INDONESIA
1. PANGERAN DIPONEGORO
Bendara Raden Mas Antawirya merupakan nama asli Pangeran Diponegoro, beliau
merupakan salah satu pahlawan nasional yang berperan dalam perjuangan melawan
penjajahan Belanda di Indonesia. Diponegoro adalah pemimpin dalam Perang Jawa atau
lebih kita kenal dengan sebutan Perang Diponegoro, berlangsung pada tahun 1825 hingga
1830. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas profil singkat dan biografi Pangeran
Diponegoro, jika anda tertarik membacanya, simak ulasan berikut ini.
Berasal dari keluarga bangsawan, namun Pangeran Diponegoro lebih suka kehidupan yang
lebih dekat dengan rakyatnya. Kehidupannya banyak dihabiskan untuk mempelajari ilmu
agama. Ia tinggal di rumah eyang buyutnya di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro terkenal akan pemberontakannya terhadap kesultanan/keraton yang
saat itu dibawah pengaruh penjajahan Belanda. Perlawanan ini kemudian berkembang ke
arah peperangan. Disebut dengan Perang Jawa. Perang ini ia sebut perang menghadapi
kaum kafir. Diponegoro mendapat simpati dari sebagian besar kalangan rakyat atas
perlawanan yang ia lakukan.
Perang Diponegoro sangat merugikan pihak Belanda, diakibatkan karena banyak menelan
biaya dan banyak juga pasukan militer Belanda berguguran. Apabila dihitung, pemerintah
Belanda menghabiskan lebih dari 50 juta Gulden untuk keperluan perang. Sementara itu,
jumlah pasukan yang gugur lebih dari 15.000 tentara.
Oleh sebab itu, Belanda mengeluarkan perintah bagi siapa saja yang bisa menangkap
Pangeran Diponegoro akan mendapat imbalan yang cukup banyak, yaitu sekitar 50 ribu
Gulden. Strategi Belanda tersebut gagal menangkap pemimpin perang Jawa tersebut.
Sumber: Kompas.com
Perjuangan Kapitan Pattimura
Kapitan Pattimura adalah seorang pahlawan Indonesia yang berasal dari Maluku. Perjuangan yang
dilakukan Kapitan Pattimura dalam melawan penjajahan Belanda yang masuk ke tanah Maluku untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah. Pada tanggal 13 Agustus 1814, setelah adanya
penandatanganan Perjanjian Inggris-Belanda, Kepulauan Maluku kembali di bawah kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 14 Mei 1817, untuk tetap mempertahankan daerahnya seluruh rakyat Saparua turut
melakukan perlawanan kepada Belanda.
Sebagian besar masyarakat Maluku turut memilih Kapitan Pattimura untuk memimpin pemberontakan.
Benteng Duurstede yang berhasil direbut dari tangan Belanda dan membuat semua tentaranya tewas,
termasuk Residen Van den Berg. Akan tetapi pada tanggal 11 November, Kapitan Pattimura ditangkap
oleh pihak Belanda dan Benteng Duurstede kembali berada di tangan Belanda.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Belanda menetapkan
berupa kebijakan monopoli, pajak atas tanah atau landrente, pemindahan penduduk serta pelayaran
Hongi atau Hongi Tochten, serta mengabaikan Traktat London I yang tertuang dalam Pasal 11 yang
memuat tentang ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan
korps Ambon dengan Gubernur.
Dan isi dalam perjanjian tersebut merupakan dicantumkannya dengan jelas bahwa jika pemerintahan
Inggris berakhir di Maluku, para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan. Maksudnya dalam artian ini
berhak untuk memilih untuk masuk dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan
tetapi dalam prakteknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.
Pada tahun 1817, kolonial Belanda kembali datang dan mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi dan hubungan kemasyarakatan yang terjadi buruk selama
dua abad lamanya. Rakyat Maluku akhirnya bangkit dan mengangkat senjata yang berada di bawah
pimpinan Kapitan Pattimura.
Saat terjadinya waktu pecah perang melawan penjajah Belanda pada tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, tua-tua adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena
berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria atau kabaresi.
