Anda di halaman 1dari 25

Perlawananan terhadap

kolonialisme dan imperialisme


bangsa barat di indonesia

Nama: Nia Ramadani


No : 24
Kelas : XI IPS 2
Kolonialisme dan
Imperialisme di Indonesia
Sebelum lebih jauh,
ada baiknya jika
kamu memahami
dulu, apa sih yang
dimaksud dengan
kolonialisme dan
imperialisme? Hal
apa saja yang
melatari ke duanya
terjadi di Indonesia?
Simak penjelasan
Kolonialisme berasal dari Bahasa Latin, yakni colonus, berarti petani.
Imperialisme berasal dari Bahasa Latin, yakni imperium, berarti
memerintah.

Perbedaan kolonialisme dan


imperialisme

Kolonialisme menargetkan untuk


menguasai bidang perdagangan.
Imperialisme lebih mengejar atau
menargetkan individunya
(penduduk).
Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme di
Indonesia

Kolonialisme dan imperialisme terjadi di


Indonesia ketika Bangsa Eropa mulai
masuk ke berbagai wilayah di dunia.
Faktor utama penyebaran kolonialisme
beserta imperialisme adalah adanya
Perang Salib dan jatuhnya
Konstantinopel oleh Turki Utsmani di
tahun 1453.24
Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon
sistem kolonialisme dan imperialisme, antara lain ekonomi dan politik,
sosial dan budaya, seni dan sastra, serta pendidikan. Berikut
penjelasannya:
Aspek Ekonomi dan Politik
Respon bangsa Indonesia dalam bidang
politik terhadap imperialisme dan
kolonialisme adalah menolak dengan tegas
yang dibuktikan dengan bersatunya para
pemuda berpendidikan dari berbagai latar
belakang organisasi mulai dari ekonomi,
pendidikan, politik, dll.
Perlawanan Terhadap Portugis
Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia
melawan bangsa Portugis, antara lain:

Perlawanan Kesultanan Ternate


Kebijakan monopoli perdagangan bangsa
Portugis membuat Sultan Hairun memimpin
perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka.
Sayangnya, Sultan Hairun ditangkap dan
dihukum mati oleh bangsa Portugis pada
tahun 1570. Meski demikian, perlawanan
Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ.
Perjuangan Sultan Hairun kemudian
dilanjutkan oleh Sultan Baabulah.
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate
berhasil mengusir bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575.
Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku ini kemudian menyingkir ke
Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga akhir abad ke-20.

Perlawanan Kesultanan
Demak
Di bawah pimpinan Sultan Trenggono,
Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa
pada tahun 1526 dan berhasil menguasai
wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada
tahun 1527, bangsa Portugis yang saat itu
tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah
dikuasai oleh Kesultanan Demak, datang
untuk membangun benteng di sana.
Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan
Demak di bawah kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah
kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Perlawanan Kesultanan Aceh

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai


pada tahun 1514–1540 di bawah kepemimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh berhasil
mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan
Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan
oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571
dengan bantuan Turki.
Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga
menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan
1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
mendukung Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir
bangsa Portugis, dari Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus
berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun
1641.

Perlawanan Terhadap
VOC
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai
upaya bangsa Indonesia melawan VOC, antara lain:
Perlawanan Kesultanan Mataram

Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan


dengan baik, sampai-sampai Kesultanan Mataram mengizinkan
VOC membangun benteng sebagai kantor perwakilan di wilayah
Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari jika
keberadaan VOC membahayakan pemerintahannya.
Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi
serangan pertama ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit
Mataram gugur. Serangan kedua yang dilakukan pada bulan Agustus–
Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram
kalah, kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung
persediaan makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang
dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang
menyerang pasukan Mataram.
Perlawanan Kesultanan Gowa

Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai


dengan pelucutan dan perampasan armada
VOC di Maluku, di bawah kepemimpinan
Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun
pecah karena pelucutan dan perampasan
armada tersebut. Perang Makassar
berlangsung selama tiga tahun, dari tahun
1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC
bersekutu dengan Arung Palaka, Raja Bone,
yang saat itu berseteru dengan Kerajaan
Gowa.
Perlawanan Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena
persaingan dagang dengan VOC dan gangguan VOC
terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng
Tirtayasa pada akhirnya melawan VOC dengan bekerja
sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya,
seperti pedagang Inggris.
Sultan Ageng kemudian menyerang kapal
VOC yang ada di perairan Banten serta
wilayah-wilayah yang dengan Batavia,
seperti peperangan di daerah Angke dan
Tangerang pada tahun 1658–1659.
Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia
Belanda
Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak
lagi menerapkan praktik kolonialisme ala VOC,
namun hal tersebut tidak membuat praktik dagang
dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda kembali terjadi,
terjadi lagi di Indonesia, penjelasannya:
Perlawanan Rakyat Maluku

Sejak VOC berkuasa di Maluku rakyat menjadi


sengsara, muncullah keinginan untuk melawan
kepada VOC. Secara umum penyebab terjadinya
perlawanan rakyat Maluku ini adalah karena adanya
beberapa faktor seperti: a) adanya desas-desus
bahwa jumlah guru akan dikurangi untuk
penghematan; b) Upah kerja yang tidak pernah
dibayar; c) keharusan membuat garam dan ikan tanpa
diupah; d) tindakan sewenang-wenang residen
terhadap rakyat Saparua; e) adanya isu belanda akan
mengumpulkan para pemuda untuk dijadikan tentara
di luar Maluku.
dibantu Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha, Paulus Tiahahu,
dan seorang pejuang wanita Christina Martha Tiahahu bersama rakyat
Maluku melakukan perlawanan pada tahun 1817.

Mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga


residen Van den Berg tewas. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau
lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut
benteng Zeeeland. Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan
Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes
namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan Mayor Beetjes
tewas.
Pada bulan Nopember 1817 Belanda
mengerahkan tentara besar-besaran dan
melakukan sergapan pada malam hari
Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap.
Mereka menjalani hukuman gantung pada
bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus
Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman
gantung di Nusalaut. Christina Martha Tiahahu
dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia
tutup mulut dan mogok makan yang
menyebabkan sakit dan meninggal dunia
dalam pelayaran pada awal Januari.
Perang Paderi

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat


dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun
1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada
awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.
perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat
dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin
Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan
kepada Belanda pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan,
sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda
dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang ini selain
meruntuhkan kekuasaan
Kerajaan Pagaruyung,
juga berdampak
merosotnya perekonomian
masyarakat sekitarnya
dan memunculkan
perpindahan masyarakat
dari kawasan konflik.
Perang Diponegoro

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa


(Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar
dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia)
Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah
dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara,
melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik
Merkus de Kock ,yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa
di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk
Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di
pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu
pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau
Berkebalikan dari perang yang dipimpin
oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun
sebelumnya, pasukan Jawa juga
menempatkan masyarakat Tionghoa di
tanah Jawa sebagai target
penyerangan. Namun, meskipun
Pangeran Diponegoro secara tegas
melarang pasukannya untuk bersekutu
dengan masyarakat Tionghoa, sebagian
pasukan Jawa yang berada di pesisir
utara (sekitar Rembang dan Lasem)
menerima bantuan dari penduduk
Tionghoa setempat yang rata-rata
beragama Islam.
Perang banjar

Perang Banjar atau Perang Banjar-


Barito atau Perang Kalimantan
Selatan adalah perang perlawanan
terhadap penjajahan kolonial Belanda
yang berlangsung antara tahun 1859-
1905 yang terjadi di Kesultanan
Banjar yang meliputi wilayah provinsi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah.
Perang Banjar berlangsung antara 1859 -1906 (menurut sumber
Belanda 1859-1863). Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah
mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di
Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan
kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran
Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya menjadi
raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) dan membunuh
semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-
satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu
mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Gusti Kasim
(Arung Turawe), tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran
Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (kini Sri
Langka).
Perang Puputan di
Bali
Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual
bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus
menyerah kepada musuh. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali
"puput" yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis / "mati".
THANKS
THANK YOU FOR LISTENING

Anda mungkin juga menyukai