Anda di halaman 1dari 8

Pattimura 

(Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal
di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama
Kapitan Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.

Latar Belakang Perlawanan Pattimura


Latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessi
yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut :

1.  Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku  dari tangan Inggris.


Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan
peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan
yang kurang, sudah tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan kegelisahan.
2. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja
wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib
(verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda
mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor
diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda.
3. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang
logam yang sudah berlaku di Maluku, sehingga menambah kegelisahan rakyat.
4. Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi
Serdadu (Tentara) Belanda.
Ada berbagai bentuk-bentuk perlawanan Pattimura terhadap penjajahan Belanda, antara lain :

1.    Melakukan serangkaian pertemuan rahasia di Pulau Haruku (Pulau yang dihuni oleh orang-orang
Islam), Pulau Saparua (Pulau yang dihuni orang-orang Kristen), dan hutan kayu putih guna
menseragamkan pemikiran bahwa masyarakat Maluku tidak ingin lagi menderita di bawah keserakahan
dan kekejaman Belanda.

2.    Mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Bangsa Belanda.

3.    Melakukan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Bangsa Belanda di pelabuhan.

4.    Melakukan penyerbuan dan perlawanan Bangsa Belanda di Benteng Duurstede serta menguasai
benteng tersebut.

5.    Menghancurkan, membunuh, serta menggagalkan rencana Belanda yang berniat menguasai kembali
Benteng Duurstede dengan mendatangkan 300 prajurit dari Ambon.

6.    Melakukan upaya penyerangan terhadap Bangsa Belanda di Benteng Zeelandia (Pulau Haruku) serta
berusaha menguasainya, tetapi gagal.

Jalannya Perlawanan Pattimura


Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di dalam
Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu
Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena selama
ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah
dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu
menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.

Akhirnya perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan.


Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan
mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin,
selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan
wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini
menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda.

Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi


pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa
dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota
tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris
membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara
Inggris.

Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat Lussy
bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah namanya
menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup
disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para
pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan
gelar Pattimura.
Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu akan
diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut
pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan
oleh Belanda.

Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes Rudolph Van den


Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal
bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan
tentara dan pegawai administrasi.

Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos Belanda
dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda tidak
bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut isinya.

Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk


melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat
itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya
disergap dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang
terbunuh.

Kuda residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari
Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12
orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan
panah.

Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam bahwa
jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal diam
dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan
jaminan bahwa residen telah menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak akan
memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang dibeli Belanda.

Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan


pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang
berjumlah puluhan.

Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan
orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke
Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha
bertahan mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi
serangan dari rakyat.

Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi benteng


dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil juga jadi
korban sabetan kelewang yang tak bermata. Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda
juga menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak
mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat.

Dengan jatuhnya Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut


dirampas dan semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng,
Pattimura menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera Union
Jack Inggris.

Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang pemberontak
bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi
Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak Van
den Berg itu bernama Jean Lubbert.

Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg sampai ke


Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes untuk
memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu. Pasukan itu
akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena
Pemerintah Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil
sehingga kapal-kapal perang harus tetap berada di Ambon.

Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae


Sisil. Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh
ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan
bahkan ia sendiri terbunuh.

Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan habis-habisan pasukan ini pun
bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak dilindungi oleh kapal perang.

Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah dan mereka


pun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin oleh raja
Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga
membantu perlawanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan
logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina Martha
Tiahahu memimpin perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan cara membajak kapal
Belanda di perairan Maluku.

Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh Maluku yang


berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh lainnya
untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih bercokol di
Benteng Duurstede.

Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal
Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan mengepung
Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang
penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng
sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober
1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.

Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan Komisaris
Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan bertanggung jawab
atas Maluku. Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia
meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam
suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua raja
itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan Ternate dan
Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung dengan Belanda.

Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin moral pasukan
Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengan kebengisan orang-orang Alfuru
yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.

Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang. Bahkan peluru
meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun benteng karang
ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut
Belanda pada Pattimura.

Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah benteng


karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya kapal-kapal itu
mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta menutup tiap-tiap
celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus dikepung dan
ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan
taktik ini Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.

Akhir Perlawanan Pattimura


Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus melawan
secara gerilya.Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam
terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah menangkap Pattimura.

Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan dan


akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah Siri Sori. Pattimura dapat
ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Karena Pattimura bukanlah raja
maka dia diperlakukan seperti tawanan perang rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak
membuat surut perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa
Laut terus melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.

Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum


daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang
Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas
desa-desa di Saparua.

Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta putrinya
Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun). Komodor VarHuell
diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut. Sesampainya di Nusa Laut
Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya Christina
Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut.

Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan disaksikan
oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha dibebaskan.
Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai akhirnya ia kembali
tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa ke
Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum mati. Di tengah
perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal 1
Januari 1818 jenazah Christina dibuang ke laut.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum gantung di
Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura, Anthoni Ribok,
Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg yang telah
dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini. Upacara eksekusi ini
cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-kora
Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band.

Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang tentara
berpangkat kapten membacakan kesalaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-kawan untuk
kemudian membacakan keputusan vonis mati dengan digantung. Sebelum
digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal. ”Pattimura-
Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan
melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenazah-jenazah para
pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.

Jean Lubbert-anak Van den Berg, memohon kepada Pemerintah Belanda agar ia diizinkan
melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang Pattimura.
Perlawanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap atau
terbunuh.
 Sisingamangaraja XII (Pantuan Besar Ompu Pulo Batu) merupakan salah satu sosok Tokoh Pahlawan
Nasional yang berjuang di daerah Sumatra. Sebagai pemimpin kerajaan masyarakat Batak, beliau adalah
sosok yang sangat berkontribusi besar dalam upaya membela tanah Batak melawan penjajahan Belanda
saat Perang Batak yang terjadi selama 29 tahun (1878-1907).

              Ada 2 alasan mengapa Sisingamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap Belanda di


Sumatra, diantaranya :

1.    Adanya upaya kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda dimana upaya ini dikhawatirkan mampu
menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun,
dan

2.    Adanya keinginan Belanda untuk menguasai seluruh tanah Batak.

              Untuk mencegah jatuhnya tanah Batak di tangan Belanda, Sisingamangaraja XII melakukan
berbagai bentuk perlawanan, antara lain :

1.    Melakukan kampanye keliling daerah-daerah guna menghimbau agar masyarakat mengusir para
zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk.

2.    Mengusir para zending.

3.    Melakukan penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending.

4.    Melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal Batu.

5.    Mempersiapkan benteng pertahanan berupa benteng alam di dataran tinggi Toba dan Silindung.
6.    Mempersiapkan benteng pertahanan berupa benteng buatan di perkampungan.

7.    Menyerang dan menyergap berbagai pos Belanda yang ada di tanah Batak

8.    Juli 1889 Sisingamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda di Huta Puong.

9.    Sisingamangaraja XII bersama putera-puteranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi beserta sisa
prajuritnya melakukan perlawanan terakhir di Aik Sibulbulon daerah Dairi.

Hasil akhir perlawanan Sisingamangaraja XII

              Pada akhirnya, hasil perlawanan yang dilakukan Sisingamangaraja XII beserta segenap
masyarakat Batak mengalami kekalahan. Taktik licik yang dilakukan Belanda dengan upaya menangkap
Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya, menyebabkan Sisingamangaraja XII mengalami
beban psikologi yang berat. 17 Juni 1907 Sisingamangaraja XII meninggal dalam perlawanan terakhirnya
di Aik Sibulbulon (Dairi) karena tertembak timah panas tepat di dadanya. Kedua putra dan seorang
putrinya ikut gugur di tangan Belanda. Dengan begitu usailah Perang Batak.

Anda mungkin juga menyukai