Anda di halaman 1dari 11

PAHLAWAN NASIONAL

INDONESIA

NAMA : NOVRI ANTO


KELAS : XII IPS 3

SMA NEGERI I NARUMONDA


PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

1. PANGERAN DIPONEGORO
Bendara Raden Mas Antawirya merupakan nama asli Pangeran Diponegoro, beliau
merupakan salah satu pahlawan nasional yang berperan dalam perjuangan melawan
penjajahan Belanda di Indonesia. Diponegoro adalah pemimpin dalam Perang Jawa atau
lebih kita kenal dengan sebutan Perang Diponegoro, berlangsung pada tahun 1825 hingga
1830. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas profil singkat dan biografi Pangeran
Diponegoro, jika anda tertarik membacanya, simak ulasan berikut ini.

Pangeran Diponegoro merupakan pria kelahiran Yogyakarta pada tanggal 11 November


1785. Ia berasal dari keluarga bangsawan, ayahnya merupakan Sultan Hamenkubuwono III
dan ibunya bernama R.A Mengkarawati. Pangeran Diponegoro adalah anak sulung dari raja
ke 3 di Kesultanan Yogyakarta.

 Nama Resmi : Bendara Raden Mas Antawirya


 Lahir : Yogyakarta, tanggal 11 November 1785
 Orang Tua : Ayah (Sultan Hamengkubuwono III), Ibu bernama R.A Mengkarawati
 Meninggal/wafat : di Makasar, tanggal 8 Januari 1855

Berasal dari keluarga bangsawan, namun Pangeran Diponegoro lebih suka kehidupan yang
lebih dekat dengan rakyatnya. Kehidupannya banyak dihabiskan untuk mempelajari ilmu
agama. Ia tinggal di rumah eyang buyutnya di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro terkenal akan pemberontakannya terhadap kesultanan/keraton yang
saat itu dibawah pengaruh penjajahan Belanda. Perlawanan ini kemudian berkembang ke
arah peperangan. Disebut dengan Perang Jawa. Perang ini ia sebut perang menghadapi
kaum kafir. Diponegoro mendapat simpati dari sebagian besar kalangan rakyat atas
perlawanan yang ia lakukan. 

Perang Diponegoro sangat merugikan pihak Belanda, diakibatkan karena banyak menelan
biaya dan banyak juga pasukan militer Belanda berguguran. Apabila dihitung, pemerintah
Belanda menghabiskan lebih dari 50 juta Gulden untuk keperluan perang. Sementara itu,
jumlah pasukan yang gugur lebih dari 15.000 tentara.
Oleh sebab itu, Belanda mengeluarkan perintah bagi siapa saja yang bisa menangkap
Pangeran Diponegoro akan mendapat imbalan yang cukup banyak, yaitu sekitar 50 ribu
Gulden. Strategi Belanda tersebut gagal menangkap pemimpin perang Jawa tersebut.

Akhirnya dengan alih-alih perundingan gencatan senjata dan perdamaian, Diponegoro


menemui Jenderal de Kock di Magelang, tepat pada tanggal 28 Maret 1830. Tanpa
sepengetahuan Pangeran Diponegoro, ternyata pihak Belanda telah menyiapkan pasukan
untuk menyergap dan menangkapnya.
2.KAPITAN PATTIMURA
Thomas Matulessy atau yang memiliki sebutan dengan Kapitan Pattimura ini merupakan seorang
pahlawan nasional negara Indonesia yang berasal dari Maluku. Kapitan adalah sebuah gelar
kepangkatan yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut pemimpin dalam satuan militer di tingkatan
perwira. Kapitan Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 di Haria, Saparua, Maluku, Hindia Belanda.
Ayahnya bernama Antoni Matulessy yang merupakan anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.

