Anda di halaman 1dari 7

PERANG PADRI DAN PERANG DIPONEGORO

BESERTA NILAI KEJUANGAN NYA

A. PERANG PADRI

1. Latar Belakang Terjadinya Perang Padri


Perang Padri terjadi berawal dari adanya pertentangan antara Kaum Adat dengan
Kaum Padri. Pertentangan dari kedua belah pihak disebabkan karena Kaum Padri ingin
memperbaiki keadaan masyarakat Minangkabau yang sering melakukan kegiatan-kegiatan
yang bersifat maksiat seperti berjudi, sabung ayam dan mabuk-mabukan dengan cara
mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Berawal dari sikap yang dilakukan oleh Haji
Miskin yang melarang penduduk Pandai Sikat untuk berhenti menyabung ayam namun
larangan tersebut tidak dihiraukan oleh masyarakat. Akhirnya Haji Miskin membakar tempat
untuk menyabung ayam tersebut.
Reaksi dari Kaum Adat sangat marah, dan Haji Miskin dikejar-kejar namun dapat
lolos dari kejaran tersebut hingga beliau sampai ke Kota Lawas. Disana beliau mendapat
perlindungan dari Tuanku Mansiangan. Tuanku Mansiangan segera dapat dipengaruhi oleh
Haji Miskin dan bertekad akan membantunya. Perkelahian terjadi antara Kaum Adat dan
Kaum Padri yang membuat Haji Miskin menyingkir ke Bukit Kamang karena kalah jumlah
dari Kaum Adat.
Haji Miskin diterima dan diberi perlindungan olen Tuanku Nan Renceh. Tuanku-
tuanku Nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk
persekutuan melawan Kaum Adat. Persekutuan tersebut dinamakan “Harimau Nan Salapan”
(Harimau yang Delapan). Mereka mendapat julukan seperti itu karena tindakan-tindakannya
yang keras. Sebelum melakukan gerakan itu mereka bermusyawarah dengan guru yang
mereka hormati yaitu Tuanku Kota Tuo.
Dari pihak lain Kaum Adat tidak tinggal diam. Mereka melakukan sabung ayam untuk
menghina Kaum Padri. Pertempuran di Batipuh pun terjadi. Beberapa kota seperti Luhak
Lima Puluh Kota menerima paham Padri, tetapi Tilatang, Matur dan Candung menetang
ketika Tuanku nan Renceh meluaskan pengaruh. Tuanku Kota Tua berusaha mencegah
meluasnya pertempuran namun gagal.
Sementara itu pimpinan tertinggi adat di Lembah Alahan Panjang adalah Datuk
Bandaro yang setelah mempelajari paham pembaharuan bersama para penghulu lainnya
menjadi tertarik dan menerimanya. Dengan demikian ajaran Padri meluas sampai di daerah
Lembah Alahan Panjang. Daerah Tanah Datar sendiri kaum Padri dipimpin oleh Tuanku
Lintau. Tempat ini memiliki pengaruh adat yang sangat kuat. Di tempat ini pula Raja
Minangkabau, Tuanku Raja Muning di Pagaruyung berkedudukan. Pertempuran Kaum Padri
dan Kaum Adat terjadi di Tanah Datar. Kaum Adat terdesak, sehingga pengaruh Padri di
Tanah Datar makin meluas. Perlawanan ini mulai mengalami perkembangan baru setelah
datangnya kekuasaan asing.
Pada saat itu Inggris masih berkuasa di Pantai sebelah Barat Sumatra. Kaum adat
mengharapkan bantuan dari Inggris, tetapi perjanjian yang dilakukan antara Inggris dan
Belanda membuat Inggris pergi dari Minangkabau. Kekuasaan pun diambil alih oleh Belanda
sekaligus mengangkat James Du Puy sebagai Residen dan Kaum Adat pun kembali meminta
bantuan, kali ini kepada Belanda.
Residen Du Puy dan Tuanku Suruaso beserta 14 orang Penghulu yang mewakili
Minangkabau mengadakan perjanjian. Karena perjanjian tersebut beberapa wilayah
Minangkabau menjadi milik Belanda. Pada 18 Februari 1821 Belanda menduduki Simawang
dengan membawa dua meriam dan seratus orang tentara. Sejak itu dimulai lah perang antara
Kaum Padri melawan Belanda.

