Anda di halaman 1dari 8

Perlawanan Bangsa Indonesia dalam melawan Portugis

Portugis merupakan salah satu pelopor penjelajahan samudra dan menjadi bangsa Eropa
pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Bangsa Portugis pertama kali mendarat di
Indonesia di daerah Malaka pada 1509. Setelah menguasai Malaka pada 1511, wilayah
lainnya juga menjadi incaran hingga memicu perlawanan rakyat Indonesia terhadap Portugis.
Latar belakang terjadinya perlawanan orang Indonesia kepada Portugis adalah adanya usaha
untuk memonopoli perdagangan dan penaklukan wilayah untuk memperluas daerah
kekuasaan. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Portugis pun terjadi di banyak wilayah.

1. Perlawanan Aceh terhadap Portugis


Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis dilakukan sejak tiga dekade awal abad ke-16,
dan berhasil mengusirnya dari Daya (1520), Pidie (1521), dan Pasai (1524). Sejak
kedatangannya di Malaka, Portugis dianggap sebagai saingan Aceh dalam bidang politik,
ekonomi, dan penyebaran agama. Beberapa hal yang menyebabkan rakyat Aceh melakukan
perlawanan terhadap Portugis di antaranya:
• Keinginan Aceh menguasai jalur perdagangan di selat Malaka.
•Ambisi Portugis untuk memonopoli perdagangan Aceh.
•Portugis melakukan blokade terhadap perdagangan Aceh.
•Portugis melakukan penangkapan kapal-kapal Aceh.

Pada 1537, Aceh untuk pertama kalinya mengirim ekspedisi ke Malaka untuk
melakukan serangan militer terhadap Portugis. Perlawanan rakyat Aceh melawan Portugis
kala itu dipimpin langsung oleh Sultan Alauddin, yang didukung oleh sekitar 3.000 tentara.

Meski cara rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap Portugis masih menemui
kegagalan, tetapi Sultan belum menyerah. Strategi perlawanan Aceh terhadap Portugis pun
diperbarui.
Berikut ini beberapa persiapan Aceh untuk menghadapi Portugis:
•Melengkapi kapal dagang dengan persenjataan, meriam, dan prajurit.
•Mendatangkan bantuan persenjataan, tentara, dan ahli dari Turki Ottoman.
•Mendatangkan bantuan dari Kalikut dan Jepara.

Setelah penyerangan pertama menemui kegagalan, Aceh melancarkan serangan lanjutan


pada 1547, 1568, 1573,1574, dan 1577, tetapi belum juga berhasil mengusir Portugis. Ketika
Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), kerajaan ini kembali membombardir
Malaka. Meski sempat unggul di awal peperangan, untuk kesekian kalinya Aceh harus
mengakui kekalahannya dan Portugis masih mampu bertahan di Malaka. Meski terus
mengalami kegagalan, tidak dianggap sebagai akhir perlawanan Aceh terhadap Portugis
Perlawanan Aceh terhadap Portugis di Malaka berlangsung selama kurang lebih satu abad.

2. Perlawanan Demak terhadap Portugis


Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, aktivitas perdagangan, khususnya pedagang
Muslim, menjadi terganggu. Oleh karena itu, Kerajaan Demak juga mengirim pasukannya
untuk mengusir bangsa Portugis. Perlawanan terhadap Portugis dilakukan oleh Demak lebih
dari satu kali, yakni di bawah Pati Unus dan Fatahillah. Namun, perlawanan yang dilakukan
Pati Unus belum berhasil menggempur kedudukan Portugis di Malaka. Setelah sempat
menemui kegagalan, perjuangan Demak akhirnya membawa hasil yang menggembirakan.
Pada 1527, pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten diberangkatkan untuk
membendung pengaruh Portugis yang akan merambah Sunda Kelapa. Akhirnya, pada 22
Juni 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut oleh Fatahilllah, yang kemudian mengubah
namanya menjadi Jayakarta. Peristiwa itu menandai akhir perlawanan Demak terhadap
Portugis.

3. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis


Setelah menguasai Malaka, bangsa Portugis mengincar wilayah Maluku, yang dikenal
kaya rempah-rempah. Pada 1512, armada Portugis yang dipimpin Kapten Antonio de Abreu
dikirim ke Maluku. Awalnya, Portugis membangun kerja sama dengan Ternate, sebelum
akhirnya berkhianat dan memicu perlawanan. Latar belakang perlawanan rakyat Maluku
terhadap Portugis adalah adanya politik monopoli perdagangan rempah.