Sumber: Kompas.com
Perjuangan Kapitan Pattimura
Kapitan Pattimura adalah seorang pahlawan Indonesia yang berasal dari Maluku. Perjuangan yang
dilakukan Kapitan Pattimura dalam melawan penjajahan Belanda yang masuk ke tanah Maluku untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah. Pada tanggal 13 Agustus 1814, setelah adanya
penandatanganan Perjanjian Inggris-Belanda, Kepulauan Maluku kembali di bawah kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 14 Mei 1817, untuk tetap mempertahankan daerahnya seluruh rakyat Saparua turut
melakukan perlawanan kepada Belanda.
Sebagian besar masyarakat Maluku turut memilih Kapitan Pattimura untuk memimpin pemberontakan.
Benteng Duurstede yang berhasil direbut dari tangan Belanda dan membuat semua tentaranya tewas,
termasuk Residen Van den Berg. Akan tetapi pada tanggal 11 November, Kapitan Pattimura ditangkap
oleh pihak Belanda dan Benteng Duurstede kembali berada di tangan Belanda.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Belanda menetapkan
berupa kebijakan monopoli, pajak atas tanah atau landrente, pemindahan penduduk serta pelayaran
Hongi atau Hongi Tochten, serta mengabaikan Traktat London I yang tertuang dalam Pasal 11 yang
memuat tentang ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan
korps Ambon dengan Gubernur.
Dan isi dalam perjanjian tersebut merupakan dicantumkannya dengan jelas bahwa jika pemerintahan
Inggris berakhir di Maluku, para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan. Maksudnya dalam artian ini
berhak untuk memilih untuk masuk dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan
tetapi dalam prakteknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.
Pada tahun 1817, kolonial Belanda kembali datang dan mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi dan hubungan kemasyarakatan yang terjadi buruk selama
dua abad lamanya. Rakyat Maluku akhirnya bangkit dan mengangkat senjata yang berada di bawah
pimpinan Kapitan Pattimura.
Saat terjadinya waktu pecah perang melawan penjajah Belanda pada tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, tua-tua adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena
berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria atau kabaresi.
Nama Kapitan Pattimura juga sangat disegani oleh para pemimpin VOC kala itu yang harus memutar
otak untuk menghadapi perlawanan rakyat Maluku. Tidak heran jika Pattimura sangat piawai dalam
pertempuran dan mengawal pasukan.
Dalam perjuangan menentang Belanda, Kapitan Pattimura juga menggalang persatuan dengan kerajaan
Ternate dan Tidore, para raja Bali, raja Sulawesi dan raja Jawa. Perang yang dilakukan Kapitan
Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat
dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi
Patimura.
Pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinasi oleh
Kapitan Pattimura yang juga dibantu oleh para panglima, seperti Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok,
Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang terjadi menghancurkan pasukan Belanda dan
tercatat, seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Strategi devide et impera alias politik pecah belah ala Kolonial Belanda pada akhirnya berhasil
menumbangkan Kapitan Pattimura beserta pengikut dan pasukannya. Akibat pengkhianatan dan
informasi dari mereka, strategi Pattimura diketahui oleh Belanda dan dapat dipatahkan. Kapitan
Pattimura ditangkap pada tanggal 11 November 1817 saat berada di Siri Sori. Belanda menawarkan
kerjasama kepada Kapitan Pattimura tetapi selalu ditolak.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Di kota Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 para tokoh pejuang Kapitan Pattimura,
Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parintah akhirnya ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon.
3. TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol berasal dari Bonjol, Sumatera Barat dan dikenal dalam
peranannya di Perang Padri. Perang tersebut merupakan konflik antara kaum Padri dan kaum
Adat. Tuanku Imam Bonjol Salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia adalah
Tuanku Imam Bonjol. Beliau berasal dari daerah Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat.
Berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973, Tuanku
Imam Bonjol diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Tuanku Imam Bonjol sangat berjasa
menentang penjajahan. Foto Tuanku Imam Bonjol ada di lembaran Rp 5.000 yang dikeluarkan
Bank Indonesia, tahun 2001. Selain itu, Imam Bonjol menjadi nama jalan, nama stadion, dan
universitas. BACA JUGA Penyebab dan Latar Belakang Perang Padri di Sumatera Barat Profil
Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol lahir pada 1 Januari 1772. Nama asli dari Tuanku
Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Tuanku Imam Bonjol adalah putra dari pasangan
Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Mengutip dari kemdikbud.go.id, Bayanuddin
menjadi ulama dari sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Ayah Tuanku Imam Bonjol menjadi
ulama dan pemimpin masyarakat. Gelar yang didapatkan Tuanku Imam Bonjol antara lain Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol
dikenal sebagai pemimpin kaum Padri di Bonjol. Perang Padri terjadi dari tahun 1803 sampai
1838 di Sumatera Barat. Awal mula perang ini karena perang antara kaum Padri (kaum Agama)
dan Kaum Adat. Advertisement Awal mula peperangan terjadi karena pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung, menjalankan syariat Islam. Penerapan agama Islam berpegang teguh
pada Al Qur'an dan sunnah Rasulullah S.A.W. Namun ajaran agama ini ditentang oleh kelompok
penghulu (kaum adat). Pertentangan ini membuat perang di Sumatera Barat. Bahkan Belanda
ikut campur urusan perang Padri. recommended by WEALTH AMULET Wanita Terkaya asal
Medan Ungkap Rahasia jadi Kaya PELAJARI LEBIH The top 5 reef-safe sunscreens for 2022
Perang terjadi periode 1821-1825, ketika kaum Padri melakukan perlawanan di Minangkabau.
Masa kedua (1825-1830), perang mulai mereda, tetapi Belanda melakukan siasat dan perjanjian
dengan kaum Padri. Sementara itu kaum Adat semakin terdesak karena perjanjian kaum Padri
dengan Belanda. Kaum Adat akhirnya meminta bantuan pada Belanda untuk menyerang kaum
Padri. ADVERTISEMENT Masa ketiga perang Padri (1830-1838), kemudian perlawanan kaum
Padri bertambah. Tahun 1833, akhirnya kaum Adat dan kaum Paderi bersatu untuk melawan
Belanda. Akibat perjanjian dengan Belanda, kaum Adat menyadari kerugian dan dampak
masyarakat Minangkabau. Belanda melakukan penyerangan dan mengepung benteng kaum
Padri. Mengutip dari banjarnegarakab.go.id, penyerangan Belanda ke benteng Kaum Padri
sekitar 6 bulan (16 Maret17 Agustus 1837). Benteng yang dibuat kaum Padri merupakan
bangunan yang dibuat dari tanah liat. Sementara sekelilingnya dibangun parit-parit. Pemerintah
Kolonial Belanda sampai 3 kali mengganti komandan perang untuk mengalahkan Tuanku Imam
Bonjol. Akhirnya Gubernur Jendral Johannes van den Bosch, melakukan perjanjian dengan
kaum Padri, melalui Perjanjian Masang. Perjanjian Masang adalah perjanjian perdamaian
antara Belanda dan kaum Padri, tahun 1824. Namun, perjanjian tersebut dilanggar oleh
Belanda sendiri. BACA JUGA Mengenal 7 Pahlawan Revolusi Korban G30S Belanda kemudian
menguasai benteng yang dibuat kaum Padri, pada 16 Agustus 1837. Akhirnya Tuanku Imam
Bonjol menyerah pada Belanda bulan Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap
dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon,
sampai ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.

