Anda di halaman 1dari 34

TUGAS SEJARAH

“Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap

Portugis dan VOC”

OLEH :

Nama : Saviera Fidela Arawinda


Kelas/No : XI MIPA 1/28

SMA NEGERI 1 KLATEN


2020/2021
PERLAWANAN RAKYAT ACEH TERHADAP PORTUGIS

A.  Latar Belakang
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di wilayah Nusantara hidup dengan
tenteram di bawah kekuasaan raja-raja. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia mula-
mula disambut baik oleh bangsa Indonesia, tetapi lama-kelamaan rakyat Indonesia mengadakan
perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa mulai terkuak dan diketahui oleh
bangsa Indonesia.Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia disebabkan orang-
orang Barat ingin memaksakan monopoli perdagangan dan berusaha mencampuri urusan
kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Setelah Malaka dapat dikuasai oleh Portugis 1511, maka terjadilah persaingan dagang
antara pedagang-pedagang Portugis dengan pedagang di Nusantara. Portugis ingin selalu
menguasai perdagangan, maka terjadilah perlawanan-perlawanan terhadap Portugis.
Sejak Portugis dapat menguasai Malaka, Kerajaan Aceh merupakan saingan terberat
dalam dunia perdagangan. Para pedagang muslim segera mengalihkan kegiatan perdagangannya
ke Aceh Darussalam.
Keadaan ini tentu saja sangat merugikan Portugis secara ekonomis, karena Aceh
kemudian tumbuh menjadi kerajaan dagang yang sangat maju. Melihat kemajuan Aceh ini,
Portugis selalu berusaha menghancurkannya, tetapi selalu menemui kegagalan.

B.   Proses perlawanan Aceh terhadap Portugis


Pada Tahun 1523 melancarkan serangan dibawah pimpinan Henrigues dan diteruskan
oleh de Sauza pada tahun berikutnya. Namun perlawanan yang dilakukan selalu menemui
kegagalan. Maka, untuk melemahkan Aceh, Portugis melancarkan serangan dengan mengganggu
kapal-kapal dagang Aceh. Selain mengganggu pedagangan rakyat Aceh, Portugis juga ingin
merampas kedaulatan Aceh.  Hal itu membuat rakyat Aceh marah dan akhirnya melakukan
perlawanan.

Usaha-usaha Aceh Darussalam untuk mempertahankan diri dari ancaman Portugis, antara lain:

1
o Aceh berhasil menjalin hubungan baik dengan Turki, Persia, dan Gujarat (India),
o Aceh memperoleh bantuan berupa kapal, prajurit, dan makanan dari beberapa pedagang
muslim di Jawa,
o Kapal-kapal dagang Aceh dilengkapi dengan persenjataan yang cukup baik dan prajurit
yang tangguh,
o Meningkatkan kerja sama dengan Kerajaan Demak dan Makassar.
Semangat rakyat Aceh untuk mengusir Portugis dari Aceh sangatlah besar. Puncaknya
adalah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan Iskandar Muda
mencoba menambah kekuatan dengan melipatgadakan kekuatan pasukannya, angkatan laut
diperkuat dengan kapal-kapal besar yang berisi 600-800 prajurit, pasukan kavaleri dilengkapi
dengan kuda Persia, menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.
Perlawanan terus dilakukan. Permusuhan antara Aceh dan Portugis berlangsung terus
tetapi sama-sama tidak berhasil mengalahkan, sampai akhirnya Malaka jatuh ke tangan VOC
tahun 1641.
VOC bermaksud membuat Malaka menjadi pelabuhan yang ramai dan ingin
menghidupkan kembali kegiatan perdagangan seperti yang pernah dialami Malaka sebelum
kedatangan Portugis dan VOC.
Kemunduran Aceh mulai terlihat setelah Iskandar Muda wafat dan penggantinya adalah
Sultan Iskandar Thani (1636–1841).
Pada saat Iskandar Thani memimpin Aceh masih dapat mempertahankan kebesarannya.
Tetapi setelah Aceh dipimpin oleh Sultan Safiatuddin 91641–1675) Aceh tidak dapat berbuat
banyak mempertahankan kebesarannya

C.  Tokoh-Tokoh
Di antara raja-raja Kerajaan Aceh yang melakukan perlawanan adalah:
o Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1528). Berhasil membebaskan Aceh dari upaya
penguasaan bangsa Portugis
o Sultan Alaudin Riayat Syah (1537–1568). Berani menentang dan mengusir Portugis
yang bersekutu dengan Johor.

2
o Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Raja Kerajaan Aceh yang terkenal sangat gigih
melawan Portugis adalah Iskandar Muda. Pada tahun 1615 dan 1629, Iskandar Muda
melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka.

D.  Akibat
Setelah Aceh mengalami kekalahan perang yang berkali-kali membuat Aceh tidak
mempunyai pengaruh lagi diperdagangan dan pengaruh di kerajaan di tanah Melayu dan
membuat Portugis semakin besar, walaupun Aceh kalah perang dengan Portugis tapi Aceh tidak
bisa dikuasai oleh Portugis.

3
PERLAWANAN MALUKU TERHADAP PORTUGIS DAN VOC

Perlawanan Maluku Terhadap Portugis


Portugis memasuki maluku pada tahun 1521, dan memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak
lama berselang orang Spanyol juga memasuki maluku, yang memusatkan kedudukannya di
Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak. Persaingan itu antara persekutuan
Portugis dengan Ternate dan Spanyol dengan Tidore. Akhirnya persaingan dimenangkan oleh
Portugis dan diakhiri dengan adanya perjanjian Saragosa.

A. Latar Belakang
o Portugis melakukan monopoli perdagangan
o Portugis ikut campur tangan dalam pemeritahan
o Portugis ingin menyebarkan agama katolik yang berarti bertentangan dengan agama-
agama-yang telah dianut oleh rakyat Ternate
o Portugis membenci agama islam
o Portugis sewenang-sewenang terhadap rakyat
o Keserakahan dan kesombongan bangsa Portugis

 B. Tokoh-tokoh Perlawanan

 Sultan Khaerun/Hairun. Terjadi pada tahun 1565 menyerukan seluruh rakyat dari Paua
sampai jawa untuk angkat senjata melawa Portugis, namun dengan pertimbangan
kemanusiaan sultan Hairun menerima ajakan perundingan Portugis . Ternyata pada saat
perundingan sultan Hairun ditangkap dan dibunuh
 Sultan Baabullah (Putra Sultan Hairun). Maluku berhasil  di persatukan termasuk
Ternate Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis, akhirnya
orang Portugis melarikan diri ke ambon namun diusir oleh VOC dan kemudian menetap
di Timor Timur.

4
 Kakiali dan Telukabesi. Memimpin serangan Sporadis dari rakyat Hitu yang meluas ke
Ambon
 Kecili Said. Memimpin perlawanan di Ternate.
 Pangeran Nuku. Pada tahun 1680 VOC memaksakan sebuah perjanjian dengan
penguasa Tidore yang mengakibatkan Putra Alam menjadi penguasa baru(menurut tradisi
yang berhak menjadi sultan adalah pangeran Nuku). Penempatan putra Alam sebagai
sultan Tidore menmbulkan protes keras dari Pangeran Nuku, timbulan perang hebat
antara rakyat maluku dibawah pangeran Nuku dan tentara VOC. Sultan Nuku juga
mendapat dukungan dari rakyat Papua dibawah pimpinan Raja Ampat dan orang
Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikunya pangeran Nuku diangkat sebagi sultan
dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhamad Syafiudin syah. Sultan Nuku berhasil
mengembangkan pemerintahan yang berdaulat dan melepaskan diri dari dominasi
Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya. 

Perlawanan Maluku Terhadap VOC


Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng
Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran Hongi menimbulkan kesengsaran
rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan
Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan
VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku
(1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni.
Beberapa tindakan sewenang-wenang Belanda di Maluku antara lain:

1. Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempah- rempah) kepada
VOC (contingenten).
2. Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-
rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila
harga rempah-rempah di pasaran naik/ meningkat.
3. Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yang diciptakan oleh Frederick de Houtman
(Gubernur pertama Ambon) yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan

5
tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli
perdagangan di seluruh Maluku

Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah
besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil
membunuh Kakiali.  Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan
perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang
Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646.
Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke
daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta
bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van
Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi
tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18,
muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera
dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797)
muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan
Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku
meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.

Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-
sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :

1. Adanya Perjanjian London (1816) yang menyatakan Belanda berkuasa di Maluku.


2. Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita
dibawah VOC
3. Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali
penyerahan wajib dan kerja wajib
4. Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menentang Belanda dibawah pimpinan Thomas
Matulesi atau Pattimura. Pattimura didukung oleh teman-temannya seperti Anthonie Rhebok,

6
Philip Latumahina, dan Christina Marta Tiahahu. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai
bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat
menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil
dikuasai oleh rakyat Maluku.

Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil
menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817. Pattimura dijatuhi
hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.

7
PERLAWANAN MATARAM TERHADAP VOC

A. Latar Belakang
Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan
Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: 
 Mempersatukan seluruh tanah Jawa.
 Mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. 
Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC
di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli
perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu
juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan
ke Batavia. 

Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
o Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,
o VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke
Malaka,
o VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan
o keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau
Jawa.

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada
waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan
Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram
di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha
membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga
pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan.

Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan


seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa
Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram

8
berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara
pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.

B. Tokoh-tokoh

Raja Mataram yang paling gigih menyerang VOC di Batavia adalah Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Perlawanan rakyat Mataram saat diperintah Sultan Agung Hanyakrakusuma
untuk menyerang VOC di Batavia terjadi dua kali, meskipun kedua-duanya belum memperoleh
keberhasilan.

Perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC di Batavia dilakukan pada bulan Agustus 1628 yang
dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Walaupun pasukan Mataram kelelahan akibat
menempuh jarak yang sangat jauh dengan persediaan bahan makanan yang mulai menipis,
pasukan Mataram mampu melakukan serangan terhadap VOC di Batavia sepanjang hari.

Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan tahun 1629 dan
dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Meskipun persediaan bahan pangan sudah mulai
menipis, pasukan Mataram tetap menyerbu Batavia dan berhasil menghancurkan benteng
Hollandia. Penyerbuan berikutnya dilanjutkan ke benteng Bommel tetapi belum berhasil karena
pasukan Mataram sudah mulai kelelahan dan kekurangan bahan makanan.

C. Proses

Sultan Agung mengadakan serangan ke Batavia sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629.
Serangan pertama pada tahun 1628 terbagi dua gelombang. Gelombang pertama dipimpin oleh
Tumenggung Bahurekso dengan membangun kubu – kubu pertahanan di dekat rumah – rumah
penduduk di sekitar Batavia.

Namun tindakan tersebut diketahui oleh VOC, sehingga VOC kemudian menyerang dan
membakar kampung – kampung yang terdapat pasukan Mataram dan banyak jatuh korban di
pihak Mataram, termasuk Tumenggung Bahurekso.

Gelombang kedua di pimpin oleh Adipati Uposonto, Suro Agul-Agul, dan Mandurejo. Stategi
yang di gunakan adalah membenung aliran sungai Ciliwung dengan harapan agar Batavia

9
kekurangan air dan terjangkit wabah penyakit menular. Secara umum, serangan Sultan Agung
yang pertama ini mengalami kegagalan.

Pada tahun 1629, Mataram melakukan serangan untuk kedua kalinya di bawah pimpinan Dipati
Puger dan Dipati Purabaya. Belajar dari serangan pertama yang gagal, maka di adakan persiapan
yang lebih matang sebelum melakukan serangan, didirikan lumbung – lumbung padi di daerah
Cirebon dengan tujuan memblokade bahan makanan ke Batavia. Lumbung – lumbung padi
tersebut akhirnya diketahui oleh VOC dan dibakar, akibatnya serangan Mataram kedua juga
mengalami kegagalan.

D. Bentuk Perlawanan

Penyerbuan Mataram ke Batavia pada Tahun 1628

 Sultan Agung mengadakan penyerangan ke Batavia pertama kali pada tahun 1628.
Pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.
 Pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Agul-Agul, Kyai Dipati Mandurorejo, Kyai
Dipati Upusonto, dan Dipati Ukur.
 22 Agustus 1628 – 24 Agustus 1628 tentara mataram datagke Batavia dan melakukan
penyerbuan.
 21 September 1628 tentara Mataram menyerang benteng Hollandia, namun gagal.
Kegagalan ini membuat penyerbuan Mataram yang pertama berakhir pula.

Penyerbuan Mataram ke Batavia pada Tahun 1629

 Meskipun Mataram tidak berhasil merebut benteng Batavia dan menundukkan Kompeni
pada tahun 1628, mereka tidak begitu saja menyerah.
 1629 tentara Mataram berangkat lagi menuju Batavia dengan perlengkapan senjata-api.
 Tentara Mataram berangkat ke Batavia mulai bulan Juni 1629. Dan pada akhir bulan
Agustus 1629 mereka sampai di Batavia.
 Pada tanggal 31 Agustus 1629 seluruh pasukan Mataram mulai tiba di daerah sekitar
Batavia. VOC mengetahui kedatangan mereka untuk kembali menyerbu Batavia. VOC

10
juga mengetahui bahwa pusat persediaan bahan pangan saat itu adalah Tegal. Merekapun
mengirimkan armadanya ke Tegal, di mana perahu-perahu Mataram, rumah-rumah dan
gudang-gudang beras bagi tentara Mataram dibakar habis, setelah Tegal mendapat
perusakan, VOC berpindah ke Cirebon. Kota ini juga mendapat gilirannya. Persediaan
padi di sini pun habis dibakar oleh VOC.
 21 September 1629 tentara Mataram menyerang benteng VOC. Mereka dibiarkan
menembak benteng hingga persediaan mesiu habis.
 Pasukan Mataram menderita kelaparan. Setelah berusaha untuk menyerang selama
kurang lebih 10 hari pada akhir bulan September 1629 mereka mulai menarik diri.

E. Hasil Perlawanan
Pada perlawanan pertama mengalami kegagalan. Mataram melakukan serangan untuk kedua
kalinya di bawah pimpinan Dipati Puger dan Dipati Purabaya. Belajar dari serangan pertama
yang gagal, maka di adakan persiapan yang lebih matang sebelum melakukan serangan, didirikan
lumbung – lumbung padi di daerah Cirebon dengan tujuan memblokade bahan makanan ke
Batavia. Lumbung – lumbung padi tersebut akhirnya diketahui oleh VOC dan dibakar, akibatnya
serangan Mataram kedua juga mengalami kegagalan.

11
PERLAWANAN BANTEN TERHADAP VOC

A. Latar Belakang
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat
para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak di
ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur
perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan
Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis
mengambilalih Malaka pada tahun 1511.
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten
adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan
pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak
geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak
Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan  untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-
vous yaitu  pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-
fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal
inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak
menguasai Banten.

B. Tokoh – Tokoh Perlawanan Banten Terhadap VOC


 Sultan Agen Tirtayasa
 Arya Purbaya ( Putra  dari Sultan Ageng Tirtayasa )

C. Proses Perlawanan Banten Terhadap VOC

Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dibangkitkan oleh Abdul Fatah (Sultan Ageng
Tirtayasa) dan puteranya bernama Pangeran Purbaya (Sultan Haji). Sultan Ageng Tirtayasa
dengan tegas menolak segala bentuk aturan monopoli VOC dan berusaha mengusir VOC dari
Batavia. Pada tahun 1659, perlawanan rakyat Banten mengalami kegagalan, yaitu ditandai oleh

12
keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan Ageng Tirtayasa untuk menandatangani perjanjian
monopoli perdagangan.

Pada tahun 1683, VOC menerapkan politik adu domba (devide et impera) antara Sultan Ageng
Tirtayasa dengan puteranya yang bernama Sultan Haji, sehingga terjadilah perselisihan antara
ayah dan anak, yang pada akhirnya dapat mempersempit wilayah serta memperlemah posisi
Kerajaan Banten. Sultan Haji yang dibantu oleh VOC dapat mengalahkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Kemenangan Sultan Haji atas bantuan VOC tersebut menghasilkan kompensasi dalam
penandatanganan perjanjian dengan kompeni. VOC diberi hak untuk memonopoli perdagangan
di seluruh wilayah Banten dan Sumatera Selatan.

Perjanjian tersebut menandakan perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dapat dipadamkan,
bahkan Banten dapat dikuasai oleh VOC. Pertikaian keluarga di Kerajaan Banten menunjukkan
bahwa mudahnya rakyat Banten untuk diadu domba oleh VOC.

Sultan ageng berusaha merebut kembali kesultanan banten dari sultan haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682 pasukan ageng tirtayasa berhasil mengepung istana sultan haji, tapi sultan haji
langsung meminta bantuan VOC. Akhirnya sultan ageng agung dapat dipukul mundur, tapi
sultan ageng tirtayasa dapat meloloskan diri bersama anaknya purbaya ke hutan lebak. Dan
akhirnya 1683 Sultan ageng di tangkap dan di tawan di batavia sampai meninggalnya pada tahun
1692.

Pada tahun 1750, terjadi perlawanan rakyat Banten terhadap Sultan Haji (yang menjadi raja
setelah menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa), atas tindakan Sultan Haji (rajanya) yang
sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri. Perlawanan rakyat Banten ini dapat dipadamkan
oleh Sultan Haji atas bantuan VOC. Sebagai imbalan jasa, VOC diberi hak untuk memonopoli
perdagangan di seluruh wilayah Banten dan Sumatera Selatan.

D. Bentuk-Bentuk Perlawanan Banten Terhadap VOC

13
o Beberapa yang dilakukan misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti
Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis. Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan
dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
o Sultan Ageng juga mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal
dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan
dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap
beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. 
o Dibangun saluran air atau irigasi untuk meningkatkan produksi pertanian dan
dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang

E. Akibat Perlawanan Banten Terhadap VOC


o Pelabuhan Banten yang dulunya ramai menjadi sepi
o Banyak korban yang berjatuhan tetapi VOC masih belum bisa ditaklukan pada masa itu
o Hubungan antara Banten dan VOC menjadi kurang baik

14
PERLAWANAN MAKASSAR TERHADAP VOC

Latar Belakang

Makassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan karena
letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan
Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan
Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam
aspek kebudayaannya.

Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan
tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi
Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi merupakan salah satu
aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan Makassar mencapai puncak
kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur
perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur.

Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo
(Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda
dalam Perang Makassar (1660-1669). Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda
yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba
ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga di Asia Tenggara,
Somba Opu memiliki setidak-tidaknya lima konsul dagang Eropa sebagai tempat perwakilan
dagang Negara-Negara Eropa di kerajaan itu.

Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark,
Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik
diri pada tahun 1661 karena perang. Awal tahun 50an perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda
berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia. Akibat
persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan naiknya harga rempah.

15
Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan
ekspedisi Belanda itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Dalam
lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari kata Compagnie). Namun
perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang karena kekurangan modal
dibandingkan dengan perwakilan-perwakilan dagang Eropa lainnya. Akibatnya perwakilan
dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan antara Gowa dengan Negara-
Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah terancam bangkrut.

Pedagang rempah di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk
berdagang dengan VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota
Somba Opu semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar-menawar perdagangan. Dan oleh
sebab itu juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang-pedagang dari Eropa untuk
mendapatkan modal yang tinggi. Alasan bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi
berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni banyak pedagang
asing yang merupakan saingan kompeni membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat
perdagangan. Melihat kejayaan kerajaan Makassar.

Kompeni berniat hendak mematikan usaha-usaha dagang yang sungguh sangat maju dan
semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan Maluku
yang di usahakan pedagang-pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain-lain berjalan
sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito. Pada tahun 1637 terjadi
peperangan antara pedagang-pedagang asing (alinasi Portugis, Inggris, Spanyol, Denmark dan
Francis) dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah merusak tata niaga perdagangan
dan menentang prinsip-prinsip Perjanjian Eropa (West Phalia) dan Perjanjian Hiderabat.

Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan Makassar pada saat itu membantu aliansi
Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di beberapa
wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin dipandang sebagai
perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih mengkonsentrasikan diri untuk merebut
kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun
1667 Kerajaan Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani
Perjanjian Bongaya.
16
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan
di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti
kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan
oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan
VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi
tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan
menyebabkan terjadinya peperangan.

Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan
Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di
Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin
tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya
Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-
domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar).

Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan
VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat
menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui
kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat
merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

1.  VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.


2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di
luar Makasar.
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

17
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar,
Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

Jalannya Perlawanan Makassar Terhadap Belanda

Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara  Kerajaan Makasar
yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun dari Asia
dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan  monopoli. Pelabuhan Makasar
dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol jalur  perniagaan laut,
ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam  kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar,
mereka memiliki filosofi bahwa  secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh
melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar 
ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara  umat
manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah  kedengaran larangan buat
siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan
dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan
dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya
karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang
Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung
halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-
Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC.

18
Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan
Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang
mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan
baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan
Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura.

Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan
Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama
juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang
pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan
akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.

Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-
orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang
berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil
untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut.
Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai
tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian
membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.

Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada
tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi
pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan.
Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone
(Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin
oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku
Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
19
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka
Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk.
Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia.
Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua
belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba
Opu.

Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah
pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani. Peperangan demi peperangan
melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian.
Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak
kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak
itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami
kemunduran.

Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu,
nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah
di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama
makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi.
Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam
masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah.

20
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah
ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut
kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695,
orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan,
perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa
ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667.

Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan
dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan
dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya
karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang
Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung
halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-
Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC.
Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan
Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang
mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan
baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan
Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura.

Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan
Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama
juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang
pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan
akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.

21
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-
orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang
berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil
untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut.
Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai
tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian
membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.

Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada
tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi
pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan.
Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone
(Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin
oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku
Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.

Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.

Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh
karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas,
sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni
1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil
merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki
Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.

22
Akhir Perlawanan Makassar Terhadap Belanda

Di akhir cerita, Sultan Hasanuddin tidak berhasil mematahkan ambisi Belanda untuk menguasai
Makassar. Sultan Hasanuddin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya
pada tahun 1667.

Isi Perjanjian Bongaya

Berikut ini terdapat beberapa isi perjanjian bongaya, antara lain sebagai berikut:

1. Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar dan
Karaeng Popo di Batavia.
2. Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan diri
ke Makassar.
3. Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari
kapal Leuwin dan Walvisch yang kini masih ada di Makassar.
4. Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.
5. Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC
6. Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.
7. Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.
8. Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
9. Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula,
bebaskan seluruh wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar
kompensasi untuk lima belas meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil yang diambil
dari Sula.
10. Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.
11. Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.

23
12. Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
13. Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa untuk
selama-lamanya.
14. Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.
15. Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.
16. Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi
mencampuri urusan orang-orang yang akan tinggal di sana.
17. Perdagangan bebas bea bagi VOC.
18. Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.
19. Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.
20. Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.
21. Serahkan Karaeng Bontomarannu.
22. Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.
23. Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo dan
Mandar, karena negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.
24. Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.
25. VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan sekutunya.
26. Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk
berangkat ke Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini dari
Gubernur Jenderal dan, jika dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di Batavia
sebagai sandera.

Dampak Perlawanan Makassar Terhadap Belanda

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami
Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap
perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya
benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-
abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.

24
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu,
nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah
di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama
makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka
dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan
sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada
dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah.

Tokoh Perlawanan Makassar Terhadap Belanda

 Tokoh Indonesia (Makassar)

 Sultan Hasanuddin.
 Sultan Alauddin.
 Muhamad Sa’id.

Tokoh Belanda

 Speelman.
 John van Olden.
  Pangeran Maitus.
 Gubernur Jenderal Matsuyker.

25
PERLAWANAN RIAU TERHADAP VOC

Pada era Kolonialisme belanda dibentuklah suatu kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC). Suatu kongsi dagang yang memonopoli dagang dan hasil bumi
nusantara, di balik itu rakyat indonesia tidak terima atas keserakahan VOC itu, sehingga
terjadilah perang dimana-mana.

Salah satunya adalah rakyat Riau, mereka tidak terima atas monopoli yang dilakukan belanda,
sehingga mereka melaksanakan gencatan senjata yang sering disebut “Rakyat Riau Angkat
Senjata”.

Ambisi untuk melaksanakan monopoli perdagangan dan menguasai bermacam-macam daerah di


Nusantara terus dilakukan VOC. Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar
Kepulauan Riau.

Strategi VOC Adu Domba

Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau.
Kerajaan kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh
pemaksaan monopoli dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh sebab itu, beberapa
kerajaaan mulai melancarkan perlawanan.

Salah satu contoh perlawanan di Riau adalah perlawanan yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak

26
Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya
untuk melawan VOC.

Setelah berhasil merebut Johor lalu ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan.

Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah
komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka.

Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang
bernama Raja Indra Pahlawan.

Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra Pahlawan sudah mempunyai kepandaian berperang.
Sifat bela negara/ tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.

Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat. Sebagai
gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746
-1760).

Raja ini juga mempunyai naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di
Malaka dan sebagai komandan perangnya adalah Raja Indra Pahlawan. Tahun 1751 berkobar
perang melawan VOC.

Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan
menuju Siak. VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan
Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak.

Kapal-kapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini adalah pukulan untuk
Siak. Oleh sebab itu segera dipersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC.

Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra dan Panglima Besar
Tengku Muhammad Ali.

27
Kapal Perang Harimau Buas

Dalam serangan ini diperkuat dengan kapal perang "Harimau Buas" yang dilengkapi dengan
lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung
(1752 – 1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung itu berlapis-lapis dan dilengkapi
meriam-meriam besar.

Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun banyak pula
jatuh korban dari VOC, sehingga VOC wajib mendatangkan pertolongan kekuatan termasuk juga
orang-orang Cina. Pertempuran nyaris berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus
mendatangkan bantuan.

Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk
mundur kembali ke Siak.

Sultan Siak bersama para panglima dan penasihat mengatur siasat baru. Disepakati bahwa VOC
wajib dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan
hadiah kepada Belanda.

Oleh sebab itu, siasat ini dikenal dengan "siasat hadiah sultan". VOC setuju dengan ajakan damai
ini. Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai
justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahan VOC.

Sultan segera memberi kode pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang
Belanda di loji itu.

Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan,
sekalipun belum berhasil mengenyahkan VOC dari Malaka.