Nama Kapitan Pattimura juga sangat disegani oleh para pemimpin VOC kala itu yang harus memutar
otak untuk menghadapi perlawanan rakyat Maluku. Tidak heran jika Pattimura sangat piawai dalam
pertempuran dan mengawal pasukan.
Dalam perjuangan menentang Belanda, Kapitan Pattimura juga menggalang persatuan dengan kerajaan
Ternate dan Tidore, para raja Bali, raja Sulawesi dan raja Jawa. Perang yang dilakukan Kapitan
Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat
dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi
Patimura.
Pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinasi oleh
Kapitan Pattimura yang juga dibantu oleh para panglima, seperti Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok,
Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang terjadi menghancurkan pasukan Belanda dan
tercatat, seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Strategi devide et impera alias politik pecah belah ala Kolonial Belanda pada akhirnya berhasil
menumbangkan Kapitan Pattimura beserta pengikut dan pasukannya. Akibat pengkhianatan dan
informasi dari mereka, strategi Pattimura diketahui oleh Belanda dan dapat dipatahkan. Kapitan
Pattimura ditangkap pada tanggal 11 November 1817 saat berada di Siri Sori. Belanda menawarkan
kerjasama kepada Kapitan Pattimura tetapi selalu ditolak.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Di kota Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 para tokoh pejuang Kapitan Pattimura,
Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parintah akhirnya ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon.
3. TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol berasal dari Bonjol, Sumatera Barat dan dikenal dalam
peranannya di Perang Padri. Perang tersebut merupakan konflik antara kaum Padri dan kaum
Adat. Tuanku Imam Bonjol Salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia adalah
Tuanku Imam Bonjol. Beliau berasal dari daerah Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat.
Berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973, Tuanku
Imam Bonjol diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Tuanku Imam Bonjol sangat berjasa
menentang penjajahan. Foto Tuanku Imam Bonjol ada di lembaran Rp 5.000 yang dikeluarkan
Bank Indonesia, tahun 2001. Selain itu, Imam Bonjol menjadi nama jalan, nama stadion, dan
universitas. BACA JUGA Penyebab dan Latar Belakang Perang Padri di Sumatera Barat Profil
Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol lahir pada 1 Januari 1772. Nama asli dari Tuanku
Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Tuanku Imam Bonjol adalah putra dari pasangan
Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Mengutip dari kemdikbud.go.id, Bayanuddin
menjadi ulama dari sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Ayah Tuanku Imam Bonjol menjadi
ulama dan pemimpin masyarakat. Gelar yang didapatkan Tuanku Imam Bonjol antara lain Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol
dikenal sebagai pemimpin kaum Padri di Bonjol. Perang Padri terjadi dari tahun 1803 sampai
1838 di Sumatera Barat. Awal mula perang ini karena perang antara kaum Padri (kaum Agama)
dan Kaum Adat. Advertisement Awal mula peperangan terjadi karena pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung, menjalankan syariat Islam. Penerapan agama Islam berpegang teguh
pada Al Qur'an dan sunnah Rasulullah S.A.W. Namun ajaran agama ini ditentang oleh kelompok
penghulu (kaum adat). Pertentangan ini membuat perang di Sumatera Barat. Bahkan Belanda
ikut campur urusan perang Padri. recommended by WEALTH AMULET Wanita Terkaya asal
Medan Ungkap Rahasia jadi Kaya PELAJARI LEBIH The top 5 reef-safe sunscreens for 2022
Perang terjadi periode 1821-1825, ketika kaum Padri melakukan perlawanan di Minangkabau.
