Anda di halaman 1dari 3

Latar belakang

Pada tahun 1810, Inggris berhasil mengambil kepulauan maluku dari tangan belanda, saat inggris
menguasai maluku, rakyat maluku tidak merasa adanya tekanan, dan saat inggris menawarkan penarikan
kepada pemuda-pemuda di maluku untuk menjadi prajurit, Matulessy dan teman-temannya langsung
bersedia untuk ikut.

Alasan Thomas Matulessy memilih bergabung adalah untuk menjaga wilayah kekuasaan Inggris dari
pihak luar, atau secara tidak langsung juga turut menjaga rakyat Maluku.

Kekalahan Inggris dalam perang melawan Prancis dan Belanda menyebabkan Inggris harus
mengembalikan wilayah Hindia Belanda kepada Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814.
Tapi, realisasi baru terjadi pada tahun 1816. Bahkan di Maluku peralihan baru terjadi pada tahun 1817.

Pada tahun 1817, Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I, hal
ini memicu ketidakpuasan di Maluku, terutama di kawasan Kepulauan Lease dan sekitarnya.

Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 25 Maret 1817 mendapat tantangan keras, rakyat
maluku menolak tegas kedatangan Belanda. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan
hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.

Proses Perlawanan
Said Perintah yang merupakan satu diantara penggagas untuk menyerang benteng Derustede yang dijaga
ketat ratusan tentara kompeni saat itu, mengumpulkan para Kapitan yang siap mati untuk menyerang
benteng Derrustede.

Sebelum penyerangan itu dilakukan, Sayyid Perintah menjalankan sebuah “Saimbara” guna mencari
siapa kapitan yang bakal memimpin pasukan melakukan infasi ke pertahan Belanda. “Saimbara” itu
dilakukan dengan menanam sebuah tombak yang ujungnya terhunus mengarah keatas. Para kapitan
yang berkumpul diminta untuk bisa berdiri di atas tombak. Siapa yang mampu menaklukkan permintaan
itu akan ditunjuk menjadi pemimpin pasukan.

Satu per satu kapitan yang berkumpul kemudian mencobanya, Tapi belum ada yang mampu memenuhi
permintaan itu. Hingga salah satu kapitan dari Leawaka Haria mampu melakukannya Kapitan itu adalah
Thomas Matulessy. Kapitan itu naik ke ujung tombak. Saat berdiri di ujung tombak yang terhunus, kaki
sang kapitan berdarah karena tertikam ujung tombak. Darah segar pun mengalir, setelah itu sang kapitan
turun dari tombak, disambut kapitan Said Perintah.

Pada 7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan dalam
upacara adat sebagai Kapitan Besar.

Desas desus rencana perlawanan sebenarnya sudah sampai ke Residen di Saparua dan bahkan
pemerintah Belanda di Ambon juga sudah mendapat informasi, tetapi diacuhkan karena dianggap
sebagai rumor.
Ketika informasi ini sampai di Ambon, perlawanan rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy pada 15 Mei
- 16 Mei 1817 telah berhasil merebut Benteng Duurstede dan membantai Residen Johannes Rudolph van
den Berg, istrinya, tiga anaknya, dan pengasuh mereka. Satu-satunya orang Belanda yang selamat adalah
putra Van den Berg yang berusia lima tahun, Jean Lubbert.

Akhir Perlawanan
Penyerangan Benteng Duurstede ini menyebabkan, Gubernur Maluku mengirimkan ekspedisi ke Saparua
pada 20 Mei 1817 untuk meredam perlawanan rakyat, dengan kekuatan cukup besar

Perlawanan rakyat Maluku berikutnya meluas hingga ke Ambon dan ke pulau-pulau sekitarnya,yang
berlangsung hingga beberapa bulan lamanya dan dikuasai oleh rakyat Maluku yang dipimpin oleh
Kapitan Pattimura, Anthone Rhebok, Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, Philips Latumahina, Said
Perintah, dan Thomas Pattiwael.
1 Juni 1817, Bala bantuan serdadu Belanda terus berdatangan lengkap dengan peralatan perang, kemudian
melakukan penyerangan ke Benteng Duurstede yang dikuasai pasukan Pattimura. Karena terus dihujani peluru
dan meriam, Benteng Duurstede akhirnya ditinggalkan rakyat dan kembali dikuasai Belanda. Dengan
kedudukan Belanda yang semakin kuat.