4. NYI AGENG SERANG


Nyi Ageng Serang adalah seorang wanita yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia asal
Serang, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada awal Perang Diponegoro, 1825, Ageng Serang yang
berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro
melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasehat perang. Ageng Serang
berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan
Rembang. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun
talas hijau) untuk penyamaran. Baca juga: Robert Wolter Mongisidi: Perjuangan, dan Akhir Hidup
Kehidupan Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi lahir
di Serang, tahun 1752.  Ia adalah anak perempuan dari Pangeran Natapraja, penguasa wilayah
terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di Serang.  Meskipun merupakan putri bangsawan, ia
dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa, ia juga tampil sebagai salah satu panglima perang
untuk melawan penjajah.  Yangsangat menonjol dari perjuangannya adalah kemahirannya dalam
krida perang. Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama
dengan para prajurit pria.  Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia
harus siap tempur untuk melawan para penjajah.  Nyi Ageng Serang merupakan salah satu
keturunan dari Sunan Kalijaga.  Ia juga memiliki keturunan seorang pahlawan nasional, yaitu Ki
Hajar Dewantara. Baca juga: Yos Sudarso: Kiprah, Peran, dan Akhir Hidupnya Perjuangan Pada
1755 sampai 1830, masyarakat belum mendengar arti emansipasi. Di mana kedudukan wanita saat
itu berbeda dengan sekarang.  Namun, Nyi Ageng Serang berbeda, ia merupakan seorang pejuang
wanita yang maju melawan Belanda dalam Perang Diponegoro pada 1825 sampai 1830. 
Peperangan pertama yang ia ikuti adalah bersama dengan ayahnya, Pangeran Natapraja. Saat itu,
Belanda tiba-tiba melakukan penyerbuan terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja.  Karena
usia sang ayah sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang diserahkan kepada Nyi Ageng Serang. 
Saat perlawanan terjadi, saudara laki-lakinya harus gugur.  Nyi Ageng Serang kemudian
memegang langsung kepemimpinan dan berjuang melawan Belanda dengan gagah berani. 
Namun, karena jumlah kekuatan musuh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya, Pangeran
Mangkubumi tidak lagi membantu, pasukan Serang terdesak. Pangeran Mangkubumi mengadakan
perdamaian dengan Belanda berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Awalnya, Nyi
Ageng Serang tidak ingin menyerahkan diri. Tetapi, ia tetap berhasil ditangkap dan menjadi
tawanan Belanda.  Bermula dari pertempuran di Serang inilah kemudian nama Kustiah menjadi Nyi
Ageng Serang.  Setelah dibebaskan, Nyi Ageng Serang dikirim ke Yogyakarta. Di sana ia banyak
menghabiskan waktunya untuk memperkuat spiritualnya. Sampai akhirnya, pecah perang
Diponegoro.  Perang Diponegoro terjadi oleh menguatnya pengaruh Belanda di dalam Kraton
sehingga menimbulkan kekacauan.  Sejak itu, semangat patriotisme Nyi Ageng Serang kembali
bangkit.  Ia bersama suaminya, Kusumawijaya, memihak Pangeran Diponegoro. Mereka
melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Suaminya pun gugur dalam pertempuran ini. 
Mengetahui hal ini, Nyi Ageng Serang merasa tertekan. Ia pun melatih cucu laki-lakinya dalam
keterampilan serta siasat dan taktik keprajuritan.  Kemudian, Nyi Ageng Serang bersama cucunya
kembali bergabung dalam pertempuran dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang
yang saat itu sudah berusia 73 tahun diangkat oleh Pangeran Diponegoro menjadi penasehat. 
Namun, hal ini tidak bisa menahannya, ia selalu berada di tengah para prajurit di garis depan. 
Berkat petunjuk serta nasehat dari Nyi Ageng Serang, Belanda berhasil diporakpondakan.  Baca
juga: Suharso: Kiprah dan Karyanya di Dunia Medis Akhir Hidup Menjelang usia ke-76 tahun,
konsidi kesehatan Nyi Ageng Serang semakin memburuk. Ia pun jatuh sakit dan kemudian wafat
pada 1828. Jenazahnya dimakamkan di Dusun Beku, Kulonprogo.  Atas jasanya, Nyi Ageng
Serang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia melalui Surat Keppres No. 084/TK/1974
pada 13 Desember 1974.  Namanya juga digunakan untuk gedung Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman di Jakarta Selatan. 

