Anda di halaman 1dari 23

PERANG PATTIMURA & PERANG PADRI

1. fajrul fallah (08)

2. Muhammad Raihan arna (24)

3. sitta dewi (32)

4vanesya irnawan (34)

5. Vicky hanggara w. (36)

XI MIPA 4

PERANG PATTIMURA
A. Sejarah

Sejarah perang pattimura berawal pada tahun 1817 di daerah Maluku. Perang
Pattimura sendiri adalah perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda. Pada masa
itu Belanda atau juga bernama pemerintahan Nederland baru saja mendapatkan
kembali kedudukannya di Maluku setelah sebelumnya berada di tangan kekuasaan
Inggris. Perpindahan kekuasaan tersebut berawal dari kesepakatan kedua negara pada
traktat London. Isi kesepakataannya adalah Inggris harus mengembalikan wilayah
Nusantara yang sebelumnya merupakan hak Belanda, wilayah tersebut salah satunya
adalah Maluku. Namun, keindahan dan kekayaan Maluku tak lagi seindah dalam
bayangan mereka saat mendapatkan tahta kembali. Perlawanan rakyat di sana
membuat bayangannya itu kabur. Pattimura memimpin gerakan perlawanan tersebut
sampai-sampai membuat tahun 1817 menjadi tahun yang sangat menyebalkan bagi
belanda. Salah satu benteng utama yang bernama Duurstede berhasil masyarakat
kuasai melalui pertempuran sengit dan berhasil membuat pihak lawan mengalami
kerugian. Di sinilah bagian utama perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah,
walaupun tidak bertahan lama dan akhirnya jatuh kembali.

B. Latar Belakang

Belanda melalui VOC menjajah bumi Nusantara selama bertahun-tahun


dengan mengambil keuntungan dan menindas rakyat. Praktik penindasan
kolonialisme Belanda beragam mulai dari kerja paksa, monopoli perdagangan,
pelayaran hongi, dan praktik lainnya. Penindasan yang dilakukan Belanda
mengakibatkan kerugian di semua sisi kehidupan rakyat, tidak hanya dari segi sosial
ekonomi, tetapi juga politis, sosial, hingga psikologis.
Kawasan Maluku pada abad pertengahan merupakan surga bagi para pencari
rempah-rempah dengan kualitas terbaik. Banyak pedagang internasional seperti Cina,
India bahkan Arab datang di kawasan ini untuk berdagang rempah-rempah. Pada
sekitar abad 16-17 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol dan
Portugis mencoba memperebutkan kekuasaan dagang atas Maluku. Pada awal abad
19, kawasan Maluku kembali berada dibawah kekuasaan Belanda setelah Inggris
menandatangani perjanjian traktat London dengan mneyerahkan wilayah kekuasaan
Indonesia kepada Belanda. Pendudukan kembali Belanda di Maluku membawa
banyak masalah dan kesengsaraan bagi rakyat Maluku.
Rakyat Maluku, khususnya masyarakat Saparua sepakat untuk melakukan
perlawanan di bawah komando Thomas Matulessy atau biasa disebut Kapitan
Pattimura. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C
Ricklefs, disebutkan bahwa latar belakang perlawanan masyarakat Maluku terhadap
Belanda pada 1817 adalah :
a. Tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda
melalui pelayaran Hongi di Maluku.
b. Timbulnya kesengsaraan Maluku karena kebijakan penyerahan wajib berupa
penyerahan ikan asin, kopi dan hasil laut lainnya kepada Belanda.
c. Sikap Residen Saparua yang memberlakukan masyarakat Maluku dengan
sewenang-wenang.

Adanya perlawanan tentu tidak semerta-merta terjadi tanpa ada penyebabnya.


