Anda di halaman 1dari 16

BAB.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perlawanan Sultan Agung Vs J.P Coen


a. Sekilas Tentang Sultan Agung

Sultan Agung adalah raja yang membawa Mataram mecapain masa


Keemasannya. Cita-cita Sultan Agung antara lain, mempersatukan Seluruh tanah
Jawa, dan mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara, maka dari itu Sultan
Agung sangat menentang keberadaan VOC(Vereenigde Oostindische Compagnie).
Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.

b. Alasan Sultan Agung Menyerang Batavia


1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC
2. VOC sering menghalang-halangin kapal-kapal dagang Mataram yang akan
berdagang di Malaka
3. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram
4. Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan
Pulau Jawa
B. Latar Belakang Perlawanan Banten

Perlawanan Banten terhadap VOC terasa semakin menjadi ketika Banten


dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak abad ke-16, Kesultanan Banten sudah menjadi
salah satu pusat perdagangan dunia. Kedatangan kali pertama VOC ke Banten yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman, mendapat kecurigaan dari rakyat Banten. VOC
sering melakukan keonaran dan kekerasan, sehingga timbullah permusuhan di antara
keduanya. Permusuhan ini semakin meningkat pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651–1682) dan setelah dikuasainya Jayakarta (Batavia) oleh VOC pada 1619.

C. Latar Belakang Perang Padri

Perang Padri merupakan perang yang pernah terjadi di Provinsi Sumatera Barat
dan sekelilingnya mulau tahun 1803 hingga 1838. Khususnya di wilayah Kerajaan
Pagaruyung. Awalnya perang ini terjadi karena perbedaan prinsip tentang agama tapi
lama-lama menjadi perjuangan melawan penjajah. Sejarah penting ini memang terjadi
ketika masa penjajahan Belanda di Indonesia. Penjajahan Belanda di Indonesia juga tak
terlepas dari sejarah berdirinya VOC. Sebelum Perang Padri, ada sejarah perang
kamang yang termasuk perang melawan penjajah.
Perang Padri ini tidak beda
jauh dengan perang saudara.
Maksudnya perang saudara antar
sesama penduduk Sumatera Barat.
Diawali dengan timbulnya perbedaan
pendapat antara sekelompok ahli
agama islam yang disebut dengan
Kaum Padri dengan Kaum Adat di
wilayah Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kaum Padri menilai bahwa kebiasaan
Kaum Adat yang berlawanan dengan syariat islam. Kebiasaan yang berlawanan seperti
judi, sabung ayam, penggunaan obat terlarang, konsumsi miras dan penggunaan hukum
matriarkat untuk pembagian warisan. Padahal sebelumnya Kaum Adat sudah menyatakan
diri memeluk islam dan berkata akan meninggalkan kebiasaan yang berlawanan dengan
syariat islam. Tingkah Kaum Adat ini membuat Kaum Padri marah sehingga meletuslah
perang saudara di tahun 1803. Perang saudara antar sesama Mandailing dan Minang.
Pemimpin Kaum Padri adalah Harimau Nan Salapan sementara Kaum Adat dipimpin
Sultan Arifin Muningsyah.

Tapi pada tahun 1833, Perang Padri berubah dari perang saudara menjadi perang
melawan penjajah. Awal mulanya karena Kaum Adat yang terdesak malah memohon
bantuan pada Belanda di tahun 1821. Sayangnya, keterlibatan Belanda membuat keadaan
semakin kacau dan ruwet. Belanda malah terlalu mencampuri Kaum Adat. Daripada
menghadapi dua musuh yang sama yaitu Kaum Padri dan Belanda, Kaum Adat mulai
melawan Belanda dan bergabung dengan Kaum Padri. Akhirnya etnis Minang dan
Mandailing bersatu untuk mengalahkan penjajah bersama-sama.

Perang Padri adalah peperangan melawan penjajah yang mengorbankan banyak


hal. Mulai waktu yang cukup lama, harta benda dan banyak jiwa. Hasil akhir dari
peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Dampak lainnya seperti runtuhnya
Kerajaan Pagaruyung, menurunnya ekonomi masyarakat Minang dan membuat orang-
orang berpindah dari area konflik.