4. Perlawanan rakyat Hitu


Di antara rakyat Maluku, masyarakat Hitu menjadi yang pertama melakukan peperangan
menghadapi Portugis pada 1520 hingga 1525. Setelah menderita kekalahan, delapan tahun
berikutnya, Portugis mencoba memengaruhi Hatiwe di Hitu bagian selatan, untuk menyerang
Hitu. Namun, sebelum rencana itu terlaksana, pasukan Hitu bersama pasukan bantuan dari
Jepara menyerang Hatiwe terlebih dulu. Dalam pertempuran ini, pihak Portugis kembali
menderita kekalahan di mana pasukannya banyak yang tewas dan senjatanya dirampas oleh
pejuang Hitu. Setelah sempat terdesak oleh kekuatan Portugis, Hitu akhirnya mampu
mengusir Portugis pada 1574, dibantu oleh pasukan dari Seram Barat.

5. Perlawanan Sultan Hairun terhadap Portugis


Pada awalnya, Ternate bekerjasama dengan bangsa Portugis untuk memerangi Tidore.
Namun, koalisi ini akhirnya mengalami perpecahan dan peperangan mulai dilancarkan oleh
rakyat Ternate pada 1530-an. Penyebab perlawanan Ternate terhadap Portugis adalah
kedaulatan sultan dilanggar. Perlawanan Ternate terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan
Khairun pada 1565. Sultan Khairun terus menggempur benteng-benteng Portugis hingga
membuat kedudukannya terdesak. Menghadapi situasi itu, Portugis sempat menangkap dan
mengasingkan Sultan Khairun di sebuah benteng, sebelum akhirnya dilepaskan karena terjadi
kekacauan yang meluas. Namun, tokoh perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis itu
kembali dikhianati. Pada 1570, Sultan Khairun ditipu dan dengan diam-diam dibunuh di
Benteng Sao Paolo ketika diajak berunding oleh Portugis.

6. Perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis


Setelah Sultan Khairun meninggal, tokoh yang berperan dalam perlawanan rakyat
Maluku terhadap Portugis adalah Sultan Baabullah. Perlawanan rakyat Ternate terhadap
Portugis mencapai puncaknya pada masa putra Sultan Khairun ini.

Sultan Baabullah segera mengepung Benteng Sao Paolo dan mengirimkan armadanya ke
Ambon untuk memburu Portugis. Strategi yang dilakukan oleh Sultan Baabullah ini efektif
untuk membuat bangsa Portugis menyerah dan angkat kaki dari Ternate pada 28 Desember
1577. Namun, Portugis masih dapat memusatkan kekuatan dan kekuasaannya di Ambon
untuk sementara waktu. Setelah menghadapi perlawanan yang tidak kalah sengit dari rakyat
Maluku Tengah, pada 1605 Portugis akhirnya meninggalkan Maluku. Peristiwa itu menandai
akhir perlawanan Maluku terhadap Portugis. Akibat perlawanan Maluku terhadap Portugis,
mereka akhirnya menetap di Pulau Timor hingga 1975. Selain itu, dampak perlawanan rakyat
Maluku terhadap Portugis adalah terbukanya jalan bagi bangsa Eropa lainnya untuk
menanamkan kekuasaannya, salah satunya bangsa Belanda.

Perlawanan Bangsa Indonesia dalam melawan Belanda


Perlawanan Daerah Setelah Tahun 1800.

1. Perlawanan Pattimura
Setelah Belanda menang dalam pertempuran di Maluku, Belanda kembali berkuasa yang
mengakibatkan penurunan kesejahteraan masyarakat Maluku. Dalam menanggapi hal
tersebut, sejumlah tokoh dan pemuda Maluku mengadakan pertemuan rahasia di Pulau
Haruku.

Kemudian, pertemuan lain diadakan pada 14 Mei 1817 di Hutan Kayu Putih, Pulau
Sapura. Melalui pertemuan-pertemuan ini diputuskan untuk melawan penjajahan Belanda
yang penuh keserakahan dan kekejaman.

Pada 15 Mei 1857, tembak-menembak terjadi ketika Thomas Matulessy, yang lebih
dikenal sebagai Pattimura, memimpin perlawanan melawan Belanda untuk merebut Benteng
Duurstede di Saparua. Perlawanan ini juga meluas ke wilayah lain, termasuk penyerangan
Benteng Zeelandia di Pulau Haruku.

Belanda memobilisasi pasukan dari Ternate dan Tidore untuk menghadapi perlawanan
ini, yang menyebabkan kekalahan bagi Pattimura. Pattimura ditangkap dan dihukum mati,
sementara Martha Christina Tiahahu yang melanjutkan perlawanan pun juga ditangkap serta
diasingkan ke Pulau Jawa yang akhirnya meninggal pada 2 Januari 1818 karena mogok
makan dan penolakan membuka mulut.

2. Perang Padri
Berlangsung dari tahun 1821 hingga 1837, perang Padri adalah konflik di Sumatera Barat
yang bermula dari perbedaan pandangan antara Kaum Paderi, kelompok yang ingin
menyebarkan Islam dan menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam dengan
Kaum Adat yang mempertahankan tradisi adat istiadat mereka. Kaum Padri menguasai
wilayah pedalaman, sedangkan Kaum Adat mencari bantuan dari Inggris yang menguasai
daerah pesisir.

Pada tahun 1819, Belanda merebut kembali Padang dari Inggris dan Kaum Adat meminta
bantuan Belanda untuk menghadapi Kaum Paderi. Pada tahun 1821, Belanda dan Kaum Adat
menandatangani perjanjian, tetapi Belanda melanggarnya. Pertempuran pun terjadi di
berbagai tempat termasuk Sulit Air, Solok, dan Kota Bonjol.

Pada 15 November 1825, kedua pihak kembali berunding dan menghasilkan sebuah
traktat yang berisi pengakhiran peran dan permusuhan. Namun, Belanda malah membangun
pos-pos penjagaan di perbatasan, sehingga memicu peperangan kembali.

Pada 1833, Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda, tetapi kemudian berhasil direbut
kembali oleh Kaum Paderi. Sebagian Kaum Adat juga berbalik melawan Belanda, sehingga
Belanda meminta bantuan Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima Pangeran
Diponegoro, yang akhirnya bersekutu dengan Kaum Padri.

Pada 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat Plakat Panjang untuk mencoba
mengakhiri perang, tetapi serangan Belanda terus berlanjut hingga 1837, ketika Kota Bonjol
jatuh ke tangan Belanda lagi. Tuanku Imam Bonjol yang memimpin Kaum Padri, berhasil
lolos dan berunding dengan Belanda. Namun, Belanda melakukan tipu muslihat dan berhasil
menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 25 Oktober 1833 yang kemudian dibuang ke Manado.

3. Perlawanan Pangeran Diponegoro


Perang Diponegoro berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830. Ini adalah konflik yang
terjadi sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan Belanda di
Kesultanan Yogyakarta. Perang ini bermula dari bagian Selatan Yogyakarta dan meluas
hingga seluruh Jawa.

Intervensi politik Belanda dalam urusan kesultanan, ditambah dengan penghinaan


terhadap Pangeran Diponegoro terkait pembangunan jalan yang melalui makam leluhurnya
menjadi pemicu utama perang ini. Diponegoro dan para pendukungnya membangun pusat
pertahanan di Selarong dan mendapatkan dukungan dari berbagai tokoh.

Perang ini berlanjut hingga 1826 dengan kemenangan Diponegoro. Di lain sisi, Belanda
menerapkan taktik Benteng Stelsel untuk mematahkan perlawanan. Pada 1829, kekuatan
Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikutnya ditangkap atau tewas dalam pertempuran.
Perundingan antara Diponegoro dan Belanda pada 1830 berakhir dengan pengkhianatan
Belanda dengan melakukan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830 yang dibuang ke
Manado.

4. Perang Aceh
Pada abad ke-18 hingga ke-19, Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda
mencapai puncak kejayaan. Namun, kedudukan Aceh mulai terancam setelah Terusan Suez
dibuka, dan Belanda serta Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada 1871.

Aceh mencari bantuan asing karena merasa terancam oleh Belanda. Sementara, Belanda
menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan mereka di Nusantara, namun Aceh menolak.
Belanda pun kemudian mengirim pasukan ke Kutaraja pada 1873 yang gagal dengan
tewasnya Mayor Jenderal Kohler.

Belanda melancarkan serangan kedua pada Desember 1873 dan merebut istana
Kesultanan Aceh. Namun, Aceh masih menguasai daerah di luar Kutaraja dan belum dapat
ditaklukkan. Oleh karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronje seorang ahli kajian
Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.

Pada 1891, tokoh pejuang Aceh yang dikenal sebagai Teuku Cik Ditiro dinyatakan tewas.
Pada 1893 Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda, namun kemudian melarikan
diri dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Pada 1899, Teuku Umar tewas di
Meulaboh. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan dengan gerilya.
Pada November 1902, Belanda menangkap istri Sultan Aceh dan anak-anaknya. Sultan
Daudsyah menyerah pada 1903, tetapi perlawanan rakyat Aceh berlanjut secara gerilya. Cut
Nyak Dhien ditangkap pada 1905, dan Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Perang Aceh
akhirnya berakhir pada 1912 setelah berlangsung selama beberapa dekade.