Sebuah kejadian besar perpindahan kekuasaan di daerah tersebut kenyataannya telah
menciptakan tekanan besar. Kembalinya tahta di tangan Belanda tidak hanya urusan
politik kekuasaan, kebijakan ekonomi berupa monopoli rempah-rempah membuat
rakyat di sana geram. Tambah lagi, aturan tentang hak bagi pemerintah untuk
memusnahkan pala dan cengkih yang tidak mengikuti aturan monopoli semakin
memperburuk ekonomi. Selain itu, kebijakan lainnya seperti kerja wajib, pajak
terhadap pemerintah belanda, uang kertas pengganti logam pribumi yang
menimbulkan kebingungan. Terakhir, pribumi Maluku banyak yang harus mengikuti
dan menjadi serdadu atau tentara belanda tanpa sesuai keinginan. Semua itu adalah
alasan yang sangat kuat untuk rakyat Maluku melakukan perlawanan secara besar-
besaran.
Tepat pada tanggal 15 Mei 1817 perang bermula dengan sebuah serangan
malam terhadap Pos Perahu yang berada di Pelabuhan Porto. Perahu-perahu milik
pemerintahan yang baru 2 tahun berkuasa itu habis terbakar dan menciptakan
kerugian besar karena jelas akan menghambat perdaganan dan berbagai keperluan laut
lainnya. Sejarah perang pattimura tidak hanya berhenti pada serangan besar itu,
keesokan harinya mereka mengepung Benteng Duurstede dan melakukan serangan
besar-besaran kembali. Salah satu benteng utama itupun berhasil takluk dan berhasil
masyarakat kuasai dengan terbunuhnya seorang Residen bernama Van Den Berg
beserta perwira-perwira penting lainnya. Semua perlawanan tersebut berada di bawah
pimpinan Pattimura atau terkenal dengan nama Kapitan Patimura oleh karena itu
perang besar tersebut bernama perang Pattimura.

C. Jalannya Perang Pattimura


Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua
di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar
perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas
karena selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak
pernah dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian
itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi. Akhirnya
perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan. Dalam
pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan
mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan
memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan
mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana
desas-desus ini menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian
pada Belanda. Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi
pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan
biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai
anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu
Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja
untuk tentara Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai
kebudayaannya Mat Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan
Anglikan dan merubah namanya menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di
kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya
menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat
untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelar Pattimura.
Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi
pantai itu akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut
pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan
oleh Belanda. Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes
Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap
di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini
juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu
pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah
Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan
dikembalikan berikut isinya. Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan
pengawal berangkat ke Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen
dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika
sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya berhasil
ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda residen dibunuh.
Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari Benteng Duurstede
dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12 orang Jawa
bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan panah.
Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini
mengancam bahwa jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia
tidak akan tinggal diam dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya
residen dibebaskan dengan jaminan bahwa residen telah menganggap insiden
penyanderaan itu selesai dan tidak akan memperpanjangnya selain itu residen berjanji
akan melunasi orambai yang dibeli Belanda. Sementara itu, setelah membebaskan
residen dan pengawalnya Pattimura dan pasukannya segera menuju Benteng
Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang berjumlah puluhan. Pagi hari
sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan orang
segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke Benteng
Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha bertahan
mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi
serangan dari rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei
1817, seluruh isi benteng dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4
anaknya yang masih kecil juga jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata.
Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda juga menjadi korban. Namun, kemudian
diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak mati karena dia bersembunyi di
bawah tumpukan mayat.
Dengan jatuhnya Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di
dalamnya juga ikut dirampas dan semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah
menduduki benteng, Pattimura menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan
mengibarkan bendera Union Jack Inggris. Sore harinya anak tertua Van den Berg
ditemukan oleh salah seorang pemberontak bernama Samuel Pattiwael. Semua
pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi Pattimura mencegahnya dan bahkan
mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak Van den Berg itu bernama Jean
Lubbert. Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg
sampai ke Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes
untuk memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu.
Pasukan itu akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini
dilakukan karena Pemerintah Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di
Ambon masih labil sehingga kapal-kapal perang harus tetap berada di Ambon. Tanpa
perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae Sisil. Usaha
Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh ribuan rakyat
Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan bahkan ia
sendiri terbunuh. Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan
habis-habisan pasukan ini pun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak
dilindungi oleh kapal perang.
Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah
dan mereka pun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan
dipimpin oleh raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu seorang raja bernama
Paulus Tiahahu juga membantu perlawanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan
bahkan penyediaan logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama
Christina Martha Tiahahu memimpin perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan
cara membajak kapal Belanda di perairan Maluku. Politik Devide et Impera
dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh Maluku yang berpengaruh
seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh lainnya untuk ikut
membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih bercokol di Benteng
Duurstede. Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir
Jenderal Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan
mengepung Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah
kapal perang penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang
berada di benteng sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh
pada tanggal 3 Oktober 1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.
Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan
Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan
bertanggung jawab atas Maluku. Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja
Ternate dan Tidore. Dia meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan
membantu Belanda. Dalam suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama
untuk memecah belah. Kedua raja itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817,
sebanyak 1500 pasukan Ternate dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-
kora nya bergabung dengan Belanda. Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore
dari suku Alfuru ini membikin moral pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka
merasa ngeri dengan kebengisan orang-orang Alfuru yang suka memenggal kepala
jika membunuh musuhnya. Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari
batu-batu karang. Bahkan peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya.
Pattimura membangun benteng karang ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala
Pattimura ini menimbulkan rasa salut Belanda pada Pattimura.
Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah
benteng karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya
kapal-kapal itu mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta
menutup tiap-tiap celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus
dikepung dan ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah.
Akhirnya dengan taktik ini Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.
D. Penindasan VOC Terhadap Rakyat Maluku