Latar belakang Perang Padri sebenarnya diawali oleh keinginan Kaum Padri yang
ingin memperbaiki moral masyarakat Minangkabau. Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji
Piobang waktu itu pulang dari Mekkah dan ingin memperbaiki syariat islam masyarakat
Minangkabau. Datanglah Tuanku Nan Renceh yang memiliki keinginan yang sama
dengan tiga haji itu dan mendukungnya. Niat mulia mereka menarik banyak orang.
Termasuk tokoh dan ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan. Sejarah
islam di Indonesia juga berperan penting di Sumatera Barat.
Harimau Nan Salapan dan Tuanku Lintau datang ke istana Pagaruyung untuk
bertemu Sultan Arifin Muningsyah dan Kaum Adat untuk menjauhi kebiasaan yang
berlawan dengan syariat Islam. Perundingan dilakukan tetapi Kaum Adat dan Kaum
Padri sulit mencapai kesepakatan. Bersamaan dengan itu, beberapa nagari di bawah
Kerajaan Pagaruyung mulai kacau. Hingga pada tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin
Kaum Padri menyerang Koto Tangah yang termasuk wilayah Kerajaan Pagaruyung.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Dalam catatannya,
Thomas Stamford Raffles yang mengunjungi Kerajaan Pagaruyung tahun 1818 hanya
melihat puing-puing Istana Pagaruyung yang hangus.

D. Latar Belakang Perlawan di Ponegoro

Perang Diponegoro – Perang adalah sebuah aksi dari fisik dan juga non fisik
maupun kondisi permusuhan dengan adanya kekerasan yang biasanya terjadi antara dua
ataupun lebih kelompok manusia. Peperangan dilakukan untuk melakukan dominasi di
wilayah yang dipertentangkan.

Perang adalah turunan dari sifat dasar manusia yang tetap ada sampai sekarang
memelihara dominasi dan juga persaingan untuk sarana memperkuat diri dengan cara
menundukan pihak musuh.

a. Siapa itu Pangeran Diponegoro ?

geheugenvannederland.nl

Pangeran Diponegoro adalah salah satu pangeran yang juga dikenal sebagai
salah pahlawan nasional Republik Indonesia yang sangat berani untuk melawan para
penjajah Belanda. beliau adalah tokoh pejuang yang berasal asli dari Indonesia yaitu
daerah Yogjakarta. Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang terjadi Di pulau
Jawa.
Pangeran Diponegoro bernama Bendoro Raden mas Ontowiryo yang
merupakan anak sulung dari Sultan Hamengkubuwana III yang merupakan raja
Mataram. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785. Ibunya adalah
seorang selir yang bernama R.A Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Beliau
menolak keinginan dari sang ayah yang ingin mengangkatnya menjadi seorang raja
karena ia menyadari bahwa ia adalah anak dari seorang selir dan bukan permaisuri.
merupakan anak yang berasal dari golongan ningrat yang biasanya hidupnya penuh
dengan kenyamanan dan juga istimewa, namun pangeran Diponegoro lebih tertarik
untuk kehidupan yang merakyat dan memiliki kesetaraan dengan rakyat. Ia juga
memilih untuk tinggal di luar keraton yaitu memilih untuk tinggal di desa Tegalrejo.
Dan ini adalah beberapa kebiasaan pangeran Diponegoro :

 Gemar minum anggur bersama dengan para orang-orang Eropa namun tak
menjadikannya sebagai kelebihan yang berlebihan.
 Kebiasaan pangeran Diponegoro yang suka mengunyah sirih .
 Mengoleksi emas dan juga berlian dan benda berharga miliknya adalah batu akik
hitam yang disimpan dalam pembungkus emas.
 Kesenangannya ialah memelihara burung dan juga berkebun, membangun kebun
dengan menanam bunga, sayuran, dan juga ada buah-buahan dan pepohonan yang
hijau.

Pangeran mempunyai 12 putra dan 10 putri yang keturunannya kini ada


tersebar di seluruh Dunia, seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Dan Maluku, bahkan ada
yang di luar negeri Di Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

b. Apa Itu Perang Diponegoro ?

