Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15 di
seluruh dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada saat itu, latar belakang
bangsa Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan oleh beberapa hal, seperti jatuhnya
Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke kekuasaan Turki Usmani pada tahun 1453,
merosotnya ekonomi dan perdagangan bangsa Eropa, serta terjadinya revolusi industri.
Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah terjadinya revolusi
industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian bangsa Eropa. Revolusi industri,
membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut yang digunakan untuk menjelajah samudra demi
mencari sumber daya di belahan dunia lain. Disamping itu, misi ini juga dilakukan untuk
melanjutkan semangat Perang Salib.
Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain, kejatuhan Konstantinopel ke
tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan akses bangsa Eropa dalam mendapatkan
rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup dan membuat harga
rempah-rempah di Eropa meningkat tajam. Bangsa Eropa kemudian terdorong untuk mencari
dan menemukan wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah ke dunia baru yang ada di timur
Eropa.
Lama-kelamaan, mereka semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk
keuntungan ekonomi dan kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah seperti
Indonesia yang merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih, pala, dan lain-lain.
Rempah-rempah yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka untuk melakukan kolonialisme
dan imperialisme karena rempah-rempah pada masa itu menjadi komoditas yang sangat laris di
Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut nusantara sebagai Hindia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan
makalah ini adalah “ Bagaimana Respon Bangsa Indonesia Terhadap Imprealisme dan
Kolonialisme”.

C. Tujuan
Berdasarkan permaslahan yang ada maka yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana respon bangsa Indonesia terhadap Imprealisme dan
Kolonialisme.
2. Sebagai salah satu tugas pada mata pelajaran Sejarah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme


Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem kolonialisme
dan imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta
pendidikan. Berikut penjelasannya:

1. Aspek Ekonomi dan Politik


Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang
ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap
Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang akibat
ekonomi dan politik in, di antaranya:
a. Perlawanan Terhadap Portugis
Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan
bangsa Portugis, antara lain:
1. Perlawanan Kesultanan Ternate
Sultan Khairun yang tidak menginginkan menjadi Malaka yang kedua, maka
Sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal yang saat
itu sudah sangat kuat, yang ditunjukkan dengan memiliki benteng dan kantong kekuatan
di seluruh Maluku. Selain itu, Portugal juga telah memiliki suku – suku pribumi yang
bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Aceh dan Demak terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di
Maluku kesulitan mendapatkan bala bantuan, hingga terpaksa memohon berdamai pada
Sultan khairun. Gubernur Portugal yaitu Lopez de Mesquita, secara licik mengundang
Sultan Khairun kemeja perundingan dan dengan kejam membunuh sultan yang datang
tanpa pengawal. Pembunuhan Sultan Khairun ini mendorong rakyat Ternate untuk
menyingkirkan Portugal, hingga pada tahun 1575, Portugal meninggalkan Maluku untuk
selamanya.
Kemenangan rakyat Ternate merupakan kemenangan pertama putra – putra
nusantara atas kekuatan barat. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate menjadi salah satu
dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam di nusantara pada abad ke-16, selain Aceh
dan Demak. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang
Portugal di nusantara.
Di bawah pimpinan sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan,
wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dibagian barat sampai
kepulauan Marshall dibagian Timur, dari Philipina bagian utara samapai kepulauan Nusa
Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang
semuanya berpenghuni, sampai menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam
terbesar di Indonesia Timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat
dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasan kesultanan ini selama abad 14 dan 15.

2. Perlawanan Kesultanan Demak


Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan
mereka di Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka
merasa terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan
mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka terhadap
Kesultanan Malaka dan para saudagar Muslim yang ada di Malaka, akhirnya
memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.
Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda
Kelapa pada tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian,
pada tahun 1527, bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa
sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, datang untuk membangun benteng di sana.
Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.
3. Perlawanan Kesultanan Aceh
Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–
1540 di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan
Aceh berhasil mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh
terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin
Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571 dengan bantuan Turki.
Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah
menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari
Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC
pada tahun 1641.

b. Perlawanan Terhadap VOC


Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan VOC, antara lain:
1. Perlawanan Kesultanan Mataram
Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik,
sampai-sampai Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai
kantor perwakilan dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung
menyadari kalau keberadaan VOC membahayakan pemerintahannya.
Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama
ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang
dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena
Kesultanan Mataram kalah persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena
lumbung-lumbung persediaan makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang
dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang
pasukan Mataram. 