Belanda melalui VOC menjajah bumi Nusantara selama bertahun-tahun


dengan mengambil keuntungan dan menindas rakyat.  Praktik penindasan
kolonialisme Belanda beragam mulai dari kerja paksa, monopoli perdagangan,
pelayaran hongi, dan praktik lainnya. Penindasan yang dilakukan Belanda
mengakibatkan kerugian di semua sisi kehidupan rakyat, tidak hanya dari segi sosial
ekonomi, tetapi juga politis, sosial, hingga psikologis. Akibatnya rakyat melakukan
perlawanan terhadap sikap Belanda yang semena-mena tersebut. Sejak abad ke 17
hingga 18, banyak perlawanan bersenjata dari rakyat karena praktik penindasan
Belanda.  Di Maluku, praktik penindasan Belanda berlangsung selama 200 tahun.
Selama waktu tersebut rakyat memproduksi cengkeh dan pala untuk pasar dunia. 
Meskipun bisa dikategorikan sebagai produsen rempah yang utama, namun nyatanya
rakyat Maluku tidak mendapatkan keuntungan apapun dari sisi ekonomi.  Sebaliknya,
rakyat justru semakin menderita akibat kebijakan Belanda seperti pajak yang berat
yaitu penyerahan wajib (Verplichte leverantien) dan contingenten serta blokade
ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.
E. Awal Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap Belanda

Inggris mengambil alih kependudukan Maluku dari Belanda untuk kedua


kalinya yaitu pada 1810-1817.  Pada tanggal 25 Maret 1817, kependudukan Inggris
berakhir setelah Belanda kembali menguasai wilayah Maluku.  Tindakan penindasan
Belanda membuat rakyat Maluku menolak tegas negara ini dengan membuat
"Proklamasi Haria" dan "Keberatan Hatawano" Proklamasi tersebut disusun oleh
Pattimura.  Perlawanan rakyat Maluku pecah setelah Belanda memaksakan
kekuasaannya melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes
Rudolf van der Berg.  Pattimura dipilih sebagai kapten besar yang memimpin
perjuangan dalam musyawarah dan konsolidasi kekuatan.  Thomas Matulessy
dikukuhkan sebagai "Kapitan Besar" dalam upacara adat saat rapat umum di Baileu
negeri Haria pada 7 Mei 1817.  Beliau kemudian memilih beberapa orang
pembantunya yang juga berjiwa ksatria yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina,
Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha
Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.

F. Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap Portugis


Bangsa ini tiba di kerajaan Ternate sekitar 1513 untuk menjalin kerjasama
dagang. Sayangnya, bangsa Portugis mulai memperlihatkan kelicikan dan
pengkhianatan untuk memonopoli perdangangan. Hal ini kemudian membuat para
pemimpin Maluku marah dan mengajak seluruh rakyatnya berperang melawan
Portugis. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan
Baabullah. Pada 1571, pasukannya berhasil mengusir Portugis dari Ambom dan
empat tahun kemudian, Portugis menghilang dari Maluku. Sayangnya, rakyat Maluku
belum bisa bernapas lega. Setelah Portugis, mereka Kembali dihadapkan dengan
penjajah. Maluku harus melawan penindasan dari VOC, perusahaan dagang milik
Bealanda. Rakyat Maluku ingin mengusir Belanda karena praktik monopoli dan
sistem pelayaran Hongi yang membuat rakyat sengsara