2. Tokoh-tokoh dan Gerakan-gerakan yang Dilancarkan Untuk Menghadapi


Belanda

a. Para tokoh dari Pihak padre antar lain;


1. Tuanku Iman Bonjol
2. Tuanku Koto Tuo (Ulama)
3. Tuanku Nan Renceh (Murid dari Tuanku Nan Tuo)
4. Haji Miskin (Ulama Pandai Sikek)
5. Haji Sumanik (Ulama Delapan Kota)
6. Haji Piobang (Ulama Limo puluah kota)
7. Tuanku Bansa
8. Tuanku Galung
9. Tuanku Lubuk Aur
10. Tuanku Padang Lawas
11. Tuanku Padang Luar
12. Tuanku Kubu Ambelan
13. Tuanku Kubu Sanang
14. Tuanku Raja Muning Alamsyah (Pagaruyung)
15. Tuanku Tangsir Alam (Utusan dari Tuanku Rajo Muning Alamsyah dalam
menemui Jenderal Raflessi
16. Tuanku Saruaso
17. Muhammad Syabab
18. Datuk Bandaro
19. Tuanku Lintau
20. Tuanku Nan Gelek
21. Tuanku Mansiangan (Pemimpin Paderi)
22. Tuanku Keramat
23. Tuanku Tambusai

b. Para tokoh dari pihak Belanda antara lain;


1. Du Puy (Residen di Padang)
2. Letkol Raaff (Residen Pengganti Du Puy)
3. Van Geen
4. De Stuers
5. Said Salim al-Jafrid (Penghubung dalam perdamaian antara Kaum Paderi dengan
Belanda)
6. Kolonel Elout
7. Letnan Thomson
8. Jenderal Van Den Bosch
9. Tuanku Limbur.
Perlawanan yang dilakukan kaum Padri dalam melawan Belanda diantaranya :
a. Masa pertama tahun 1821-1825 yang ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke
seluruh daerah Minangkabau. Kaum Padri mulai menyerang pos-pos yang dibangun
oleh Belanda dan melakukan pencegatan terhadap pasukan patroli mereka.
Pertempuran antara pasukan Tuanku Pasaman dengan pasukan Belanda yang membuat
kedua belah pihak mengalami kerugian yang sama-sama besar. Dengan sisa
pasukannya, Tuanku Pasaman mengundurkan diri Lintau. Belanda mendirikan benteng
di Batusangkar. Sebagai usaha kedua belah pihak akhirnya tanggak 15 November
1825 dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua
permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak Kaum Padri.
b. Masa kedua tahun 1825-1830, Belanda disulitkan dengan perang yang bersamaan
yaitu perang Padri dan Perang Diponegoro. Sedangkan untuk Kaum Padri masih tetap
belum bisa dikalahkan. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan
kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun
bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-
tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan
perlawanan yang lebih sengit.
c. Masa ketiga tahun 1830-1838, 11 Januari 1833 Padri bangkit. Secara serentak mereka
menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Bahkan Belanda harus meminta bantuan
karena kuatnya Kaum Padri. Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan
kekuatan untuk menyerang Bonjol, setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol
dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1837 Kota Bonjol yang
berbenteng akhirnya dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol meloloskan diri
namun akhirnya menyerah. Dia mula-mula diasingkan ke Priangan, kemudian ke
Ambon dan akhirnya ke Manado, dimana ia wafat pada tahun 1864.

3. Dampak Terjadinya Perang Padri


Dampak dari perang Padri sendiri yaitu tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol oleh
Belanda yang kemudian diasingkan hingga akhirnya wafat. Dampak yang lain yaitu jatuhnya
Sumatra Barat ketangan Belanda.

4. Nilai Kejuangan Perang Padri


a. Nilai kejuangan relegius (iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b. Nilai kejuangan rela dan ikhlas berkorban.
c. Nilai kejuangan tidak mengenal menyerah.
d. Nilai kejuangan harga diri
e. Nilai kejuangan percaya diri..
f. Nilai kejuangan pantang mundur.
g. Nilai kejuangan patriotisme
h. Nilai kejuangan heroisme
i. Nilai kejuangan rasa senasib dan sepenanggungan
j. Nilai kejuangan rasa setia kawan
k. Nilai ke juangan nasionalisme dan cinta tahah air
l. Nilai kejuangan persatuan dan kesatuan.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/3404899#readmore


