Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Peminatan Kelas 11:

Respon Bangsa Indonesia Terhadap


Kolonialisme dan Imperialisme
Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Sebelum lebih jauh, ada baiknya jika kamu memahami dulu, apa sih yang dimaksud
dengan kolonialisme dan imperialisme? Hal apa saja yang melatari ke duanya terjadi
di Indonesia? Simak penjelasan berikut:

Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai. Kolonialisme
memiliki arti upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar
wilayah kekuasaan negara tersebut. Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi
kekuatan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
politik.
Wilayah koloni biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan
mentah yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam
kolonialisme, ada kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih
superior dari bangsa yang dikoloni.
Sementara imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti
kekuasaan tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan. Imperialisme merupakan
kebijakan atau ideologi untuk memperluas kekuasaan atas negara lain dan penduduk
asli negara tersebut, dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi,
kekuasaan dan kontrol, dan seringkali dilakukan dengan menggunakan kekuatan
militer.
Perbedaan kolonialisme dan imperialisme terletak pada tujuannya. Kolonialisme
berfokus pada penguasaan suatu wilayah dengan sumber daya alam tertentu untuk
dibawa ke negeri asal penjajah. Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan
politik dan pemerintahan negara yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara
tersebut.
Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15
di seluruh dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada saat itu, latar
belakang bangsa Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan oleh beberapa hal,
seperti jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke kekuasaan Turki Usmani
pada tahun 1453, merosotnya ekonomi dan perdagangan bangsa Eropa, serta
terjadinya revolusi industri.
Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah terjadinya
revolusi industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian bangsa
Eropa. Revolusi industri, membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut yang
digunakan untuk menjelajah samudra demi mencari sumber daya di belahan dunia
lain. Disamping itu, misi ini juga dilakukan untuk melanjutkan semangat Perang Salib.
Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai
akhirnya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain, kejatuhan
Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan akses
bangsa Eropa dalam mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut
Tengah menjadi tertutup dan membuat harga rempah-rempah di Eropa meningkat
tajam. Bangsa Eropa kemudian terdorong untuk mencari dan menemukan wilayah-
wilayah penghasil rempah-rempah ke dunia baru yang ada di timur Eropa.
Lama-kelamaan, mereka semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk
keuntungan ekonomi dan kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah
seperti Indonesia yang merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih,
pala, dan lain-lain. Rempah-rempah yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka
untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme karena rempah-rempah pada masa
itu menjadi komoditas yang sangat laris di Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut
nusantara sebagai Hindia..

Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan


Imperialisme
Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem
kolonialisme dan imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni
dan sastra, serta pendidikan. Berikut penjelasannya:

Aspek Ekonomi dan Politik

Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang
ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan
terhadap Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan
berupa perang akibat ekonomi dan politik in, di antaranya:

Perlawanan Terhadap Portugis


Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan bangsa Portugis, antara lain:
 Perlawanan Kesultanan Ternate
Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun
memimpin perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan
Hairun berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun
1570. Meski demikian, perlawanan Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ.
Perjuangan Sultan Hairun kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabulah.
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil
mengusir bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang
terusir dari Maluku ini kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor
Timur hingga menjelang akhir abad ke-20.
 Perlawanan Kesultanan Demak
Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan
mereka di Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di
Malaka merasa terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis
juga akan mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas
mereka terhadap Kesultanan Malaka dan para saudagar Muslim yang ada di
Malaka, akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.
Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda
Kelapa pada tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun
kemudian, pada tahun 1527, bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau
Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, datang untuk membangun
benteng di sana.
Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.
 Perlawanan Kesultanan Aceh
Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–
1540 di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu
Kesultanan Aceh berhasil mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh.
Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan
oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571 dengan bantuan
Turki.
Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah
menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari
Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan
VOC pada tahun 1641.

Perlawanan Terhadap VOC


Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia
melawan penjajahan VOC, antara lain:
 Perlawanan Kesultanan Mataram
Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik,
sampai-sampai Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng
sebagai kantor perwakilan dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan
Sultan Agung menyadari kalau keberadaan VOC membahayakan
pemerintahannya.
Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama
ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan
kedua yang dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami
kegagalan karena Kesultanan Mataram kalah persenjataan, kekurangan
persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang ada di
Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan
wabah penyakit yang menyerang pasukan Mataram.
 Perlawanan Kesultanan Gowa
Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada
VOC di Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar
pun pecah karena pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar
berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar,
VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja Bone, yang saat itu berseteru dengan
Kerajaan Gowa.
 Perlawanan Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC
dan gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa
pada akhirnya melawan VOC dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang
asing lainnya, seperti pedagang Inggris.
Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten
serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di
daerah Angke dan Tangerang pada tahun 1658–1659.
Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik
kolonialisme ala VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi
berakhir. Saat Belanda kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia,
berikut penjelasannya:

