XI MIPA 4
PERANG PATTIMURA
A. Sejarah
Sejarah perang pattimura berawal pada tahun 1817 di daerah Maluku. Perang
Pattimura sendiri adalah perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda. Pada masa
itu Belanda atau juga bernama pemerintahan Nederland baru saja mendapatkan
kembali kedudukannya di Maluku setelah sebelumnya berada di tangan kekuasaan
Inggris. Perpindahan kekuasaan tersebut berawal dari kesepakatan kedua negara pada
traktat London. Isi kesepakataannya adalah Inggris harus mengembalikan wilayah
Nusantara yang sebelumnya merupakan hak Belanda, wilayah tersebut salah satunya
adalah Maluku. Namun, keindahan dan kekayaan Maluku tak lagi seindah dalam
bayangan mereka saat mendapatkan tahta kembali. Perlawanan rakyat di sana
membuat bayangannya itu kabur. Pattimura memimpin gerakan perlawanan tersebut
sampai-sampai membuat tahun 1817 menjadi tahun yang sangat menyebalkan bagi
belanda. Salah satu benteng utama yang bernama Duurstede berhasil masyarakat
kuasai melalui pertempuran sengit dan berhasil membuat pihak lawan mengalami
kerugian. Di sinilah bagian utama perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah,
walaupun tidak bertahan lama dan akhirnya jatuh kembali.
B. Latar Belakang
Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus
melawan secara gerilya. Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk
meredam terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah
menangkap Pattimura. Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus
mengalami kegagalan dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah
Siri Sori. Pattimura dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya.
Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakukan seperti tawanan perang
rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut perlawanan Maluku.
Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus melakukan
pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda. Untuk menumpas
pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum daerah yang
dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang Ternate
dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas desa-
desa di Saparua. Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap
beserta putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun).
Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut.
Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus
Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut.
Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan
disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha
dibebaskan. Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai
akhirnya ia kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40
orang tahanan itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah
Christina dihukum mati. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai
akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenazah Christina dibuang ke
laut.
A. Sejarah
Perang Padri yaitu peperangan yang berjalan di Sumatera Barat dan sekitarnya
terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838. Perang ini
merupakan peperangan yang pada permulaan mulanya dampak pertentangan dalam
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama
yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak
dilaksanakan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Budaya yang dimaksud seperti perjudian,
penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga
anggota hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat
yang padahal telah memeluk Islam kepada meninggalkan budaya tersebut memicu
kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Sampai tahun 1833, perang ini bisa diberitahukan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang
Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai
terdesak, berharap bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan
Belanda ini justru memperumit kondisi, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada
berkesudahan peperangan ini bisa dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang,
menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan
kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berakibat merosotnya perekonomian
masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan
konflik.
B. Latar Belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah
sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang mau
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung harapan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian berharap Tuanku Lintau kepada mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat kepada
meninggalkan beberapa budaya yang bertentangan dengan petuah agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat selang Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya
pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini
menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada
tahun 1818, menyebutkan bahwa beliau hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan
Pagaruyung yang sudah terbakar.
C. Keterlibatan Belanda
D. Gencatan Senjata
E. Perlawana Kedua
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi selang Kaum Adat dan Kaum
Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Nyaris selama 20 tahun
pertama perang ini (1803–1823), dapatlah diberitahukan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda
diserang secara mendadak, menciptakan kondisi menjadi kacau; disebutkan ada
sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal
Dunia Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke
Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Dunia Bagagar menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-
Belanda juga tidak mau mengambil risiko kepada menolak laporan dari para
perwiranya. Posisi Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di
Batipuh. Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja,
tetapi secara semuanya masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" memuat
sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud
kepada menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang kepada berjualan dan
menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu
mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih
bahwa kepada menjaga keamanan, menciptakan jalan, membuka sekolah, dll
memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan wajib menjualnya
kepada Belanda.
G. Serangan ke Bonjol
H. Perundingan
I. Akhir Peperangan
Walaupun pada tahun 1837 Benteng Bonjol bisa direbut Belanda, dan Tuanku
Imam Bonjol sukses ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut
mencapai berkesudahan benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu),
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.
Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa
pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan berkesudahan
peperangan ini diasumsikan berkesudahan kemudian Kerajaan Pagaruyung diambil
keputusan menjadi anggota dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden
telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
J. Warisan Sejarah
https://www.harapanrakyat.com/2021/01/sejarah-perang-pattimura/
https://caritahu.kontan.co.id/news/inilah-sejarah-perlawanan-pattimura-dan-
rakyat-maluku-terhadap-penjajahan-belanda?page=all
https://kelasips.com/sejarah-kapitan-pattimura/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/perlawanan-rakyat-maluku-terhadap-penjajah-
dan-tokoh-tokoh-yang-berperan-penting-1uB5wxOwxWa
https://caritahu.kontan.co.id/news/inilah-sejarah-perlawanan-pattimura-dan-rakyat-
maluku-terhadap-penjajahan-belanda?page=all
https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/21/145618969/perang-pattimura-
melawan-belanda
https://www.harapanrakyat.com/2021/01/sejarah-perang-pattimura/
http://p2k.itbu.ac.id/ind/3064-2950/Perang-Padri_42652_itbu_p2k-itbu.html