Masa kedua (1825-1830), perang mulai mereda, tetapi Belanda melakukan siasat dan perjanjian
dengan kaum Padri. Sementara itu kaum Adat semakin terdesak karena perjanjian kaum Padri
dengan Belanda. Kaum Adat akhirnya meminta bantuan pada Belanda untuk menyerang kaum
Padri. ADVERTISEMENT Masa ketiga perang Padri (1830-1838), kemudian perlawanan kaum
Padri bertambah. Tahun 1833, akhirnya kaum Adat dan kaum Paderi bersatu untuk melawan
Belanda. Akibat perjanjian dengan Belanda, kaum Adat menyadari kerugian dan dampak
masyarakat Minangkabau. Belanda melakukan penyerangan dan mengepung benteng kaum
Padri. Mengutip dari banjarnegarakab.go.id, penyerangan Belanda ke benteng Kaum Padri
sekitar 6 bulan (16 Maret17 Agustus 1837). Benteng yang dibuat kaum Padri merupakan
bangunan yang dibuat dari tanah liat. Sementara sekelilingnya dibangun parit-parit. Pemerintah
Kolonial Belanda sampai 3 kali mengganti komandan perang untuk mengalahkan Tuanku Imam
Bonjol. Akhirnya Gubernur Jendral Johannes van den Bosch, melakukan perjanjian dengan
kaum Padri, melalui Perjanjian Masang. Perjanjian Masang adalah perjanjian perdamaian
antara Belanda dan kaum Padri, tahun 1824. Namun, perjanjian tersebut dilanggar oleh
Belanda sendiri. BACA JUGA Mengenal 7 Pahlawan Revolusi Korban G30S Belanda kemudian
menguasai benteng yang dibuat kaum Padri, pada 16 Agustus 1837. Akhirnya Tuanku Imam
Bonjol menyerah pada Belanda bulan Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap
dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon,
sampai ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.
5. UNTUNG SUROPATI
Untung Surapati adalah seorang pejuang Indonesia yang memimpin pemberontakan melawan
kolonialisme VOC, Perusahaan Hindia Timur Belanda. Surapati dikenal sebagai seorang tokoh
dalam sejarah Nusantara yang tercatat di dalam Babad Tanah Jawi, naskah berbahasa Jawa.
Dalam naskah ini, Surapati dikenal sebagai tokoh legendaris dalam perjuangannya melawan
kolonialisme VOC di Pulau Jawa. Baca juga: Karel Sadsuitubun (KS Tubun): Peran, Kiprah,
dan Pembunuhannya Latar Belakang Untung Surapati yang bernama asli Surawiraaji lahir di
Bali, 1660. Menurut naskah Babad Tanah Jawi, ia ditemukan oleh Kapten van Beber, perwira
VOC, yang bertugas di Makassar. Kapten van Beber kemudian menjual Surapati kepada
perwira VOC lainnya di Batavia bernama Moor. Sejak ada Surapati, karier serta kekayaan
Moor melonjak. Bocah kecil ini dianggap sebagai pembawa keberuntungan, sehingga ia diberi
nama "Si Untung". Saat Untung berusia 20 tahun, ia dijebloskan ke penjara oleh Moor karena
telah menjalin hubungan asmara dengan putrinya, Suzane. Di penjara, Untung menghimpun
para tahanan dan berhasil kabur yang membuatnya menjadi buronan. Pada 1683, Sultan
Ageng Tirtayasa, Raja Banten, kalah dari VOC. Putranya, Pangeran Purbaya, melarikan diri ke
Gunung Gede. Ia memutuskan untuk menyerah, tetapi hanya mau dijemput oleh perwira VOC
pribumi. Suatu ketika, Kapten Ruys, pemimpin benteng Tanjungpura, berhasil menemukan
pasukan Untung. Mereka kemudian ditawari pekerjaan sebagai tentang VOC daripada hidup
sebagai buronan. Untung pun menerima tawaran tersebut. Ia dilatih secara militer, diberi
pangkat letnan, dan ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. Untung pun menemui
Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura, namun istrinya, Gusik Kusuma, meminta
Untung untuk mengantarnya pulang ke Kartasura. Ia kembali menjadi buronan. Pada proses
pengejaran, Untung pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper, pasukan VOC, di Desa
Rajapalah. Saat melewati Kesultanan Cirebon, ia berseteru dengan Raden Surapati. Setelah
diadili, terbukti bahwa yang bersalah adalah Surapati. Ia pun dihukum mati. Sejak saat itu
nama Surapati pun oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung. Baca juga: Agustinus
Adisucipto: Pendidikan, Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup Perjuangan Pada 1686, VOC
mengirim Kapten Tack ke Kartasura untuk meyakinkan Pangeran Amangkurat, Raja Mataram,
untuk mengantarkan Surapati kepadanya. Sesampainya di sana, Tack mengatakan bahwa
dirinya adalah prajurit dari Amangkurat yang menyerang kediaman Surapati. Bahkan,