 Perlawanan Rakyat Maluku


Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang Belanda
kembali ke wilayah mereka. Saat Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia
Belanda, beberapa aturan VOC seperti praktik monopoli dagang dan kerja rodi
tidak diterapkan.
Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan yang
menindas seperti praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja rodi kembali
diterapkan. J.R van den Berg, Residen Saparua yang baru pada saat itu, juga
dianggap tidak peka pada keluhan rakyat. Belanda juga memaksa para pemuda
Maluku untuk menjadi tentara yang ditugaskan ke Jawa.
 Perlawanan Rakyat Palembang
Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi
karena Belanda berusaha menguasai Palembang yang memiliki letak strategis
dan kaya akan barang (Kepulauan Bangka Belitung).
Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng
pertahanan Belanda. Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi
pada tahun 1811 karena Perjanjian Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar
perhatiannya ke pulau Jawa.
Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun
Belanda di Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di
wilayah kekuasaannya. Inggris yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan
Baharuddin pun menyerang Palembang pada tahun 1812. Mereka menjarah isi
istana dan melantik Ahmad Najamuddin, adik Sultan Baharuddin, menjadi Sultan.
 Perlawanan Rakyat Sumatera Utara
Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII
terjadi karena Belanda ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax
Neerlandica (ambisi Belanda menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda
inilah yang menyebabkan terjadinya Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.
Aspek Sosial dan Budaya
Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan
dalam bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai
berikut:

 Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir


Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan Belanda
yang tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang kurang
memberikan tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan sosial
ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan petani yang merasakan ketidakadilan
karena praktik penjualan atau pemberian hadiah tanah oleh Pemerintah Belanda
kepada perseorangan atau swasta, yang kemudian menjadi tuan tanah.
Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah
tersebut merasa memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah
partikelir mereka. Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan hasil
garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya budak.

 Gerakan Mesianisme
Gerakan mesianisme merupakan gerakan yang berasal dari harapan akan
datangnya ratu adil atau imam mahdi sebagai juru selamat rakyat. Dalam gerakan
ini biasanya terdapat seorang pimpinan yang dianggap sebagai juru selamat,
pimpinan agama, atau bahkan nabi. Gerakan ini bersandar pada dasar-dasar
kekuatan gaib sang pemimpin dan menghadapkan munculnya era baru dan
datangnya zaman keemasan yang meniadakan penderitaan rakyat dan hilangnya
konflik serta ketidakadilan.
Beberapa contoh dari gerakan mesianisme adalah Kasan Mukmin (1903),
Gerakan Darmojo (1907), dan dukun yang mengaku keturunan Sultan Hamengku
Buwono V dan akan bertindak sebagai ratu adil dan calon sultan Yogyakarta
(1918).
Aspek Seni dan Sastra
Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga
memiliki peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa itu
menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena kolonialisme dan
imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar Hindia Belanda, termasuk
ke negara Belanda sendiri.

Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi
para pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka
adalah sebagai berikut:

 Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar


Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda
yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa
Latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini
kemudian dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel
inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia serta
mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran mereka
mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).

 Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka


Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah.
Mas Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang
menyuarakan pemikiran pribumi terpelajar.
Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji, Mas
Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang kemudian
menjadi bagian dari Indische Partij.
Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada
masa itu untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran
politik ini dianggap penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk
bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas.
Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan
dibuang oleh pemerintah kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926. Mas
Marco kemudian meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria.

 Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas


Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia
Bebas” pada tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda
dengan judul “Buiten het Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.
Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah
putus asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut
sekalipun diawasi dan diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekolah liar pada masa penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta yang
didirikan oleh para tokoh pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan bagi
masyarakat pribumi.
Aspek Pendidikan
Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu
perjuangan paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Para tokoh pendidikan di masa penjajahan Belanda membangun sekolah-sekolah
swasta untuk memajukan pola pikir dan menumbuhkan semangat nasionalisme
masyarakat pribumi.

Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan
mereka di Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu
adalah sebagai berikut:
 Indisch Nederlandse School Kayu Tanam
Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada
tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang
pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga
dalam Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan beberapa nama besar
dalam sejarah politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar Navis, Mochtar Lubis,
dan Tarmizi Taher.
Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa
Indonesia karena melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan
rasa nasionalisme. Visi pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan
hand.
Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional,
heart berarti sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter
yang mulia, dan hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat
memiliki keterampilan yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan
kepada masing-masing orang.
 Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di
Yogyakarta. Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang
bergerak di bidang pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki
Hajar Dewantara menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu ing
ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab
dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan
perilaku yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.
Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan
motivasi yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-
menerus supaya para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan
minat mereka.
Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para
siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna
dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka dapat berguna
bagi kehidupan mereka.

Anda mungkin juga menyukai