Nicolaas Pieneman

Di Indonesia juga pernah mengalami masa peperangan yang terjadi hampir di


semua daerah, nah untuk ulasan kali ini kita akan membahas mengenai peperangan
yang terjadi Diponegoro. Perang diponegoro adalah perang besar yang terjadi selama
5 tahun yaitu pada tahun 1825 sampai 1830 di pulau Jawa, Hindia Belanda. Perang
diponegoro juga dikenal dengan perang jawa.

Perang ini salah satu pertempuran terbesar yang terjadi di Indonesia yaitu
antara Belanda dan penduduk Nusantara. Pada saat itu pasukan dari Belanda dipimpin
oleh Hendrick Merkus De kock dan penduduk Jawa dibawah pimpinan Pangeran
Diponegoro.

Pada saat masa peperangan terjadi banyak penduduk jawa yang tewas yang
mencapai 200.000 jiwa dan dari pihak Belanda 8.000 dan serdadu Pribumi sebanyak
7.000.

c. Sebab Terjadinya Perang Diponegoro

Dibawah pimpinan pangeran Diponegoro terjadinya perlawanan rakyat pada


1825 hingga 1830 yaitu satu perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda.
penyebab terjadinya perang Diponegoro dapat disimpulkan ada dua alasan yaitu
sebab umum dan juga sebab khusus.

Berikut ini sebab-sebab umum yang membuat terjadinya perlawanan


Diponegoro antara lain sebagai berikut :

1. Timbulnya rasa kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya


barat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam
2. Wilayah kesultanan Mataram yang semakin sempit dan para raja sebagai
pengusaha Pribumi yang mulai kehilangan kedaulatan.
3. Belanda ikut campur tangan dalam masalah kesultanan
4. Sebagian dari bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti
adat istiadat dari keraton.
5. Para bangsawan juga merasa kecewa karena Belanda telah menghapus sistem
penyewaan tanah oleh para bangsawan kepada petani yang mulai terjadi pada
tahun 1824.
6. Kehidupan rakyat yang semakin menderita dan juga disuruh kerja paksa dan harus
membayar berbagai macam pajak.

 Pajak tanah
 Pajak jumlah pintu
 Pajak ternak
 Pajak pindah rumah
 Pajak pindah nama
 Pajak menyewa tanah atau menerima jabatan

Dan pemasangan Patok oleh Belanda untuk pembangunan jalan yang


melintasi tanah dan juga makam para leluhur pangeran Diponegoro di Tegalrejo,
pemasangan ini terjadi tanpa izin dari kerajaan sehingga ditentang oleh Pangeran
Diponegoro.

Sebab khusus ialah provokasi yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk
merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah pangeran Diponegoro dan
juga membongkar makam keramat. Diponegoro tersingkir dari kekuasaan karena
telah menolak untuk berkompromi dengan Belanda dan lebih memilih untuk ke
Tegalrejo dan memusatkan perhatian pada perkembangan keagamaan. Hal ini
membuat pangeran marah dan membangun pertahanan di Selarong dan dukungan
kepada Diponegoro datang dari mana-mana yang membuat pasukan Diponegoro
menjadi lebih kuat.
BAB. II

PEMBAHASAN (ISI)

A. Sultan Agung Vs J.P Coen


a. Serangan Pertama

Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa, memimpin


Pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia, dimana pada saat itu Gubernur
VOC dijabat oleh J.P Coen.

Pasukan Mataram berusaha membangun pos-pos pertahanan, tetapi


kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran sengit tidak
dapat dihindarkan.Ditengah-tengah peperangan Pasukan Mataram lain
berdatangan, Pasukan Mataram berusaha mengepung tetapi kekuatan VOC
dengan persenjataan lebih unggul dapat memukul balik Pasukan Mataram,
Tumenggung Baureksa pun gugur.Serangan pertama belum berhasil.

b. Serangan Kedua

Tidak putus asa, Sultan Agung langsung mempersiapkan serangan kedua,


belajar dari pengalaman ia meningkatkan jumlah kapal senjata, dan makanan, ia
membangun lumbung beras untuk persediaan bahan makanan di Tegal dan
Cirebon.

Tahun 1629, Pasukan Mataram dibawah pimpinan Tumenggung


Singaranu, Kiaki Dipati Juminah, Dan Dipati Purbaya.VOC mengetahui persiapan
Pasukan Mataram, Sehingga di Tegal, VOC menghancurkan 200 kapal Mataram,
400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras.

