Anda di halaman 1dari 8

Perlawanan

pattimura
Dipersembahkan oleh kelompok 3
Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu wilayah penghasil rempah-rempah yang sangat
melmpah, maluku bersama-sama wilayah disekitarnya sering diibaratkan sebagai
“mutiara dari timur” yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa.
Bangsa-bangsa Eropa awalnya memang hanya untuk berdagang, tapi lama kelamaan
mereka ingin berkuasa dan melakukan monopoli di wilayah tersebut. Bahkan sampai
melakukan penjajahan yang sangat tidak manusiawi seperti penindasan, penyiksaan
sampai dengan kerja paksa.   
Dari penderitaan yang dialami ditambah dengan desas-desus itu membuat rakyat
maluku semakin geram, apalagi sikap dari Residen Saparua juga sewenang-wenang
terhadap rakyat maluku. Sebagai contoh adalah ketika Belanda tidak mau
membayar perahu yang Belanda pesan terhadap Maluku.   
Atas perlakuan pihak Kolonial Belanda yang tidak adil dan beradab itu, kemudian
menyulut kemarahan rakyat Maluku. Para tokoh dan pemuda Maluku kemudian
melakukan pertemuan rahasia. Seperti pada pertemuan rahasia di Pulau Haruku,
dan juga di Pulau Saparua pada tanggal 14 Mei 1817.  
Dari berbagai pertemuan rahasia tersebut, mendapatkan kesimpulan bahwa rakyat
Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekajaman Belanda.
Dari sinilah dimulainya perlawanan Maluku melawahan Penjajahan Belanda.
Perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matulessy, seorang mantan pegawai di dinas
angkatan perang Inggris. Thomas Matulessy ini kemudian mendapat
gelar Patimura.  
Penyebab terjadinya perang
pattimura
Belanda memerintah rakyat Maluku untuk menjual hasil pertanian dengan harga
sangat rendah. Padahal, Maluku merupakan daerah yang terkenal dengan hasil
rempah-rempahnya yang melimpah. Seharusnya, rakyat Maluku dapat mengambil
keuntungan dari hasil tanah kelahirannya sendiri. Namun, karena sikap pemerintah
Belanda yang kejam, rakyat Maluku tidak memiliki daya untuk menikmati hasil
bumi mereka. Ketidakadilan inilah yang memicu tekad Kapitan Pattimura dan
rakyat Maluku untuk melakukan perlawanan. Meskipun pada tahun 1817,
akhirnya Kapitan Pattimura gugur dalam perlawanannya, beliau tetap panglima
perang dan pahlawan bagi Maluku. Dengan rasa tanggung jawab dan tekad untuk
membela tanah kelahirannya inilah, Kapitan Pattimura berani membela yang benar
dan melawan yang salah.
Kronologi Kejadian
Pada tahun 1511, Portugis melakukan perjalanan menuju Indonesia bagian timur untuk mencari
rempah-rempah dan berhasil merebut wilayah Malaka. Kemudian, mereka mulai mengalihkan
perhatiannya ke wilayah Maluku, sebab kala itu memang daerah Maluku dikenal sebagai
penghasil rempah-rempah terbesar di Nusantara. Akhirnya pada akhir tahun 1512, Alfonso de
Albuquerque mengirimkan sebuah ekspedisi ke daerah Maluku dan sekitarnya, antara lain di
Kepulauan Aru, Ambon, dan Banda. Lalu, ekspedisi kedua diarahkan menuju ke Ternate dan
Tidore, yang kala itu bangsa Portugis diterima oleh masyarakat secara ramah. Ekspedisi
dilanjutkan kembali pada tahun 1518 di Maluku, yang kala itu bangsa Portugis berhasil
melakukan hubungan kerjasama dagang dengan kerajaan-kerajaan di Maluku.
 
Pada tahun 1512, bangsa Portugis datang ke Maluku bersamaan dengan bangsa Spanyol hingga
muncullah persaingan. Bangsa Spanyol diterima dengan baik oleh Sultan Al Mansur dari
Kerajaan Tidore. Perlu diketahui ya Grameds bahwa saat itu, kehadiran bangsa Spanyol di
Tidore justru diprotes oleh bangsa Portugis karena dianggap telah melanggar Perjanjian
Tordesillas (1494). Maka dari itu, dua bangsa Eropa tersebut melakukan peperangan. Bangsa
Portugis dibantu oleh Kerajaan Ternate, sementara bangsa Spanyol dibantu oleh Kerajaan
Tidore. Nah, untuk menyelesaikan perselisihan antar bangsa itu, dibentuklah Perjanjian
Saragosa.
pada abad ke-17, muncul kembali perlawanan rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Sultan
Jamaluddin, tetapi Beliau langsung ditangkap dan diasingkan ke daerah Sri Lanka. Menjelang
akhir abad ke-18, tepatnya pada tahun 1797, muncul perlawanan besar rakyat Maluku di bawah
kepemimpinan Sultan Nuku dari Kerajaan Tidore. Kala itu, Sultan Nuku berhasil merebut kembali
wilayah Tidore dari tangan VOC. Namun, setelah Sultan Nuku meninggal dunia pada tahun 1805,
VOC menguasai kembali wilayah Tidore.
Protes rakyat ini dipimpin oleh Kapitan Pattimura yang kala itu diawali dengan menyerahkan daftar
keluhan-keluhan kepada pihak Belanda. Daftar tersebut telah ditandatangani oleh 21 penguasa
orang kaya, patih, raja dari Pulau Saparua dan Nusa Laut. Saat itu, benteng Duurstede berhasil
dihancurkan oleh pasukan Maluku, hingga akhirnya Residen Van den Berg terbunuh dalam
peristiwa tersebut. Bahkan pasukan Belanda tambahan yang datang ke Ambon juga berhasil
dikalahkan.
Perlawanan ini kemudian menjalar ke wilayah Ambon, Pulau Seram, dan pulau lainnya. Untuk
memadamkan perlawanan tersebut, pihak Belanda mendatangkan kembali pasukan dari Jawa.
Bahkan Belanda juga memblokir akses masuk di Maluku hingga menyebabkan rakyat Maluku
kekurangan makanan. Untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan, akhirnya Kapitan Pattimura
menyerahkan diri untuk dihukum mati. Pada bulan Oktober 1817, pasukan Belanda dikerahkan
secara besar-besaran untuk menangkap Kapitan Pattimura bersama rekan-rekannya. Akhirnya,
pada 16 November 1817, Kapitan Pattimura dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan tepatnya di
Benteng Nieuw Victoria.
 
Perang Pattimura
Meskipun sudah menguasai benteng dan berhasil menghukum mati Kapitan Paulus, Belanda
belum puas sebelum berhasil menangkap Pattimura. Bahkan, Belanda mengumumkan
siapapun yang berhasil menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1000 gulden. Setelah
enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap tanggal 16 Desember
1817, Pattimura kemudian digantung di alun-alun Kota Ambon. Tokoh Perang Pattimura
lainnya yaitu Christina Martha Tiahahu lalu melanjutkan perang gerilya walaupun akhirnya
tertangkap juga. Christina tidak dihukum mati, namun dia dibuang bersama 39 orang
lainnya ke Jawa untuk melaksanakan kerja rodi. Dikisahkan bahwa Christina Martha Tiahahu
melakukan aksi mogok makan dan enggan buka mulut. Ia kemudian jatuh sakit dan
meninggal dunia pada 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan
Pulau Tiga. Meninggalnya Christina Martha Tiahahu menjadi petanda berakhirnya Perang
Pattimura.
THANK
YOU !

Anda mungkin juga menyukai