5. UNTUNG SUROPATI
 Untung Surapati adalah seorang pejuang Indonesia yang memimpin pemberontakan melawan
kolonialisme VOC, Perusahaan Hindia Timur Belanda. Surapati dikenal sebagai seorang tokoh
dalam sejarah Nusantara yang tercatat di dalam Babad Tanah Jawi, naskah berbahasa Jawa. 
Dalam naskah ini, Surapati dikenal sebagai tokoh legendaris dalam perjuangannya melawan
kolonialisme VOC di Pulau Jawa.  Baca juga: Karel Sadsuitubun (KS Tubun): Peran, Kiprah,
dan Pembunuhannya Latar Belakang Untung Surapati yang bernama asli Surawiraaji lahir di
Bali, 1660.  Menurut naskah Babad Tanah Jawi, ia ditemukan oleh Kapten van Beber, perwira
VOC, yang bertugas di Makassar. Kapten van Beber kemudian menjual Surapati kepada
perwira VOC lainnya di Batavia bernama Moor. Sejak ada Surapati, karier serta kekayaan
Moor melonjak.  Bocah kecil ini dianggap sebagai pembawa keberuntungan, sehingga ia diberi
nama "Si Untung". Saat Untung berusia 20 tahun, ia dijebloskan ke penjara oleh Moor karena
telah menjalin hubungan asmara dengan putrinya, Suzane.  Di penjara, Untung menghimpun
para tahanan dan berhasil kabur yang membuatnya menjadi buronan. Pada 1683, Sultan
Ageng Tirtayasa, Raja Banten, kalah dari VOC. Putranya, Pangeran Purbaya, melarikan diri ke
Gunung Gede. Ia memutuskan untuk menyerah, tetapi hanya mau dijemput oleh perwira VOC
pribumi. Suatu ketika, Kapten Ruys, pemimpin benteng Tanjungpura, berhasil menemukan
pasukan Untung.  Mereka kemudian ditawari pekerjaan sebagai tentang VOC daripada hidup
sebagai buronan. Untung pun menerima tawaran tersebut. Ia dilatih secara militer, diberi
pangkat letnan, dan ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. Untung pun menemui
Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura, namun istrinya, Gusik Kusuma, meminta
Untung untuk mengantarnya pulang ke Kartasura. Ia kembali menjadi buronan. Pada proses
pengejaran, Untung pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper, pasukan VOC, di Desa
Rajapalah. Saat melewati Kesultanan Cirebon, ia berseteru dengan Raden Surapati. Setelah
diadili, terbukti bahwa yang bersalah adalah Surapati. Ia pun dihukum mati. Sejak saat itu
nama Surapati pun oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.  Baca juga: Agustinus
Adisucipto: Pendidikan, Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup Perjuangan Pada 1686, VOC
mengirim Kapten Tack ke Kartasura untuk meyakinkan Pangeran Amangkurat, Raja Mataram,
untuk mengantarkan Surapati kepadanya. Sesampainya di sana, Tack mengatakan bahwa
dirinya adalah prajurit dari Amangkurat yang menyerang kediaman Surapati. Bahkan,
serangan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena Amangkurat tidak berniat
melepaskan Surapati.  Surapati dianggap sebagai sekutu yang berharga. Tack dan 74 orang
lainnya pun akhirnya dibunuh oleh pasukan Surapati. Sisa pasukan VOC mundur ke garnisun
atau pasukan Belanda di Kartasura.  Surapati kemudian meninggalkan Kartasura dan pergi ke
Pasuruan. Di sana ia mendirikan benteng di tanah Mataram. Di kota ini, Surapati berhasil
mengalahkan bupatinya, Anggajaya, dan kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati
Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah
kenal dengan Surapati di Kartasura. Untung Surapati pun kemudian mengangkat diri menjadi
Bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada 1690, Amangkurat II berpura-
pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami
kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Baca juga: Teuku Nyak Arif: Kehidupan, Kiprah, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya Akhir Hidup
Pada 1703, Amangkurat wafat.  Setelah itu, terjadilah perebutan takhta Kartasura antara
Amangkurat III melawan Pangeran Puger, raja Kasunanan Kartasura.  Pada 1704, Pangeran
Puger, mengangkat dirinya menjadi Pakubuwana I dengan didukung VOC. Pada September
1706, gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madur, dan Surabaya dipimpin oleh Mayor Goovert
Knole menyerbu Pasuruan. Di dalam pertempuran inilah Untung Surapati tewas, pada 17
Oktober 1706. 
6. SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Sultan Hasanuddin mulai memerintah Kesultanan Gowa pada 1653 dengan gelar I Mallombasi
Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri
Balla'pangkana. Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur atau De Haav
van de Oesten. Julukan itu diberikan Belanda kepada Sultan Hasanuddin karena keberaniannya