Pantang mundur, dengan jumlah pasukan yang ada, Pasukan Mataram


berhasil menguasai dan menghancurkan Benteng Hollandia, lalu Pasukan
Mataram mengepung Benteng Bommel, tapi gagal menghancurkannya, terdengar
berita bahwa J.P Coen tewas dalam penyerangan itu yang terjadi pada tanggal 21
September 1629

Dengan kondisi kritis, Belanda semakin marah dan meningkatkan


kekuatannya untuk mengusir Pasukan Mataram, dengan senjata yang lebih baik
dan lengkap, Pasukan Mataram ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan
demikian serangan kedua Sultan Agung juga mengalami kegagalan.
B. PERLAWANAN RAKYAT BANTEN

Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abdul Fatah


yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa (1650–1682). Sultan Ageng
Tirtayasa mengadakan perlawanan terhadap VOC (1651), karena menghalang-halangi
perdagangan di Banten. VOC dalam menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa
menggunakan politik devide et impera, yaitu mengadu domba antara Sultan Ageng
Tirtayasa dengan putranya yang bernama Sultan Haji yang dibantu oleh VOC. Dalam
pertempuran ini Sultan Ageng Tirtayasa terdesak dan ditangkap. Perlawanan Sultan
Ageng dapat dilumpuhkan setelah VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen melakukan
politik adu domba terhadap putra mahkota kerajaan, yaitu Sultan Haji. Akhirnya,
terjadi pertentangan antara ayah dan anak. Sultan Haji mendapat bantuan VOC untuk
menurunkan ayahnya dari takhta kesultanan. Kemudian Sultan Haji (putera Sultan
Agung Tirtayasa) diangkat menjadi Sultan menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada Tahun 1750 meletus gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Sultan Haji
yang dipimpin Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Perlawanan dapat dipadamkan
berkat bantuan VOC.
Setelah pertempuran selesai,
Sultan Haji melakukan perundingan dengan VOC yang isinya mengharuskan Banten
menyerahkan beberapa bagian daerah kekuasaannya yaitu:
1. Sultan Haji harus mengganti biaya perang.
2 Banten harus mengakui di bawah kekuasaan VOC.
3. Kecuali VOC, pedagang lain dilarang berdagang di Banten.
4. Kepulauan Maluku tertutup bagi pedagang Banten.

Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai nama asli Abu’l Fath Abdul Fattah.
Beliau lahir di Banten pada tahun 1631. Beliau diangkat menjadi Raja Banten pada
usia 20 tahun. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai raja yang sangat gigih
menentang VOC. Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC
ingin mendapatkan monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang. Banten
menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC
memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC
mencari siasat memecah belah dengan memanfaatkan konflik internal dalam keluarga
Kerajaan Banten.
C. PERANG PADRI

1. Strategi-Strategi yang Digunakan Kaum Adat dan Belanda

Strategi Kaum Adat dan Kerajaan Pagaruyung : Meminta Bantuan


Belanda Kaum Adat mulai kewalahan menghadapi Kaum Padri. Kaum Padri terus
melaju menyerang Kaum Adat. Kekalahan demi kekalahan diderita Kaum Adat.
Sultan Arifin Muningsyah pun entah dimana. Semuanya memburuk bagi Kaum
Adat. Mereka pun berunding untuk menyelesaikan masalah ini. Hingga akhirnya
didapat sebuah solusi yaitu meminta bantuan Belanda.

Sultan Tangkal Alam Bagagar memimpin Kaum Adat untuk berunding


dengan Belanda. Meskipun aslinya Sultan Tangkal Alam Bagagar tidak berhak
mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung, tapi mereka tetap memaksa juga untuk
menandatangani perjanjian. Karena perjanjian ini, Belanda menganggap Kerajaan
Pagaruyung menyerah ke Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu Padang di
pimpin oleh Residen James du Puy. Atas saran residen, Sultan Tangkal Alam
Bagagar diangkat oleh Belanda menjadi Regent Tanah Datar. Kesempatan aliansi
ini terlalu sayang untuk dilewatkan karena Belanda juga sangat tertarik pada
Minangkabau karena cocok ditanami kopi. Kopi merupakan salah satu komoditas
perdagangan penting bagi Belanda di Eropa.