5. Perang Bali
Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang akhirnya
berada di bawah Kerajaan Klungkung. Klungkung membuat perjanjian dengan Belanda pada
1841, yang menjadikan Klungkung sebagai negara bebas dari pengaruh Belanda. Namun,
Belanda terus mencari cara untuk menguasai Bali.

Pada 1844, perahu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng.
Kapal tersebut terkena Hukum Tawan Karang, yang memungkinkan Buleleng untuk
mengendalikannya. Ini mendorong Belanda untuk menyerang Kerajaan Buleleng pada tahun
1848, tetapi serangan pertama mereka gagal.
Pada serangan kedua tahun 1849, pasukan Belanda berhasil merebut benteng terakhir
Buleleng di Jagaraga dalam peristiwa yang dikenal sebagai Puputan Jagaraga. Setelah
Buleleng jatuh, Belanda mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan Bali lainnya.

Akibatnya, perlawanan rakyat Bali terhadap penjajahan Belanda ditandai oleh berbagai
perang puputan, di mana mereka berjuang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri
dan kehormatan mereka. Beberapa perang puputan yang terkenal meliputi Puputan Badung
pada 1906, Puputan Kusamba pada 1908, dan Puputan Klungkung pada 1908.

6. Perang Banjarmasin
Campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan pada pertengahan abad ke-19
menyebabkan perlawanan di Kesultanan Banjarmasin. Pada 1826, Sultan Adam memulai
hubungan diplomatik dengan Belanda, tetapi pada 1850 muncul perselisihan. Setelah Sultan
Adam meninggal pada tahun 1857, konflik ini terus berlanjut.

Pangeran Antasari, putra Sultan Muhammad yang anti-Belanda, memimpin Perang


Banjarmasin pada tahun 1889. Selama perang, Belanda mencoba menunjuk Pangeran
Hidayatullah sebagai sultan, tetapi dia menolak dan mendukung Pangeran Antasari. Pangeran
Hidayatullah ditangkap dan dibuang pada 1862, tetapi perlawanan di bawah pimpinan
Pangeran Antasari terus berlanjut.

Kemudian, rakyat Banjarmasin akhirnya mengangkat Pangeran Antasari menjadi sultan,


namun Pangeran Antasari akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 1862.
Meskipun Belanda berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Nusantara, perlawanan
kerajaan berlanjut hingga akhir abad ke-19.

7. Perlawanan Sultan Hasanuddin


Pada tahun 1653-1670, kebebasan berdagang di laut lepas menjadi garis kebijakan Gora
di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, hal inilah yang menjadi alasan VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie) menyatakan keberatannya. VOC sendiri adalah persekutuan
dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan Asia.

Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC pada 1660. Di bawah komando
Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan ketangguhan armada
lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk
menentang dan melawan VOC. VOC tidak tinggal diam, VOC juga menjalin kerja sama
dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan
Kerajaan Gowa.

Setelah 3 tahun berselang, tepatnya 24 November 1966, terjadi pergerakan besar-besaran


yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.

Armada laut VOC itu meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (ibukota
Gowa). Pada 19 Desember 1666, armada VOC sampai di Sombaopu, ibukota sekaligus
pelabuhan Kerajaan Gowa. Awalnya Speelman bermaksud menggertak Sultan Hasanuddin.
Namun karena, Sultan Hasanuddin tak gentar, Speelman segera menyerukan tuntutan agar
Kerajaan Gowa membayar segala kerugian. Karena peringatan VOC tidak diindahkan,
Speelman mulai mengadakan tembakan meriam terhadap kedudukan dan pertahanan orang-
orang Gowa. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC dibalas juga dengan dentuman-
dentuman meriam yang gencar dilancarkan pihak Gowa. Maka, terjadilah tembakan-
tembakan duel meriam antara armada kapal-kapal VOC dengan benteng pertahanan Kerajaan
Gowa.

Tidak kuat menahan gempuran VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan Hasanuddin
dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Dengan perjanjian itu,
Sultan Hasanuddin harus mengakui monopoli VOC yang selama ini ditentangnya.

Walau tidak dapat mengusir bangsa barat, hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin
masih bersikukuh tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa
sampai wafat pada 12 Juni 1670 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selama perlawanan, Sultan Hasanuddin diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang
berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan itu diberikan karena semangat dan keberaniannya
dalam menentang monopoli yang dilakukan VOC.

Anda mungkin juga menyukai