Selama berkuasa di Maluku, Belanda sempat dibuat repot selama berbulan-bulan oleh kecerdikan
Kapitan Pattimura yang pandai meramu strategi perang. Kompeni itu bahkan hampir menyerah jika bala
bantuan dari Batavia tidak datang dengan cepat. Bahkan Belanda akan memberikan hadiah sebesar
1.000 gulden kepada pihak yang berhasil menangkap Pattimura.

Namun begitulah takdir, perjuangan Pattimura harus berakhir oleh pengkhianatan rakyatnya sendiri, raja
dari negeri Lilibooi, Pati Akoon, dan Tuwanakotta di Ambon, Maluku, yang selama ini mati-matian
dibelanya.

Malam 11 November 1817, Kapitan Pattimura digiring keluar dari Negeri Booi, sebelum diberangkatkan
ke Ambon, Setelah melalui beberapa sidang pada bulan Desember, vonis pun dijatuhkan. Kapitan
Pattimura, Anthone Rhebok, Said Perintah, dan Philip Latumahina mendapat hukuman paling berat
sebagai pemimpin perang, yakni hukum gantung.

Tanggal 16 Desember 1817, tibalah hari eksekusi. Pagi-pagi sekali, empat orang pemimpin itu telah
diperintahkan untuk bersiap. Tidak terlihat kecemasan di wajah Pattimura dan kawan-kawan
seperjuangnya itu karena sehari sebelumnya para pemuka agama datang mengunjungi mereka dan
semalaman menemani di dalam sel sambil terus memanjatkan doa.

Thomas Matulessy naik ke atas dengan langkap mantap. Saat algojo memasangkan tali di lehernya,
sambil mengarahkan pandangannya ke arah hakim-hakim Belanda, Dengan suara tenang dan keras
Thomas Matulessy mengucapkan kata-kata perpisahannya: “Slammat Tinggal Toewan-toewan!” Ini
merupakan kata terakhir Thomas Matulessy.
Tokoh-tokoh perlawanan
1. Philips Latumahina, yang merpakan seorang Letnan dari Borgor, dan dia membantu Kapitan
Pattimura saat merebut benteng Duurstede, Pada tanggal 16 Desember 1817, Philips
Latumahina di hukum gantung.
2. Anthone Rhebok, merupakan seorang kapten dari Borgor, Anthone Rhebok membantu Thomas
Matulessy merebut benteng Duurstede, dan ia juga mengatur pertahanan rakyat di Pulau
Nusalaut, Pada tanggal 16 Desember 1817, Anthone Rhebok di hukum gantung.
3. Said Perintah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di Pulau Saparua,
dan dia juga merupakan otak dari perlawanan Kapitan Pattimura saat merebut benteng
Duurstede, Said Perintah tidak di hukum gantung, dan kapan dia meninggal juga tidak diketahui.
4. Melchior Kesaulya adalah raja di Siri Sori, Melchior-lah yang menandatangani “Proklamasi Haria”
pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817, Pada tanggal 16 Desember 1817,
Melchior Kesaulya di hukum gantung.
5. Thomas Matulessy atau lebih dikenal Kapitan Pattimura (gelar), ia lahir pada pada 8 Juni 1783 di
Saparua, ia diangkat menjadi Kapitan pada 7 Mei 1817 melalui Saimbara, ia merupakan
pemimpin pasukan untuk merebut benteng Duurstede, Pada tanggal 16 Desember 1817,
Thomas Matulessy di hukum gantung.

Nilai-Nilai yang dapat diteladani


1. Semangat yang tidak pernah padam
2. Rela berkorban demi nusa dan bangsa
3. Memiliki jiwa kepemimpinan
4. Cinta tanah air

Anda mungkin juga menyukai