Belanda yang diundang Kaum Adat untuk mencampuri urusan Sumatera


Barat pun mulai beraksi. Mereka menyerang daerah Sulit Air dan Simawang yang
dipimpin oleh Kapten Dienema dan Kapten Goffinet. Lalu Letkol Raaff
membantu dua kapten itu dan berhasil mengusir Kaum Padri keluar Pagaruyung.
Lalu Belanda membangun benteng Fort Van Der Capellen di daerah Batusangkar.

2. Strategi Kaum Padri : Regroup dan Gerilya

Setelah kalah dari Belanda, Kaum Padri mulai menyusun dan


mengevaluasi kembali kekuatannya di Lintau. Kaum Padri menghalau serangan
Raaff di Tanjung Alam dan Luhak Agam. Lalu di Baso, Kaum Padri berhasil
membuat Kapten Goffinet terluka parah hingga meninggal. Dipimpin Tuanku Nan
Renceh, Kaum Padri berhasil menekan terus hingga Belanda kembali ke
Batusangkar. Perang Padri adalah salah satu contoh Perang gerilya Indonesia.

Aliansi Belanda dan Kaum Adat tidak dilindungi dewi fortuna. Pada April
1823, Belanda menambah kekuatannya. Raaff menyerang Lintau lagi tapi
pertahanan Kaum Padri terlalu gigih untuk Belanda. Sehingga Belanda terpaksa
pulang lagi ke Batu Sangkar. Atas permintaan Belanda, Sultan Arifin Muningsyah
pulang lagi ke Pagaruyung. Pada tahun 1844 Raaff meninggal karena demam dan
Sultan Arifin wafat pada tahun 1825. Tahun 1825, Belanda yang dimpimpin
Laemlin berhasil menduduki Biaro, Kapau, Ampang Gadang dan Koto Tuo. Tapi
akhirnya Laemlin akhirnya meninggal di Padang karena luka-luka perang yang
parah.

3. Strategi Belanda : Gencatan Senjata

Belanda menempuh cara lain yaitu dengan berunding. Karena sudah


pusing menghadapi Kaum Padri yang merepotkan dan kuat. Selain itu juga sudah
mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk menghadapi perang di Eropa dan
melawan Diponegoro. Dengan nama Perjanjian Masang, Belanda mengajak
Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan gencatan senjata.

Selama masa gencatan senjata, kubu Padri mulai bekerja. Tuanku Imam
Bonjol memulihkan pasukan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, lahirlah
konsensus bersama yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-Quran di
tanah Minangkabau. Bahasa Padangnya bernama “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah.”

4. Strategi Belanda : Menguasai Titik Vital

Belanda mulai berperang lagi setelah gencatan senjata yang dipimpin oleh
Letkol Elout. Kali ini Belanda lebih siap daripada sebelumnya. Karena semua
sudah dipersenjatai kembali, Diponegoro telah dikalahkan dan dana sudah cair.
Belanda melanggar perjanjian dan mulai menyerang Lintau dan Pandai Sikek.
Wilayah ini menghasilkan senjata api dan mesiu. Lalu membangun Fort de Kock
di Bukittinggi. Setelah itu menaklukkan Luhak Tanah Datar pada tahun 1831.

Letkol Elout mendapat bantuan dari Sentot Prawirodirjo. Sentot


merupakan panglima Diponegoro yang kelihatannya membelot dan memihak
pada Hindia Belanda. Tapi tingkah Sentot di Lintau terlihat mencurigakan.
Ternyata Sentot aslinya malah membantu Kaum Padri. Akhirnya Sentot malah
dibuang di Bengkulu lalu meninggal di sana.

Belanda lalu menyerang lagi dan kini dibantu oleh Letkol Vermeulen.
Jumlah infantri yang datang cukup besar. Mereka menyerang Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam dan Kamang. Kaum Padri mulai kalah dan hancur. Hingga Kaum
Padri harus mundur ke daerah Bonjol. Beberapa Kaum Padri juga mencoba
menyerang pertahanan Belanda di Padang Mantinggi dan membuat Belanda
kewalahan.