melawan penjajah. Dia lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama asli Muhammad Bakir
I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.
Hasanuddin merupakan putra dari Raja Gowa Ke-15, Sultan Malik as-Said atau Malikusaid (1639-
1653), dan istrinya, I Sabbe To'mo Lakuntu. Adapun kakek Hasanuddin adalah Sultan Alauddin
(1593–1639) yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk Islam. Oleh sebab itu,
Hasanuddin juga merupakan raja ke-3 di Kesultanan Gowa sejak kerajaan ini memeluk Islam. Masa
kecil Sultan Hasanuddin Sultan Hasanuddin dikisahkan memiliki jiwa kepemimpinan yang menonjol
sejak kecil. Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang, sehingga
dia memiliki jaringan dagang hingga Makassar dan orang asing. Saat kecil, Sultan Hasanuddin
mendapatkan pendidikan di Masjid Botoala. Sebagai putra mahkota, sejak kecil Sultan Hasanuddin
kerap diajak sang ayah untuk mengikuti pertemuan penting kerajaan. Dengan begitu, sang ayah
berharap Hasanuddin bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa muda,
Hasanuddin juga telah beberapa kali mendapatkan kepercayaan sebagai delegasi Kerajaan Gowa
untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan. Saat berusia 21 tahun, Hasanuddin pun telah
mendapatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Selain bimbingan sang ayah, Hasanuddin juga
mendapatkan pendidikan tentang pemerintahan dari Karaeng Pattingaloang yang merupakan
Mangkubumi Kesultanan Gowa. Penobatan Raja dan Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin Ada
dua versi sejarah yang menjelaskan pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Versi
pertama menyebutkan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan sebagai Raja Gowa pada 1655 atau
saat dia berusia 24 tahun. Adapun versi kedua menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan
saat berusia 22 tahun atau pada 1653. Akan tetapi, sang ayahanda, Sultan Malikussaid, tercatat
telah turun takhta pada 1653 dan meninggalkan wasiat agar kerajaan Gowa diteruskan oleh
Hasanuddin. Saat Sultan Hasanuddin mulai memimpin Kerajaan Gowa, bumi Nusantara mulai
dijajah oleh Belanda yang ingin menguasai rempah-rempah. Belanda datang ke Gowa yang memiliki
kekayaan rempah-rempah melimpah. Terlebih, Gowa saat itu menjadi jalur utama perdagangan
rempah-rempah dari berbagai kota dan negara di seluruh dunia. Pada masa awal kepemimpinan
Sultan Hasanuddin di Gowa, Belanda sebenarnya telah menguasai banyak kerajaan-kerajaan kecil
di Nusantara. Meski begitu, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk. Alih-alih tunduk kepada Belanda,
Sultan Hasanuddin justru berusaha mengumpulkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk bergabung
dan berjuang melawan penjaja Baca juga: Sejarah BPUPKI: Tujuan, Tugas, Anggota, dan Hasil
Sidangnya Peperangan antara kerajaan Gowa bersama para sekutunya untuk melawan
pemerintahan VOC Belanda pun dimulai pada 1660. Dalam perang itu, Belanda dibantu Kerajaan
Bone yang sebelumnya telah mereka taklukkan. Pasukan Sultan Hasanuddin pun berhasil
mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka merebut dua kapal Belanda, yaitu Leeuwin
dan De walfis. Perang antara Belanda dan Kerajaan Gowa itu menelan korban Raja Kerajaan Bone
yang membantu Belanda. Jatuhnya Gowa dan Akhir Hidup Sultan Hasanuddin Kekalahan itu
membuat Belanda marah. Mereka kemudian mengirimkan pasukan yang lebih besar di bawah
kepemimpinan Cornelis Spellman untuk menyerang Kerajaan Gowa dan membunuh Sultan
Hasanuddin. Pertempuran sengit pun terjadi dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga
akhirnya Kerajaan Gowa menyerah kalah. Sultan Hasanuddin pun terpaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya dengan VOC Belanda pada 18 November 1667. Lantaran merasa dirugikan
dengan isi Perjanjian Bongaya, Sultan Hasanuddin kembali memimpin pasukannya untuk
menyerang Belanda pada 12 April 1668. Namun, pasukan Belanda terlalu kuat sehingga akhirnya
Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil diduduki. Kendati
semakin terdesak, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau tunduk pada Belanda dan terus melakukan
perlawanan secara sporadis. Sang Ayam Jantan dari Timur terus melawan Belanda hingga akhirnya
mundur dari takhta. Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670 dan dimakamkan di Katangka,
Kabupaten Gowa. Dia kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia
melalui Keppres No 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.  

