Anda di halaman 1dari 6

Kelompok 1

Anggota: Derry J.

Luthfi F.

Mukti K.

Syahda N.

Salma N.
Latar Belakang Perang Maluku

– Latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessi yang lebih dikenal dengan nama
Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut :
1. Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku  dari tangan Inggris. Perubahan penguasa dengan sendirinya
membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan
yang kurang, sudah tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan kegelisahan.
2. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris
penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda
mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda.
3. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam yang sudah berlaku di Maluku,
sehingga menyebabkan rakyat Maluku tidak dpt menggunakan keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
4. Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi Serdadu (Tentara) Belanda.
5. Adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk
dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat
Maluku. 
Pemimpin Perang Maluku
– Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34
tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.
– Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak
atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11
memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam
artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas
militer ini dipaksakan[2] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi
politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan
Kapitan Pattimura[3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat
mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang,
Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya
dalam kepemimpinan diakui luas oleh para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer
yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
– Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para
penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda
tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di
Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para
tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa
dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan
Nasional Indonesia.
Alur Perang Maluku

– Perlawanan dipimpin oleh Thomas Matulesi atau lebih dikenal dengan nama Pattimura. Pemimpin-pemimpin
lainnya ialah Anthonie Rhebok, Said Perintah, Lucas Latumahina, Thomas Pattiwael, dan Ulupaha. Namun juga
terdapat seorang putri bernama Christina Martha Tiahahu. Pusat perjuangan berada di Pulau Saparua. Pada malam
hari tanggal 15 Mei 1817, rakyat mulai bergerak.

– Mereka mulai membakari kapal-kapal Belanda yang ada di pelabuhan Porto. Kemudian pasukan Pattimura mulai
mengepung Benteng Duurstede. Residen Van den Berg yang ada dalam Benteng Duurstede ditembak mati.
Keesokan harinya, tanggal 6 Mei 1817, pasukan Pattimura berhasil merebut dan menduduki Benteng Duurstede.

– Dari Saparua, perlawanan menjalar ke pulau-pulau lain. haruku, Seram, Larike, Uring, Asilulu, dan Wakasihu.
Pada tanggal 19 Mei 1817, Pemerintah Belanda mendatangkan pasukan bantuan dari Ambon ke Haruku. Mereka
bermarkas di Benteng Zeelandia. Tetapi Raja Haruku dan raja-raja daerah sekitarnya telah siap menghadapinya.
Rakyat Haruku dan raja-raja di daerah sekitarnya dikerahkan menyerang benteng Zeelandia.
– Dengan menerobos pengepungan rakyat, pasukan Belanda terus maju dari Haruku ke Saparua. Maka di
Saparua berkobar pertempuran sengit. Prajurit-prajurit Belanda banyak yang tewas, termasuk diantaranya
terdapat beberapa orang perwira. Kemenangan Pattimura di Saparua membakar semangat perjuangan di
daerah-daerah lain. Maka berkobarlah perlawanan umum di seluruh Maluku.

– Pada awal bulan Juli 1817, Kolonial Belanda mendatangkan kembali pasukan bantuan ke Saparua. Mereka
berusaha merebut Benteng Duurstede, tetapi tidak berhasil. Kemudian Belanda mengajak para pemimpin
Maluku untuk berunding. Perundingan tersebut juga tidak membawa hasil. Pertempuran pun berkobar lagi.

– Pada akhir Juli 1817, Belanda mendatangkan pasukan bantuan ke Saparua kembali. Belanda mengerahkan
kapal-kapalnya. Dan mulai melepaskan tembakan meriam dengan gencar ke arah Benteng Duurstede, yang
masih diduduki oleh pasukkan Pattimura. Sementara itu, pasukan-pasukan Belanda terus menerus
didatangkan, membanjiri Saparua.

– Akhirnya pada bulan Agustus 1817, Benteng Duurstede dapat direbut oleh Belanda kembali. Tetapi perang
belum berakhir. Pasukan Pattimura melanjutkan kembali perlawanan dengan perang gerilya. Pemerintah
Belanda mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden kepada siapa saja yang dapat
menangkap Pattimura. Dan untuk menangkap pemimpin-pemimpin Maluku lainnya, Pemerintah Belanda
menyediakan 500 gulden tiap seorang pemimpin. Tetapi rakyat Maluku tidak mau untuk mengkhianati
– Belanda tetap berusaha keras untuk menyelesaikan perang dalam waktu singkat.
pada bulan Oktober 1817, pasukan Belanda dikerahkan besar-besaran. Pada
suatu pertempuran pada bulan November 1817, Belanda dapat menangkap
Pattimura, Anthonie Rebok, Thomas Pattiwael, dan Raja Tiow. Beberapa hari
kemudian para pemimpin yang lain pun tertangkap.

– Akhirnya pada bulan Desember 1817, perlawanan padam. Pada tanggal 16


Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di Ambon. Kemudian para
pemimpin yang lain juga dihukum gantung.

Anda mungkin juga menyukai