5. Strategi Kaum Padri dan Kaum Adat : Bersatu Kita Teguh

Kesadaran Kaum Adat dan Kaum Padri untuk bersatu sebenarnya sudah
sadar dari dulu. Mereka sama-sama sepakat bahwa semua semakin memburuk
untuk Minangkabau sejak Belanda ikut campur. Pada tahun 1833, muncullah
kompromi di antara dua kaum ini. Tiba-tiba, di tanggal 11 Januari 1833, ada
serangan mendadak kubu-kubu pertahanan Belanda. Kecurigaan orang Belanda
mengarah ke Sultan Tangkal Alam Bagagar. Belanda lalu menangkapnya atas
tuduhan pengkhianatan. Tentu saja Sultan Tangkal menyangkal. Tapi petinggi
tetap membuangnya ke Batavia.

Di titik ini inilah Belanda sadar bahwa kini Kaum Padri dan Kaum Adat
sudah bersatu. Setelah penangkan Sultan Tangkal Alam Bagagar, Belanda
membuat pengumuman yang bernama Plakat Panjang. Pengumuman ini
menyatakan bahwa Belanda tidak berniat untuk menguasai Minangkabau, tapi
hanya untuk berdagang. Pribumi tidak harus membayar pajak dan tetap di bawah
pimpinan penghulu.

6. Strategi Belanda : Penyerangan Bonjol

Sejarah Perang Padri yang begitu lama ini membuat para petinggi Belanda
sebal dan memutuskan solusi akhir untuk menyerang Benteng Bonjol. Tapi
serangan pada tahun 1833 gagal karena taktik gerilya Kaum Padri. Belanda tidak
menyerah. Semua pembangunan infrastruktur kini juga diarahkan ke Bonjol pada
tahun 1834. Pada tahun 1835, serangan lebih besar diarahkan ke Bonjol. Semua
sumber daya, infantri dan alat berat hanya memiliki satu tujuan. Yaitu kejatuhan
Benteng Bonjol. Benteng Bonjol dikepung hingga jatuh pada tanggal 16 Agustus
1837. Tapi Tuanku Imam Bonjol berhasil selamat dari kepungan ini.

7. Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol

Aliansi Kaum Padri dan Kaum Adat sudah melemah dan lelah. Sambil
terus berlari dan bersembunyi, Tuanku Imam Bonjol terus berusaha
mengkonsolidasi pasukan Sumatera Barat. Memang wajar karena mereka terus-
menerus berperang hingga mencapat batas. Hingga akhirnya, Tuanku Imam
Bonjol menyerahkan di ke Belanda. Beliau ditangkap dan dibuang ke berbagai
tempat. Mulai dari Cianjur, Ambon dan Minahasa. Akhirnya beliau meninggal di
tempat pengasingannya.

D. PERANG DI PONEROGO

Pangeran Diponegoro
memimpin atas pasukannya
dengan perang gerilya. Gubernur
Jenderal Van der Capellen
menjalankan strategi yaitu
mendirikan benteng di setiap
tempat yang ia kuasai. Dan juga
untuk mempersempit gerakan
dari pasukan Diponegoro.

Karena melemahnya kedudukan Diponegoro sehingga menyebabkan ia


menerima tawaran untuk perundingan dengan Belanda Di Magelang. Perundingan
inipun gagal dalam mencapai kata sepakat.

Karena inilah pangeran Diponegoro ditangkap dan dipindahkan ke


Manado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar. Perang ini berlangsung selama
5 tahun dan membawa dampak yang membuat kekuasaan wilayah yogyakarta dan
Surakarta berkurang, dan banyak menguras kas Belanda.
BAB III
PENUTUP

A. AKHIR PERLAWANAN SULTAN AGUNG VS J.P COEN


a. Melemahnya Kekuatan Mataram

Dengan kegagalan kedua penyerangan Pasukan Mataram membuat VOC


semakin berambisi untuk memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di
daerah lain.Namun dibalik itu VOC tetap mengawasi gerak Pasukan Matara.

Sebagai contoh, pada waktu Sultan Agung mengirim pasukan ke


Palembang untuk membantu Raja Palembang menyerang VOC, tetapi ditengah
jalan langsung diserang oleh VOC.