G. Perjuangan Pattimura Mengusir Penjajah Belanda

Pattimura bersama dengan Philips Latumahina dan Lucas Selano menyerbu ke


benteng Duurstede.  Berita tentang jatuhnya benteng Duurstede dan penyerangan
pasukan Pattimura menggoncang pemerintah Belanda di Kota Ambon.  Mendengar
berita tersebut, Gubernur Van Middelkoop dan komisaris Engelhard mengutus mayor
Beetjes bersama pasukan militer yang besar ke Saparua.  Ekspedisi ini kemudian
disebut dengan ekspedisi Beetjes. Mengetahui datangnya pasukan Belanda, Kapitan
Pattimura dengan segera mengatur taktik dan strategi pertempuran. Bersama dengan
pasukan rakyat Maluku sebanyak sekitar 1.000 orang, Pattimura berhasil
menaklukkan pasukan Belanda. Pasukan rakyat diatur dalam pertahanan sepanjang
pesisir mulai dari teluk Haria sampai ke teluk Saparua.  Melalui rapat raksasa yang
diadakan di Haria pada 20 Mei 1817, diadakan pernyataan kebulatan tekad
melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.  Peringatan kebulatan tekad tersebut
dikenal dengan Proklamasi Portho Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan
ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut. Dengan adanya
Proklamasi ini semangat juang rakyat menjadi bangkit dan mendorong tumbuhnya
front-front pertempuran di berbagai tempat bahkan hingga ke Maluku Utara.
H. Pengkhianatan dan Akhir Perjuangan Kapitan Pattimura

Untuk menekan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura,


Belanda kembali mengirim armada pasukan yang kuat.  Sebuah armada kuat yang
dipimpin Overste de Groot dikirim menuju Saparua pada 4 Juli 1817 dengan tujuan
menjalankan vandalisme. Seluruh negeri di jazirah Hatawano dibumi hanguskan.
Tidak berhenti dengan tindakan tersebut, Belanda juga menjalankan siasat berunding,
serangan mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba secara silih berganti.  Bahkan
untuk menaklukkan perjuangan rakyat Maluku, Belanda melancarkan politik
pengkhianatan terhadap Pattimura dan para pembantunya.  Letnan Pietersen berhasil
menyergap Pattimura dan Philips Latumahina pada tanggal 11 November 1817
dengan dibantu beberapa orang pengkhianat.  Perjuangan Pattimura bersama tokoh
perjuangan rakyat Maluku lainnya berakhir setelah ditangkap dan dihukum dengan
hukum gantung pada tanggal 16 Desember 1817.  Untuk menghormati jasa dan
pengorbanannya pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan Kapitan Pattimura
sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan yaitu Pahlawan Nasional Indonesia.

I. Akhir Dari Perang Pattimura

Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus
melawan secara gerilya. Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk
meredam terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah
menangkap Pattimura. Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus
mengalami kegagalan dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah
Siri Sori. Pattimura dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya.
Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakukan seperti tawanan perang
rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut perlawanan Maluku.
Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus melakukan
pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda. Untuk menumpas
pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum daerah yang
dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang Ternate
dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas desa-
desa di Saparua. Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap
beserta putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun).
Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut.
Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus
Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut.
Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan
disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha
dibebaskan. Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai
akhirnya ia kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40
orang tahanan itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah
Christina dihukum mati. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai
akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenazah Christina dibuang ke
laut.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum


gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura,
Anthoni Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg
yang telah dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini.
Upacara eksekusi ini cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang
Belanda dan kora-kora Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band.
Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang
tentara berpangkat kapten membacakan kesalaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-
kawan untuk kemudian membacakan keputusan vonis mati dengan digantung.
Sebelum digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal.
”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit
kembali dan melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenazah-
jenazah para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai
membusuk. Jean Lubbert-anak Van den Berg, memohon kepada Pemerintah Belanda
agar ia diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk
mengenang Pattimura. Perlawanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin
yang tertangkap atau terbunuh.
PERANG PADRI

A. Sejarah

Perang Padri yaitu peperangan yang berjalan di Sumatera Barat dan sekitarnya
terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838. Perang ini
merupakan peperangan yang pada permulaan mulanya dampak pertentangan dalam
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama
yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak
dilaksanakan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Budaya yang dimaksud seperti perjudian,
penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga
anggota hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat
yang padahal telah memeluk Islam kepada meninggalkan budaya tersebut memicu
kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Sampai tahun 1833, perang ini bisa diberitahukan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang
Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai
terdesak, berharap bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan
Belanda ini justru memperumit kondisi, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada
berkesudahan peperangan ini bisa dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang,
menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan
kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berakibat merosotnya perekonomian
masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan
konflik.