serangan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena Amangkurat tidak berniat
melepaskan Surapati. Surapati dianggap sebagai sekutu yang berharga. Tack dan 74 orang
lainnya pun akhirnya dibunuh oleh pasukan Surapati. Sisa pasukan VOC mundur ke garnisun
atau pasukan Belanda di Kartasura. Surapati kemudian meninggalkan Kartasura dan pergi ke
Pasuruan. Di sana ia mendirikan benteng di tanah Mataram. Di kota ini, Surapati berhasil
mengalahkan bupatinya, Anggajaya, dan kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati
Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah
kenal dengan Surapati di Kartasura. Untung Surapati pun kemudian mengangkat diri menjadi
Bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada 1690, Amangkurat II berpura-
pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami
kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Baca juga: Teuku Nyak Arif: Kehidupan, Kiprah, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya Akhir Hidup
Pada 1703, Amangkurat wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan takhta Kartasura antara
Amangkurat III melawan Pangeran Puger, raja Kasunanan Kartasura. Pada 1704, Pangeran
Puger, mengangkat dirinya menjadi Pakubuwana I dengan didukung VOC. Pada September
1706, gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madur, dan Surabaya dipimpin oleh Mayor Goovert
Knole menyerbu Pasuruan. Di dalam pertempuran inilah Untung Surapati tewas, pada 17
Oktober 1706.
6. SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Sultan Hasanuddin mulai memerintah Kesultanan Gowa pada 1653 dengan gelar I Mallombasi
Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri
Balla'pangkana. Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur atau De Haav
van de Oesten. Julukan itu diberikan Belanda kepada Sultan Hasanuddin karena keberaniannya
melawan penjajah. Dia lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama asli Muhammad Bakir
I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.
Hasanuddin merupakan putra dari Raja Gowa Ke-15, Sultan Malik as-Said atau Malikusaid (1639-
1653), dan istrinya, I Sabbe To'mo Lakuntu. Adapun kakek Hasanuddin adalah Sultan Alauddin
(1593–1639) yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk Islam. Oleh sebab itu,
Hasanuddin juga merupakan raja ke-3 di Kesultanan Gowa sejak kerajaan ini memeluk Islam. Masa
kecil Sultan Hasanuddin Sultan Hasanuddin dikisahkan memiliki jiwa kepemimpinan yang menonjol
sejak kecil. Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang, sehingga
dia memiliki jaringan dagang hingga Makassar dan orang asing. Saat kecil, Sultan Hasanuddin
mendapatkan pendidikan di Masjid Botoala. Sebagai putra mahkota, sejak kecil Sultan Hasanuddin
kerap diajak sang ayah untuk mengikuti pertemuan penting kerajaan. Dengan begitu, sang ayah
berharap Hasanuddin bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa muda,
Hasanuddin juga telah beberapa kali mendapatkan kepercayaan sebagai delegasi Kerajaan Gowa
untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan. Saat berusia 21 tahun, Hasanuddin pun telah
mendapatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Selain bimbingan sang ayah, Hasanuddin juga
mendapatkan pendidikan tentang pemerintahan dari Karaeng Pattingaloang yang merupakan
Mangkubumi Kesultanan Gowa. Penobatan Raja dan Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin Ada
dua versi sejarah yang menjelaskan pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Versi
pertama menyebutkan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan sebagai Raja Gowa pada 1655 atau
saat dia berusia 24 tahun. Adapun versi kedua menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan
saat berusia 22 tahun atau pada 1653. Akan tetapi, sang ayahanda, Sultan Malikussaid, tercatat
telah turun takhta pada 1653 dan meninggalkan wasiat agar kerajaan Gowa diteruskan oleh
Hasanuddin. Saat Sultan Hasanuddin mulai memimpin Kerajaan Gowa, bumi Nusantara mulai
dijajah oleh Belanda yang ingin menguasai rempah-rempah. Belanda datang ke Gowa yang memiliki
kekayaan rempah-rempah melimpah. Terlebih, Gowa saat itu menjadi jalur utama perdagangan
rempah-rempah dari berbagai kota dan negara di seluruh dunia. Pada masa awal kepemimpinan