7. CUT NYAK DIEN


Nama : Cut Nyak Dhien
Lahir : Aceh Besar, 1848
Wafat : Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908
Orang Tua : Teuku Nanta Seutia
Suami : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Anak : Cut Gambang
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh. Tidak diketahui dengan jelas tanggal lahir dari
Cut Nyak Dien. Tapi ia diketahui lahir pada tahun 1848. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat
beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan
Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh
Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dien merupakan keturunan
Minangkabau.
Ibu Cut Nyak Dien adalah putri uleebalang Lampagar. Pada masa kecilnya, wanita pemberani ini adalah
anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-
hari yang dididik baik oleh orang tuanya).
Banyak laki-laki yang suka padanya dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan
oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga
XIII.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus.
Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim
3.198 prajurit.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki
Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Dien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal
24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat
Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Menikah Dengan Teuku Umar
Setelah Ibrahim Lamnga meninggal, Teuku Umar kemudian melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut
Nyak Dien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam
medan perang, Ia akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880.
Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan belanda. Dari
pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar
melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
‘Menyerahkan Diri’ ke Dengan Belanda
Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke
Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit
pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh.
Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat
oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dien dan memakinya. Ia
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda.
Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dien
merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”. Pada tanggal 6 November
1908, Cut Nyak Dien meninggal karena usianya yang sudah tua.

8. Teuku cik ditiro


Teungku Chik di Tiro atau yang bernama asli Muhammad Saman adalah seorang pejuang
gerilya yang berasal dari Aceh. Ia menjadi tokoh yang rela mengorbankan harta benda, kedudukan,
serta nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinannya ini kemudian dibuktikan di
kehidupan nyata melalui Perang Aceh, pada 1881. Chik di Tiro berhasil merebut wilayah-wilayah
yang selama ini sudah diduduki oleh Belanda.  Baca juga: Martha Christina Tiahahu: Kehidupan,
Perjuangan, dan Akhir Hidup Kehidupan Teungku Muhammad Saman atau Chik di Tiro lahir di Tiro,
Aceh, pada 1 Januari 1836. Ia merupakan putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah.  Muhammad Saman besar dan tumbuh dalam keluarga yang religius. Sampai ia
berusia 15 tahun, Saman banyak belajar bersama sang ayah.  Kemudian, ia melanjutkan
pendidikannya bersama sang paman, Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro. Setelah belajar dari beberapa
guru, Chik di Tiro berpindah ke Aceh Besar dan menghabiskan waktunya selama dua tahun di sana.
Pada siang hari, di Tiro akan belajar mengenai Islam, sedangkan di malam hari ia bergabung
bersama teman-temannya berjuang melawan kolonial Belanda. Suatu waktu, di Tiro kembali ke
rumahnya. Ia mulai mengajar bersama pamannya. Setelah beberapa tahun menjadi guru, di Tiro
menunaikan ibadah haji di Mekah. Di sana ia memperdalam ilmu agamanya. Tidak lupa, Saman juga
menjumpai para pimpinan Islam di sana sehingga ia mengetahui perjuangan para pemimpin dalam
melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang ia yakini, Saman rela
berkorban harta benda, kedudukan, bahkan nyawanya demi menegakkan agama dan bangsa. Baca
juga: Supeno: Kehidupan, Karier Politik, dan Akhir Hidup Peperangan Suatu hari, pada 1880, setelah
di Tiro kembali ke kota asalnya, terdapat sebuah kelompok pejuang gerilya datang dan mencari
seorang ulama untuk memimpin peperangan. Chik di Tiro pun menawarkan dirinya dan bergabung
bersama pasukan gerilya yang bermarkas di Gunung Miram.  Ia pun memulai perjalanannya
menelusuri Aceh. Setiap kali ia berhenti di suatu kota, di Tiro akan menyampaikan ceramahnya di
masjid tentang perang suci. Pada waktu yang sama, di Tiro juga mengirim surat kepada ulama lain
untuk memanggil mereka agar turut berperang mengusir Belanda dari Aceh pada 1883. Chik di Tiro
dan para ulama lainnya berhasil mengumpulkan 6000 tentara untuk berperang melawan Belanda
serta mendapat dukungan dari Sultan Aceh. Pada Mei 1881, di Tiro dan pasukannya berhasil
merebut Benteng Belanda di Indrapuri yang memicu Perang Aceh.  Sebagai balasan, Belanda
memperkuat benteng mereka di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani. Selama tahun 1882 sampai
1883, Belanda dan Aceh terus bertempur.  Pada awal 1883, pasukan di Tiro menyerang benteng
Belanda di Kutaraja (Banda Aceh), namun gagal. Kendati demikian, mereka berhasil membunuh
penguasa Belanda.  Pada puncak peperangan, daerah kekuasaan Belanda di Aceh mulai berkurang,
yang tadinya menguasai hampir seluruh Aceh menjadi hanya 4 kilometer persegi tanahnya saja.
Pada 1885, di Tiro mulai merasa bahwa Belanda sudah siap untuk menyerah. Untuk itu, ia
mengirimkan ultimatum kepada Asisten Residen van Langen menawarkan perdamaian jika Belanda
bersedia masuk Islam. Beberapa orang Belanda pun menyatakan bersedia, tetapi rupanya mereka
diketahui sebagai mata-mata.  Pada 1888, di Tiro kembali mengirimkan surat kepada Belanda, tetapi
tidak mendapat tanggapan. Baca juga: WR Supratman: Kehidupan, Karya, dan Akhir Hidupnya Akhir
Hidup Selama beberapa tahun, di Tiro masih memimpin pasukannya untuk melawan Belanda. Chik di
Tiro tidak akan menyerah sampai semua orang Belanda terbunuh. Untuk menyiasati hal ini, pada 21
Januari 1891, di Tiro dihidangkan makanan beracun oleh putra pemimpin Sagi. Ia ditawari oleh
Belanda untuk menjadi pemimpin jika bersedia membunuh di Tiro. Setelah di Tiro memakannya, ia
pun dibawa ke Benteng Aneuk Galong untuk dirawat. Namun, nyawanya tidak tertolong.  Ia
dimakamkan di kuburan keluarga di Meureu, Aceh Besar. Atas jasanya, pada 6 November 1973,
melalui Surat Keppres No. 987/TK/1973, Presiden Soeharto memberinya gelar Pahlawan Nasional
Indonesia.