B. Latar Belakang

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah
sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang mau
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung harapan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian berharap Tuanku Lintau kepada mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat kepada
meninggalkan beberapa budaya yang bertentangan dengan petuah agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat selang Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya
pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini
menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada
tahun 1818, menyebutkan bahwa beliau hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan
Pagaruyung yang sudah terbakar.

C. Keterlibatan Belanda

Sebab terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan


Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal
Dunia Bagagar berharap bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821,
walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu diasumsikan tidak
berhak menciptakan perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.
Dampak dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat
Sultan Tangkal Dunia Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dalam perang sebab diundang oleh kaum Adat, dan
campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan
Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821
atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821
datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff kepada
memperkuat posisi pada kawasan yang telah direbut tersebut. Pada tanggal 4 Maret
1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff sukses memukul
mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda mendirikan benteng
pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum
Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822
pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Dunia dihadang oleh Kaum Padri, namun
pasukan Belanda bisa terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822
dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian
meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar sebab terus tertekan oleh serangan Kaum
Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih menerapkan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin
Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun
pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia
secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya
mengalami demam tinggi. Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda
di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah sukses menguasai beberapa kawasan
di Luhak Agam di selangnya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga
telah menduduki Biaro dan Kapau, namun sebab luka-luka yang dideritanya di bulan
Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

D. Gencatan Senjata

Perlawanan yang dilaksanakan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga


sangat menyulitkan Belanda kepada menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda
melewati residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol kepada berbaik dengan maklumat "Perjanjian
Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi sebab disaat bersamaan
Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain
di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata,
Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul
kembali Kaum Adat. Sehingga berkesudahan muncul suatu kompromi yang dikenali
dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar
yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang berarti adat Minangkabau berdasarkan kepada agama Islam,
sedangkan agama Islam berdasarkan kepada Al-Qur'an.
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh
sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang
setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia. Pada saat kepemimpinannya, beliau
mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilaksanakan oleh Kaum Padri
terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di
sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.

E. Perlawana Kedua

Setelah berkesudahannya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda


di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba kepada menundukan Kaum
Padri. Hal ini sangat didasari oleh harapan kuat kepada penguasaan penanaman kopi
yang sedang bertambah luas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Mencapai
abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan
Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya semakin kepada perang dagang, hal
ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-
liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara
Belanda pada satu sisi mau mengambil alih atau monopoli.Selanjutnya kepada
melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah diciptakan
sebelumnya dengan menyerang nagari Mahir Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang bisa memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian kepada
memperkuat posisinya, Belanda mendirikan benteng di Bukittinggi yang dikenali
dengan nama Fort de Kock.
Pada permulaan bulan Agustus 1831 Lintau sukses ditaklukkan, menjadikan
Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap
menerapkan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan
Kolonel Elout menerapkan beragam serangan terhadap Kaum Padri selang tahun
1831–1832, beliau mendapatkan tambahan kekuatan dari pasukan Sentot
Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah
membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang
diletakkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen
resmi Belanda membuktikan kelupaan Sentot yang telah menerapkan persekongkolan
dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau
Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak sukses menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap
dirinya, dan Belanda pun juga tidak mau beliau tetap berada di Jawa dan mengirimnya
kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di
Bengkulu, lalu dilepas mencapai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya
dihapuskan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, kepada
mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada
bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda
bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus
menerapkan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum
Padri di Luhak Agam juga bisa ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada
penghabisan tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari
kawasan luhak dan bertahan di Bonjol. Selanjutnya pasukan Belanda mulai
menerapkan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum
Padri. Pada permulaan Januari 1833, pasukan Belanda mendirikan kubu pertahanan di
Padang Mantinggi, namun sebelum mereka bisa memperkuat posisi, kubu pertahanan
tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan jumlah korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di
Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat dampak
dihujani peluru. Kemudian beliau ditingkatkan ke atas kapal kepada diasingkan.
Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya
kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
F. Perlawanan Bersama

