Nama asli Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy. Ia lahir pada tanggal 8 Juni
1783. Ia lahir di kampung halamannya di Maluku Tengah tepatnya di wilayah yang
bernama Haria di daerah Saparua. Ayahnya bernama Frans Matulessy dan sang ibu
bernama Fransina Tilahoi.
Semasa ia tumbuh, Inggris pernah merebut tampuk kekuasaan di Maluku dari kompeni
Belanda. Rakyat Maluku menyambut pemerintahan Inggris dengan sangat senang
karena banyak terjadi perkembangan yang signifikan dan bahkan kerja rodi ditiadakan.
Ketika Inggris menduduki Maluku inilah perlahan terbentuk seorang Thomas
Matulessy yang berpikiran lebih matang.
Pada masa itu Inggris mengeluarkan pengumuman untuk para pemuda yang
berkeinginan untuk dilatih menjadi tentara Inggris. Mendengar hal tersebut, Pattimura
bersama teman-temannya tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung
mendaftarkan dirinya. Tak diragukan lagi, ia termasuk salah satu dari 500 orang yang
berhasil masuk seleksi tersebut yang kemudian dilatih bagaimana layaknya seorang
tentara.
Sebagai seorang yang berhasil masuk sebagai tentara Inggris, ia pun diberikan seragam
dan dipersenjatai. Selain itu, ia beserta tentara lainnya diberi pelatihan mengenai tata
cara menyerang dan bertahan. Tanpa kenal lelah ia pun terus berlatih hingga seiring
berjalannya waktu kemampuannya berhasil melampaui rekan-rekannya dalam hal
keterampilan dan jiwa kepemimpinannya. Oleh karena itu ia diangkat oleh Inggris
sehingga menyandang jabatan sebagai Sersan Mayor.
Tidak heran Pattimura sangat piawai dalam pertempuran dan menghimpun pasukan.
Menurut sejarah, ia pernah menjadi tentara berpangkat Sersan dalam kekuatan militer
Inggris di tanah Ambon.
Selama 200 tahun rakyat Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan. Rakyat
Maluku memproduksi cengkih dan pala untuk pasar dunia, tetapi mayoritas
masyarakat tidak ada keuntungan dari sisi ekonomi yang dirasakan. Alih-alih
mendapatkan keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan berbagai
kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantien)
dan contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari
pedagang-pedagang Indonesia lain.
Pada fase kedua pendudukan Inggris di Maluku dalam 1810-1817 harus berakhir pada
25 Maret 1817 setelah Belanda kembali menguasai wilayah Maluku. Rakyat Maluku
menolak tegas kedatangan Belanda dengan membuat Proklamasi Haria dan Keberatan
Hatawano. Proklamasi Haria disusun oleh Pattimura.
Setelah dilantik sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa pembantunya yang juga
berjiwa kesatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong
Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus
Tiahahu. Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan
penyerbuan ke benteng Duurstede.
Pada 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan
kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Peringatan kebulatan
tekad ini dikenal dengan nama Proklamasi Portho Haria yang berisi 14 pasal
pernyataan dan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut.
Proklamasi ini membangkitkan semangat juang yang mendorong tumbuhnya front-
front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku Utara.
Pada 4 Juli 1817, suatu armada kuat dipimpin Overste de Groot menuju Saparua
dengan tugas menjalankan vandalisme. Seluruh negeri di jazirah Hatawano
dibumihanguskan. Siasat berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu
domba dijalankan silih berganti. Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan
terhadap Pattimura dan para pembantunya.
Kekalahan yang dialami oleh tentara Maluku ketika menghadapi Belanda berakhir
dengan ditangkapnya Pattimura. Ia ditangkap di sebuah rumah di Siri Sori bersama
beberapa anggota pasukannya hingga kemudian dibawa ke Ambon. Pada masa ia
ditangkap itu, pihak Belanda menawarkan pembebasan dengan syarat ia bersedia
untuk bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
Dengan keteguhan hati dan kecintaannya akan tanah air Indonesia, ia menolak mentah-
mentah tawaran Belanda tersebut. Ia berujar kepada dirinya sendiri bahwa ia lebih baik
mati secara terhormat daripada harus mengkhianati bangsa sendiri. Hingga pada
akhirnya tokoh pejuang kemerdekaan ini mengakhiri masa perjuangannya di tiang
gantungan pada 16 Desember 1817. Sebagai bentuk apresiasi akan kegigihannya dalam
memperjuangkan kemerdekaan, kapitan Pattimura kemudian dikukuhkan sebagai
“Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
5. KESIMPULAN
Kapitan Pattimura sebagai seorang pahlawan pra kemerdekaan yang berasal dari
Maluku berjuang melawan kesewenangan pemerintahan kolonial Belanda. Ia bersama-
sama merangkul rakyat Maluku untuk berjuang bersama meraih kemerdekaan,
Perjuangan Kapitan Pattimura sangat patut untuk diperkenalkan kepada generasi
muda sebagai acuan bagaimana seorang warga negara bersikap dan bertindak.