Biografi
Sultan Iskandar Muda adalah putra dari Puteri Raja Indra Bangsa, keturunan keluarga Raja
Darul Kamal dan ayahnya adalah Sultan Alauddin Mansur Syah yang merupakan putra
Sultan Abdul Jalil bin Sultan 'Alaiddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar.
Besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda dikirim ayahnya
untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul Mukadis pakal ilmu
falak dan ilmu firasat.
Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau. Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai
menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari Gujarat.
Di antaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda,
yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh
Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru
dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata
negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan
antara raja dan rakyat.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah
membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi
kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan
Agra.
Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara
ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang
baik secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.
Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya
membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.
SULTAN HASANUDDIN
Biografi
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan
nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa
ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid (ayah) dan
ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu.
Ilmu berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin ketika
ikut mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting, ditambah dengan
bimbingan Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang sangat berpengaruh
dan cerdas.
Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang asing dan Melayu membuatnya
sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian pertahanan
Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur pertahanan
untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di Maluku.
Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau, Sultan Hasanuddin yang seharusnya
tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi raja karena kepintaran dan keahliannya.
Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki kekuatan armada
yang sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di bawah kekuasaan
Gowa mudah dihasut dan dipecah belah.
Arung Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil
memimpin pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan
Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali Belanda.
Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya
sendiri (yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun
1669.
Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan
memilih menjadi pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan dan
persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama
dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
Mahapati
Mahapati adalah nama seorang tokoh penghasut dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit.
Namanya disebut dalam Pararaton sebagai pemegang jabatan rakryan patih sejak tahun
1316. Kelicikan Mahapati dianggap sebagai penyebab kematian para pahlawan pendiri
Majapahit, misalnya Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi. Mahapati sendiri akhirnya
dihukum mati setelah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319.
Kisah Hidup
Nama Mahapati terdapat dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka. Ia dikisahkan
sebagai tokoh licik yang gemar melancarkan fitnah dan adu domba demi meraih ambisinya,
yaitu menjadi patih Majapahit.
Pada tahun 1295 Mahapati menghasut Ranggalawe supaya menentang pengangkatan Nambi
sebagai patih. Sebaliknya, ia juga menghasut Nambi supaya menghukum kelancangan
Ranggalawe. Akibat adu domba tersebut, perang saudara pertama pun meletus. Ranggalawe
akhirnya tewas di tangan Kebo Anabrang dalam sebuah pertempuran di Sungai Tambak
Beras. Namun, Kebo Anabrang sendiri juga tewas karena dibunuh dari belakang oleh Lembu
Sora, paman Ranggalawe.
Pada tahun 1300 Mahapati menghasut Mahisa Taruna putra Kebo Anabrang supaya menuntut
pengadilan untuk Lembu Sora. Mengingat jasa-jasanya selama perjuangan mendirikan
kerajaan, Lembu Sora hanya dihukum buang oleh Raden Wijaya, raja Majapahit saat itu.
Mahapati ganti menghasut Sora supaya meminta hukuman yang lebih pantas. Sora pun
berangkat ke ibu kota untuk meminta hukuman mati. Di sana ia tewas dikeroyok tentara
istana, karena Nambi sudah lebih dahulu dihasut Mahapati, bahwa Sora akan datang untuk
membuat onar.
Pada tahun 1316 Mahapati mengadu domba Nambi dengan Jayanagara, raja kedua Majapahit
pengganti Raden Wijaya. Suatu ketika Nambi mengambil cuti karena ayahnya di Lamajang
meninggal dunia. Mahapati datang melayat sambil menyarankan supaya ia memperpanjang
cuti. Mahapati bersedia menyampaikan permohonan izin kepada raja. Akan tetapi, di hadapan
Jayanagara, Mahapati justru mengabarkan bahwa Nambi tidak mau kembali ke Majapahit
karena sedang mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara marah dan mengirim pasukan
untuk menghancurkan Lamajang. Nambi sekeluarga pun tewas. Mahapati kemudian diangkat
sebagai patih baru sesuai dengan cita-citanya.
Pada tahun 1319 terjadi pemberontakan Ra Kuti. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
seorang pegawai bhayangkari bernama Gajah Mada yang kemudian menjadi abdi kesayangan
Jayanagara.
Setelah pemberontakan Ra Kuti, hubungan antara Jayanagara dengan Mahapati mulai
renggang. Akhirnya, semua kejahatan yang pernah dilakukan Mahapati pun terbongkar. Ia
kemudian dihukum mati dengan cara cineleng-celeng, artinya "dicincang seperti babi hutan".
Masa Awal
Palembang
Dapunta Hyang 671–702
Sri Indrawarman 702–728
Rudra Wikrama 728–775
Masa Peralihan (Wangsa Sailendra)
Sri Maharaja 775–(?)
Jawa
Dharanindra 778–782
Samaragrawira 782–792
Samaratungga 792–840
Suwarnadwipa
Balaputradewa 860–(?)
Sri Udayaditya Warmadewa 960–988
Sri Cudamani Warmadewa 988–1008
Sri Mara-Wijayottunggawarman 1008–1017
Kadaram
Sangrama-Vijayottunggawarman 1017–1030
Sri Dewa 1028–(?)
Di bawah dinasti Chola
Rajendra Chola I 1012–1044
Kulothunga Chola I 1070–1120
Di bawah dinasti Mauli
Trailokyaraja 1183–(?)
Sri Maharaja Balaputradewa adalah anggota Wangsa Sailendra yang menjadi raja
Kerajaan Sriwijaya
Asal-Usul
Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki
Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan
Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain,
Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri
Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya
persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan
ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.
Mahkota Ulun Umbul yang diduga merupakan mahkota Hayam Wuruk yang ditemukan di
Kampung Leuwidulang, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Tatar
Pasundan. Selain itu terdapat juga sebuah tongkat bermotif burung Galudra (Garuda). Artefak
tersebut kini tersimpan di lemari kaca ruang Kepala Sekolah SMA Pasundan Majalaya.
Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389,
bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit
mencapai puncak kejayaannya.[1]