9. Martha christina tiahahu


Nama Lengkap : Martha Christina Tijahahu
Alias : Martha
Profesi : Pahlawan Nasional
Tempat Lahir : Nusa Laut, Maluku
Tanggal Lahir : Sabtu, 4 Januari 1800
Zodiac : Capricorn
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional perempuan pertama yang gugur di medan perang
saat bertempur melawan Belanda demi mempertahankan tanah Maluku yang kaya akan hasil bumi. Ia
lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 dan dibesarkan seorang diri oleh ayahnya, Kapitan Paulus
Tiahahu yang merupakan kawan baik dari Thomas Mattulessi atau Kapitan Pattimura.

Sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Martha Christina ini sering mengikuti ayahnya dalam rapat
pembentukan kubu-kubu pertahanan hingga pada akhirnya di usia yang ketujuh belas tahun ia turut
andil dalam pertempuran melawan Belanda di desa Ouw, Ullath, pulau Saparua. Dalam pertempuran itu,
ia memimpin pasukan perang wanita dan mengobarkan semangat juang pada pasukan agar terus ikut
mendampingi pasukan laki-laki dalam perebutan wilayah Maluku dari penjajah hanya berbekal bambu
runcing dengan ikat kepala melingkar di kepala.

Bersama dengan para pejuang tanah Maluku yang lain, Martha Christina cukup membuat kerepotan
Belanda. Saat itu, pimpinan Belanda, Richemont, tewas tertembak dalam pertempuran membuat
Belanda semakin sengit dalam melancarkan aksinya. Dengan persenjataan lengkap, pasukan Indonesia
berhasil dipukul mundur dan beberapa pentolan pasukan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati
termasuk ayah Martha Christina, Kapitan Paulus Tiahahu.

Mendengar kabar eksekusi yang akan dilakukan Belanda terhadap ayahnya, Martha Christina berusaha
untuk membebaskan ayahnya dari hukuman yang dijatuhkan. Namun usahanya sia-sia, ayah Martha
Christina meninggal dalam eksekusi yang dilakukan Belanda terhadap beberapa pejuang Indonesia di
tanah Maluku yang berhasil ditangkap. Sepeninggal ayahnya, Martha Christina digiring bersama pejuang
lainnya yang tertangkap untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi yang ada di pulau Jawa.