Jiwa Sultan Agung untuk melawan dominasi asing di Nusantara, tidak


diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung, ia meninggal pada tahun 1645,
Mataram pun semakin lemah dan dikendalikan oleh VOC

b. Kuburan Jan Pieterszoon Coen

Imogiri berasal dari kata Imo yang berarti mendung dan Giri yang yang
berarti gunung. Jadi Imogiri diartikan sebagai Gunung yang bermendung atau
Gunung yang sejuk.

Konon jenazah Gubernur Jenderal VOC yang pertama, Jan Pieterszoon


Coen juga dimakamkan di Imogiri sebagai kesed alias alas pembersih kaki. Ada
yang berpendapat bahwa makam J.P. Coen itu di Imogiri disebut sebagai makam
Indranata,

“Badannya dibagi tiga. Kaki dan tangan ditanam di dekat anak-tangga-


teratas, dekat pohon-pohon, kurang terawat, tubuhnya (gembung, dada, dan perut)
ditanam di tengah anak-tangga-terbawah dari Gapura Supiturang, dan kepalanga
ditanam di alas Gapura Situpirang itu.”

B. AKHIR PERLAWANAN BANTEN

Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji (1682
– 1687) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dan Sultan Haji berlainan sifatnya.
Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti-VOC sedang Sultan Haji lemah dan
tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan
Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya. Namun,
Sultan Haji menolak untuk turun dari tahta
kerajaan. Untuk mendapatkan tahtanya kembali,
Sultan Haji meminta bantuan pada VOC. Pada
tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng
menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji
bersemayam. Namun mengalami kegagalan karena
persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih
lengkap. Tahun 1683 Sultan Ageng berhasil
ditangkap, dan Sultan Haji kembali menduduki
tahta Banten. Meskipun Sultan Ageng telah ditangkap, perlawanan terus berlanjut di
bawah pimpinan Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.

C. AKHIR PERANG PADRI

Akhir yang buruk untuk semua etnis Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditangkap dan Belanda berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837.
Perang masih terus berlanjut hingga pertahanan terakhir Kaum Padri, di Rokan Hulu,
dikalahkan oleh Belanda pada tahun 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai yang
waktu itu memimpin Rokan Hulu terpaksa mundur dan pindah ke Negeri Sembilan
yang terletak di Semenanjung Malaya. Semua perlawanan rakyat Minangkabau
berhasil ditumpas oleh Belanda. Padangse Bovenlanden di bawah kendali Hindia
Belanda dan Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica

Demikian informasi tentang sejarah Perang Padri. Mulai dari latar belakang,
penyebab, proses terjadi dan akhir ceritanya. Semoga informasi ini bisa menambah
wawasan sejarah pembaca sekaligus menghormati perjuangan leluhur kita khususnya
masyarakat Sumatera Barat dalam melawan kolonialisme.

D. AKHIR PERANG DIPONEGORO

Untuk menghadapi perang Diponegoro, Belanda harus menarik pasukan yang


dipakai untuk perang di Sumatera Barat. Pada saat itu Belanda juga sedang
menghadapi perang besar yaitu perang padri.

Namun akhirnya Belanda harus melawan kedua belah pihak itu dan
belakangan bersatu untuk berbalik melawan kolonial Belanda. Berakhirnya perang
Jawa menjadi akhir dari perlawanan dari seluruh bangsawan jawa pada waktu itu.
Setelah perang ini berakhir maka jumlah penduduk menyusut.
Nah itulah ulasan mengenai perang Diponegoro yang harus kita ketahui,
karena inilah salah satu sejarah yang terjadi di Negeri tercinta. Yang menggambarkan
keberanian para pejuang-pejuang kita dan juga keberanian dari para pahlawan
Nasional yang membuat negara kita ini terbebaskan dari penjajahan.

Berakhirnya masa penjajahan maka berakhir juga segala kesusahan para


rakyat yang terus kerja paksa dan membuat mereka semakin susah dan
sengsara. Dimana semuanya dilakukan untuk menciptakan kedamaian di negeri
tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA

http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-diponegoro.html

https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-perang-padri

http://sejarahtembaktembakan.blogspot.com/2017/03/perlawanan-rakyat-banten.html

http://agusnaghkuta.blogspot.com/2014/09/sultan-agung-vs-jp-coen.html

Anda mungkin juga menyukai