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi selang Kaum Adat dan Kaum
Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Nyaris selama 20 tahun
pertama perang ini (1803–1823), dapatlah diberitahukan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda
diserang secara mendadak, menciptakan kondisi menjadi kacau; disebutkan ada
sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal
Dunia Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke
Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Dunia Bagagar menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-
Belanda juga tidak mau mengambil risiko kepada menolak laporan dari para
perwiranya. Posisi Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di
Batipuh. Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja,
tetapi secara semuanya masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" memuat
sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud
kepada menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang kepada berjualan dan
menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu
mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih
bahwa kepada menjaga keamanan, menciptakan jalan, membuka sekolah, dll
memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan wajib menjualnya
kepada Belanda.
G. Serangan ke Bonjol

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-


Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang
kepada melihat dari tidak jauh babak operasi militer yang dilaksanakan oleh pasukan
Belanda. Sesampainya di Padang, beliau menerapkan perundingan dengan Komisaris
Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout kepada
segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang elok kepada mengadakan serangan
umum terhadap Benteng Bonjol, sebab kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari
belakangan. Tetapi Van den Bosch bersikeras kepada segera menaklukkan Benteng
Bonjol sangat lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut berharap
tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September
1833.
Taktik serangan gerilya yang dilaksanakan Kaum Padri kemudian sukses
memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam
beberapa perlawanan nyaris semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti
meriam beserta perbekalannya bisa dirampas. Pasukan Belanda hanya bisa membawa
senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21
September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ditukarkan oleh Jean
Chrétien Baud, Van den Bosch menciptakan laporan bahwa penyerangan ke Bonjol
gagal dan sedang diusahakan kepada konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan
jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa.
Hal ini dilaksanakan kepada memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan
Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berupaya menanamkan pengaruhnya pada
beberapa kawasan yang tidak jauh dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan kepada kembali
mengadakan serangan besar-besaran kepada menaklukkan Bonjol dan sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh
Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua anggota
yang bangung masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini wajib
menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup
ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur
baru menuju Bonjol. Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah
sukses mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berhimpun di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan ketat menuju Sipisang, kawasan yang masih
direbut oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit selang
pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berjalan selama tiga hari tiga
malam tanpa henti, mencapai jumlah korban di kedua belah pihak. Berkesudahan
dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa
mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya kawasan Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian kawasan ini dibentuk menjadi
sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
nyaris sebulan waktu yang diperlukan kepada bisa mendekati kawasan Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang yaitu kawasan Padang Lawas
yang secara penuh masih direbut oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835
pasukan Belanda sukses menguasai kawasan ini.Selanjutnya pada tanggal 11 Juni
1835 pasukan Belanda kembali bangung menuju sebelah timur Batang Alahan
Panjang dan menciptakan kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri
tetap bersiaga di seberangnya. Pasukan Belanda sukses mendekati Bonjol dalam jarak
sekitar hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian
mereka mencoba menciptakan kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan
houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun
Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi.
Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda jumlah
menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan
sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal
21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju
menuju sasaran penghabisan yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. Benteng Bonjol
terletak di atas bukit yang nyaris tegak lurus ke atas, dikenali dengan nama Bukit
Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah
sungai di tengah lembah dengan arus yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan.
Benteng ini bermodel segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding
pertahanan dua lapis setinggi kurang semakin 3 meter. Di selang kedua lapis dinding
diciptakan parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu
besar dengan teknik pembuatan nyaris sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di
atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum
Padri bisa mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah kepada dilihat oleh pasukan Belanda.
Kondisi inilah yang dimanfaatkan dengan elok oleh Kaum Padri kepada mendirikan
kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam
Bonjol. Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba menerapkan
blokade terhadap Bonjol dengan tujuan kepada melumpuhkan suplai bahan makanan
dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilaksanakan ini ternyata tidak efektif, sebab
justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang jumlah
diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan
Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan
Belanda, yaitu dari beragam negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad
bulat kepada mempertahankan markas besar Bonjol mencapai titik darah penghabisan,
hidup mulia atau mati syahid. Usaha kepada menerapkan serangan ofensif terhadap
Bonjol baru dilaksanakan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari
pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai
dilaksanakan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada anggota depan pasukan Belanda dalam
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada
disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun mencapai permulaan September 1835, pasukan
Belanda belum sukses menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September
1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang diciptakan sekitar Bukit Tajadi.
Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam
Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari
arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan jumlah
menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang
komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi
kemudian posisinya ditukarkan oleh Mayor Prager. Blokade yang berlarut-larut dan
keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya
kepada memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11
Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang
kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan
ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada
pasukan Belanda, perlawanan ini bisa diatasi. Nyaris setahun mengepung Bonjol,
pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali menerapkan serangan
besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir kepada penaklukan
Bonjol. Serangan dahsyat ini bisa menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga
pasukan Belanda bisa masuk menyerbu dan sukses membunuh beberapa keluarga
Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi
Kaum Padri kembali sukses memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir
dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan berlebihan korban
jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique
Jacques de Eerens, kemudian pada permulaan tahun 1837 mengirimkan seorang
panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius kepada memimpin
langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol kepada kesekian kalinya.[28]
Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam
strategi perang Benteng Stelsel. Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung
Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)
[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian
besar terdiri dari beragam suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat
148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda
tersebut di selangnya yaitu Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan
Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso
Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya. Dari Jakarta
didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli
1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu
dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri
dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein
Sinninghe. Serangan yang bergelombang serta berulang-ulang dan hujan peluru dari
pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang semakin 6
bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada
tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan
lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai kondisi, dan berkesudahan
pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16
Agustus 1837 Benteng Bonjol secara semuanya bisa ditaklukkan. Namun Tuanku
Imam Bonjol bisa mengundurkan diri keluar dari benteng dengan ditemani oleh
beberapa pengikutnya terus menuju kawasan Marapak.

H. Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba


mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan
lemah, namun sebab telah semakin 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus
menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap kepada bertempur
kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis
di Padang kepada mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan
kesediaannya menerapkan perundingan. Perundingan itu diberitahukan tidak boleh
semakin dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan
senjata berlanjut. Tuanku Imam Bonjol diinginkan kepada datang ke Palupuh, tempat
perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda kepada
menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan
kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi
kemudian terus dibawa ke Padang, kepada selanjutnya diasingkan. Namun pada
tanggal 23 Januari 1838, beliau dipindahkan ke Cianjur, dan pada penghabisan tahun
1838, beliau kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari
1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di kawasan inilah
setelah menjalani saat pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8
November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

I. Akhir Peperangan

Walaupun pada tahun 1837 Benteng Bonjol bisa direbut Belanda, dan Tuanku
Imam Bonjol sukses ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut
mencapai berkesudahan benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu),
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.
Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa
pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan berkesudahan
peperangan ini diasumsikan berkesudahan kemudian Kerajaan Pagaruyung diambil
keputusan menjadi anggota dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden
telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

J. Warisan Sejarah

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan


untuk masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol,
pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sebuah monumen kepada mengenang kisah
peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi
peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di
Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga
mendirikan museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan
Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah
Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai
Pahlawan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.harapanrakyat.com/2021/01/sejarah-perang-pattimura/

https://caritahu.kontan.co.id/news/inilah-sejarah-perlawanan-pattimura-dan-
rakyat-maluku-terhadap-penjajahan-belanda?page=all

https://kelasips.com/sejarah-kapitan-pattimura/

https://kumparan.com/berita-hari-ini/perlawanan-rakyat-maluku-terhadap-penjajah-
dan-tokoh-tokoh-yang-berperan-penting-1uB5wxOwxWa

https://caritahu.kontan.co.id/news/inilah-sejarah-perlawanan-pattimura-dan-rakyat-
maluku-terhadap-penjajahan-belanda?page=all
https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/21/145618969/perang-pattimura-
melawan-belanda
https://www.harapanrakyat.com/2021/01/sejarah-perang-pattimura/
http://p2k.itbu.ac.id/ind/3064-2950/Perang-Padri_42652_itbu_p2k-itbu.html

Anda mungkin juga menyukai