28
Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh sebab itu, atas jasanya Raja
Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: "Panglima
Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh".

Perang Rakyat Riau Dengan VOC

Perang antara rakyat riau dengan VOC terjadi sangat sengit, Pada saat perang itu VOC
mendatangkan pertolongan dari china dan sekutunya.

Sehingga pada saat itu rakyat Riau ditarik mundur untuk merundingkan strategi perang baru,
sehingga dalam perundingan itu di dapatlah suatu ide untuk berpura-pura mengajak VOC
berdamai.

Sehingga pada saat perundingan damai dengan VOC itu, kesempatan rakyat riau untuk memukul
habis para petinggi VOC. Pada akhirnya rakyat Riau memperoleh kemenangan dari VOC.

29
PERLAWANAN ETNIK TIONGHOA TERHADAP VOC

Latar Belakang

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan
Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut
pulau Jawa; mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.
Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan
ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di
Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi
tinggal di luar batas kota. Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat
identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok.

Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia (Raad van Indië) beranggapan bahwa orang
Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia, dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang
Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron
van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738. Namun, orang keturunan Tionghoa tiba
di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung, dan pada tanggal 26 September Valckenier
memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat. Pada pertemuan tersebut, Valckenier
memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang
mematikan. Kebijakan ini terus ditentang oleh fraksi van Imhoff; Vermeulen (1938) berpendapat
bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.

30
Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa
sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia; amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada
pertemuan dewan lima hari sebelumnya. Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak
percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan
keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta
menambah jumlah pasukan yang menjaga kota. Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa
dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia, dan
rencana penyerangan pun dibuat.

Peristiwa

Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan
menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang
Tionghoa, yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong, membunuh 50 pasukan Belanda
di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober. Untuk
menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang
ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan
pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang
sudah dijadwalkan. Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang
tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang,
hingga pisau paling kecil sekalipun. Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis
suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok
dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota; Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan
Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali
mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.

Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah
sakit dibawa ke luar dan dibunuh. Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar
belum membawa hasil; kebakaran itu malam semakin ganas, dan baru padam pada tanggal
12 Oktober. Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang

31
pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang
bersembunyi di bawah pimpinan Khe Pandjang. Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke
daerah Paninggaran, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang
Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.

Hasil

Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota
Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang
Tionghoa dijarah dan dibakar. Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang
selamat, sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang
selamat. Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500
tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh, dengan jumlah orang yang selamat sebanyak
3.431. Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan
Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembantaian lagi di Semarang pada tahun 1741,
dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.

Pengaruh

Vermeulen menyebut pembantaian ini sebagai "salah satu peristiwa dalam kolonialisme
[Belanda] pada abad ke-18 yang paling menonjol". Dalam disertasinya, W. W. Dharmowijono
menyatakan bahwa pogrom ini mempunyai peran besar dalam sastra Belanda. Sastra ini muncul
dengan cepat; Dharmowijono mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Haren yang
mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonim, dari periode yang sama,
yang mengkritik orang Tionghoanya. Raffles menulis pada tahun 1830 bahwa catatan historis
Belanda "jauh dari lengkap atau memuaskan".

Sejarawan asal Belanda Leonard Blussé menulis bahwa Geger Pacinan secara tidak langsung
membuat Kota Batavia berkembang pesat, tetapi membuat dikotomi antara etnis Tionghoa dan
pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20. Pada abad yang sama, pembunuhan massal
ini dicatat juga dalam Bahasa Banjar oleh Abdur Rahman di syairnya, Syair
Hemop. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah satu
etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa daerah itu

32
dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana; van Hoëvell berpendapat bahwa
nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat dari pogrom lebih cepat
menerima amnesti. Nama Rawa Bangke mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah
orang Tionghoa yang dibunuh di sana; etimologi serupa juga pernah diajukan
untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat.

33

Anda mungkin juga menyukai