Sultan Hasanuddin di Gowa, Belanda sebenarnya telah menguasai banyak kerajaan-kerajaan kecil
di Nusantara. Meski begitu, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk. Alih-alih tunduk kepada Belanda,
Sultan Hasanuddin justru berusaha mengumpulkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk bergabung
dan berjuang melawan penjaja Baca juga: Sejarah BPUPKI: Tujuan, Tugas, Anggota, dan Hasil
Sidangnya Peperangan antara kerajaan Gowa bersama para sekutunya untuk melawan
pemerintahan VOC Belanda pun dimulai pada 1660. Dalam perang itu, Belanda dibantu Kerajaan
Bone yang sebelumnya telah mereka taklukkan. Pasukan Sultan Hasanuddin pun berhasil
mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka merebut dua kapal Belanda, yaitu Leeuwin
dan De walfis. Perang antara Belanda dan Kerajaan Gowa itu menelan korban Raja Kerajaan Bone
yang membantu Belanda. Jatuhnya Gowa dan Akhir Hidup Sultan Hasanuddin Kekalahan itu
membuat Belanda marah. Mereka kemudian mengirimkan pasukan yang lebih besar di bawah
kepemimpinan Cornelis Spellman untuk menyerang Kerajaan Gowa dan membunuh Sultan
Hasanuddin. Pertempuran sengit pun terjadi dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga
akhirnya Kerajaan Gowa menyerah kalah. Sultan Hasanuddin pun terpaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya dengan VOC Belanda pada 18 November 1667. Lantaran merasa dirugikan
dengan isi Perjanjian Bongaya, Sultan Hasanuddin kembali memimpin pasukannya untuk
menyerang Belanda pada 12 April 1668. Namun, pasukan Belanda terlalu kuat sehingga akhirnya
Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil diduduki. Kendati
semakin terdesak, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau tunduk pada Belanda dan terus melakukan
perlawanan secara sporadis. Sang Ayam Jantan dari Timur terus melawan Belanda hingga akhirnya
mundur dari takhta. Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670 dan dimakamkan di Katangka,
Kabupaten Gowa. Dia kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia
melalui Keppres No 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.
Sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Martha Christina ini sering mengikuti ayahnya dalam rapat
pembentukan kubu-kubu pertahanan hingga pada akhirnya di usia yang ketujuh belas tahun ia turut
andil dalam pertempuran melawan Belanda di desa Ouw, Ullath, pulau Saparua. Dalam pertempuran itu,
ia memimpin pasukan perang wanita dan mengobarkan semangat juang pada pasukan agar terus ikut
mendampingi pasukan laki-laki dalam perebutan wilayah Maluku dari penjajah hanya berbekal bambu
runcing dengan ikat kepala melingkar di kepala.
Bersama dengan para pejuang tanah Maluku yang lain, Martha Christina cukup membuat kerepotan
Belanda. Saat itu, pimpinan Belanda, Richemont, tewas tertembak dalam pertempuran membuat
Belanda semakin sengit dalam melancarkan aksinya. Dengan persenjataan lengkap, pasukan Indonesia
berhasil dipukul mundur dan beberapa pentolan pasukan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati
termasuk ayah Martha Christina, Kapitan Paulus Tiahahu.
Mendengar kabar eksekusi yang akan dilakukan Belanda terhadap ayahnya, Martha Christina berusaha
untuk membebaskan ayahnya dari hukuman yang dijatuhkan. Namun usahanya sia-sia, ayah Martha
Christina meninggal dalam eksekusi yang dilakukan Belanda terhadap beberapa pejuang Indonesia di
tanah Maluku yang berhasil ditangkap. Sepeninggal ayahnya, Martha Christina digiring bersama pejuang
lainnya yang tertangkap untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi yang ada di pulau Jawa.
Namun, dalam perjalanan menuju pulau Jawa, tepatnya di kapal Eversten, Martha Christina melanjutkan
aksi pemberontakannya terhadap Belanda dengan aksi mogok makan dan mogok pengobatan. Dalam
aksinya tersebut, akhirnya Martha Christina meninggal di perjalanan menuju pulau Jawa pada tanggal 2
Januari 1818. Jasadnya kemudian dibuang di laut Banda dan namanya ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada tahun 1969. Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat monumen
untuk mengenang jasa Martha Christina.
PENGHARGAAN
Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969