B. PERANG DIPONEGORO

1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan


Sejak kedatangan Belanda di Jawa Tengah, kerajaan Mataram mengalami
kemerosotan. Wilayah kerajaan semakin sempit karena banyak daerah diambil alih oleh
Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Belanda
ini menimbulkan rasa benci dari golongan-golongan rakyat banyak atau rakyat jelata.
Walaupun keadaan sudah mulai panas namun golongan-golongan itu masih menunggu
datangnya seorang Ratu Adil yang dapat memimpin mereka dalam menghadapi Belanda.
Tokoh yang diharapkan itu adalah dari kalangan istana yang tampil ke depan untuk
memimpin mereka, beliau adalah Pangeran Diponegoro.
Latar Belakang Perang Diponegoro Ada beberapa hal yang menyebabkan Pangeran
Diponegoro turun tangan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.

a. Sebab-sebab Umum
 Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot.
Bersamnaan dengan itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil,
yaitu Surakarta, Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman.
 Kaum bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah yang
dulu dibagi-bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah
Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan
menguasahakan perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan
kegelisahan diantara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot
yang telah diterima.
 Rakyat yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan sebagainya
merasa tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang di borong
oleh orang-orang Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat beban rakyat.

b. Sebab-sebab Khusus
Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang
melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo IV
(seorang "kaki tangan" Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok di jalur
itu. Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun potok-patok itu
dipasang kembali atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti ini berlangsung
berkali-kali, sehingga akhirnya patok-patok itu diganti dengan tombak. Dengan
penggantian patok itu menandakan kesiapan Pangeran Diponegoro untuk berperang
melawan Belanda. Peperangan tidak dapat dielakan lagi dan pasti akan terjadi. Tetapi
Belanda berusaha menghadapi kemelut antara kedua bangsawan tersebut dan
mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu Belanda mengutus Pangeran
Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro) untuk membujuknya agar mau
bertemu dengan residen Belanda di Loji. Pangeran Diponegoro menolak tawaran itu
karena tahu arti semua yang dimaksud oleh Belanda. Ketika pembicaraan antara
Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba
telah melakukan serangan.
2. Tokoh / Pemimpin Perang
Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
"Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai
mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.
Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan
I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama
dan juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji
Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.

3. Proses Perlawanan
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan
artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di
kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan
desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu
wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu
sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik
dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-
puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah
hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan
penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata"
tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha
untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh
yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan
mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu;
suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang
gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan
(Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung
dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan
diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa
ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir,
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon
keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa
rasa takut akan diusir.

4. Akhir Perlawanan
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat.
Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum
Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-
mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba
mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan
kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I
antara 1821-1825, dan babak II.

5. Nilai Kejuangan Perang Diponegoro


a. Mengutamakan ketakwaan agama
b. mengutamakan kemerdekaan
c. mengutamakan kejujuran
d. mengutamakan kemandirian
e. mengutamakan kepentingan rakyat
f. Nilai nilai kejuangannya terpenting adalah bahwa pangeran diponegoro ingin
menegakkan agama islam di tanah jawa dan membebaskan tanah jawa dari genggaman
penjajah.
Kesimpulan
Dari awal masyarakat Sumatra Barat memang sudah mempunyai kecenderungan yang
berbeda antara adat dan agama. Kaum Padri yang dengan gerakan pemurniannya ingin
menjadikan Sumatra Barat menjadi wilayah yang masyarakatnya bebas dari perilaku yang
negatif dan berbau maksiat. Sedangakan Kaum Adat yang berada di Sumatra Barat lebih
menginginkan adanya keselarasan antara agama dan adat.
Karena perbedaan itulah kemudian timbul perlawanan-perlawanan yang dilakukan
oleh Kaum Padri dan Kaum Adat. Dari perlawanan tersebut masuklah Belanda dalam
perlawanan tersebut setelah Inggris keluar dari wilayah Sumatra Barat untuk membantu Kaum
Adat melawan Kaum Padri. Maksud Belanda tidak hanya untuk membantu melawan Kaum
Padri namun juga ingin menguasai wilayah Sumatra Barat tersebut.
Berbagai perlawanan pun dilakukan antara Kaum Pardi yang dipimpin oleh para
Tuanku-tuanku dengan Belanda. Semua pasukan dikerahkan, alat-alat perang digunakan.
Bahkan tidak sedikit yang gugur dalam perlawanan tersebut. Kemenangan dan kekalahan
dialami oleh Belanda dan Kaum Padri. Sampai pada akhirnya Kaum Padri harus takluk
kepada kekuatan Belanda yang memang lebih kuat. Pemimpin pasukan Padri yang kuat yaitu
Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap oleh Belanda dan diasingkan di Priangan, kemudian
ke Ambon dan terakhir di Manado. Setelah itu beliau wafat tahun 1864. Kekuasaan di
Sumatra Barat akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai