Portugis merupakan salah satu pelopor penjelajahan samudra dan menjadi bangsa Eropa
pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Bangsa Portugis pertama kali mendarat di
Indonesia di daerah Malaka pada 1509. Setelah menguasai Malaka pada 1511, wilayah
lainnya juga menjadi incaran hingga memicu perlawanan rakyat Indonesia terhadap Portugis.
Latar belakang terjadinya perlawanan orang Indonesia kepada Portugis adalah adanya usaha
untuk memonopoli perdagangan dan penaklukan wilayah untuk memperluas daerah
kekuasaan. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Portugis pun terjadi di banyak wilayah.
Pada 1537, Aceh untuk pertama kalinya mengirim ekspedisi ke Malaka untuk
melakukan serangan militer terhadap Portugis. Perlawanan rakyat Aceh melawan Portugis
kala itu dipimpin langsung oleh Sultan Alauddin, yang didukung oleh sekitar 3.000 tentara.
Meski cara rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap Portugis masih menemui
kegagalan, tetapi Sultan belum menyerah. Strategi perlawanan Aceh terhadap Portugis pun
diperbarui.
Berikut ini beberapa persiapan Aceh untuk menghadapi Portugis:
•Melengkapi kapal dagang dengan persenjataan, meriam, dan prajurit.
•Mendatangkan bantuan persenjataan, tentara, dan ahli dari Turki Ottoman.
•Mendatangkan bantuan dari Kalikut dan Jepara.
Sultan Baabullah segera mengepung Benteng Sao Paolo dan mengirimkan armadanya ke
Ambon untuk memburu Portugis. Strategi yang dilakukan oleh Sultan Baabullah ini efektif
untuk membuat bangsa Portugis menyerah dan angkat kaki dari Ternate pada 28 Desember
1577. Namun, Portugis masih dapat memusatkan kekuatan dan kekuasaannya di Ambon
untuk sementara waktu. Setelah menghadapi perlawanan yang tidak kalah sengit dari rakyat
Maluku Tengah, pada 1605 Portugis akhirnya meninggalkan Maluku. Peristiwa itu menandai
akhir perlawanan Maluku terhadap Portugis. Akibat perlawanan Maluku terhadap Portugis,
mereka akhirnya menetap di Pulau Timor hingga 1975. Selain itu, dampak perlawanan rakyat
Maluku terhadap Portugis adalah terbukanya jalan bagi bangsa Eropa lainnya untuk
menanamkan kekuasaannya, salah satunya bangsa Belanda.
1. Perlawanan Pattimura
Setelah Belanda menang dalam pertempuran di Maluku, Belanda kembali berkuasa yang
mengakibatkan penurunan kesejahteraan masyarakat Maluku. Dalam menanggapi hal
tersebut, sejumlah tokoh dan pemuda Maluku mengadakan pertemuan rahasia di Pulau
Haruku.
Kemudian, pertemuan lain diadakan pada 14 Mei 1817 di Hutan Kayu Putih, Pulau
Sapura. Melalui pertemuan-pertemuan ini diputuskan untuk melawan penjajahan Belanda
yang penuh keserakahan dan kekejaman.
Pada 15 Mei 1857, tembak-menembak terjadi ketika Thomas Matulessy, yang lebih
dikenal sebagai Pattimura, memimpin perlawanan melawan Belanda untuk merebut Benteng
Duurstede di Saparua. Perlawanan ini juga meluas ke wilayah lain, termasuk penyerangan
Benteng Zeelandia di Pulau Haruku.
Belanda memobilisasi pasukan dari Ternate dan Tidore untuk menghadapi perlawanan
ini, yang menyebabkan kekalahan bagi Pattimura. Pattimura ditangkap dan dihukum mati,
sementara Martha Christina Tiahahu yang melanjutkan perlawanan pun juga ditangkap serta
diasingkan ke Pulau Jawa yang akhirnya meninggal pada 2 Januari 1818 karena mogok
makan dan penolakan membuka mulut.
2. Perang Padri
Berlangsung dari tahun 1821 hingga 1837, perang Padri adalah konflik di Sumatera Barat
yang bermula dari perbedaan pandangan antara Kaum Paderi, kelompok yang ingin
menyebarkan Islam dan menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam dengan
Kaum Adat yang mempertahankan tradisi adat istiadat mereka. Kaum Padri menguasai
wilayah pedalaman, sedangkan Kaum Adat mencari bantuan dari Inggris yang menguasai
daerah pesisir.
Pada tahun 1819, Belanda merebut kembali Padang dari Inggris dan Kaum Adat meminta
bantuan Belanda untuk menghadapi Kaum Paderi. Pada tahun 1821, Belanda dan Kaum Adat
menandatangani perjanjian, tetapi Belanda melanggarnya. Pertempuran pun terjadi di
berbagai tempat termasuk Sulit Air, Solok, dan Kota Bonjol.
Pada 15 November 1825, kedua pihak kembali berunding dan menghasilkan sebuah
traktat yang berisi pengakhiran peran dan permusuhan. Namun, Belanda malah membangun
pos-pos penjagaan di perbatasan, sehingga memicu peperangan kembali.
Pada 1833, Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda, tetapi kemudian berhasil direbut
kembali oleh Kaum Paderi. Sebagian Kaum Adat juga berbalik melawan Belanda, sehingga
Belanda meminta bantuan Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima Pangeran
Diponegoro, yang akhirnya bersekutu dengan Kaum Padri.
Pada 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat Plakat Panjang untuk mencoba
mengakhiri perang, tetapi serangan Belanda terus berlanjut hingga 1837, ketika Kota Bonjol
jatuh ke tangan Belanda lagi. Tuanku Imam Bonjol yang memimpin Kaum Padri, berhasil
lolos dan berunding dengan Belanda. Namun, Belanda melakukan tipu muslihat dan berhasil
menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 25 Oktober 1833 yang kemudian dibuang ke Manado.
Perang ini berlanjut hingga 1826 dengan kemenangan Diponegoro. Di lain sisi, Belanda
menerapkan taktik Benteng Stelsel untuk mematahkan perlawanan. Pada 1829, kekuatan
Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikutnya ditangkap atau tewas dalam pertempuran.
Perundingan antara Diponegoro dan Belanda pada 1830 berakhir dengan pengkhianatan
Belanda dengan melakukan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830 yang dibuang ke
Manado.
4. Perang Aceh
Pada abad ke-18 hingga ke-19, Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda
mencapai puncak kejayaan. Namun, kedudukan Aceh mulai terancam setelah Terusan Suez
dibuka, dan Belanda serta Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada 1871.
Aceh mencari bantuan asing karena merasa terancam oleh Belanda. Sementara, Belanda
menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan mereka di Nusantara, namun Aceh menolak.
Belanda pun kemudian mengirim pasukan ke Kutaraja pada 1873 yang gagal dengan
tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Belanda melancarkan serangan kedua pada Desember 1873 dan merebut istana
Kesultanan Aceh. Namun, Aceh masih menguasai daerah di luar Kutaraja dan belum dapat
ditaklukkan. Oleh karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronje seorang ahli kajian
Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, tokoh pejuang Aceh yang dikenal sebagai Teuku Cik Ditiro dinyatakan tewas.
Pada 1893 Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda, namun kemudian melarikan
diri dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Pada 1899, Teuku Umar tewas di
Meulaboh. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan dengan gerilya.
Pada November 1902, Belanda menangkap istri Sultan Aceh dan anak-anaknya. Sultan
Daudsyah menyerah pada 1903, tetapi perlawanan rakyat Aceh berlanjut secara gerilya. Cut
Nyak Dhien ditangkap pada 1905, dan Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Perang Aceh
akhirnya berakhir pada 1912 setelah berlangsung selama beberapa dekade.
5. Perang Bali
Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang akhirnya
berada di bawah Kerajaan Klungkung. Klungkung membuat perjanjian dengan Belanda pada
1841, yang menjadikan Klungkung sebagai negara bebas dari pengaruh Belanda. Namun,
Belanda terus mencari cara untuk menguasai Bali.
Pada 1844, perahu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng.
Kapal tersebut terkena Hukum Tawan Karang, yang memungkinkan Buleleng untuk
mengendalikannya. Ini mendorong Belanda untuk menyerang Kerajaan Buleleng pada tahun
1848, tetapi serangan pertama mereka gagal.
Pada serangan kedua tahun 1849, pasukan Belanda berhasil merebut benteng terakhir
Buleleng di Jagaraga dalam peristiwa yang dikenal sebagai Puputan Jagaraga. Setelah
Buleleng jatuh, Belanda mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan Bali lainnya.
Akibatnya, perlawanan rakyat Bali terhadap penjajahan Belanda ditandai oleh berbagai
perang puputan, di mana mereka berjuang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri
dan kehormatan mereka. Beberapa perang puputan yang terkenal meliputi Puputan Badung
pada 1906, Puputan Kusamba pada 1908, dan Puputan Klungkung pada 1908.
6. Perang Banjarmasin
Campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan pada pertengahan abad ke-19
menyebabkan perlawanan di Kesultanan Banjarmasin. Pada 1826, Sultan Adam memulai
hubungan diplomatik dengan Belanda, tetapi pada 1850 muncul perselisihan. Setelah Sultan
Adam meninggal pada tahun 1857, konflik ini terus berlanjut.
Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC pada 1660. Di bawah komando
Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan ketangguhan armada
lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk
menentang dan melawan VOC. VOC tidak tinggal diam, VOC juga menjalin kerja sama
dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan
Kerajaan Gowa.
Armada laut VOC itu meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (ibukota
Gowa). Pada 19 Desember 1666, armada VOC sampai di Sombaopu, ibukota sekaligus
pelabuhan Kerajaan Gowa. Awalnya Speelman bermaksud menggertak Sultan Hasanuddin.
Namun karena, Sultan Hasanuddin tak gentar, Speelman segera menyerukan tuntutan agar
Kerajaan Gowa membayar segala kerugian. Karena peringatan VOC tidak diindahkan,
Speelman mulai mengadakan tembakan meriam terhadap kedudukan dan pertahanan orang-
orang Gowa. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC dibalas juga dengan dentuman-
dentuman meriam yang gencar dilancarkan pihak Gowa. Maka, terjadilah tembakan-
tembakan duel meriam antara armada kapal-kapal VOC dengan benteng pertahanan Kerajaan
Gowa.
Tidak kuat menahan gempuran VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan Hasanuddin
dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Dengan perjanjian itu,
Sultan Hasanuddin harus mengakui monopoli VOC yang selama ini ditentangnya.
Walau tidak dapat mengusir bangsa barat, hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin
masih bersikukuh tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa
sampai wafat pada 12 Juni 1670 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selama perlawanan, Sultan Hasanuddin diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang
berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan itu diberikan karena semangat dan keberaniannya
dalam menentang monopoli yang dilakukan VOC.