Namun, dalam perjalanan menuju pulau Jawa, tepatnya di kapal Eversten, Martha Christina melanjutkan
aksi pemberontakannya terhadap Belanda dengan aksi mogok makan dan mogok pengobatan. Dalam
aksinya tersebut, akhirnya Martha Christina meninggal di perjalanan menuju pulau Jawa pada tanggal 2
Januari 1818. Jasadnya kemudian dibuang di laut Banda dan namanya ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada tahun 1969. Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat monumen
untuk mengenang jasa Martha Christina.

PENGHARGAAN
 Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969

10. Raden ajeng kartini


Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi atau
bangsawan Jawa. Ia putri dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M. A. Ngasirah.
Sang ibu merupakan istri pertama namun bukan yang utama.
Kala itu, sang ayah merupakan seorang Wedana (kepala wilayah administrasi kepemerintahan di
antara kabupaten dan kecamatan). Ada kebijakan dari pemerintah Belanda, jika ingin menjadi
bupati, maka ayah Kartini harus menikah dengan keturunan priyayi juga.
Sementara M. A. Ngasirah hanyalah orang biasa. Ibunya Kartini itu merupakan anak dari Nyai Haji
Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, yang merupakan guru agama di Telukawur, Jepara.
Sedangkan sang ayah masih berada di garis keturunan Hamengkubuwono VI.
Karena situasi keluarga yang seperti itu, ayah Kartini pun memutuskan untuk menikah lagi dengan
Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Kartini merupakan
anak ke-5 dari 11 bersaudara yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tirinya.
Kartini kecil berbeda dengan anak-anak perempuan di kampungnya. Ia mendapatkan kesempatan
sekolah bagus. Kartini menempuh pendidikan di ELS (Europese Lagere School) hingga usianya 12
tahun. Setelah itu, ia dipingit di rumah. Karena pada masa itu ada tradisi wanita Jawa harus
tinggal di rumah dan dipingit. Selama sekolah di ELS, Kartini belajar Bahasa Belanda. Karena bisa
berbahasa Belanda tersebut, di rumah pun Kartini tetap belajar dan berkirim surat kepada teman-
teman korespondensi dari Belanda salah satunya Rosa Abendanon dan Estelle "Stella"
Zeehandelaar. Bahkan, beberapa kali tulisan Kartini dimuat dalam majalah De Hollandsche Lelie.
Dari berbagai buku, majalah, dan surat kabar Eropa, Kartini mulai tertarik dengan cara berpikir
wanita-wanita Eropa yang lebih bebas dan maju ketimbang wanita-wanita pribumi kala itu. Dari
sanalah timbul keinginannya untuk memajukan para perempuan pribumi yang dinilai masih
memiliki tingkat sosial yang rendah.Karena kondisinya dipingit, tak banyak kegiatan yang bisa
dilakukan Kartini di luar rumah.  Namun, bukan berarti dia berdiam diri. Aktivitas surat-menyurat
Kartini menjadi senjata perjuangannya. Surat-surat yang ditulisnya lebih banyak berisi keluhan-
keluhan tentang kehidupan wanita pribumi khususnya Jawa yang sulit untuk maju.
Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu, dan juga adat
yang mengekang kebebasan perempuan. Kartini menginginkan emansipasi, seorang perempuan
harus memperoleh kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun di mata hukum.
Kartini juga mengungkit isu agama seperti poligami dan alasan mengapa kitab suci harus dihapal
dan dibaca tapi tidak perlu dipahami. Bahkan, ada kutipan dari Kartini yang berkata, “Agama
harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas
nama agama itu.”
Daya nalar Kartini makin matang. Ketika ia menginjak usia 20 tahun, Kartini membaca buku-buku
karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan
Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis. Semuanya menggunakan bahasa
Belanda.Tinggal di Jepara membuat Kartini merasa tidak begitu berkembang. Dengan fasilitas
yang dimiliki keluarga, ia pun ingin melanjutkan sekolah ke Jakarta atau ke Belanda. Tapi
orangtuanya tidak mengizinkannnya meskipun tidak melarangnya untuk menjadi seorang guru.
Kartini pun mengurungkan niatnya dan tetap menjalani hidupnya di Jepara. Pada usia 24 tahun, ia
diminta orangtuanya untuk menikah. Kartini menyetujui dan menikah dengan K. R. M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah
memiliki 3 istri.
Meski sudah menjadi istri, Kartini tetap bersemangat ingin menjadi guru dan mendirikan sekolah.
Keinginan Kartini disambut baik suaminya. Kartini memperoleh kebebasan dan didukung untuk
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setahun menikah, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang
lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun, empat hari setelah melahirkan, ajal
menjemputnya. Kartini meninggal pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Ia dimakamkan
di Desa Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Meski sudah meninggal, perjuangan Kartini lewat surat-suratnya memiliki arti penting bagi
kedudukan wanita Indonesia. Salah satunya, buku "“Habis Gelap Terbitlah Terang".

Anda mungkin juga menyukai