
wilayahnya.
Karena penolakan inilah, timbul beberapa peperangan sebagai bentuk pertahanan masyarakat
Bali akan keputusan mereka terhadap pihak Belanda.
Peperangan tersebut diantaranya adalah Perang Jagaraga tahun 1849, Perang Kusumba 1894,
Perang Badung 1906 dan Balikan Wongaya tahun 1906.
Apalagi terdapat hak Tawan Karang yang terjadi di Bali. Pihak kerajaan Bali akan menyita
kapal-kapal yang memasuki area wilayah mereka.
Karena hal itulah membuat Belanda tidak dapat bergerak untuk dapat menguasai Bali
sepenuhnya.
Lalu dibuatlah kembali perjanjian di tahun 1843 bahwa kapal-kapal pihak Belanda akan
dibebaskan apabila memasuki wilayah perairan Bali.
Tahun 1844, kapal Belanda masih disita ketika memasuki daerah Pantai Prancah dan Sangsit,
Buleleng.
Dengan adanya pelanggaran tersebut serta penolakan yang terjadi oleh masyarakat Bali,
akhirnya Belanda menyerbu Bali di tahun 1846 dengan dipimpin schout-bij-nacht
Engelbertus Batavus van den Bosch.
Perang ini disebut sebagai Perang Bali I dan berhasil dikalahkan oleh masyarakat Bali yang
bertahan di Benteng Jagaraga.
Karena kekalahan tersebut, Belanda tidak terima dan masih ingin menuntut.
Sehingga terjadilah peperangan kembali yang disebut sebagai Perang Bali II tanggal 7 Juni
1848 dengan dipimpin Jendral Carel van der Wijck.
Pada peperangan ketiga ini, masyarakat Bali yang berjumlah 16.000 orang dengan
pimpinannya I gusti Ketut Jelantik, mampu mengalahkan pihak Belanda yang berjumlah
2.400 orang.
Akhirnya karena kekalahan ini, mereka pun kembali berperang di tahun 1849.
Perang inilah yang disebut dengan Perang Bali III dengan dipimpin Andreas Victor Michiels.
Dalam pertempuran ini, pihak Belanda berhasil menduduki Benteng Jagaraga dan membuat
masyarakat Bali kabur.
Akhirnya mereka membuat kesepakatan di tanggal 12 Juni 1849 bahwa daerah Jembrana
merupakan wilayah Hindia-Belanda kerajaan Bangli bergabung dengan Buleleng.
Sayangnya ada kerajaan yang masih melanggar dan terdapat hak Tawan Karang yang terjadi
sehingga pihak Belanda membuat perjanjian kembali di tahun 1843.
Perjanjian tersebut tetap dilanggar pihak kerajaan, salah satunya Buleleng, yang tetap
merampas kapal-kapal milik Belanda yang berlabuh di wilayah mereka.
Akhirnya terjadilah Perang Bali I di tahun 1846 yang dimenangkan oleh masyarakat Bali.
Karena tidak terima, pihak Belanda menyerang kembali di tahun 1848 yang disebut dengan
Perang Bali II dan tetap dimenangkan oleh masyarakat Bali.Lalu terjadilah peperangan
kembali yaitu Perang Bali III.
Daerah di seluruh Pulau Bali dikuasai oleh pihak Belanda secara bertahap dan
menghilangkan kekuasaan para raja di kerajaan mereka
Adanya monopoli dagang seperti yang sudah direncanakan Belanda sejak awal
datang.
Dihapuskan hak Tawan Karang agar Belanda dapat dengan mudah menguasai seluruh
Bali.
Dihapuskannya adat-adat yang dirasa pihak Belanda kurang pantas seperti adat Sute.