2. Perlawanan Kesultanan Gowa


Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada
VOC di Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun
pecah karena pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung
selama tiga tahun, dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu
dengan Arung Palaka, Raja Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.
3. Perlawanan Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC
dan gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada
akhirnya melawan VOC dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya,
seperti pedagang Inggris.
Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan
Banten serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di
daerah Angke dan Tangerang pada tahun 1658–1659.

c. Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda


Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme
ala VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda
kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia, berikut penjelasannya:
1. Perlawanan Rakyat Maluku
Ekspedisi bangsa Portugis ke Maluku di awali dengan mendaratnya bangsa
Portugis di Kerajaan Ternate pada tahun 1513 . Adapun tujuan bangsa Portugis
melakukan ekspedisi ke wilayah Maluku adalah untuk menjalin kerja sama di bidang
perdagangan terutama rempah- rempah denga kerajaan Ternate, Bacan, Tidore, dan
beberapa kerajaan kecil lainnya. Namun kerja sama yang dijalankan oleh Maluku dan
Portugis dikhianati oleh Portugis itu sendiri.
Adapun bentuk pengkhianatan yang telah dilakukan oleh portugis yatu Portugis
melakuka usaha monopoli perdagangan remapah- rempah. Hingga pada akhirnya, pada
tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh masyarakat Maluku, bahkan jawa
dan Irian Jaya untuk membantu kerajaan Ternate dalam mengusir Portugis di wilayah
Maluku. Namun, perlawanan tersebut hanya berakhir dengan adamya perundingan damai
dan masih memberikan kesempatan bangsa Portugis untuk tetap tinggal di kerajaan
Ternate tersebut.
Perlawanan rakyat Maluku khususnya di kerajaan Ternate pecah lagi di tahun
1570, ketika rakyat Maluku menyadari bahwasannya Portugis masih saja ingin
menguasai perdagangan di Maluku. Perlawanan tersebut bermula ketika bangsa Portugis
melakukan penyimpangan kembali yang mana benteng yang diizinkan oleh rakyat
Maluku untuk didirikan oleh Bangsa Portugis yang tersebut sebagai kantor dagang ,
justru digunakan sebagai pertahanan bangsa Portugis untuk menguasai menjajah daerah
Maluku, khususnya daerah Ternate. Bahkan Bangsa Portugis pun telah memaksa rakyat
Maluku untuk menjual hasil rempah- rempahnya hanya kepada bangsa Portugis, dan
dilarang menjual rempah- rempah tersebut dengan pedagang lain.
Adapun , perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Maluku kepada bangsa
Portugis tersebut dipimpin oleh Sultan Hairun . Namun sayangnya, Sultan Hairun dapat
diperdaya oleh bangsa Portugis dengan cara licik, hingga akhirnya Sultan Hairun
meninggal dengan cara yang mengenaskan di benteng Duurstede. Hingga akhirnya,
perlawanan rakyat Maluku pecah lagi dan perlawanan tersebut dipimpin oleh Sultan
Baabullah. Dalam melawan bangsa Portugis tersebut, Sultan Baabulah mengerahkan
segala kekuatannya , termasuk tentaranya untuk mengepung benteng Portugis .
Hingga pada akhirnya, Portugis menyerah dan telah dipaksa oleh Sultan Baabulah
dan rakyat Maluku untuk meninggalkan Ternate pada tahun 1575. Setelah, bangsa
Portugis tersebut telah meninggalkan (terusir) dari Maluku , khususnya kerajaan Ternate ,
Portugis kemudian melanjutkan aksinya lagi ke lain wilayah yaitu Ambon. Namun di
wilayah tersebut, Bangsa Portugiis dikalahkan lagi oleh saingannya, yaitu Belanda.
2. Perlawanan Rakyat Palembang
Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi
karena Belanda berusaha menguasai Palembang yang memiliki letak strategis dan kaya
akan barang (Kepulauan Bangka Belitung).
Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng pertahanan
Belanda. Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada tahun 1811
karena Perjanjian Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau
Jawa.
Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun
Belanda di Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di wilayah
kekuasaannya. Inggris yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan Baharuddin pun
menyerang Palembang pada tahun 1812. Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad
Najamuddin, adik Sultan Baharuddin, menjadi Sultan.

3. Perlawanan Rakyat Sumatera Utara


Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII
terjadi karena Belanda ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax Neerlandica
(ambisi Belanda menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang
menyebabkan terjadinya Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.

2. Aspek Sosial dan Budaya


Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan
dalam bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut: 

a. Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir


Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan Belanda yang
tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang kurang memberikan tempat
bagi kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di
kalangan petani yang merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah
tanah oleh Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang kemudian menjadi tuan
tanah.
Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah tersebut merasa
memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah partikelir mereka. Penduduk di tanah
tersebut diharuskan menyerahkan hasil garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya
budak. 

b. Gerakan Mesianisme
Gerakan mesianisme merupakan gerakan yang berasal dari harapan akan datangnya ratu
adil atau imam mahdi sebagai juru selamat rakyat. Dalam gerakan ini biasanya terdapat seorang
pimpinan yang dianggap sebagai juru selamat, pimpinan agama, atau bahkan nabi. Gerakan ini
bersandar pada dasar-dasar kekuatan gaib sang pemimpin dan menghadapkan munculnya era
baru dan datangnya zaman keemasan yang meniadakan penderitaan rakyat dan hilangnya konflik
serta ketidakadilan.
Beberapa contoh dari gerakan mesianisme adalah Kasan Mukmin (1903), Gerakan
Darmojo (1907), dan dukun yang mengaku keturunan Sultan Hamengku Buwono V dan akan
bertindak sebagai ratu adil dan calon sultan Yogyakarta (1918).

3. Aspek Seni dan Sastra


Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga memiliki
peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa itu menyuarakan
ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena kolonialisme dan imperialisme yang
dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.
Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para
pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai berikut:
1. Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar
Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda
yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa Latin
yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini kemudian
dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860).
Novel inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia
serta mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran mereka
mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).
2. Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka
Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah.
Mas Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang
menyuarakan pemikiran pribumi terpelajar.
Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji,
Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang kemudian
menjadi bagian dari Indische Partij.
Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada
masa itu untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran politik ini
dianggap penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk bergerak melawan
pemerintahan kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas.
Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan
dibuang oleh pemerintah kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926. Mas Marco
kemudian meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria.
3. Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas
Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia
Bebas” pada tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul
“Buiten het Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.
Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah
putus asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut sekalipun
diawasi dan diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah liar pada
masa penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh para tokoh
pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi.

4. Aspek Pendidikan
Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu
perjuangan paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Para tokoh
pendidikan di masa penjajahan Belanda membangun sekolah-sekolah swasta untuk memajukan
pola pikir dan menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat pribumi.
Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka di
Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut: 

a. Indisch Nederlandse School Kayu Tanam


Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada
tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang
pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga dalam
Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan beberapa nama besar dalam sejarah
politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar Navis, Mochtar Lubis, dan Tarmizi Taher.
Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa
Indonesia karena melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan rasa
nasionalisme. Visi pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan hand.  
Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional, heart
berarti sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter yang mulia,
dan hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki keterampilan
yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada masing-masing orang.
b. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di
Yogyakarta. Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bergerak di
bidang pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara
menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab
dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan perilaku
yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.
Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan motivasi
yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-menerus supaya
para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para
siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna dari
pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka dapat berguna bagi
kehidupan mereka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terdahulu maka kesimpulan yang diambil dari penulisan makalah
ini adalah Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem
kolonialisme dan imperialisme, antara lain
1. Aspek ekonomi dan politik,
Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang
ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap
Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang
akibat ekonomi dan politik in, di antaranya:
a) Perlawanan Terhadap Portugis
b) Perlawanan Terhadap VOC
c) Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
2. Aspek sosial dan budaya,
Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan
dalam bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut: 
a) Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir
b) Gerakan Mesianisme
3. Aspek seni dan sastra,
Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para
pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai
berikut:
a) Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar
b) Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka
c) Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas
4. Aspek pendidikan.
Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka
di Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu adalah sebagai
berikut: 
a) Indisch Nederlandse School Kayu Tanam
b) Taman Siswa

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka kami menyarankan agar sebagai generasi
penerus bangsa patutlah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.porosilmu.com/2016/04/perlawanan-ternate-terhadap-portugis.html.Unduh pukul
20.57.
https://pahamify.com/blog/kolonialisme-dan-imperialisme-di-indonesia/. Unduh Pukul 20.57.
http://repository.uph.edu/7999/4/Chapter1.pdf. unduh pukul 20.27
http://makalahaccomputindo.blogspot.com/2015/02/makalah-sejarah-indonesia-terhadap.html.
unduh pukul 20.57.

Anda mungkin juga menyukai